Anda di halaman 1dari 16

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN KEBIJAKAN

BAB I
PENDAHULUAN
Sebuah organisasi adalah wadah bagi beroperasinya manajemen. Di sini aktivitas
manajemen menjadi salah satu subsistem dari sistem organisasi. Manajemen menjadi tehnik
atau alat yang menggerakkan organisasi menuju tercapainya tujuan yang diinginkan. Dalam
konteks tugas manajer, pengambilan keputusan merupakan salah satu peranan manajer yang
disebut peranan desisional (winardi, 1990). Dalam menentukan tindakan manajerial seorang
manajer di tuntut untuk berani mengambil keputusan baik atas pertimbangan individu dengan
kewenangannya sebagai pimpinan, maupun kaputusan dari hasil musyawarah dengan
memperhatikan pemikiran, perasaan atau masukan dari anggota organisasi.1[1]
Pembuatan (pengambilan) keputusan adalah bagian kunci kegiatan manajer. Kegiatan
ini memainkan peranan penting, terutama bila manajer melaksanakan fungsi perencanaan.
Perencanaan menyangkut keputusan-keputusan sangat penting dan jangka panjang yang
dapat di buat manajer. Dalam proses perencanaan, manajer memutuskan tujuan-tujuan
organisasi yang akan dicapai, sumber daya yang akan digunakan, dan siapa yang akan
melaksanakan setiap tugas yang dibutuhkan. Seluruh proses perencanaan itu melibatkan
manajer dalam serangkaian situasi pembuatan keputusan. Kualitas keputusan-keputusan
manajer akan menentukan efektivitas rencana yang disusun.2[2]
Pembuatan keputusan (decision making) menggambarkan proses melalui mana
serangkaian kegiatan dipilih sebagai penyelesaian suatu masalah tertentu. George P. Huber
membedakan pembuatan keputusan dari pembuatan pilihan (chocise making) dan dari
pemecahan masalah (problem solving).3[3]

1[1] Syafaruddin. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat


Press, 2005), h. 44
2[2] Handoko Hani. T. Manajemen, Edisi 2 (Yoguakarta: Anggota IKAPI, 2003), h.
129
3[3] George P. Huber, Managerial Decision Making, Scoott Foresman, Glenoiew,
III. h. 8

BAB II
PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN KEBIJAKAN
A. Pengambilan Keputusan
Para pakar manajemen talah banyak mengemukakan pendapatnya tentang
pengambilan keputusan dalam konteks manajemen. Sebagai dasar konseptual dalam
memahami apa sebenarnya pengambilan keputusan dalam aktivitas menajemen pada sebuah
organisasi.
Untuk

Untuk memberikan pemahaman tentang pengambilan keputusan, terlebih

dahulu dikemukakan pengertian pengambilan keputusan. Menurut Robins (1984)


pengambilan keputusan adalah : decesion marking is a process in which one chooses between
two or more alternatives. Pendapat ini menegaskan bahwa pengambilan keputusan sebagai
proses memilih satu pilihan di antara dua pilihan atau lebih alternatif. Pengambilan keputusan
adalah menetapkan alternatif secara nalar dan menghindari dari pilihan yang tidak rasional,
tanpa alasan atau data yang kurang akurat.4[4]
Pengambilan keputusan ialah proses memilih sejumlah alternatif. Pengambilan
keputusan penting bagi administrator pendidikan karena proses pengambilan keputusan
mempunyai peran penting dalam memotivasi, kepemimpinan, komunikasi, koordinasi, dan
perubahan organisasi. Setiap level administrasi sekolah mengambil keputusan secara
hierarkis. Keputusan yang diambil administrator berpengaruh terhadap pelanggan pendidikan
terutama peserta didik. Oleh karena itu, setiap administrator pendidikan harus memeilki
keterampilan mengambil keputusan secara cepat, tepat, efektif, dan efesien.5[5]
Pengambilan keputusan merupakan kegiatan yang selalu kita jumpai dalam setiap
kegiatan kepemimpinan. Bahkan dapat juga dikatakan, bagaimana cara pengambilan
keputusan yang dilalukan oleh seorang pemimpin menunjukkan bagaimana gaya
kepemimpinannya.

Dengan

demikian,

pengambilan

keputusan

merupakan

fungsi

4[4] Mesiono, Manajemen dan Organisasi, (Bandung: Citapustaka Media Perintis,


2010), h. 150
5[5] Husaini Usman, Manajemen, Edisi 3 (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 392

kepemimpinan yang turut menentukan proses dan tingkat keberhasilan kepemimpinan itu
sendiri.6[6]
Salah satu peranan strategis manajer atau pimpinan organisasi ialah peranan
pengambilan keputusan (decesional role). Bahkan menurut Harrison (1978) pengambilan
keputusan menjadi suatu bagian integral dari manajemen suatu organisasi. Lebih dari sekedar
itu, kompetisi, dalam aktivitas pengambilan keputusan ini membedakan seorang manajer dari
yang tidak manajer bahkan lebih dari pada itu, manajer yang baik dari pada yang biasa saja.
Dengan begitu, jelaslah bahwa pengambilan keputusan merupakan hal yang penting
untuk dilakukan dalam hubungannya dengan organisasi. Dalam menentukan alternatif untuk
menjadi sebuah keputusan dibutuhkan pertimbangan-pertimbangan sebelum jatuh pada
sebuah keputusan. Pada kondisi inilah dibutuhkan ketajaman analisis terhadap masalahmasalah yang dihadapi. Sehingga pengambilan keputusan itu memberikan keuntungankeuntungan dengan kemampuannya dalam memilih dan menetapkan alternatif.
Dalam Immegart dan Pilecki (1972:78) dikemukakan bagan subsistem aktivitas
pengambilan keputusan dalam organisasi sekolah sebagai berikut:

MasukanKeluaran
Situasi
masalah

Solusi
Masalah

Proses Pengambilan Keputusan


Di atas menjelaskan beberapa subsistem yang melingkari sistem aktivitas seperti
pengambilan keputusan. Setiap proses dari subsistem dalam kenyataannya merupakan realitas
dari input (masukan) dan output (keluaran) dalam sistem tersebut. Situasi masalah atau
masalah yang menjadi input (masukan) kepada subsistem pengumpulan data yang
berhubungan dengan masalah kemudian menjadi masukan kepada subsistem analisis data dan

6[6] Ngalim Purwanto, Administrasi dan Sepervisi Pendidikan (Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, 2006), h. 67

selanjutnya menjadi masukan kepada subsistem pemilihan keputusan di antara berbagai


alternatif sehingga muncul keluaran berupa alternatif solusi masalah.
Untuk itu, para manajer perlu memahami langkah-langkah pengambilan keputusan
sebagaimana dikemukakan oleh Mondy dan Premeaux (1995:113) yang terdiri dari lima
langkah berikut ini:
1.

Mengidentifikasi masalah atau peluang

2.

Membuat alternatif-alternatif

3.

Mengevaluasi alternatif

4.

Memiliki dan mengimplementasikan alternatif

5.

Mengavaluasi alternatif. 7[7]


Di sisi lain ada pula pembagian jenis keputusan berdasarkan masalah yang dihadapi,
yaitu:
a.

Keputusan yang diprogramkan (programmed decesion)


Keputusan ini adalah keputusan yang dibuat berdasarkan problem yang diketahui

secara baik (well structured problem) atau masalahnya diketahui secara jelas. Informasi juga
tersedia secara mencukupi untuk di gunakan dalam mengambil keputusan. Demikian pula
informasinya dapat dinilai relevansinya untuk mengambil keputusan. Fakta-fakta dan angkaangka serta data diolah untuk memberikan informasi yang bermakna sehingga keputusan bisa
diprogramkan.
b.

Keputusan yang tidak diprogramkan (Non-programmed decesion)


Adapun keputusan ini adalah keputusan yang diambil atau dibuat berdasarkan

masalah yang tidak diketahui secara jelas (ill-structured problem) atau data dan informasinya
kurang tersedia sebagaimana mestinya.8[8]

7[7] Syafaruddin dan Anzinzhan, Sitem Pengambilan Keputusan Pendidikan,


(Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 55-56
8[8] Syafaruddin. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat
Press, 2005), h. 57-58

B. Kebijakan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.9[9] Istilah ini
dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu.
Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau
melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak
penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh
hasil yang diinginkan.
Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan
keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti
prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan dampaknya. Kebijakan
juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau administratif
untuk mencapai suatu tujuan eksplisit.10[10]
Kebijakan adalah pilihan-pilihan (opsi) yang didasari pemikiran akal budi dalam
sebuah kepengurusan maupun organisasi untuk kepentingan tertentu. Dari definisi di atas
jelaslah bahwa kebijakan bukanlah keputusan melainkan bahan dalam pengambilan
keputusan. Sedangkan kebijaksanaan adalah kepandaian menggunakan akal budi. Analisa
kebijakan; produk dari analisa kebijakan adalah saran, sedalam dan seluas apapun analisa
kebijakan dimaksudkan untuk menghasilkan beberapa pilihan keputusan. Analisa kebijakan
bertujuan untuk menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk bahan pertimbangan
yang berdasar pada pemecahan masalah kepada para pembuat keputusan. Menurut Weimer
dan Vining mereka menganggap bahwa analisa kebijakan sebagai pekerjaan professional,
maka mereka menekankan para analis kebijakan mempunyai klien yang membutuhkan saran
yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan. Klien dari penganalisa kebijakan
adalah para pembuat keputusan. Dari pertimbangan di atas, maka mereka mendefiniskan
bahwa analisa kebijakan merupakan saran yang berorientasi pada klien dan berhubungan
dengan kepentingan umum. Dan menurut Walter William, analisa kebijakan merupakan
penggabungan

informasi

termasuk

perkiraan

akibat

untuk

mengahasilkan

format

9[9] Kamus Besar Bahasa Indonesia


10[10] Ferlian Satria http://kishi-kun.blogspot.com/2011/09/hubungan-danperbedaan-kebijakan-dan.html, di akses pada Hari Sabtu Tgl 22 Maret 2013 Pukul
21.00 Wib

pengambilan keputusan dan memperkirakan kebutuhan di masa mendatang sebagai bahan


pertimbangan.11[11]
Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 372):
bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian
tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka
panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003:
492-499) : bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti
sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan
dan secara formal mengikat.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology adalah sistem nilai
kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan.
Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat
menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan
model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok,
model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik, dan
model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model
pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi,
kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu
pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum
dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin, 2004:31-33)
dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
1. Kebijakan Umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan
baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan
wilayah atau instansi yang bersangkutan.
2. Kebijakan Pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk
tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.

11[11] Hasan Aryanto, http://hasanaryantouinjkt.blogspot.com/2009/11/analisakebijakan-dan-pengambilan.html

3. Kebijakan Teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan


pelaksanaan.12[12]
Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam
tataran ilmiah yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara
pengetahuan dan tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89)
C. Hubungan Kebijakan Dengan Keputusan
Walaupun manajer mungkin bisa, atau tidak mau mengatakan kepada manajemen
lebih rendah harus mengambil keputusan apa, sering sangat penting untuk mengucapkan garis
pedoman atau batas batas yang akan dipertimbangkan oleh bawahan bilamana mengambil
keputusan. Ini biasanya disebut kebijakan atau nilai-nilai atau prinsip-prinsip organisasi.
Kebijkan manajemen menghendaki agar keputusan penetapan tenaga tidak boleh pilih kasih,
tetapi tingkat bawahan diperbolehkan untuk memilih orang-orang mereka.13[13]
Keputusan diambil ditingkat puncak
Pandangan tradisional, semua keputusan penting dibuat oleh para manajer puncak.
Karena mereka merupakan orang-orang yang paling mengetahui dan paling kompeten,
mereka dapat menentukan kebijakan luas untuk organisasi sebagai keseluruhan. Waktu
kebijakan itu diteruskan ke bawah lewat tingkat-tingkat berturut-turut dari organisasi, dan
diuraikan secara lebih terperinci dan diubah menjadi perintah-perintah operasional.14[14]
Parsons (2005:247) mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan berada di antara
perumusan kebijakan dan implementasi. Proses pengambilan keputusan bersifat dinamis dan
bergerak dari formulasi kebijakan menuju penetapan kebijakan untuk diimplementasikan.
Dalam glossary administrasi publik, pembuatan keputusan didefinisikan sebagai suatu proses
dalam mana pilihan-pilihan dibuat untuk mengubah (atau tidak mengubah) suatu kondisi
yang telah ada, memilih serangkaian tindakan yang paling tepat untuk mencapai suatu tujuan
yang paling diinginkan, dan untuk mengurangi resiko-resiko, ketidakpastian dan pengeluaran
12[12] http://muhammadravi.blogspot.com/2012/06/pengertian-politiknegarapengambil.html, di akses pada Hari Sabtu Tgl 22 Maret 2013 Pukul 21.00
Wib
13[13] George Strauss Dan Leonard R. Sayles , Manajemen Personalia. Segi
Manusia Dalam Organisasi, Jilid I (Jakarta, CV Teruna Grafika, 1996), h. 356-357
14[14] Ibid, h. 384-385

sumber-sumber dalam rangka mengejar tujuan (dalam Irfan Islamy, 1994:23). Dua pendapat
di atas memiliki makna senada dimana pengambilan keputusan merupakan proses yang
terjadi secara terus menerus meskipun telah memasuki tahapan yang berbeda dalam proses
pembuatan kebijakan.
Willian R. Dill yang mengemukakan keputusan sebagai suatu pilihan terhadap
berbagai macam alternatif. Dalam definisi ini Dill menegaskan tentang adanya kemiripan
antara pembuatan keputusan dengan pembuatan kebijakan. Definisi ini didukung oleh
pendapat yang dikeluarkan oleh Nigro dan Nigro yang tidak membedakan pembuatan
keputusan dengan pembuatan kebijakan. Nigro dan Nigro mengemukakan tidak ada
perbedaan yang mutlak dapat dibuat antara pembuatan keputusan dan pembuatan kebijakan,
karena setiap penentuan kebijakan adalah merupakan suatu keputusan. Tetapi kebijakan
membentuk rangkaian tindakan yang mengarahkan banyak macam keputusan yang dibuat
dalam rangka melaksanakan tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Berbeda dengan pendapat Anderson yang membedakan pengambilan keputusan
dengan pembuatan kebijakan. Anderson mengemukakan bahwa pengambilan keputusan
melibatkan pilihan dari sebuah alternatif diantara sekelompok alternatif lain yang bersaing
(Anderson, 1978:9). Dari berbagai alternatif yang tersedia, sekelompok aktor yang terlibat
dalam pembuatan kebijakan harus berkompromi untuk menentukan sebuah pilihan yang
disepakati untuk dilaksanakan. Sedangkan pembuatan kebijakan berkaitan dengan pola
tindakan yang melibatkan banyak keputusan dan terjadi secara rutin maupun tidak. Pendapat
ini sesuai dengan definisi menurut Bintoro tjokroamidjojo yang mengemukakan bahwa
apabila pemilihan alternatif dilakukan sekali dan selesai maka kegiatan itu disebut pembuatan
keputusan. Sebuah kegiatan dinamakan perumusan kebijakan adalah apabila pemilhan
alternatif

itu

terus

menerus

dilakukan

dan

tidak

pernah

selesai.

Dalam formulasi, sebuah rancangan kebijakan dibahas dengan melibatkan berbagai pihak
baik yang mendukung maupun menentang kebijakan tersebut. Menurut Anderson formulasi
merupakan kompetisi untuk mencapai kesepakatan (compete for acceptance) dan memiliki
karakteristik

melibatkan

berbagai

macam

kepentingan

untuk

didiskusikan

dan

dikompromikan (Anderson, 1978:66). Berbagai pendapat yang muncul saling beradu


argumentasi dan mempengaruhi satu dengan yang lain dengan tujuan memcapai kesepakatan.
Ketika rancangan kebijakan selesai diformulasikan, berarti telah melewati ajang yang tidak
mudah dan bisa jadi berliku. Menurut Nigro dan Nigro terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi pembuatan keputusan atau kebijakan. a) adanya pengaruh tekanan-tekanan
dari luar. b) adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme). c) Adanya pengaruh sifat-sifat

pribadi. d) adanya pengaruh dari kelompok luar, dan e) adanya pengaruh keadaan masa lalu
(dalam Irfan Islamy, 1994:26).
Aktor-aktor yang terlibat dalam formulasi pun memiliki peran yang berbeda dengan
evaluasi rancangan kebijakan. Aktor-aktor dalam formulasi adalah individu atau kelompok
yang memiliki kepentingan dengan kebijakan yang akan dibuat dan berasal dari berbagai
kalangan. Dalam formulasi paling tidak, stakeholder bisa berasal dari legislatif, eksekutif,
maupun kelompok kepentingan. Ketiganya berada dalam kesetaraan karena memiliki posisi
dan peluang yang sama dalam pengambilan keputusan. Sedangkan dalam evaluasi rancangan
kebijakan, aktor-aktor yang terlibat adalah eksekutif tapi berasal dari tingkat pemerintahan
yang berbeda. Di satu pihak berasal dari pemkab/pemkot sebagai pengusul rancangan
kebijakan di pihak lain adalah dari pemprov yang bertugas menjadi evaluator.
Anderson mengungkapkan keterlibatan badan-badan administratif dalam pembuatan
kebijakan sangat mungkin terjadi dalam konsep otonomi (Anderson, 1978 : 38-39). Badan ini
dibentuk dengan tujuan untuk melakukan kontrol atas daerah berkaitan dengan kewenangan
yang diberikan sebagai konsekuensi dari otonomi. Jadi, badan-badan administratif adalah
cabang dari kekuasaan pemerintah pusat. Dalam otonomi daerah yang ada di Indonesia,
fungsi administratif dijalankan oleh gubernur sebagai pimpinan wilayah administratif.
Wilayah administratif adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat dan berada di daerah dan
berada di tingkat provinsi. Sedangkan otonomi yang bersifat penuh adalah pada tingkat
pemerintah kabupaten dan kota.
Peran badan administratif dalam pembuatan kebijakan adalah evaluator rancangan
perda setelah diputuskan di tingkat daerah otonom bukan pada saat formulasi dilakukan.
Dalam evaluasi, pola hubungan yang terjadi bersifat hierarkhis. Badan administratif dalam
melakukan pengawasan memiliki kemampuan untuk mengubah, bahkan membatalkan
kebijakan sebagai wujud dari kekuasaan dalam pembuatan peraturan. Namun, individuindividu yang terlibat di badan administrasi tidak boleh menutup mata terhadap pengambilan
keputusan atas rancangan kebijakan tersebut.
Menurut Anderson (1978), terdapat enam kriteria keputusan yang menjadi
pertimbangan setiap individu dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan
a) Nilai
Nilai menjadi kriteria yang memiliki peranan besar pada saat pengambilan keputusan
dilakukan oleh individu karena bersifat sangat pribadi. Nilai berkaitan dengan kesadaran
dalam membuat pilihan yang muncul pada saat individu terlibat dalam pengambilan

keputusan. Setiap individu memiliki preferensi nilai yang muncul baik secara sadar maupun
tidak mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan.
b) Afiliasi partai politik
Kesetiaan pada partai merupakan kriteria yang signifikan meskipun seringkali sulit
memisahkan dari pertimbangan lain seperti pengaruh pemimpin atau komitmen ideologis.
Kriteria ini kadang berpengaruh dalam pengambilan keputusan yang memuat isu kebijakan
yang diusung oleh partai. Namun dalam beberapa isu kebijakan, seringkali membuat
perbedaan dukungan antar partai tidak tampak.
c) Kepentingan konstituen,
Dukungan suara dari konstituen dalam pemilihan umum sangat penting bagi partai.
Konsekuensinya adalah keharusan dari partai untuk memperhatikan kepentingan dari
konstituen (publik). Proses legislasi untuk pengambilan keputusan tidak hanya dipengaruhi
oleh pemerintah tapi juga keinginan dari masyarakat yang diwakili.
d) Opini publik
Suara publik menjadi kriteria penting dalam pembuatan keputusan untuk kebijakan.
Suara publik merupakan pencerminan keinginan masyarakat sekaligus pendapat masyarakat
tentang tindakan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Namun, kebijakan terkadang juga
mengabaikan suara publik dan lebih memperhatikan kepentingan elit dalam pemerintahan.
e) Pendapat pejabat/pimpinan (deference)
Perbedaan pendapat seringkali muncul dalam pengambilan keputusan. Namun
berbeda pendapat dengan pimpinan atau pejabat yang berpengaruh seringkali menciptakan
keengganan atau rasa sungkan pada diri individu lain.
f) Peraturan perundang-undangan
Organisasi seringkali membuat peraturan dan pedoman pelaksanaan tugas bagi
instansi dari pusat hingga daerah. Interpretasi atas peraturan bersifat kaku dan menjadihak
pemerintah pusat untuk menterjemahkannya. Kondisi ini seringkali menyulitkan karena
terdapat keragaman antar daerah. Walaupun demikian daerah harus tetap menjalankan
peraturan tersebut karena menjadi rambu-rambu bagi daerah dalam menjalankan tugas dan
fungsinya (Anderson, 1978:72-77).
Meskipun mengungkapkan enam kriteria, tapi Anderson memberikan memberikan
catatan khusus pada nilai (value) sebagai satu kriteria pengambilan keputusan dalam
formulasi kebijakan. Pandangan para aktor sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki
dalam pengambilan keputusan dan banyak keputusan justru banyak menggunakan
pertimbangan nilai dibanding lima kriteria lainnya. Anderson menyebutkan lima kategori

nilai yang menjadi pertimbangan para pengambilan keputusan, yang terdiri dari: a) nilai-nilai
politik, b) nilai-nilai organisasi, c) nilai-nilai individu, d) nilai-nilai kebijakan, dan e) nilainilai ideologis (Anderson, 1978:14-15).15[15]
D. Fitrah Kebijaksanaan
Meskipun potensi kebijaksanaan diberikan Allah SWT kepada manusia, namun Allah
Taala telah menetapkan bahwa fitrah itu hanya bisa dibangkitkan oleh hamba-hamba-Nya
yang mau menggunakan akalnya dengan benar.
Allah Taala berfirman,



E.

Artinya: Dia memberi hikmah (kebijaksanaan) kepada siapa yang Dia kehendaki.
Barangsiapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak.
Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal.
(Al-Baqarah [2]: 269.16[16]
Ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat ini menjelaskan tentang anjuran berinfak.
Sepintas ayat-ayat tersebut tidak saling berhubungan. Padahal, jika kita teliti secara cermat,
tampak jelas sebuah pelajaran luar biasa dari rangkaian ayat-ayat tersebut. Bahwa, berinfak
sesuai ketentuan syariat tak sekadar memerlukan ilmu, namun juga kebijaksanaan.
Menurut teori ekonomi sekuler, setiap pemberian akan mengurangi kepemilikan.
Konsep ini bertentangan dengan teori ekonomi ilahiyah yang sarat dengan hikmah
(kebijaksanaan).
Al-Qur`an mengajarkan kepada kita bahwa setiap harta yang kita berikan kepada
orang lain akan diganti oleh Allah Taala dengan sesuatu yang lebih baik. Hal ini terbaca
secara jelas dalam firman Allah Taala,




Artinya: Katakanlah, Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya
bagi siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan apa saja yang kamu
15[15] Dwi Harsono, http://dwih74.blog.com/2010/12/08/teori-pengambilankeputusan/, di akses pada Hari Sabtu Tgl 22 Maret 2013 Pukul 21.00 Wib
16[16] Qs. (Al-Baqarah [2]: 269)

infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik. (Saba [34]:
39).17[17]
Hikmah, sebagaimana disebutkan dalam ayat 269 surat al-Baqarah [2] tadi, adalah
marifatullah, atau pengetahuan yang mendalam mengenai Allah Taala. Seseorang yang
sudah sampai pada tingkatan (maqam) ini akan menjadi bijaksana walaupun pengetahuan
umumnya terbatas dan keterampilannya pas-pasan.
Dalam kehidupan nyata, kita sering mendapati orang yang tidak berpengetahuan sama
sekali, bahkan SD saja tidak tamat, berhasil mendidik anak-anaknya dengan baik.
Sebaliknya, kita juga sering mendapati orang yang menguasai teori-teori pendidikan,
tapi gagal mendidik anak-anaknya sendiri. Banyak orang yang pakar di bidang ilmu sosial
tapi gagal bersosialisasi di tengah masyarakat.
Alam yang kita tempati ini ada yang nyata (syahadah), ada pula yang tidak (ghaib).
Manuasia kerap hanya mampu memperhitungkan apa-apa yang nyata di alam ini. Itu pun
bahkan mereka sering salah perhitungan. Apalagi bila manusia disuruh memperhitungkan
apa-apa yang ghaib di alam ini, manusia sering tidak mampu. Mengapa? Sebab sesuatu yang
ghaib hanya mampu dilihat dengan kacamata iman. Karena itulah dahulu kala para Sahabat
Nabi mudah sekali menyerap nilai-nilai kemuliaan yang ditunjukkan Muhammad Shallallahu
alaihi wa sallam (SAW).
Selepas perang Hunain, Rasulullah SAW membagi-bagikan harta rampasan perang
(ghanimah) kepada para Sahabat. Sebagian Sahabat merasa pembagian ini kurang adil.
Awalnya, perasaan ini hanya berwujud ketidak puasan. Lalu berkembang menjadi
kekecewaan. Lama kelamaan berubah menjadi desas-desus. Kemudian menjelma menjadi isu
nasional. Nabi SAW segera mengambil langkah. Ia mengumpulkan para Sahabat, terutama
kaum Anshar. Lalu ia bertanya, Wahai para Sahabat (Anshar), apakah kalian tidak rela jika
saudara-saudara kita dari Makkah pulang dengan membawa beberapa ekor unta bermuatan
harta rampasan perang, sedang kalian orang-orang Anshar pulang dengan membawa
Muhammad?
Lewat pidato singkat ini, Rasulullah SAW ingin mengingatkan para Sahabat bahwa
harta benda yang tampak di depan mata belum tentu lebih baik ketimbang sosok Rasul SAW
di tengah-tengah mereka. Manusia biasa yang belum terasah imannya tentu tak akan mampu
menyerap hikmah dari perkataan Rasulullah SAW ini. Namun, para Sahabat tentu saja
berbeda. Mendengar perkataan Rasulullah SAW, tak satu kata pun terucap dari bibir mereka
17[17] Qs. (Saba [34]: 39)

kecuali tangisan. Mereka menyesal telah berburuk sangka kepada Rasulullah SAW. Mereka
telah dikalahkan oleh hawa nafsunya.



Artinya: Allah Taala mengabadikan kejadian ini dalam firman-Nya, Sungguh, Allah
telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul
(Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka
Kitab (al-Quran) dan Hikmah (as-Sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar
dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran [3]: 164).18[18]
Wajib Dimiliki Pemimpin
Seorang pemimpin mutlak memiliki hikmah atau kebijaksanaan. Pemimpin yang tidak
memiliki kebijaksanaan akan mudah terombang ambing oleh situasi yang setiap saat berubah.
Pemimpin yang bijaksana akan teguh pendiriannya, mantap dalam bertindak, dan berani
mengambil keputusan. Mereka tidak ragu-ragu, tak juga bimbang. Inilah pula yang pernah
ditunjukkan oleh Rasulullah SAW menjelang Perjanjian Hudaibiyah.
Di saat semua Sahabat menentang perjanjiantersebut, Rasulullah SAW justru tidak
segera mencabut keputusannya. Beliau yakin bahwa penolakan para Sahabat hanya karena
ketidaktahuan mereka akan rahasia di balik peristiwa tersebut.

Inilah hikmah yang

dimensinya lebih dari sekadar ilmu. Jika ilmu bisa dijelaskan dan dipahamkan saat itu juga,
maka hikmah sering bisa dimengerti setelah peristiwanya telah berlalu. Setelah tiga tahun
penandatanganan perjanjian itu barulah para Sahabat menyadari kebenaran sikap dan
kebijaksanaan Nabi SAW. Mereka baru menyadari bahwa penolakan mereka dahulu itu salah,
karena hati mereka saat itu dipenuhi oleh emosi.
Tugas pokok para pemimpin, kata Rasulullah SAW, adalah membuat keputusan selain
memberi bimbingan dan arahan. Dalam setiap pengambilan keputusan, selain diperlukan
penguasaan ilmu, pemahaman situasi dan keadaan, juga dibutuhkan kedalaman ruhiyah
dalam menangkap sinyal-sinyal qudratullah. Untuk yang terakhir ini, tidak bisa tidak harus
lewat pendekatan kepada Allah Taala. Untuk taqarrub ilallah, seseorang terlebih dulu harus
memiliki marifah yang dalam terhadap Allah Taala.

18[18] Qs. (Ali Imran [3]: 164)

Itulah sebabnya mengapa para Nabi dan Rasul merupakan kelompok manusia yang
paling banyak mendapatkan hikmah dibanding manusia biasa. Jawabnya, karena mereka
mempunyai kedekatan khusus dengan Allah Taala. Kejernihan hati, kebeningan berpikir, dan
kedekatan diri kepada Allah Taala yang mampu mengantarkan Muhammad SAW memiliki
kebijaksanaan yang tinggi. Inilah yang juga dimikili oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam. Sebagai
pemimpin, beliau merasa perlu memiliki hikmah sebagaimana yang telah dikaruniakan
kepada para Nabi dan para pemimpin sebelumnya. Maka beliau pun bermunajat,


Artinya: Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam
golongan orang-orang yang shaleh. (Asy-Syuara [26]: 83). 19[19]
Di antara Nabi yang juga mendapat hikmah adalah Nabi Daud Alaihissalam. Selain
sebagai seorang Nabi, Daud adalah seorang raja yang kekuasaannya luar biasa. Namun,
beliau merasa tak cukup dengan hanya mengandalkan ilmu, melainkan juga hikmah.
Dengan kedua kemampuan tersebut, kekuasaan Daud berlangsung relatif stabil dalam
waktu sangat lama, bahkan diwariskan kepada putranya, Sulaiman AS.



Artinya: Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan hikmah kepadanya serta
kebikajsanaan dalam memutuskan perkara. (Shad [38]: 20).20[20]
Kebijaksanaan adalah pengetahuan tertinggi. Ia merupakan mutiara. Seorang ahlul
hikmah, jika ditempatkan di mana saja, pasti memancarkan sinar keelokannya.
Keberadaannya senantiasa dicari, karena mulia seperti emas yang tak lekang oleh panas, tak
lapuk oleh hujan.

BAB III
PENUTUP
19[19] Qs. (Asy-Syuara [26]: 83)
20[20] Qs. (Shad [38]: 20)

Kesimpulan dari makalah saya ini adalah sebagai berikut:


Pengambilan keputusan sebagai proses memilih satu pilihan di antara dua pilihan atau
lebih alternatif. Pengambilan keputusan adalah menetapkan alternatif secara nalar dan
menghindari dari pilihan yang tidak rasional, tanpa alasan atau data yang kurang akurat.
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Kebijakan adalah pilihan-pilihan (opsi) yang didasari pemikiran akal budi dalam
sebuah kepengurusan maupun organisasi untuk kepentingan tertentu. Dari definisi di atas
jelaslah bahwa kebijakan bukanlah keputusan melainkan bahan dalam pengambilan
keputusan. Sedangkan kebijaksanaan adalah kepandaian menggunakan akal budi. Analisa
kebijakan; produk dari analisa kebijakan adalah saran, sedalam dan seluas apapun analisa
kebijakan dimaksudkan untuk menghasilkan beberapa pilihan keputusan

DAFTAR PUSTAKA
Handoko Hani. T. Manajemen, Edisi 2 (Yoguakarta: Anggota IKAPI, 2003)
George P. Huber, Managerial Decision Making, Scoott Foresman, Glenoiew, III.
George Strauss Dan Leonard R. Sayles , Manajemen Personalia. Segi Manusia Dalam Organisasi,
Jilid I (Jakarta, CV Teruna Grafika, 1996),
Mesiono, Manajemen dan Organisasi, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010)
Husaini Usman, Manajemen, Edisi 3 (Jakarta: Bumi Aksara, 2010)
Ngalim Purwanto, Administrasi dan Sepervisi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006)

Syafaruddin dan Anzinzhan, Sitem Pengambilan Keputusan Pendidikan, (Jakarta: PT Grasindo,


2008)
Syafaruddin. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005)
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Ferlian Satria http://kishi-kun.blogspot.com/2011/09/hubungan-dan-perbedaan-kebijakan-dan.html,
di akses pada Hari Sabtu Tgl 22 Maret 2013 Pukul 21.00 Wib
Hasan

Aryanto,

http://hasanaryantouinjkt.blogspot.com/2009/11/analisa-kebijakan-dan-

pengambilan.html
http://muhammadravi.blogspot.com/2012/06/pengertian-politik-negarapengambil.html, di akses pada
Hari Sabtu Tgl 22 Maret 2013 Pukul 21.00 Wib
Dwi Harsono, http://dwih74.blog.com/2010/12/08/teori-pengambilan-keputusan/, di akses pada Hari
Sabtu Tgl 22 Maret 2013 Pukul 21.00 Wib
Qs. (Al-Baqarah [2]: 269)
Qs. (Saba [34]: 39)
Qs. (Ali Imran [3]: 164)
Qs. (Asy-Syuara [26]: 83)
Qs. (Shad [38]: 20)

Anda mungkin juga menyukai