Anda di halaman 1dari 6

KASUS:

Jean Edouard Leopold Mutia AlbertBernier merupakan anak dari perkawinan


campur antara Bernier Pascal Louis Raymond Ghislain warga negara Belgia, dan
Dewi Chyntia, warga negara Indonesia. Jean lahir di Belgia tanggal 1 Desember
2001. Dengan bekal paspor dari Belgia dan visa kunjungan sosial budaya, Jean
dapat tinggal di Indonesia. Visa itu hanya berlaku 60 hari. Setelah itu harus
diperpanjang di kantor imigrasi untuk periode tinggal satu bulan.
Setelah lima tahun, masa berlaku paspor pun habis. Untuk memperpanjang
paspor melalui Kedutaan Besar Belgia di Jakarta diperlukan persetujuan atau surat
dari Ghislain, ayah Jean. Persoalannya, Ghislain tidak menyetujui dan tidak
memberikan surat, tanda tangan, atau apa pun namanya. Akibatnya, Jean akhirnya
harus dideportasi. Itu terjadi karena masih diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Dengan undang-undang itu,
anak dengan ayah warga negara asing otomatis menjadi warga negara asing.
Wacana perubahan Undang-Undang Kewarganegaraan yang pernah bergulir
ibarat memberikan angin segar bagi Dewi, termasuk ibu-ibu yang menghadapi
persoalan serupa. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. Syarat menjadi warga negara menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yakni akta lahir anak yang harus
dilegalisasi dan fotokopi paspor dari suami. Ketika sudah merasa tidak ada
harapan lagi, dia pun menulis surat kepada Menteri Hamid Awaludin,
mengungkapkan

kesulitan

yang

dihadapinya.

Hamid

menanggapi,

Ia

mengeluarkan surat penetapan kewarganegaraan Indonesia untuk Jean.

ANALISIS:
Di Indonesia, perkawinan campuran yang terjadi dapat dalam dua bentuk
yaitu pertama, Wanita Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria
Warga Negara Asing (WNA) dan kedua, Pria Warga Negara Indonesia (WNI)
menikah dengan wanita Warga Negara Asing (WNA). Faktor perbedaan

kewarganegaraan di antara para pihaklah yang kemudian membedakan suatu


perkawinan campuran dengan perkawinan yang bersifat intern. Perbedaan
kewarganegaraan tersebut tidak saja terjadi saat awal dimulainya suatu
perkawinan campuran, tetapi dapat berlanjut setelah terbentuknya suatu keluarga
perkawinan campuran. Dalam kasus diatas, perkawinan campuran yang terjadi
adalah bentuk kedua yaitu Dewi Chyntia adalah Warga Negara Indonesia yang
menikah dengan Bernier Pascal Louis Raymond Ghislain yang merupakan Warga
Negara Belgia. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang anak bernama Jean
Edouard Leopold Mutia AlbertBernier. Jean lahir di Belgia tanggal 1 Desember
2001. Tetapi perkawinan antara Dewi dan Ghislain ini tidak dapat bertahan, dan
mereka pun bercerai. Dan Ghislain pun kembali ke negaranya yaitu Belgia.
Dengan bekal paspor dari Belgia dan visa kunjungan sosial budaya, Jean dapat
tinggal di Indonesia. Visa itu hanya berlaku 60 hari. Setelah itu harus
diperpanjang di kantor imigrasi untuk periode tinggal satu bulan. Untuk
memperpanjang paspor melalui Kedutaan Besar Belgia di Jakarta diperlukan
persetujuan atau surat dari Ghislain, ayah Jean. Persoalannya, Ghislain tidak
menyetujui dan tidak memberikan surat, tanda tangan, atau apa pun namanya.
Akibatnya, Jean akhirnya harus dideportasi. Karena pada waktu masih
diberlakukannya

Undang-Undang

Nomor

62

Tahun

1958

tentang

Kewarganegaraan. Dengan undang-undang itu, anak dengan ayah warga negara


asing otomatis menjadi warga negara asing. Tetapi setelah diganti dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, Jean ditetapkan sebagai Warga Negara
Indonesia.
Dalam jurnalnya Leonora Bakarbessy dan Sri Handajani yang berjudul
Kewarganegaraan Ganda Anak dalam Perkawinan Campuran dan Implikasinya
dalam Hukum Perdata Internasional mengatakan Status Kewarganegaraan Anak
dalam Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Lama
(Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958) dan berdasarkan Undang-Undang
Kewarganegaraan Baru (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006).
Dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Lama (Undang-Undang Nomor 62
Tahun 1958) dianut asas kewarganegaraan tunggal. Dimana kewarganegaraan

anak yang lahir hasil perkawinan campuran mengikuti kewarganegaraan ayahnya.


Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan Lama, anak yang lahir
dari perkawinan campuran bisa menjadi WNI dan bisa menjadi WNA. Bila
seorang anak lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNA dengan pria WNI,
kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, yaitu anak menjadi WNI, bila ibu
dapat memberikan kewarganegaraannya kepada si anak maka anak tersebut
kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Sebaliknya bila anak yang lahir dalam
perkawinan antara wanita WNI dan pria WNA, maka anak menjadi WNA
mengikuti ayahnya. Bilamana anak tersebut lahir serta bermukim di Indonesia,
maka terhadap anak tersebut harus dibuatkan paspor di Kedutaan Besar ayahnya
serta harus mendapat Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus
diperpanjang serta memerlukan biaya yang mahal. Bila terjadi perceraian antara
ayah dan ibunya dan anak tetap di bawah pengasuhan ibunya yang WNI, maka
sewaktu-waktu anak dapat di deportasi.
Dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Baru (Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006), anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan campuran tetap diakui
sebagai WNI di samping kewarganegaraan asingnya yang mengikuti ayahnya atau
dengan kata lain anak-anak hasil perkawinan campuran dapat memperoleh
kewarganegaraan

ganda.

Dalam

Pasal

huruf

Undang-Undang

Kewarganegaraan Baru menyatakan: Warga Negara Indonesia adalah anak yang


lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan Ibu
Warga Negara Asing. Selanjutnya, Pasal 4 huruf d menyatakan: Warga Negara
Indonesia adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia. Dan dalam Pasal 6 ayat 1
menyatakan: Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap
anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i dan
Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah 18 tahun atau sudah
kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Dari Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Kewarganegaraan Baru tersebut di atas maka
kewarganegaraan ganda anak dalam suatu perkawinan campuran bersifat terbatas
sampai pada usia 18 tahun saja, kemudian dia diberi waktu 3 tahun untuk memilih
apakah akan menjadi WNI atau WNA. Dan untuk anak-anak yang lahir sebelum

Undang-Undang ini diundangkan, mereka dapat memperoleh kewarganegaraan


ganda atau dapat menjadi WNA. Mereka dapat memperoleh kewarganegaraan
ganda, bila orangtua atau walinya mendaftarkan mereka kepada Menteri melalui
Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 tahun setelah
Undang-Undang ini diundangkan. Dengan didaftarkannya anak-anak tersebut,
maka mereka memperoleh Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM
bahwa mereka adalah WNI. Bila sampai dengan Tahun 2010 anak-anak tersebut
tidak didaftarkan maka mereka dianggap sebagai WNA.
Dalam kasus di atas, pada waktu itu Undang-Undang yang berlaku adalah
Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, jadi kewarganegaraan Jean adalah warga
negara Belgia karena dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 menganut
asas kewarganegaraan tunggal yaitu kewarganegaraan anak yang lahir hasil
perkawinan campuran mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Di dalam kasus
tersebut ayah Jean, Ghislain, adalah warga negara Belgia. Tetapi Jean dapat tingga
di Indonesia, dengan syarat harus mempunyai paspor dari Belgia dan visa
kunjungan

sosial

budaya

yang

harus

terus

diperpanjang.

Dan

untuk

memperpanjang paspor harus ada persetujuan atau surat dari Ghislain, ayah Jean,
melalui Kedutaan Besar Belgia di Jakarta. Tetapi Ghislain tidak menyetujui dan
tidak memberikan surat, tanda tangan, atau apa pun, sehingga Jean akhirnya harus
dideportasi. Masih banyak kasus-kasus yang merugikan wanita WNI serta anakanaknya dalam suatu perkawinan campuran, namun kasus tersebut di atas sudah
cukup menggambarkan bahwa Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tidak
akomodatif terhadap perempuan WNI dan anak-anaknya dalam perkawinan
campuran.
Dan setelah Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 diganti oleh UndangUndang Nomor 26, tepatnya pada tanggal 1 Agustus 2006, untuk untuk anak-anak
yang lahir sebelum Undang-Undang ini diundangkan, mereka dapat memperoleh
kewarganegaraan ganda atau dapat menjadi WNA. Mereka dapat memperoleh
kewarganegaraan ganda, bila orangtua atau walinya mendaftarkan mereka kepada
Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4
tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Dengan didaftarkannya anak-

anak tersebut, maka mereka memperoleh Surat Keputusan dari Menteri Hukum
dan HAM bahwa mereka adalah WNI. Mendengar kabar tersebut, Dewi Chyntia,
ibu Jean, mengirim surat kepada Menteri Hamid Awaludin yang merupakan
Menteri Hukum dan HAM pada waktu itu. Setelah mendapatkan surat dari Dewi,
Hamid mengeluarkan surat penetapan kewarganegaraan Indonesia untuk Jean.
Status kewarganegaraan di Indonesia adalah masalah yang memang sudah
sering terjadi.Dalam kasus di atas kewarganegaraan Indonesia dapat hilang jika
adanya perkawinan campuran. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
disebutkan hilangnya suatu kewarganegaraan dapat disebabkan beberapa hal,
salah satunya disebutkan perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan
laki-laki Warga Asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika
menurut hukum negara asal suaminya. Kewarganegaraan istri mengikuti
kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika dalam
perkawinan tersebut terdapat kehadiran seorang anak, maka anak tersebut akan
berkewarganegaraan asing mengikuti ayahnya. Sebelum diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 di Indonesia masih berlaku UndangUndang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan tapi Undang-Undang
tersebut dianggap kurang efektif sehingga wacana dalam Undang-Undang tersebut
diganti. Setelah diberlakukannya undang-undang tersebut banyak pihak yang
merasa beruntung karena akhirnya mereka memperoleh status kewarganegaraan
Republik Indonesia salah satu contohnya adalah dalam kasus di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal:
Bakarbessy, Leonora dan Handajani, Sri. Januari 2012. Kewarganegaraan Ganda Anak
dalam

Perkawinan

Internasional.

Campuran
Perspektif.

dan

Implikasinya
Volume

dalam
XVII

Hukum

Perdata

No.

1.

http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201303262718521985/1.pdf. Diakses pada tanggal


7 Juni 2014 Pukul 19.27.
Internet

Echi, Seira Magnae. 2011. Status Kewarganegaraan Anak Pernikahan Campuran.


http://seiramagnaeechi.blogspot.com/2010/11/status-kewarganegaraan-anakpernikahan.html. Diakses pada tanggal 7 Juni 2014 Pukul 18.12.

Anda mungkin juga menyukai