PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit
jantung koroner dan kanker baik di negara maju maupun negara berkembang.
Satu dari 10 kematian disebabkan oleh stroke (Ennen, 2004; Marsh & Keyrouz,
2010; American Heart Association, 2014; Stroke forum, 2015). Secara global, 15
juta orang terserang stroke setiap tahunnya, dimana satu pertiga meninggal, dan
sisanya mengalami kecacatan permanen (Stroke forum, 2015). Stroke merupakan
penyebab utama kecacatan yang dapat dicegah (American Heart Association,
2014).
Di Amerika Serikat, terjadi 795.000 insiden stroke setiap tahunnya,
yang menyebabkan 1 dari 17 kematian di Amerika serikat. Diperkirakan insiden
stroke akan sangat meningkat pada tahun 2030 jika dibandingkan dengan tahun
2012 (Marsh & Keyrouz, 2010; Kemenkes, 2012; American Heart Association,
2014; Stroke forum, 2015). Di Australia stroke merupakan penyebab kematian
nomor 2 setelah penyakit jantung koroner dengan 8.300 kematian pada tahun
2009 (Refshauge, 2012; National Stroke Foundation, 2012). Di Eropa, insiden
stroke bervariasi dari 101,1 - 239,3 per 100.000 pria dan 63,0 - 158,7 per 100.000
wanita (American Heart Aassociation, 2014). Berdasarkan hasil riset kesehatan
dasar (Riskesdas) 2013, di Indonesia angka stroke mengalami peningkatan dari
8,3 per 1000 (2007) menjadi 12,1 per 1000 (2013). Prevalensi ini paling tinggi
ditemukan di Sulawesi Utara, diikuti DI Yogyakarta, Bangka Belitung dan DKI
rata-rata dari lama rawatan adalah 13 hari.Semakin lama masa rawatan pasien
stroke semakin banyak komplikasi yang didapat (Ingeman et al., 2011).
Menurut beberapa penelitian, albumin plasma dalam dosis tinggi dapat
menjadi neuroprotektor yang menjanjikan terhadap stroke iskemik dengan
mengurangi dua-pertiga dari total volume infark dan mengurangi tiga-perempat
edema otak, memperbaiki edema otak, meningkatkan aliran darah ke daerah otak
yang mengalami krisis perfusi, meningkatkan perfusi mikrovaskuler, mengurangi
adhesi elemen darah pasca iskemik dan membantu mengangkut asam lemak bebas
yang penting setelah iskemia berakhir (Ginsberg, 2010; Babu et al., 2013).
Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu penanda
status nutrisi yang dikaitkan dengan perburukan status fungsional, hasil terapi
yang buruk dan peningkatan angka mortalitas. Terdapat hubungan yang signifikan
antara hipoalbuminemia dan peningkatan risiko komplikasi, infeksi, lama rawatan
dan mortalitas (Jin et al., 2004; Miyake et al., 2004; Dziedzicet al., 2007;
Bouziana & Tziomalos, 2011). Bahkan albumin merupakan satu-satunya
prediktor yang sangat kuat terhadap mortalitas selama tiga bulan pertama fase
stroke akut (Jin et al., 2004).
Rendahnya kadar albumin serum dapat menyebabkan disfungsi sistem
imun oleh karena menghambat aktivasi produksi komplemen dan menurunkan
fungsi netrofil, makrofag dan limfosit yang diperlukan untuk menghancurkan
patogen sehingga kadar albumin serum berkorelasi dengan kejadian infeksi (Jin et
al., 2004). Hipoalbuminemia berhubungan dengan peningkatan komplikasi
selama masa rawatan. Semakin banyak komplikasi menambah panjang lama
rawatan (Sigh, 2012).
iskemik akut
Tujuan Khusus
1. Mengetahui kadar albumin serum pasien stroke iskemik akut di RSUP
Dr. M. Djamil Padang
2. Mengetahui lama rawatan pasien iskemik stroke akut di RSUP Dr. M.
Djamil Padang
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke Iskemik akut
2.1.1 Definisi
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala
hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat
(dalam detik atau menit). Gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam dan dapat
menyebabkan kematian (Gisnberg, 2005). Cedera otak fokal pada pasien
stroke akan menyebabkan berbagai defisit neurologis, seperti hemiplegia,
hemisensorik loss, afasia, hemianopia, dan ataksia. Manifestasi klinis dapat
menunjukan lokasi anatomi stroke (Geyeret al., 2009).
Stroke dapat diumpamakan seperti serangan jantung yang terjadi di
otak. Darah harus mengalir ke otak supaya otak dapat berfungsi. Jika
alirannya terhambat, oleh gumpalan darah yang terbawa ke otak, atau akibat
penyempitan atau pecahnya pembuluh darah, otak dapat kehilangan pasokan
2.1.2
Insiden
Setiap tahun, 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke. Dari jumlah
tersebut, 5 juta meninggal dan 5 juta yang tersisa cacat permanen. Hal tersebut
dapat menjadi beban di keluarga dan masyarakat. Stroke jarang terjadi pada
orang di bawah 40 tahun; ketika hal itu terjadi, penyebab utamanya adalah
tekanan darah tinggi. Stroke juga terjadi pada sekitar 8% dari anak-anak
dengan penyakit anemia sel sabit (World Health Association, 2004).
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika
Serikat. Sekitar 795.000 orang di Amerika Seriat terserang stroke setiap
tahunnya, dimana 610.000 orang merupakan serangan stroke pertama dan
185.000 merupakan stroke yang berulang. Saat ini ada 4 juta orang di
Amerika serikat yang hidup dengan keterbatasan fisik akibat stroke, dan 15
30% diantaranya menderita kecacatan yang menetap (American Heart
Association, 2009).
Di Indonesia, stroke merupakan urutan pertama di dunia dalam jumlah
terbanyak penderita stroke (Yastroki, 2009). Menurut BadanPenelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 stroke
merupakan penyebab kematian ketiga dan insiden angka tertinggi pada usia
lebih dari 45 tahun dan merupakan 15,4% dari seluruh kematian baik di Desa
maupun di Perkotaan. Dari jumlah total penderita stroke di Indonesia, sekitar
250.000 orang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan maupun berat
(Kemenkes, 2012).
2.1.3
Faktor risiko
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
1. Usia
Lanjut usia merupakan salah satu faktor risiko. Organ manusia
akan semakin mengalami kemunduran sejalan dengan bertambahnya usia
seseorang. Hal demikian ini bersifat alamiah dan tidak bisa dihambat
(Harsono, 2011). Insiden stroke bertambah seiring dengan bertambahnya
usia, setelah umur 55 tahun risiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat
tiap dekade (Junaidi, 2004).
2. Ras
Ras Afrika Amerika berusia 20-40 tahun memiliki risiko 2 kali
lebih tinggi mengalami serangan stroke pertama dibandingkan dengan kulit
putih, dan risiko mortalitas akibat stroke yang juga lebih tinggi, disebabkan
oleh tingginya tekanan darah. Prevalensi stroke diperkirakan paling
meningkat pada pria ras hispanik saat ini hingga 2030. Stroke iskemik
jarang terjadi pada non-Hispanic kulit putih dan Amerika-Meksiko (Ennen,
2004; Kissela et al., 2005; American Heart Association, 2014)
3. Jenis kelamin
Laki laki lebih cenderung untuk terkena stroke lebih tinggi
dibandingkan wanita, dengan perbandingan 1,3 : 1 kecuali pada usia lanjut
laki laki dan wanita hampir tidak berbeda. Namun, pada semua umur
perempuan cenderung lebih banyak meninggal akibat stroke dibandingkan
laki-laki. Pada laki-laki cenderung terkena stroke iskemik, sedangkan
wanita lebih sering menderita perdarahan subarachnoid dan kematiannya 2
kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Ennen, 2004; Junaidi, 2004).
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
1. Hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah maupun
menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak pecah
maka timbullah perdarahan otak, dan apabila pembuluh darah otak
menyempit maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan
mengalami kematian (Harsono, 2011).
10
disartria,
kelumpuhan
otot-otot
mulut/pipi,
kebutaan
2004).
Etiologi
Sekitar 80-85% stroke adalah stroke iskemik, yang terjadi akibat
obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum.
Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam
suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal. Pada trombosis
vaskular distal, bekuan dapat terlepas, atau mungkin terbentuk didalam suatu
12
organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak
sebagai suatu embolus (Hartwig, 2014).
Oklusi vaskular hampir selalu disebabkan oleh trombus, yang terdiri
dari trombosit, fibrin, sel eritrosit dan leukosit. Trombus yang lepas dan
menyangkut di pembuluh darah lebih distal disebut embolus. Jejas pada sel
endotelium dapat mempresipitasi pembentukan trombus di pembuluh darah.
Turbulensi atau melambatnya aliran darah, gangguan pada jalur koagulasi atau
trombolisis dan gangguan pada fungsi trombosit juga dapat memacu
pembentukan trombus. Penyebab emboli serebri yang sering ialah gumpalan
darah dari jantung, disebabkan oleh penyakit valvular atau endokarditis
(Lumbantobing, 2004).
Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan penyebab
stroke pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan stroke
di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteria
karotis interna (tempat arteria karotis komunis bercabang menjadi arteria
karotis interna dan eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya
aterosklerosis. Aterosklerosis arteria serebri media atau anterior lebih jarang
menjadi tempat pembentukan aterosklerosis (Hartwig, 2014)
Didapatkan 4 kemungkinan asal dari trombus yang menyumbat suatu
pembuluh darah arteri : (Lumbantobing, 2004)
1. Dinding pembuluh darah di tempat oklusi (trombus)
2. Pada pembuluh darah proksimal (embolus dari arteri ke arteri)
3. Jantung (embolus jantung) atau
4. sistem vena (embolus transkadial)
2.1.5 Patofisiologi
Stroke iskemik terjadi karena adanya sumbatan atau hambatan aliran
darah ke otak, yaitu apabila aliran darah ke otak kurang dari 20 ml per 100 gram
13
otak per menit. Sumbatan tersebut disebabkan oleh trombosis atau emboli
karena terbentuknya plak atau ateroma pada proses aterosklerosis (Junaidi,
2004).
Dalam bahasa yunani istilah aterosklerosis berarti penebalan tunika
intima arteri (sclerosis, penebalan) dan penimbunan lipid (athere, pasta) yang
mencirikan lesi yang khas.Penyakit ini terdiri atas lesi-lesi fokal yang dibatasi
oleh arteri-arteri otot dan jaringan elastis yang berukuran besar dan sedang.
Sering disertai endapan sekunder garam kalsium dan produk-produk darah
(Brown, 2014).
Aterosklerosis digambarkan sebagai pembuluh darah yang kaku.
Merupakan suatu proses inflamasi yang kronik yang dalam patofisiologinya
melibatkan lipid, thrombosis, dinding vaskular dan sel-sel imun (Adi, 2014).
Awal terjadinya proses ateosklerosis dimulai dengan adanya luka pada
sel endotel yang akan memicu komponen komponen yang terdapat didalam
darah masuk ke tunika media vaskuler. Terbukanya fibrous kolagen subendotel
akan menginduksi adhesi platelet dan agregasi leukosit atau platelet pada lesi
endotelium. Agregasi platelet akan mensekresi beberapa substansi termasuk
platelet derived growth factor (PDGF). PDGF menyebabkan migrasi sel dari
tunika
intima,
yang
lalu
menstimulasi
terjadinya
proliferasi.Mediator
kemotaktik, misal dari platelet, menarik monosit dari sirkulasi lalu menembus
barier endotel dan masuk ke ruangan subendotel (Junaidi, 2004).
Berdasarkan ukuran dan konsentrasinya, molekul plasma dan partikel
lipoprotein lain bisa melakukan ekstravasasi melalui endotel yang bocor dan
masuk ke ruang subendotelial. LDL yang aterogenik akan tertahan dan berubah
menjadi bersifat sitotoksik, pronflamasi, khemotaktik dan proaterogenik.
14
15
kolateral yang adekuat. Pusat wilayah otak yang mengalami pengurangan aliran
darah disebut sebagai inti iskemik. Di daerah ini, aliran darah akan menjadi
benar benar terhenti dan neuron akan mengalami kematian yang irreversible
dalam beberapa menit. Daerah disekitar inti disebut penumbra, daerah tersebut
mengalami penurunan suplai darah tetapi neuron masih dapat bertahan oleh
karena adanya suplai pembuluh darah kolateral. Akan tetapi, apabila aliran
darah didaerah penumbra tidak juga mengalami perbaikan, neuron tersebut pada
akhirnya juga akan mengami kematian dan menjadi daerah infark iskemik.
Terdapat bukti bahwa jendela waktu untuk timbulnya penumbra pada stroke
bervariasi dari 12 sampai 24 jam (Minnerup et al.,2012; Giensberg, 2010;
Hartwig, 2014).
Gumpalan darah merupakan penyebab paling sering dari emboli di
otak.Bahan lainnya, seperti materi yang padat dan cair atau gas dapat
menghambat aliran darah di arteri dan mengakibatkan anoksia di jaringan distal
dari obstruksi. Disamping mengobstruksi, bahan asing tersebut dapat pula
merupakan iritan, mengakibatkan iritasi dan mengakibatkan terjadinya
vasospasme lokal atau difus pada jaringan arterial tersebut (Lumbantobing,
2004).
Tanpa pasokan darah yang memadai, sel-sel neuron kehilangan
kemampuan untuk menghasilkan energi terutama adenosin trifosat(ATP).
Apabila terjadi kekurangan energi ini, pompa natrium kalium sel berhenti
berfungsi sehingga neuron membengkak. Otak akan merespon dengan dengan
meningkatkan konsentrasi kalsium intrasel. Hal ini dapat menyebabkan proses
eksitotoksisitas, yaitu sel-sel neuron melepaskan neurotransmitter eksitatorik
16
glutamat dalam jumlah berlebihan yang akan merangsang aktivitas kimiawi dan
listrik di sel otak lain dengan melekat ke suatu molekul di neuron lain (Hartwig,
2014).
Adanya peningkatan pelepasan glutamat pada saat iskemia akut ikut
mempercepat terjadinya calcium overload. Kemudian reseptor yang menerima
glutamat di sel otak neuron akan membuka saluran ion sehingga Na + dan Ca++
masuk ke dalam sel secara berlebihan. Lalu dengan perantara Ca ++ enzim
degradatif yang tadinya tidak aktif kini menjadi aktif dan merusak DNA,
protein, serta fosfolipid sel itu sendiri. Infuks kalsium yang berlebihan ini akan
memproduksi radikal bebas dengan diaktifkannya phospoliphase A2. Selain itu,
jumlah kalsium yang berlebihan didalam sel akan mengaktifasi mitokondria
sehingga terjadi metabolisme yang tidak efisien oleh karena terjadinya stres
oksidatif, diikuti dengan penghancuran ribosom yang menyebabkan sintesis
protein menurun. Pada akhirnya lipid akan mengalami deposisi (Junaidi, 2004).
Pada sat yang bersamaan juga tejadi pengaktivan enzim nitrat oksida
sintase (NOS), yang menyebabkan terbentuknya molekul gas, nitrat oksida
(NO). Dalam jumlah berlebihan, NO dapat menyebabkan kerusakan dan
kematian neuron (Hartwig, 2014)
Akibat penurunan Cerebral blood flow (CBF) regional daerah otak
terisolasi dari jangkauan aliran darah, yang mengangkut oksigen dan glukosa
yang sangat diperlukan untuk metabolisme oksidatif serebral. Jika CBF regional
tersumbat secara parsial, disebut daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: (1)
tekanan perfusi yang rendah, (2) PO2 turun, (3) CO2 dan asam laktat tertimbun.
Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam daerah tersebut bekerjasama untuk
17
18
19
vaskuler
Pungsi lumbal dapat dilakukan bila ada indikasi khusus
MRI dilakukan untuk menentukan lesi patologik stroke secara lebih tajam
Neurosonografi dilakukan untuk mendeteksi adanya stenosis pembuluh darah
ekstrakranial dan intrakranial dalam membantu evaluasi diagnosti, etiologik,
terapi dan prognostik
Tanda utama stroke atau cerebrovascular accident (CVA) adalah
munculnya secara mendadak satu atau lebih defisit neurologik fokal. Gejala
umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan atau tungkai,
terutama di salah satu sisi tubuh; gangguan pengelihatan seperti pengelihatan
ganda atau kesulitan melihat pada satu atau dua mata; bingung mendadak;
tersandung selagi berjalan, pusing bergoyang, hilangnya keseimbangan dan
koordinasi; dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas (Hartwig, 2014).
Tanda dan gejala infark tergantung dari area vaskular yang terkena :
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior, gajala biasanya unilateral)
Lokasi tersering lesi ini adalah bifurkasio interna dan eksterna.Dapat
terjadi kebutaan satu mata (episodik dan disebut amaurosis fugaks) akibat
insufisiensi retinalis. Selain itu juga terjadi gejala sensorik dan motorik di
ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteri serebri media. Lesi dapat
terjadi di daerah arteri anterior dan media atau arteri serebri media, dengan
20
gejala mula mula timbul di ekstremitas atas (misalnya, tangan lemah dan
baal) dan mungkin mengenai wajah (kelumpuhan tipe supranukleus). Apabila
lesi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif karena keterlibatan
daerah bicara-motorik broca (Hartwig, 2014).
2. Arteri serebri media (tersering)
Infark yang terjadi pada arteri serebri media dibagi lagi menurut
percabangan yang terkena, yaitu sebagai berikut : (Junaidi, 2004)
- Infark arteri parietal anterior kiri dengan gangguan hemisensoris kanan
- Infark arteri temporooccipital atau temporal kiri : afasia wernickes dan atau
hemianospia kanan
- Infark arteri presentral kiri : afasia motor transcortical dengan paresis
anggota gerak atas kanan, kesulitan pergantian secara mulus dari satu
anggota gerak ke anggota gerak lain (sindrom premotor lurias)
- Infark arteri sulkus sentralis kiri (disartria,afasia broca dengan sindroma
opercular motor)
- Infark cabang temporal kanan : kebingungan akut menetap dengan gangguan
lapang pandang kiri
Gejala yang terlihat pada infark serebri media antara lain gangguan
rasa di daerah muka/wajah sesisi atau disertai gangguan rasa di lengan dan
tungkai sesisi; kelumpuhan pada lengan atau tungkai yang bersifat ringan
sampai berat (hemiparesis/hemiplegi); gangguan pengelihatan dapat berupa
kebutaan satu sisi atau seluruh lapangan pandang (hemianopsia), kesadaran
menurun;
tidak
mengenal
orang
yang
sebelumnya
dikenalnya
(prosopragnosia; mulut perot; tidak dapat memdedakan antara sisi kiri dan
kanan (Harsono, 2011). Selain itu juga dapat terjadi gejala afasia global,
21
yaitu apabila hemisfer dominan terkena atau gangguan semua fungsi yang
berkaitan dengan berbicara (Hartwig, 2014).
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
Pada infark di daerah arteri serebri anterior, terjadi kelumpuhan
salah satu tungkai dan gangguan saraf perasa, serta gangguan dalam
mengungkapkan
maksud
Selain
itu
dapat
terjadi
defisit
sensorik
22
penatalaksanaan
umum
stroke,
konsensus
nasional
Bebaskan jalan napas dan usahakan ventilasi adekuat, bila perlu berikan
intermitten
Penatalaksanaan tekanan darah dilakukan secara khusus
Hiperglikemia atau hipoglikemia harus dikoreksi
Suhu tubuh harus dipertahankan normal
Nutrisi per oral hanya boleh diberikan setelah hasi; tes fungsi menelan baik,
bila terdapat gangguan menelan atau penderita dengan kesadaran menurun
terapi
khusus
stroke
iskemik
akut
adalah
untuk
tahun. Hingga 15% pasien dengan stroke pertama kali memiliki riwayat TIA
(Gisnberg, 2005).
Secara keseluruhan, mortalitas pada 30 hari pertama adalah 8,9% dan
dalam 1 tahun adalah 21%. Dari keseluruhan pasien yang meninggal pada 30
hari pertama, 35% mengalami paling sedikit 1 komplikasi di rumah sakit
(Ingemanet al., 2011). Mengingat statistik suram dan tingginya biaya
pengobatan stroke, prioritas tinggi harus diberikan kepada strategi pencegahan
(World Health Association, 2004).
2.1.9 Pencegahan
Terdapat dua metode pendekatan pada pencegahan stroke, yaitu
pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah
mencegah dan mengobati faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Sebagai
contoh adalah memberikan perhatian pada pemantauan dan terapi hipertensi
serta penatalaksanaan diabetes dengan baik. Hal yang dapat dilakukan yaitu
mengurangi perilaku berisiko bagi seluruh populasi serta meminimalisir
insiden stroke pada orang orang yang berisiko tingggi. Pendekatan kedua
adalah pendekatan primer, dimana pencegahan ini bertujuan untuk mencegah
kekambuhan stroke (Hartwig, 2004).
2.1.10 Derajat Stroke
Keparahan
stroke
diukur
secara
rutin,
dengan
27
secara
klinis
untuk
mengevaluasi
dan
28
Menurut sebuah studi, lama rawatan pada pasien stroke iskemik akut
berhubungan dengan derajat stroke, subtipe dan faktor risiko. Oxfordshide
Community Stroke Project (OCSP) mengklasifikasikan subtipe stroke berdasarkan
lokasi vaskuler, yang sangat berkaitan dengan faktor risiko, outcome dan
rekurensi. Lama rawatan pada stroke iskemik yang pertama kali terjadi memiliki
lama rawatan yang lebih panjang dibandingkan dengan yang sudah pernah
mendapat stroke sebelumnya (16 vs 12,5). Faktor risiko lain yang mempengaruhi
stroke iskemik adalah usia lebih dari 65 tahun, diabetes melitus, atrial fibrilasi,
subtipe stroke dan terapi yang diterima. Menghindari komplikasi setelah terserang
stroke iskemik akan meningkatkan kesehatan pasien dan mengurangi lama
rawatan (Yuang et al, 2013).
2.2 Albumin
Albumin berasal dari bahasa Latin, yaitu albus yang berarti putih.
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia.
Berat molekul albumin 69.000 dan struktur primernya terdiri dari 610 asam
amino. Karena jumlahnya paling banyak dan besar molekulnya tergolong
osmotic substance (75-80% efek osmotik plasma) yang ikut mengatur
distribusi cairan tubuh (Hardjasasmita, 2009). Albumin manusia yang matur
terdiri atas satu rantai polipeptida yang tersusun dari 585 asam amino dan
mengandung 17 buah ikatan disulfida (Rand & Murray, 2009).
Kadar albumin serum merupakan salah satu parameter yang
mencerminkan status kesehatan umum seseorang. Albumin adalah protein
29
utama plasma manusia yang meliputi sekitar 60% dari total protein plasma.
Sekitar 40% dari albumin terdapat pada plasma dan sisanya terdapat pada ruang
ekstraseluler (Singh et al., 2012). Kira kira 5% albumin meninggalkan darah
setiap jam, dan dikembalikan ke dalam limfe melalui ductus thoraksikus
(Hardjasasmita, 2009).
Albumin adalah protein yang diproduksi oleh hati. Albumin serum
dapat menunjukkan berapa kadar albumin di dalam darah (American kidney
lung, 2010; Singh, P. et al, 2012). Hati menghasilkan sekitar 12 g albumin per
hari, yang mewakili sekitar 25% dari total sintesis protein di hati dan
setengahnya akan di sekresikan. Albumin pada awalnya disintesis sebagain
preproprotein. Sinyal peptida dipindahkan ketika melewati bagian dalam
sisternae dari retikulum endoplasma kasar dan hexapeptida pada ujung terminal
dari amino yang dihasilkan itu dipecah lebih lanjut di sepanjang jalur sekresi
(Rand & Murray, 2003; Singh et al., 2012). Coloid Osmotic Pressure (COP)
dalam hati dianggap sebagai faktor yang mengatur sintesis albumin dan dapat
ditekan oleh pasokan substansi eksogen yang mempengaruhi COP baik koloid
alami maupun sintetik (Boldt, 2010).
Albumin merupakan koloid alami yang juga dapat digunakan dalam
pengaturan hipovolemia. Albumin memiliki berat molekul 66.500 dalton.
Dalam studi Saline verses Albumin Fluid Evaluation (SAFE), albumin serum
manusia dinilai sama efektifnya dengan larutan saline normal yang digunakan
untuk ekspansi volume. Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa albumin
serum manusia meningkatkan angka kematian pada pasien perawatan di ruang
ICU dengan sepsis berat. Hal ini menerangkan bahwa penggunaan albumin
30
hati merupakan lokasi primer untuk sintesis albumin, apabila terjadi kegagalan
hati yang menyebabkan hilangnya lebih dari 75% dari fungsi hepar maka akan
menyebabkan hipoalbuminemia. Pasien dengan komponen inflamasi akibat
penyakit hati yang diderita juga akan menyebabkan menurunnya produksi
albumin, karena sifatnya sebagai protein pada fase akut. Pada pasien dengan
sirosis dan hipertensi portal dengan asites, sintesis albumin mungkin tidak
langsung disekresi ke sirkulasi sistemik dan karena itu kadar albumin serum
tidak dapat diukur. Sebaliknya, sebagian besar albumin yang baru disintesis
tersebut akan keluar dari kompartemen intravaskuler pada cairan asites. Dari
hipotesis peneliti, protein meninggalkan parenkim hati dan memasuki cairan
peritoneal melalui eksudasi pada kapsul hati atau melalui limfatik (Singh et al.,
2012).
2.3 Hubungan albumin serum dengan stroke iskemik akut
Protein dan albumin serum yang rendah merupakan penanda
kekurangan gizi dan juga berkaitan dengan gangguan status fungsional, hasil
pengobatan yang buruk dan tingginya angka mortalitas. Namun, perannya
sebagai penanda kekurangan gizi pada stroke masih kontroversial karena stroke
merupakan penyakit kritis, yang memungkinkan terjadinya peradangan,
sehingga dapat meningkatkan pengeluaran energi dan katabolisme otot yang
dapat menurunkan tingkat sirkulasi protein. Oleh karena itu, sering tidak jelas
apakah tingkat protein yang rendah pada pasien dengan stroke terjadi akibat
kekurangan gizi atau peradangan. Namun pada pasien dengan stroke akut,
32
hanya
infark dan mengurangi tiga-perempat edema otak atau lebih bila digunakan
sesuai jendela terapi dengan keberhasilan sampai empat jam, memperbaiki
edema otak, meningkatkan aliran darah ke daerah otak yang mengalami krisis
perfusi, meningkatkan perfusi mikrovaskuler, mengurangi adhesi elemen darah
pasca iskemik dan membantu mengangkut asam lemak bebas yang penting
setelah iskemia berakhir (Ginsberg, 2010; Babu et al., 2013). Komponen
neuroprotektif albumin serum pada stroke iskemik juga terletak pada efek yang
berlawanan daripada stagnansi, trombosis, dan adhesi leukosit dengan
mikrosirkulasi post kapiler pada awal masa reperfusi (Dziedzic et al., 2004).
Penelitian lain menyebutkan bahwa, terapi dengan albumin serum
dapat meningkatkan fungsi saraf dan sangat nyata menurunkan volume dari
infark serebral dan mengeleminasi edema otak pada percobaan hewan dengan
stroke iskemik akut ketika diberikan dosis 0,63 atau 1,25 g/kg. Dosis tersebut
diterima secara potensial dapat diaplikasikan pada pasien secara klinis.
Pemberian albumin serum dengan dosis sesuai jendela terapi sangat efektif
walaupun pada 4 jam setelah serangan stroke. Iskemia fokal menginduksi fungsi
sawar darah otak sehingga albumin dapat masuk ke dalam parenkim otak,
dimana albumin tersebut diambil oleh neuron kortikal dengan morfologi
normal, sehingga di perkirakan albumin melindungi neuron-neuron tersebut dari
kerusakan akibat iskemia (Belayev et al.,2011).
O dan
Glukosa
Stroke Iskemik
Akut
Hipoperfusi
Serebral
ATP
Statu
s
Nutri
Penyakit
34 penyert
a
Calsium
intrasel
Laktat
Edema
Sitotoksik
Glutamat
Aktivita
s
Pompa
Na/K
ATPase
Aktivitas
Lipase
Album
in
Serum
NOS
Kerusakan Sel
Kerusaka
n
Membran
Sel
Proses
Inflamasi
Nekrosis
Derajat Stroke
Lama Rawatan
Komplikasi
Deskripsi
Pada stroke iskemik akut terjadi hipoperfusi serebral akibat aliran darah menuju otak
yang berkurang atau berhenti. Akibatnya oksigen dan glukosa yang seharusnya
didistribusikan ke sel-sel otak menjadi berkurang atau bahkan tidak ada. Hal ini
memicu terjadinya metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat. Selain juga
terjadi berkurangnya pembentukan ATP, sehingga mengaktifkan pompa Na/K ATPase
35
dan terjadi influks kalsium yang berlebihan ke dalam sel neuron. Peningkatan kadar
kalsium dan laktat akan menyebabkan terjadi edema sitotoksik. Edema tersebut
menstimulasi produksi glutamat yang berlebihan. Semakin banyak produksi glutamat
juga ikut serta memperbanyak infuks kalsium dan memperparah edema. Pada saat
bersamaan juga ikut diaktifkan enzim Nitrat Oksida Sintase (NOS) yang
memproduksi Nitrit Oksida (NO) dan terjadilah kerusakan sel ireversibel dan
nekrosis sel. Ketika edema sitotoksik terjadi, aktivitas lipase meningkat dan hal ini
akan turut serta menyebabkan kerusakan membran sel dan meningkatkan proses
inflamasi sehingga terjadi kerusakan sel. Pada daerah sekitarnya, masih dapat terjadi
perbaikan fungsi bila segera terjadi reperfusi. Disinilah peran albumin serum sebagai
neuroprotektor yang menghambat terjadinya kerusakan sel. Semakin banyak daerah
yang mengalami kerusakan, semakin berat derajat stroke. Derajat stroke juga
berkorelasi dengan adanya komplikasi penyerta. Hal ini akan semakin menambah
panjang lama rawatan.
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Variabel bebas
Variabel terikat
Lama
rawatan
Kadar
albumin
Usia
Komplikasi
Derajat stroke
36
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik, dengan desain studi
potong lintang (Crossectional study).
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di bangsal penyakit saraf Rumah Sakit dr. M Jamil
Padang selama enam bulan pada bulan Maret sampai September 2015
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh pasien stroke iskemik akut yang dirawat inap di
bangsal penyakit saraf Rumah Sakit Dr M Jamil Padang
37
Sampel adalah seluruh populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
yang dihitung berdasarkan rumus sampel
4.3.1 Kriteria Sampel
4.3.1.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien yang didiagnosis stroke iskemik akut dalam 24 jam berdasarkan
penilaian dari dokter spesialis saraf
2. Pasien yang menjalani rawat inap di bangsal penyakit saraf Rumah Sakit Dr
M Djamil Padang dan tidak pulang sebelum mendapat persetujuan dokter
3. Pasien yang setuju untuk ikut serta dalam penelitian
4.3.1.2Kriteria eksklusi
1. Pasien dengan data rekam medis tidak lengkap
2. Pasien yang meninggal pada saat penelitian dilakukan
3. Pasien yang meminta untuk dipulangkan secara paksa oleh karena berbagai
sebab tertentu selain medis
4. Pasien yang memiliki penyakit infeksi sebelum dirawat di bangsal penyakit
saraf oleh karena stroke
4.3.2 Besar Sampel
Pasien stroke iskemik akut yang dirawat inap di bangsal Neuro Rumah Sakit
Dr M Jamil Padang. Sampel diambil semua populasi yang memenuhi kriterian inklusi
dan ekslusi sampai memenuhi besar sampel. Sampel dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut :
38
n=
+3 =
+3=
+3 = 43
: Jumlah Sampel
: Kesalahan I = 5% (1,64)
Variabel terkontrol
Variabel perancu
Hasil ukur
Skala ukur
: Nominal
39
2. Albumin Serum adalah protein plasma yang dibentuk di hepar, sekitar 60% dari
total plasma. Kadar albumin serum yang diambil dari penelitian ini adalah nilai
albumin yang didapatkan pada saat pasien pertama kali didiagnosis menderita
stroke iskemik akut dan dirawat di bangsal penyakit saraf Rumah Sakit Dr M
Djamil Padang. Kadar albumin serum normal adalah 3,5 - 5,5 g/dl.
Hypoalbuminemia dikaterorikan jika pasien memiliki kadar albumin serum <3,5
g/dl
Cara ukur : Observasi rekam medis
Hasil ukur : g/dl
Skala ukur : Rasio
3. Lama rawatan pasien stroke akut
Adalah lama pasien menjalani rawat inap di bangsal RSUP Dr M jamil yang
dihitung sejak awal pasien masuk hingga diizinkan pulang oleh dokter spesialis
saraf.
Cara ukur : Observasi
Hasil ukur : Jumlah hari
Skala ukur : Nominal
4. Derajat Stroke
Adalah tingkat keparahan stroke yang diukur secara rutin dengan
menggunakan skala nilai kerusakan yang terjadi pada stroke
akut. Penilaian derajat stroke dilakukan dengan menggunakan NIHSS (The
National Institutes of Health Stroke Scale) skor. Skor ini sangat memprediksi
40
Pasien didiagnosis stroke iskemik akut dan dirawat di bangsal penyakit saraf
Olah data
4.7 Cara Pengolahan dan Analisis Data
4.7.1 Pengolahan data
Data diambil dari rekam medis dan ditabulasi serta dideskripsikan dalam
bentuk karakteristik analisis data.
4.7.2 Analisis Data
Data yang telah diolah akan dianalisis secara komputerisasi dengancara :
1. Analisis Univariat
Analisis yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis ini menghasilkan distribusi
frekuensi dan presentase tiap variabel
2. Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk menentukan hubungan terhadap dua
variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Hubungan antara kadar
albumin dan lama rawatan diuji dengan uji pearson dengan nilai p<0,05
dianggap bermakna secara statistik. Hubungan derajat stroke dengan lama
rawatan diuji dengan uji spearman dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna
secara statistik.
42
DAFTAR PUSTAKA
Adi PR. (2014). Pencegahan dan penatalaksanaan aterosklerosis. Dalam : Setiatati S,
Adwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (Eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta. Interna Publishing. Hal : 1427-8
Ahn SM, Byun K, Cho K, Kim JY, Yoo JS, Kim D et al. (2008). Human Microglial
Cell Synthesize Albumin In Brain. Plosone, 3(7): 2829
American Heart Asoociation. (2014). Heart disease and stroke statistics. Diakses
dari
:http://circ.ahajournals.org/content/early/2013/12/18/01.cir.0000441139.02102
.80 tanggal 12 februari 2015
Babu MS, Kaul S, Dadheech S, Rajeshwar K, Jyoth A, Munshi A, et al. (2013).
Serum albumin levels in ischemic stroke and its subtypes: Correlation with
clinical outcome. Nutrition, 29:8725
Belayev L, Liu Y, Zhao W, Busto R, Ginsberg MD. (2001). Human albumin therapy
of acute ischemic stroke marked neuroprotective efficacy at moderate doses
and with abroad therapeutic window. Stroke,32:553-60
Blackburn M, Ratliff P, Short M. (2014). A comparative retrospective analysis of
mortality, renal dysfunction, and incidence of bleeding in patients receiving
hydroxyethyl starch 130/0.4 (HES 130/0.4) or albumin. Open Journal of
Thoracic Surgery, 4; 66-73.
Boldt J. (2010). Use of albumin: an update. British Journal of Anaesthesia, 104 (3);
276-84
Bouziana SD, Tziomalos K. (2011) .Malnutrition in patients with acute stroke.
Hindawi Publishing Corporation Journal of Nutrition and Metabolim, 2011:
ArticleID167898
43
Brown CT. (2014). Penyakit aterosklerotik koroner. Dalam : Price SA, Wilson LM
(Eds). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6. Jakarta.
EGC. Hal : 576
Bushnell CD, Johnston DC, Goldstein LB. (2001). Retrospective Assessment of
Initial Stroke Severity Comparis; on of the NIH Stroke Scale and the
Canadian Neurological Scale. Stroke, 32:656-60
Crary MA, Humphrey JL, Mann GC, Sambandam R, Miller L, Silliman S. (2012).
Dysphagia, Nutrition, and Hydration in Ischemic Stroke Patients at Admission
and Discharge from Acute Care. Dysphagia, DOI10.1007/s00455-012-9414-0
Dziedzic T, Pera J, Slowik A, Gryz-Kurek EA, Szczudlik A. (2007).
Hypoalbuminemia in acute ischemic stroke patients: Frequency and
correlates. European Journal of Clinical Nutrition, 61:131822
Dziedzic T, Slowik A, Szczudlik A. (2004). Serum albumin level as a predictor of
ischemic stroke outcome. Stroke, 35:156-8
Ennen KA. (2004). Knowledge Of Stroke Warning Symptoms And Risk Factors:
Variations By Rural And Urban Categorie. Chicago, University of Illinois.
Thesis
Geyer JD, Gomez CR, Sheepard AR, Akhtar N, Brandstater ME. (2009). Modifiable
risk factor associated with stroke. Dalam: Geyer JD, Gomez CR (Eds). Stroke:
A practical approach. Philadelphia. Lippincot williams & wilkins. Hal: 15-8
Giensberg MD, Palesch YY, Martin RH, Hill MD. (2010).The albumin in acute stroke
(ALIAS) multicenter clinical trial: safety analysis of part 1 and rationale and
design of part 2. Stroke, 42:119-27
Ginsberg L.(2010). Stroke. Dalam: Lecture Notes: Neurologi 9th ed. Chicester.
Blackwell Publishing. Hal : 81-4
Hardjasasmita P. (2009). Darah dan cairan serebrospinal. Dalam : Ikhtisar biokimia
dasar A. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal : 108
Hartono A. (2006). Dalam :Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit edisi 2. Jakarta. EGC
Hartwig MS. (2014). Penyakit Serebrovaskular. Dalam : Price SA, Wilson LM (Eds).
Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6. Jakarta. EGC.
Hal :1112-9
Harsono. (2011). Faktor risiko GPDO. Dalam : Buku ajar neurologi klinis.
Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Hal : 59-66
44
Harsono. (2011). Tanda-tanda dini GPDO. Dalam : Buku ajar neurologi klinis.
Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Hal : 67-70
Hinkle J, Guanci M. (2007). Acute Ischemic Stroke Review. Journal of Neuroscience
Nursing, 39(5): 285-310.
Ingeman A, Andersen G, Hundborg HH, Svendsen ML. (2011). In hospital medical
complications, length of stay, and mortality among stroke unit patients.
Stroke,42: 3214-8
Jin S, Grant B, Joshi M, Kelly B. (2004). Admission Serum Albumin Is A Predictive
of Outcome In Critically ill Trauma Patients. The American Surgeon, 70
(12):1099
Junaidi I. (2004). Stroke. Dalam :. Panduan praktis pencegahan dan pengobatan
stroke. Jakarta. PT. Bhuana Ilmu Populer. Hal : 9-14
Junaidi I. (2004). Stroke Iskemik. Dalam : Panduan praktis pencegahan dan
pengobatan stroke. Jakarta. PT. Bhuana Ilmu Populer. Hal : 85-115
Junaidi I (2004). Penatalaksanaan Stroke iskemik. Dalam : Panduan praktis
pencegahan dan pengobatan stroke. Jakarta. PT. Bhuana Ilmu Populer. Hal :
136-40
Kementrian Kesehatan RI. (2012). Buletin Jendela data dan Informasi Kesehatan:
Penyakit Tidak Menular. Diunduh dari www.depkes.go.id/download.php?
file=download tanggal 12 februari 2015
Lumbantobing SM. (2004). Stroke. Dalam :. Neurogeriatri. Jakarta. Balai penerbit
FKUI. Hal : 95-125
Mardjono M, Sidharta P. (2013). Mekanisme gangguan vaskular susunan saraf.
Dalam : Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian Rakyat. Hal : 274-90
Marsh JD, Keyrouz SG. (2010). Stroke Prevention and Treatment. Journal of the
American College of Cardiology, 56(9):doi:10.1016/j.jacc.2009.12.072
Martineau J, Bauer JD, Isenring E, Sarah. (2005). Malnutrition determined by the
patient-generated subjective global assessment is associated with poor
outcomes in acute stroke patients. Clinical Nutrition,24(6):1073-7.
Miyake M, Ogawa Y, Yoshida Y, Imaki M. (2011). Seven-year large cohort study for
the association of serum albumin level and aging among community dwelling
elderly. Analytical Bio-science. 34(4)
45
46