Anda di halaman 1dari 9

Trending Topics vs Agenda Setting

Saat Gatekeeper Kehilangan Kendali

Masih ingat kejadian yang menimpa Florence Sihombing?


Perempuan yang mengunggah status kata-kata hinaan tentang kota
Yogyakarta di media sosial kemudian naik pentas menjadi sorotan
media-media nasional? Celakanya, akibat sorotan itu, ia sampai harus
diskors oleh pihak kampus tempatnya menempuh studi S-2. Lebih celaka
lagi,ia dipaksa menjalani sidang pengadilan pidana akibat isi statusnya
itu1. Beda Florence Sihombing, beda Norman Kamaru. Pemuda dari
Gorontalo ini bagaikan mendapat durian runtuh. Rekaman video saat ia
menari dan menyanyi secara lipsync yang temannya unggah pada 29
Maret 2011 di situs YouTube, sontak menjadikan sosoknya sumber
panas peliputan media-media nasional. Nasibnya pun terkatrol drastis
dari seorang polisi berpangkat rendah menjadi selebritas yang dikenal
luas.
Agenda perjalanan Norman Kamaru di media dari bukan siapasiapa hingga menjadi selebritas ditulis di dalam sebuah blog yang
dimuat tanggal 24 Mei 2011 berjudul Pembahasan Agenda Setting
Fenomena Briptu Norman Kamaru2. Tulisan di blog tersebut mencatat
bahwa dari hari ke hari jumlah pengakses video Norman Kamaru di situs
YouTube semakin bertambah. Hingga tulisan tersebut diunggah,
jumlahnya telah melampaui 1,8 juta pengakses.Videonya mendapatkan
tanggapan positif (like)dari empat ribu lebih pengakses dan hanya 155
orang yang menanggapinya dengan negatif (dislike). Video Norman
Kamaru pun menjadi trending topic di media-media sosial saat itu
hingga mengalahkan topik tentang bintang dunia Justin Bieber dan
kematian Osama bin Laden3. Tulisan di blog tersebut juga mencatat
bahwa pada 4 April 2011, media berita online arus utama Indonesia,
DetikNews mulai memuat berita tentang Norman Kamaru dengan judul
Gerakan Dukung Briptu Norman Ramai di Dunia Maya. Selama kurun
waktu 43 hari sejak pemuatan pertama, tulisan di blog tersebut
mencatat, berita-berita tentang Norman Kamaru di DetikNews mencapai
jumlah 42 judul.
Coba kita bayangkan seandainya saat itu belum ada media sosial.
Apakah Florence Sihombing dan Norman Kamaru akan bernasib seperti
yang pernah mereka alami? Lepas dari penilaian negatif maupun positif,
orang-orang seperti Florence dan Norman sudah banyak jumlahnya.
Sebut saja Shinta dan Jojo, Prita Mulyasari, dan lain-lain. Florence dan
Norman sendiri bukanlah yang pertama dan tak menutup kemungkinan
ke depan akan muncul lagi sosok-sosok seperti mereka.

Bahkan presiden Jokowi adalah salah satu sosok yang tak lepas
dari gejala ini. Para pengamat meyakini, kesuksesan karir politik Jokowi
didukung oleh media sosial. Konsultan public relations dari Fortune
Indonesia, Indira Abidin menulis bahwa Jokowi adalah sosok yang
melek media sosial. Ia termasuk politisi yang pertama kali melakukan
komunikasi secara efektif melalui media sosial4. Ross Tapsel, peneliti
media dan pengajar studi Asia di Australian National University, di dalam
tulisannya tentang Jokowi di masa pemilihan gubernur DKI 2012,
menekankan bahwa saat kebanyakan politisi di Indonesia berkampanye
menggunakan iklan televisi dan poster, Jokowi-Ahok secara tidak lazim
memanfaatkan pesan Blackberry dan situs video YouTube 5. Pernyataan
ini didukung oleh data yang dipublikasikan oleh lembaga riset media
sosial, Politicawave (2012) yang melakukan pengamatan terhadap lalu
lintas percakapan di media sosial, pada masa itu. Topik mengenai
pasangan calon gubernur (cagub) Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama
mendominasi sebanyak 54,9 persen, sedangkan tentang cagub Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli 45,1 persen rekapitulasi topik6. Dan seperti kita
tahu kemudian, pasangan Jokowi-Ahok berhasil memenangkan pilgub
DKI dengan 53,81 persen suara, mengalahkan Fauzi Bowo-Nachrowi
yang memperoleh 46,19 persen suara. Perbandingan hasil ini tidak jauh
berbeda dengan dengan rekapitulasi topik percakapan di media sosial.
Gambaran-gambaran tersebut mengindikasikan bahwa media sosial bisa
menjadi gambaran kecenderungan agenda khalayak yang bisa
berorientasi kepada sikap dan perilaku sosial politik masyarakat.
Media tradisional pun memanfaatkan situasi ini dengan
menjadikan agenda media sosial (trending topic) sebagai acuan bagi
media-media nasional untuk menentukan agenda pemberitaan mereka.
Mucullah kemudian istilah media darling yang disematkan kepada sosoksosok seperti Jokowi, Dahlan Iskan, termasuk Norman Kamaru, maupun
lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka yang
muncul dari trending topic di media sosial kemudian berlanjut menjadi
sumber berita favorit bagi media-media berita tradisional dengan
memberikan porsi ulasan yang menonjol. Sebuah lembaga riset dari
Singapura, Purengage mencoba memberikan penilaian terhadap sosoksosok media darling yang banyak dibicarakan di media sosial dan diulas
di media pemberitaan online di Indonesia. Hasilnya mengindikasikan
hubungan positif antara sosok-sosok yang paling sering dibicarakan di
media sosial dengan penilaian sosok tersebut pada media pemberitaan
online7.

Media Sebagai Gatekeeper

Secara tradisional, media massa menempatkan diri sebagai


gatekeeper8 (White, 1950) yang menyeleksi berita-berita melalui proses
agenda-setting untuk memengaruhi agenda khalayak (McCombs dan
Shaw, 1972). Pengembangan konsep media sebagai gatekeeper ini
dimotori oleh buku berjudul Public Opinion karya jurnalis legendaris
Amerika Serikat, Walter Lippman (1921) yang melontarkan pandangan
bahwa pekerjaan media massa adalah menjembatani informasi dari
segala penjuru (the world outside) dengan gambaran dunia di benak
para pembacanya (the picture in our head)9. McCombs dan Shaw, yang
dianggap sebagai pionir kajian agenda setting telah berhasil melakukan
pengujian terhadap pandangan ini, seperti yang pernah dilansir oleh
Bernard Cohen (1963) sebelumnya, bahwa media menyodorkan kepada
khalayak isu-isu apa yang penting untuk mereka pikirkan. Penelitian
yang dilakukan oleh McCombs dan Shaw (1972) mendapati hubungan
positif antara agenda pemberitaan politik menjelang pemilihan presiden
Amerika Serikat (AS) tahun 1968 di media-media arus utama
(mainstream) dengan agenda isu politik di benak khalayak yang menjadi
responden mereka di Chappel Hill, North Carolina (AS) 10. Hasil penelitian
McCombs dan Shaw memicu ratusan penelitian lain untuk mempelajari
pengaruh agenda setting terhadap agenda khalayak.
Tak pelak, teori agenda-setting menjadi salah satu batu loncatan
penting di dalam kajian ilmu komunikasi massa. Para ahli
mengembangkan tidak hanya hubungan antara agenda media dan
agenda khalayak, namun juga hubungan agenda pemberitaan di antara
media itu sendiri. Beberapa akademisi mengungkapkan hubungan positif
di antara media elit dan media bukan elite (Reese & Danielian, 1989),
agenda pemberitaan surat kabar dan agenda pemberitaan di televisi
(Lopez-Escobar dkk., 1989; Roberts & McCombs, 1994), dan agenda
pemberitaan surat kabar dengan agenda agen-agen pemberitaan (wire
services) (Lim, 2006). P enelitian-penelitian ini berhasil membuktikan
bahwa dinamika agenda-setting memiliki cakupan yang tidak sempit.
Namun sejauh itu, para peneliti belum berhasil mengungkap secara
gamblang bagaimana agenda khalayak mempengaruhi agenda media.

Pergeseran Agenda- Setting


Hingga kemudian berkembang penggunaan internet. Pesatnya
tingkat penggunaan internet telah membawa pemikiran ulang bagi
pemahaman lama tentang komunikasi massa. Seperti dinyatakan oleh
Straubhaar, LaRose, dan Davenport (2010), media sosial seperti
Facebook, MySpace, dan Twitter bisa dikatakan sebagai komunikasi
massa dengan karakter many-to-many semenjak para anggotanya yang
jumlahnya massifmenjadi audiens sekaligus adalah sumber isi

informasi11. Pernyataan ini merevisi pandangan Everett M Rogers di


tahun 80-an, yang menganggap karakter many-to-many sebagai salah
satu ciri komunikasi interaktif yang tidak bersifat masif (de-massified)12.
Namun dengan meluasnya pengguna internet di seluruh dunia,
komunikasi melalui internet, atau secara khusus melalui media sosial,
telah membaurkan karakteristik komunikasi interaktif dengan
komunikasi massa. Di Indonesia sendiri, pengguna internet kini
mencapai lebih dari 82 juta orang dan menduduki peringkat ke-8
dunia13.
Kemunculan media baru membuat Chaffee dan Metzger (2001)
juga meyakini bahwa pemahaman tentang agenda-setting telah
mengalami pergeseran. Mereka mensinyalir, yang terjadi sekarang
bukan lagi isu-isu apa yang disampaikan media untuk khalayak pikirkan,
namun isu-isu apa yang khalayak sampaikan ke media yang ingin
mereka pikirkan14. Prediksi ini memancing beberapa akademisi untuk
membuktikannya. Mereka melakukan eksplorasi tentang pengaruh
munculnya media baru dan melonggarnya kendali media tradisional
sebagai gatekeeper. DelliCarpini (2004) mencoba menguak jawaban
atas pertanyaan mengapa derasnya pemberitaan skandal asmara
presiden Clinton pada 1998 di media-media tradisional tidak
mempengaruhi sikap politik masyarakat AS secara umum. Delli Carpini
menganggap bahwa perubahan arus informasi akibat munculnya media
baru telah mengurangi kekuatan pengaruh media tradisional terhadap
agenda khalayak15. Media baru membuat informasi beredar begitu
melimpah. Sudah tidak ada lagi batasan ruang dan waktu yang
mendasari fungsi gatekeeper. Robinson (2006) menyebut bahwa
internet telah merevolusi jurnalisme yang selama ini memfungsikan diri
sebagai gatekeeper menjadi gateway16.
Lantas, bagaimanakah hubungan antara media baru dengan
media tradisional? Sebuah penelitian terhadap media berita online oleh
Delwiche (2005) mengungkap peran media baru di dalam pembentukan
agenda-setting oleh media-media tradisional. Lebih jauh, Delwiche juga
menemukan keterkaitan antara isu-isu yang paling sering dikutip dan
ditautkan (agenda-setting) oleh para blogger dengan isu-isu yang paling
dominan diberitakan oleh media tradisional 17. Hubungan ini diamati lebih
spesifik oleh Bode dkk (2010) yang melakukan penelitian untuk
menguak arah hubungan agenda pemberitaan terkait isu Proposition 8
di AS yang dimuat di situs Google News, YouTube, dan surat kabar-surat
kabar di California, AS. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat
perbedaan arah hubungan agenda pemberitaan di antara ketiga media
tersebut di tahun 2008 dengan tahun 2009. Pada 2008 terjadi hubungan
saling mempengaruhi antara Google News dengan surat kabar-surat

kabar di California dan antara Google News dengan YouTube, dengan


YouTube cenderung dipengaruhi oleh surat kabar-surat kabar di
California. Ternyata di tahun 2009 justru YouTube yang dominan
memberikan pengaruh terhadap Google News dan surat kabar-surat
kabar di California. Google News juga mempengaruhi agenda
pemberitaan surat kabar-surat kabar di California 18.
Media baru juga telah memperluas cakupan pengaruh agendasetting yang sebelumnya, seperti ditulis oleh Groshek dan Groshek
(2013), cenderung bersifat top-down19. Media-media sosial ternyata
dianggap mampu merepresentasikan agenda khalayak yang memiliki
pengaruh terhadap agenda media. Internet tidak hanya memperluas
cakupan dinamika agenda-setting namun juga memperluas definisi
sumber berita dan redaksi pemberitaan di dalam proses komunikasi
massa (Bode dkk, 2010). Munculnya redaksi-redaksi baru seperti dilansir
oleh Bruns (2009) telah menggulirkan pertanyaan dari manakah agenda
media berasal dan di mana pengaruh ini berakhir di dalam kaitannya
dengan agenda khalayak20. Pada tulisan yang lain, Bruns (2011) bahkan
memberikan pandangan bahwa pekerjaan gatekeeping yang dilakukan
oleh media tradisional, mendapatkan tantangan baru hingga merasa
perlu mengalihkan diri ke pekerjaan gatewatching mengingat derasnya
informasi yang menjadi agenda khalayak yang beredar di media sosial 21.
Kini sudah menjadi kebiasaan para redaksi di ruang pemberitaan untuk
setiap saat memelototi apa yang terjadi di media-media sosial. Mereka
tidak ingin ketinggalan tren terbaru informasi yang berkembang.
Memperhatikan fenomena ini, beberapa akademisi meyakini bahwa
hubungan antara media sosial dan media tradisional berkembang
menjadi hubungan yang saling menguntungkan 22. Tapi benarkah, seperti
dilansir oleh Davis (2008), hubungan antara agenda media tradisional
dengan agenda media sosial hanya sekedar hubungan simbiosis 23?
Tidakkah keduanya bersaing untuk mempengaruhi agenda khalayak?
Beberapa pengamat meyakini bahwa media sosial tidak
mengubah bagaimana khalayak mengonsumsi berita. Namun media
sosial telah mengubah bagaimana berita menyebar 24. Dengan kata lain,
agenda khalayak relatif tetap, agenda medialah yang berubah. Pada
beberapa kejadian, seperti musibah dan bencana alam, informasi yang
berkembang di media sosial terindikasi berkembang dan beredar lebih
pesat dibandingkan pemberitaan di media tradisional. Penelitian yang
dilakukan oleh Wu dkk (2013) yang melakukan analisis isi terhadap
berita-berita yang beredar di media sosial dan media tradisional pascamusibah kecelakaan kereta api peluru di Tiongkok pada 23 Juli 2011,
menemukan bahwa media sosial memainkan peranan penting yang
memengaruhi setting pemberitaan media-media tradisional. Bahkan

media sosial bertindak lebih progresif dengan menyajikan isu sensitif


yang tidak diberitakan oleh media-media tradisional 25. Apakah ini
menandakan, seperti judul tulisan Chaffe dan Metzger (2001), akhir dari
komunikasi massa?
Bagi pemrakarsa kajian agenda-setting, Maxwell McCombs (2006),
agenda-setting tetaplah memiliki dampak terhadap khalayak dan masih
relevan untuk media baru. Ia menyatakan bahwa meskipun media baru
berkembang terus namun di tengah masyarakat masih terdapat
kesenjangan digital (digital divide)26. Ia juga merujuk kepada penelitian
yang dilakukan oleh Althaus dan Tewksbury (2002) yang menemukan
bahwa baik media cetak maupun online sama-sama memiliki dampak
agenda-setting terhadap pembacanya, namun media cetak memiliki
kekuatan pengaruh lebih tinggi dibandingkan media online27. McCombs
percaya bahwa satu fenomena konsisten yang kita dapati di dunia ini,
seperti pada televisi kabel dengan beragam saluran, adalah keragaman
media tersebut tetap cenderung mengarah kepada keseragaman
agenda28.

1 Lihat kumpulan beritanya: Kisah Florence dan Warga Yogya, dimuat di


http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3214/4/Kisah.Florence.dan.Warga.Yogya

2 Lihat tulisan di blog thedemainsite, 24 Mei 2011, Pembahasan Agenda Setting


Fenomena Briptu Norman Kamaru,
https://thedamiansite.wordpress.com/2011/05/24/pembahasan-agenda-setting-fenomenabriptu-norman-kamaru/
3 Lihat di situs Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Norman_Kamaru
4Abidin, Indira, 14 Maret 2014,A new style of political communications: engaging with the
people of Indonesia, http://www.ipra.org/itl/03/2013/a-new-style-of-politicalcommunications-engaging-with-the-people-of-indonesia
5Tapsell, Ross, 21 Januari 2014, The Jokowi phenomenon,
http://asiapacific.anu.edu.au/news-events/all-stories/jokowi-phenomenon
6 Bisa dilihat di situs
http://www.politicawave.com/data/historical/pilkadadki2012_putaran21/#landing-slide
7dipublikasikan tanggal 8 September 2013, Purengage: Ini Sebabnya Jokowi jadi Media
Darling, yang dimuat di
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/08/0853309/Purengage.Ini.Sebabnya.Jokowi.Be
rhasil.Jadi.Media.Darling.
8Istilah gatekeeper sendiri pada mulanya digunakan oleh ahli psikologi Jerman, Kurt
Lewin, untuk peran seorang ibu yang meyeleksi dan mengatur menu makanan di dalam
keluarga. lihat Lewin, Kurt, 1947, Frontiers in group dynamics, dimat di jurnal Human
Relations 1: 143153
9 Lippman, Walter, 1921, Public Opinion, dimuat di
http://caribuku.890m.com/pdf/Walter_Lippmann/PUBLIC_OPINION_1921%29_BY_WALTER_L
IPPMANN__Pearson_Education/1_pdf
10 McCombs, Maxwell E dan Shaw, Donald L, 1972, The Agenda-SettingFunction of Mass
Media, dimuat di jurnal The Public Opinion Quarterly: vol. 36, no. 2, Oxford University
Press, hal. 176-187.
11lihat Straubhaar, Joseph, LaRose, Robert, dan Davenport, Lucinda, 2010,
Understanding Media, Culture, and Technology: seventh edition, Boston: Wadsworth
Cengage Learning, hal. 21.

12 Lihat Rogers, Everett M, 1986, Communication Technology: The New Media in Society,
New York: The Free Press, hal. 21.

13 Lihat Pengguna Internet di Indonesia Capai 82 Juta, 8 Mei 2014, artikel berita
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo):
http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo
%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Juta/0/berita_satker#.VEpftOcWHZs
14Chaffee, S.H. dan Metzger, M J, 2001, The End of Mass Communication?, Jurnal Mass
Communication & Society, volume 4, number 4, pp. 365379.
15 Delli Carpini, M X, 2004. Monica and Bill All the Time and Everywhere.
American Behavioral Scientist, 47 (9), 1208-1230, http://dx.doi.org/10.1177/0002764203262344

16 Robinson, Sue, 2006, Gateway or Gatekeeper: The institutionalization


of online news increating an altered technological authority, International Symposium on Online
Journalism, diunggah di https://online.journalism.utexas.edu/2006/papers/SueRobinson.pdf

17 Delwiche, Aaron, 5 December 2005, Agenda-setting, opinion leadership, and the world
of Web logs, laporan penelitian dimuat di jurnal online vol. 10, no. 12 http://ojs-prodlib.cc.uic.edu/ojs/index.php/fm/article/view/1300/1220.
18 Bode, L., Sayre, B., Shah, C., Shah, D., & Wilcox, D. 2010. Agenda Setting in a Digital
Age: Tracking Attention to California Proposition 8 in Social Media, Online News, and
Conventional News. Policy & Internet: Vol. 2: Iss. 2, Article 1.
19Groshek, Jacob dan Groshek, Megan Clough, 2013, Agenda Trending: Reciprocity and the
Predictive Capacity of Social Networking Sites in Intermedia Agenda Setting across Topics over
Time, dimuat di Media and Communication edisi summer 2013, Volume 1, Issue 1, Pages 1527

20 Bruns, Axel, 2009, Blogs,Wikipedia, Second Life, and beyond: From production to
produsage. New York, NY, USA: Peter Lang.
21 Bruns, Axel, 2011, Gatewatching, Gatekeeping, Realtime Feedback: News Challenges
for Journalism, bisa diakses di http://snurb.info/files/2011/Gatekeeping,%20Gatewatching,
%20Real-Time%20Feedback.pdf
22 Matei, Sorin Adam dan McDonald, Danielle, 28 Juli 2010, Does agenda setting theory still apply
to social media?, dimuat di http://matei.org/url/8m

23 Davis, Richard, 2008,A Symbiotic Relationship Between Journalists and Bloggers, Shorenstein
Center, musim semi 2008, President and Fellows of Harvard College.

24 Saffer, Adam J, 15 Juni 2013, Intermedia Agenda Building of the Blogosphere: Public Relations
Role in the Network, University of Oklahoma

25 Wu,Yanfang, Atkin, David ,Mou, Yi, . Lin, Carolyn A,& Lau,TY, 2013, Agenda Setting and Microblog Use: An Analysis of the Relationship betweenSina Weibo and Newspaper Agendas in China,
The Journal of Social Media in Society 2(2), musim gugur 2013.

26 Huang, Jing-Rong Sonia, 8 April 2006, The Agenda-Setting Effects Exist on the Internet,
McCombs Confirms, https://online.journalism.utexas.edu/detail.php?story=152&year=2006

27 Althaus dan Tewksburry melakukan pengukuran untuk menguji perbedaan kekuatan pengaruh
agenda-setting surat kabar News York Times cetak dengan edisi online, lihat Althaus, Sott L dan
Tewksbury, David, 2002, Agenda Setting and the New News, jurnal Communication
Research, Vol. 29 No. 2, April 2002, hal. 180-207.

28 Huang, Jing-Rong Sonia, 8 April 2006, op. cit.

Anda mungkin juga menyukai