Anda di halaman 1dari 8

Laporan Praktikum Ke-1

Hari, tanggal : Rabu, 11 Maret 2015

M.K. Biometeorologi

Asisten

1. Indy Harist Sandy (G24100020)


2. Erika Nursandi

(G24110031)

3. Atu Fathia Miraj (G24110060)

PEMETAAN TINGKAT KERAWANAN PENYAKIT DBD DI JAWA


BARAT DAN DKI JAKARTA

Oleh :
Siti Lailatul Fauziyah

(G24120026)

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

HASIL DAN PEMBAHASAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan


di wilayah tropis.Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat di Indonesia dan angka kematian DBD selalu meningkat
dari tahun ke tahun. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD terjadi setiap 5 tahun, tetapi
kini semakin sering, bahkan ada beberapa kota terjadi KLB setiap tahun. Terdapat
16 propinsi yang dilaporkan sering mengalami KLB. Propinsi yang kabupatennya
paling banyak mengalami KLB DBD adalah Jawa Barat (Salim et al 2011).
Demam berdarah atau DBD adalah penyakit febril akut yang ditemukan di daerah
tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Penyakit ini
disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili
Flaviviridae. Setiap serotipe cukup berbeda sehingga tidak ada proteksi-silang dan
wabah yang disebabkan beberapa serotipe (hiperendemisitas) dapat terjadi. DBD
disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti. Faktor yang dianggap
dapat memicu kejadian DBD adalah lingkungan dan perilaku (Sari 2005 dalam
Gama & Betty 2010). Hasil Penyelidikan Epidemiologi (PE) sebagian besar
penderita sebelum sakit (18 kasus) habis bepergian ke kota kota endemis DBD
seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, dan Semarang. Pengaruh mobilitas
penduduk yang tinggi merupakan salah satu pembawa dampak masuknya DBD ke
suatu daerah (Hartanto 2007 dalam Gama & Betty 2010). Hal ini sesuai dengan
Suyasa (2006) dalam Gama & Betty (2010), ada hubungan antara mobilitas
penduduk dengan keberadaan vektor DBD dengan nilai koefisien kontingensi
sebesar 0,235.
Klasifikasi iklim Koppen merupakan klasifikasi utama yang berdasarkan
pada hubungan antara iklim dan pertumbuhan vegetasi. Dasar klasifikasi ini
adalah suhu dan hujan rata-rata bulanan maupun tahunan yang dihubungkan
dengan keadaan vegetasi alami berdasarkan peta vegetasi De Candolle (1874).
Klasifikasi iklim Koppen disusun berdasarkan lambang atau simbol yang
merumuskan sifat dan corak masing-masing tipe hanya dengan tanda yang terdiri
dari kombinasi huruf. Berdasarkan dua kombinasi huruf pertama, maka ada 12
tipe iklim menurut klasifikasi Koppen.

Salah satu diantara klasifikasi tersebut yaitu: Daerah lklim Hujan Tropik (Af, Aw,
Am) (Nurhayati et al 2010). Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling
beragam baik menurut waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor
penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum. Oleh karena
itu, klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara umumnya)
seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria
utama (UNS 2015). Koppen menilai bahwa daya guna hujan terhadap
perkembangan dan pertumbuhan tanaman tidak hanya tergantung pada jumlah
curah hujan tetapi juga intensitas penguapan, baik dari tanah maupun tanaman.
Oleh karena ini Koppen berusaha menunjukkan intensitas penguapan dan daya
guna hujan adalah dengan menggabungkan temperatur dan hujan. Musim hujan
sama, jatuh pada musim panas adalah kurang berguna dibanding jatuh pada
musim dingin (UGM 2015).
Zonasi dan pemetaan penyakit atau masalah kesehatan lainnya
(epidemiologi spasial) khususnya di Indonesia masih belum populer. Peta sebaran
geografis penyakit sangat berguna untuk mempelajari hubungan antara iklim /
cuaca dengan penyakit atau masalah kesehatan lain secara empirik (Trom 1980
dalam Hidayati et al 2009). Bentuk sebaran dan nilai peluang angka kejadian
penyakit DBD (IR) diperlukan untuk menentukan berat ringannya kejadian
penyakit DBD bulanan pada setiap kabupaten. Tingkat Kerawanan wilayah
terhadap kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia
ditentukan berdasarkan data kejadian penyakit DBD dalam 3 tahun berturut-turut.
Kategori daerah Endemik diterapkan untuk suatu daerah apabila di daerah tersebut
dalam 3 tahun berturut-turut terjadi serangan penyakit DBD. Daerah sporadis
apabila terjadinya serangan tidak berturutan dalam 3 tahun (skala data tahunan)
dan daerah potensial DB apabila tidak terjadi serangan dalam 3 tahun terakhir
(Anonim1999 dalam Hidayati et al 2009). Penentuan Indeks kerawanan Wilayah
terhadap kejadian penyakit DBD didasarkan pada data IR (angka kejadian
penyakit) bulanan gabungan dari seluruh kabupaten pada seluruh tahun
pengamatan. Penentuan Tingkat Kerawanan bulanan wilayah DTII dilakukan
berdasarkan nilai IK (Indeks Kerawanan).

Kisaran seluruh nilai IK dikelompokkan menjadi 6 tingkatan endemik/kerawanan


yakni: selang kisaran terendah (IK=0) dikategorikan kedalam tingkat aman
(tingkat 0). Untuk nilai IK>0 dikategorikan ke dalam lima tingkat kerawanan,
meliputi tingkat agak aman (tingkat 1), agak rawan atau daerah endemik ringan
(tingkat 2), rawan atau daerah endemik sedang (tingkat 3), sangat rawan atau
daerah endemik berat (tingkat 4), dan amat sangat rawan atau daerah endemik
sangat berat atau hiperendemik (tingkat 5). Nilai IR bulanan pada setiap DTII
ditetapkan ke dalam kategori ringan, sedang, atau berat. Kejadian setiap kategori
dijumlahkan sehingga diperoleh jumlah kejadian dengan kategori ringan, sedang,
dan berat untuk bulan Januari, Pebruari, dan seterusnya hingga Desember pada
tiap kabupaten. Dalam penentuan indeks kerentanan, jumlah kejadian ringan,
sedang, dan berat tersebut dipergunakan untuk menghitung proporsi kejadian
ringan (Fr), sedang (Fs) dan berat (Fb), yaitu dengan membagi jumlah masingmasing kejadian dengan jumlah tahun pengamatan di mana IR >0.
Wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta merupakan wilayah dengan tingkat
kerawanan cukup tinggi. Perbaningan tingkat kerawanan terlihat seperti gambar di
bawah ini (Gambar 1 dan Gambar 2). Tingkat kerawanan Jawa Barat lebih dari
separuhnya berada pada tipe AA (Agak Aman) yakni sekitar 67%, sedangkan
tingkat keamanan A (Aman) berkisar 19% dan AR (Agak Rentan) sekitar 14%
(Gambar 1). Hal ini berarti bahwa daerah Jawa Barat berada pada tingkat
keamanan yang labil dan berpotensi terancam DBD. Tingkat kerawanan DKI
Jakarta bahkan lebih miris persentasenya, sebab hampir 60% berada pada tipe R
(Rentan) dan 40% berada pada tipe SR (Sangat Rentan) (Gambar 2). Hal ini
berarti bahwa daerah DKI Jakarta sama sekali tidak aman sebab tipe A, AA dan
AR mencapai 0%. Artinya, tidak ada lagi wilayah yang bebas dari wabah DBD
karena seluruh wilayah DKI Jakarta terancam dan rentan terhadap sebaran
penyakit DBD.

TINGKAT KERAWANAN
DKI JAKARTA

TINGKAT KERAWANAN
JAWA BARAT
AR
14%

A
19%

SR
40%

AA
AR
A
0%

AA
67%

R
60%

Gambar 1 Tingkat kerawanan wilayah

Gambar 2 Tingkat kerawanan wilayah

Jawa Barat

DKI Jakarta

Keterangan : Tingkat Kerawanan


A

: Aman

: Rentan

AA

: Agak aman

SR

: Sangat Rentan

AR

: Agak Rentan

Sebaran DBD bergantung pada berbagai faktor, salah satunya iklim.


Klasifikasi Iklim Koppen pada wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta dapat dilihat
perbandingannya pada gambar di bawah ini (Gambar 3 dan 4). Koppen Jawa
Barat didominasi oleh tipe AF sekitar 57%. Sedangkan iklim tipe AM berkisar
38% dan sisanya, tipe AW sekitar 5%. Hal ini menunjukkan bahwa daerah Jawa
Barat beriklim panas hujan tropis pada hampir sebagian besar wilayahnya.
Meskipun begitu, periode antar musim daerah Jawa Barat hanya sekejap, tidak
berlangsung lama dan musim dingin jarang terjadi. Sedangkan di wilayah DKI
Jakarta, tipe iklim di sebagian besar wilayah didominasi antarmusim yang
berlangsung cukup lama. Sedangkan sisanya, beralngsung iklim panas hujan
tropis dan tidak ada musim kering.

KOPPEN JAWA BARAT

KOPPEN DKI JAKARTA

AW
5%
AF
57%

AF AW
20%0%

AM
38%

AM
80%

Gambar 3 Klasifikasi iklim Koppen

Gambar 4 Klasifikasi iklim Koppen

wilayah Jawa Barat

wilayah DKI Jakarta

Keterangan : Klasifikasi iklim koppen


Aw

: Iklim savana dengan musim dingin kering

Am

: Iklim antaranya, musim kering hanya sebentar

Af

: Iklim panas hujan tropis

Kejadian DBD meningkat secara dramatik, dengan banyak pusat kota


menjadi daerah endemik baru. Berlanjutnya kecenderungan pertambahan
penduduk, meningkatnya kepadatan penduduk di pusat kota, dan bertambahnya
volume kunjungan internasional, berkombinasi dengan kontrol vektor yang
kurang efektif, memberi peluang cepatnya evolusi virus (Hay et al 2006 dalam
Hidayati et al 2009). Daerah dengan pola kerentanan serupa tidak menyebar pada
daerah dengan sifat geografik yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa banyak
faktor lain yang berpengaruh pada pola tingkat endemik bulanan selain faktor
geografis. Perubahan iklim juga diduga menjadi salah satu penyebab peningkatan
kasus penyakit DBD (Reiter 2001 dalam Hidayati et al 2009).

KESIMPULAN
DBD merupakan penyakit yang dikategorikan sebagai KLB bahkan
hampir setiap tahun. Lebih dari 16 propinsi di Indonesia yang dikategorikan
sebagai daerah endemik DBD, diantaranya Jawa Barat dan DKI Jakarta. Wilayah
Jawa Barat tingkat kerawanannya dikategorikan Agak Aman (AA), lebih rendah
dibanding DKI Jakarta yang memiliki kerawanan tinggi, yakni Rentan (R).

Hal ini erat kaitannya dengan tipe iklim Koppen di daerah DKI Jakarta yakni Am
(antarmusim), dibanding daerah Jawa Barat yang didominasi tipe iklim Af (Iklim
panas).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1999. Data Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue


tahun 1999. Dirjen PPM dan PL DepKes-Kesos RI. 2000.
Gama, Azizah T & Betty, Faizah R. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian
Demam Berdarah Dengue di Desa Mojosongo, Kabupaten Boyolali.
Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi Oktober 2010.
Hartanto,

D.

2007.

Waspada

Demam

Berdarah.

http://www.dinkespurworejo.go.id/ index.php (September 2009)


Hay,

I.S.

2006.Etiology

of

interepidemic

periods

of

Mosquito-Borne

Disease.PNAS. 2000. 97(16): 9335-9339.


Hidayati, Rini et al. 2009. Penyusunan Metode Penentuan Indeks Kerawanan
Wilayah dan Pemetaan Wilayah Rentan Penyakit Demam Berdarah di
Indonesia.Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 8 No 4, Desember 2009: 1066
10.
Nurhayati et al. 2010.Analisis Karakteristik Iklim untuk Optimalisasi Produksi
Kedelai di Provinsi Lampung.Laporan Akhir Pelaksanaan Program
Insentif PKPP Ristek 2010.
Reiter, P. 2001. Climate Change and Mosquito-Born Disease.Environmental
Health Perspectives. 2001,109(1):141-161.
Salim, Milana et al. 2010. Efektivitas Malathion dalam Pengendalian Vektor
DBD dan Uji Kerentanan Larva Aedes Aegypti terhadap TEMEPHOS di
Kota Palembang.Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 39, No.1, 2011: 1021.
Sari, Cut I.N. 2005. Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan Penyakit
Malaria dan Demam Berdarah Dengue. http://www.rudyct.com/PPS702ipb/09145/cut_ irsanya_ ns.pdf (September 2009)

Suyasa, Gede I.N. et al. 2006.Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku


Masyarakat dengan Keberadaan Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD)
di Wilayah Kerja Puskesmas I Denpasar Selatan.http://www.akademik.
unsri.

ac.id/download/

journal/files

/udejournal/

suyasa_pdf.pdf

(September 2009)
Tromp, S.W. 1980. Biometeorology, The Impact of the Weather and Climate on
Humans and their Environment (Animal and Plant).London: Heyden &
Sons Ltd.
UGM. 2015. Variasi Iklim, Klimatologi Dasar. faperta.ugm.ac.id (17 Maret 2015)
UNS.2015. Klasifikasi Iklim.Jurnal Tanah dan Iklim 27: 11-12.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai