Awangga Perdana
Siti Nurwahyuningsih Harahap
Universitas Indonesia
awangga.perdana@gmail.com
s.nurwahyu@ui.ac.id
Abstract
This study examines the influence of ownership structure on firms in
Indonesia for their stock repurchase policy aimed to distribute excess funds
to stockholders. Ownership structure studied consists of institutional
ownership and managerial ownership. Sample of this study consists of 41
companies listed in the Indonesia Stock Exchange that repurchased their
stocks during the period of 2004-2013. The results showed that institutional
investors and managerial ownership negatively affect the stock repurchase.
Institutional ownership is considered able to be a good monitoring tool to
monitor the use of free cash flow in the company and mechanisms of control
by the manager himself against the use of free cash flow is considered good.
Moreover, they prefer to invest surplus funds to develop the company's
business enterprises.
Key words: Stock Repurchase, Ownership
Investors, Managerial Ownership
Structure,
Institutional
1.
Pendahuluan
Pembelian kembali saham adalah suatu aksi korporasi yang dilakukan
perusahaan untuk membeli kembali sahamnya yang telah beredar di pasar bursa.
Pembelian kembali saham beredar telah menjadi populer dalam beberapa tahun terakhir
di sejumlah besar negara, seperti di Amerika Serikat (USA) yang menyumbang 44,42
persen dari total pembayaran (payout) pada tahun 2000 dibandingkan dengan 11,82
persen dari total pembayaran pada tahun 1971 (Dittmar dan Dittmar, 2002). Peraturan
terkait pembelian kembali saham mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1998
seiring meningkatnya pembelian kembali saham oleh perusahaan dan meningkatnya
kebutuhan terhadap Good Corporate Governance untuk melindungi pemegang saham
minoritas dengan dikeluarkannya Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-45/PM/1998
pada 14 Agustus 1998 tentang pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan oleh
emiten atau perusahaan publik. Peraturan tersebut kemudian diubah menjadi Peraturan
Bapepam Nomor XI.B.2 untuk melindungi hak para pemegang saham, terutama
pemegang saham minoritas karena pembelian kembali saham ini erat kaitannya dengan
konflik keagenan.
Menurut signaling hypothesis, pembelian kembali saham oleh perusahaan
sebagai indikasi bahwa saham dinilai terlalu rendah atau undervalued (Vermaelen,
1981). Perusahaan membeli kembali sahamnya setelah terjadi penurunan pada harga
sahamnya dan harga menjadi lebih stabil setelah pembelian kembali saham (Ginglinger
dan Hamon, 2006). Jadi, pembelian kembali saham ini bisa sebagai strategi untuk
mempertahankan likuiditas saham perusahaan atau bahkan meningkatkannya.
Pengumuman pembelian kembali saham juga memberikan isyarat bahwa perusahaan
memiliki free cash flow yang berlebih atau tingkat profitabilitas perusahaan sedang
dalam kondisi yang bagus. Oleh karena itu, harga saham akan meningkat dan
diharapkan akan meningkatkan kemakmuran pemegang saham.
Disamping itu, pembelian kembali saham ini juga merupakan sarana bagi
pemegang saham untuk mengawasi kinerja manajer. Menurut El Houcine (2013) segala
bentuk pendistribusian cash flow (payout) kepada pemegang saham merupakan
mekanisme yang efisien untuk mengurangi konflik keagenan. Dividen dan pembelian
kembali saham beredar termasuk bentuk pendistribusian cash flow kepada pemegang
saham yang digunakan sebagai instrumen oleh perusahaan untuk memberikan informasi
kepada pemegang saham. Mereka berpendapat bahwa dividen dan pembelian kembali
saham akan dianggap oleh para pemegang saham sebagai suatu sinyal atas kondisi dan
prospek suatu perusahaan.
Menurut free cash flow theory, reaksi pasar pada saat pengumuman pembelian
kembali saham berhubungan dengan ketersediaan excess cash flow atau disebut juga
free cash flow sebagai sisa dari cash flow yang telah digunakan untuk membiayai semua
proyek perusahaan dengan nilai NPV positif 1. Jensen (1986) berpendapat bahwa free
cash flow ini akan menimbulkan konflik kepentingan antara pihak manajemen dengan
pemegang saham. Para pemegang saham akan lebih memilih agar setiap free cash flow
perusahaan dibagikan baik dalam bentuk dividen atau dalam bentuk pembelian kembali
saham, tetapi biasanya perusahaan lebih tertarik menggunakan free cash flow tersebut
untuk meningkatkan pendapatan perusahaan. Namun, dalam menggunakan free cash
flow tersebut, manajemen mungkin menerima proyek meskipun NPV dari proyek
tersebut bernilai negatif. Hal tersebut tentunya tidak diharapkan oleh para pemegang
saham karena risiko yang besar. Jika kebijakan distribusi free cash flow dimaksudkan
untuk membatasi konflik keagenan, kebijakan tersebut tentunya dipengaruhi oleh
struktur pemegang saham (konsentrasi kepemilikan dan sifat dari pemegang saham)
yang merupakan elemen penentu konflik keagenan.
Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh struktur kepemilikan terhadap
kebijakan pembelian kembali saham menunjukan bahwa investor institusional secara
positif mempengaruhi pembelian kembali saham karena investor institusional dapat
mengontrol manajer dengan memaksa mereka membeli kembali saham perusahaan yang
beredar untuk membayar (mendistribusikan) kelebihan cash flow yang dimiliki
perusahaan kepada investor institusional. Hal itu ditujukan agar kelebihan cash flow
tersebut tidak dihabiskan oleh manajer untuk berinvestasi di proyek dengan NPV
negatif (El Houcine, 2013).
Hasil penelitian tersebut juga menunjukan fakta bahwa pembelian kembali
saham merupakan sarana entrenchment oleh manajer. Manajer yang ingin meningkatkan
proporsi kepemilikannya di perusahaan, mereka harus melakukan pembelian kembali
saham. Dengan pembelian kembali saham, kepemilikan oleh pihak eksternal (outsiders)
akan berkurang dan manajer dapat membeli saham perusahaan dengan harga yang
relatif murah karena biasanya pembelian kembali saham dilakukan saat nilai saham
1
NPV (Net Present Value) adalah aliran manfaat dan biaya masa depan yang dikonversi menjadi nilai
setara hari ini. NPV yang positif dan terbesar adalah acuan pertama dalam memilih investasi pada suatu
proyek, karena NPV merepresentasikan nilai uang/keuntungan yang akan terjadi di masa depan dari suatu
investasi, pada masa sekarang (Ross, S.A., R.W. Westerfield, & B.D. Jordan, 2013).
2.
Tinjauan Literatur
Struktur kepemilikan merupakan komposisi sekelompok orang yang memiliki
dan mengontrol perusahaan yang terdiri atas kepemilikan oleh orang dalam (insider)
dan kepemilikan oleh investor (Jahera dan Lloyd, 1996). Kepemilikan suatu perusahaan
menunjukan terdapatnya hak dalam memilih atau mengemukakan pendapat untuk
keputusan ekonomis atau juga hak untuk mengontrol (control rights) jalannya
operasional
perusahaan.
Umumnya,
struktur
pemegang
saham
yang
dapat
Indonesia, tarif pajak atas capital gain lebih kecil dari pada pajak dividen. Tarif pajak
atas capital gain sebesar 0,1% (UU PPh pasal 4 ayat (2c)), sedangkan pajak dividen
sebesar 15% untuk subjek pajak badan (UU PPh pasal 23 ayat (1a)) dan 10% untuk
orang pribadi (UU PPh pasal 17 ayat (2c)).
Selain itu, pembelian kembali saham sering dipandang sebagai isyarat positif
bagi investor karena pada umumnya pembelian kembali saham dilakukan jika
perusahaan merasa bahwa saham undervalued yang berarti bahwa saham perusahaan
memiliki nilai intrinsik yang lebih besar daripada harga pasarnya. Pembelian kembali
saham juga akan mengurangi jumlah saham yang beredar di pasar. Setelah perusahaan
membeli kembali sahamnya, ada kemungkinan harga saham naik. Investor institusional
sebagai outsiders mengharapkan kenaikan harga saham ini.
Berdasarkan penelitiannya, Grinstein dan Michaely (2005) memberikan
sejumlah bukti terkait hubungan antara kepemilikan institusional dan kebijakan
pembayaran (payout policy) karena berjalannya fungsi pengawasan, serta implikasinya
terhadap beberapa payout theories yang sudah dijelaskan di atas. Pertama, ketika
membandingkan perusahaan yang membayarkan dividen dan perusahaan yang tidak
membayarkan dividen, diketahui bahwa investor institusional lebih menyukai
perusahaan yang membayarkan dividen.
Kedua, investor institusional tidak menunjukkan ketertarikan apapun terhadap
perusahaan yang membayarkan dividen tinggi (high dividend), tetapi investor
institusional lebih menyukai low-dividend stock daripada high-dividend stock. Dengan
begitu, tidak terdapat bukti untuk mendukung gagasan bahwa dividen yang lebih tinggi
mengakibatkan kepemilikan investor institusional yang lebih besar seperti yang
disebutkan teori di atas. Menariknya, hasil ini konsisten dengan persepsi manajemen
mengenai dampak kebijakan pembayaran terhadap investor, bahwa manajer meyakini
individu lebih tertarik terhadap peningkatan dividen dari pada investor institusional
(Brav et al., 2005).
Ketiga, Grinstein dan Michaely (2005) juga menemukan bahwa investor
institusional lebih menyukai perusahaan yang membeli kembali sahamnya. Perusahaan
yang melakukan pembelian kembali saham memiliki kepemilikan institusional yang
relatif lebih tinggi dari pada perusahaan yang tidak melakukan pembelian kembali
saham. Jadi, bisa dikatakan kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap
kebijakan pembelian kembali saham perusahaan. Keempat, kepemilikan institusional
konflik keagenan antara manajer dengan pemilik perusahaan (Godfrey et al., 2010).
Masing-masing pihak memiliki tujuan dan memiliki risiko yang berbeda berkaitan
dengan perilakunya. Manajer apabila gagal menjalankan fungsinya akan berisiko tidak
ditunjuk lagi sebagai manajer perusahaan, sementara pemegang saham akan berisiko
kehilangan modalnya kalau salah memilih manajer. Hal ini merupakan konsekuensi dari
pemisahan antara fungsi kepemilikan dengan pengelolaan. Konflik keagenan akan dapat
diminimalkan jika manajer juga sebagai pemilik perusahaan atau sebaliknya pemilik
sebagai manajer. Manajer sekaligus sebagai pemilik perusahaan akan menyelaraskan
kepentingannya dengan kepentingan pemegang saham.
Menurut alignment of interest theory, semakin banyak saham yang dimiliki oleh
para manajer, tujuan manajer dan pemegang saham akan semakin selaras (Charlier dan
Du Boys, 2010). Manajer akan lebih termotivasi untuk mencari proyek yang
menguntungkan dan kepentingan mereka akan lebih selaras dengan kepentingan para
pemegang saham yang lain seiring meningkatnya saham yang dipegang oleh para
manajer. Hal ini menyiratkan berkurangnya biaya yang dibebankan untuk mangontrol
manajer. Dengan begitu, mekanisme pengawasan menggunakan pembayaran dividen
atau pembelian kembali saham tidak begitu dibutuhkan. Charlier dan Du Boys (2010)
memperlihatkan bahwa distribusi free cash flow menurun dengan adanya kepentingan
pemegang saham manajerial, karena selarasnya kepentingan antara agent dan principal.
Namun, berdasarkan theory of entrenching the managers, Harvey, Collins dan
Wansley (2003) menyatakan bahwa pada tingkat kepemilikan tertentu, manajer
mengambil keuntungan dari control power yang memperkuat posisi mereka dan tidak
untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Hal itu tentu tidak sejalan dengan kepentingan
para pemegang saham yang ingin memaksimalkan nilai perusahaan. Perbedaan
kepentingan ini yang pada akhirnya menimbulkan masalah keagenan, sehingga perlu
adanya mekanisme pengawasan untuk mengurangi dampak merugikan dari masalah
keagenan ini. Pengawasan yang bisa dilakukan oleh pemegang saham yaitu dengan
kebijakan pembayaran. Salah satunya melalui program pembelian kembali saham oleh
perusahaan, agar free cash flow yang dimiliki perusahaan tidak dihabiskan oleh manajer
untuk berinvestasi di proyek dengan NPV negatif. Oleh karena itu, dapat ditarik
hipotesis berikut:
H2: Terdapat pengaruh dari kepemilikan manajerial (insiders) terhadap kebijakan
pembelian kembali saham beredar perusahaan
3.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh kepemilikan yang
(3.1)
Keterangan:
:
:
:
:
:
:
:
:
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pembelian kembali saham bersih
(Net Repurchase) dan variabel bebasnya terdiri dari kepemilikan oleh investor
institusional (INS), kepemilikan manajerial (MNG), ukuran perusahaan (SIZE), rasio
hutang terhadap aset perusahaan (DEBT), free cash flow (FCF), return atas aset (ROA),
dan tingkat pembayaran dividen (DIV). Definisi dan deskripsi dari setiap variabel
sebagai berikut:
(3.2)
Allen et al. (2000) menunjukkan bahwa pemegang saham institusional lebih mampu
untuk mengontrol manajer daripada pemegang saham lainnya. Mereka memiliki
posisi istimewa terhadap akses ke data perusahaan sehingga mereka akan lebih
berpengaruh mengenai keputusan keuangan perusahaan, khususnya kebijakan
distribusi dalam bentuk pembelian kembali saham.
c) Kepemilikan manajerial
Variabel kepemilikan manajerial (MNG) merupakan persentase dari saham
perusahaan yang dipegang oleh manajer, karyawan, direktur dan/atau komisaris
pada perusahaan yang sama (insiders). Jumlah saham yang dipegang oleh mereka
diidentifikasi dari laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan.
=
d) Ukuran perusahaan
Dalam penelitian ini, besarnya ukuran perusahaan dihitung berdasarkan total aset
yang tertera pada laporan keuangannya. Pengukuran terhadap ukuran perusahaan
(3.3)
diproksikan dengan nilai logaritma dari total aset perusahaan. Penggunaan logaritma
ini bertujuan untuk menghaluskan besarnya angka dan menyamakan ukuran saat
regresi. Ukuran perusahaan dilambangkan dengan SIZE.
= ( )
(3.4)
(3.5)
Variabel ini mencerminkan kas yang tersedia atau dipegang oleh manajer untuk
memenuhi kebutuhan perusahaan setelah dikurangi untuk pengeluaran pendanaan
dan pengeluaran pemeliharaan modal (discretionary funds) yang diukur berdasarkan
laba bersih dikurang dividen dan ditambah dengan depresiasi kemudian dibagi
dengan total aset perusahaan. Free cash flow dilambangkan dengan FCF.
=
g) Return on Assets
(3.7)
= ( )
(3.8)
(3.6)
terkumpul tersebut merupakan sampel yang diambil dari populasi, sehingga memiliki
penyimpangan atau error dari populasi yang nilainya tidak diketahui. Ketepatan dari
nilai observasi sampel sangat ditentukan oleh error. Oleh karena itu, digunakan metode
kuadrat terkecil yang biasa disingkat dengan OLS (Ordinary Least Square). OLS
merupakan metode yang digunakan untuk mencapai penyimpangan atau error yang
minimum dengan cara mencari penduga (koefisien regresi) yang mempunyai error
terkecil. Untuk mendapatkan persamaan regresi yang mendekati populasi, koefisien
regresi harus memiliki sifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) yaitu mempunyai
sifat yang linier, tidak bias, dan memiliki varian yang minimum.
4.
Pembahasan
4.1
Statistik Deskriptif
Tabel 4.1 menunjukkan deskripsi secara statistik untuk semua variabel yang
digunakan dalam model penelitian. Variabel Net Repurchase memiliki rata-rata (mean)
sebesar 98.173.667 lembar saham. Jumlah tersebut lebih besar dari pada jumlah ratarata pada penelitian serupa yang dilakukan oleh El Houcine (2013) pada perusahaanperusahaan di Perancis sebesar 1.494.767 lembar saham. Dengan hasil tersebut, dapat
dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung melakukan pembelian
kembali saham dalam jumlah lebih banyak. Variabel ini memiliki nilai standar deviasi
sebesar 110.000.000. Nilai tersebut menunjukkan adanya penyimpangan data sebesar
110.000.000 dari rata-rata hitung.
Variabel INS memiliki rata-rata (mean) sebesar 61,51% dengan nilai minimum
dan maksimum masing-masing sebesar 0% dan 99,77%. Dengan nilai rata-rata tersebut,
dapat diketahui bahwa persentase kepemilikan yang dipegang oleh investor institusi
adalah yang tertinggi (61,51%). Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan
di Indonesia cenderung memiliki lebih banyak saham yang dipegang oleh investor
institusional daripada oleh manajerial. Nilai standar deviasi sebesar 0,2238.
Menunjukkan adanya penyimpangan data sebesar 0,2238 dari rata-rata hitung.
Variabel MNG memiliki rata-rata (mean) sebesar 3,95% dengan nilai minimum
dan maksimum masing-masing sebesar 0% dan 79,16%. Nilai rata-rata yang lebih
rendah dibanding kepemilikan institusional dan nilai tengah (median) sebesar nol
menunjukkan bahwa kepemilikan oleh manajer cenderung sedikit pada perusahaanperusahaan di Indonesia. Nilai standar deviasi sebesar 0,1476 menunjukkan adanya
penyimpangan data sebesar 0,1476 dari rata-rata hitung.
Variabel SIZE memiliki rata-rata (mean) sebesar 9,3626 dengan nilai minimum
dan maksimum masing-masing sebesar 7,9514 dan 10,4191. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan yang diambil sebagai sampel memiliki
ukuran yang besar, terlihat dari nilai rata-rata 9,3626 mendekati nilai maksimum dan
lebih jauh dari nilai minimum.
Terlihat pada tabel 4.1 nilai rata-rata, nilai maksimum, dan nilai median variabel
DEBT (rasio hutang) cukup kecil. Hal ini menggambarkan bahwa perusahaan yang
menjadi sampel penelitian lebih tertarik untuk mendanai investasinya menggunakan
penerbitan saham dan cenderung menghindari risiko dari penggunaan tingkat hutang
yang tinggi.
Variabel FCF memiliki rata-rata (mean) sebesar 0,0781 dengan standar deviasi
sebesar 0,0574. Menunjukkan adanya penyimpangan data sebesar 0,0574 dari rata-rata
hitung. Nilai rata-rata tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan yang
diambil sebagai sampel memiliki free cash flow yang relatif sama yaitu berkisar
disekeliling 7,81% dari total aset. Hal itu juga ditunjukkan dari nilai standar deviasi
yang tidak terlalu besar.
Pada tabel 4.1, nilai rata-rata (mean) variabel ROA sebesar 0,0684 dengan nilai
minimum dan maksimum masing-masing sebesar -0,0913 dan 0,4527. Dilihat dari nilai
rata-rata, minimum, maksimum, dan standar deviasi, serta kesamaan perusahaan yang
bernilai minimum dan perusahaan yang bernilai maksimum, terlihat kemiripan pola
dengan variabel FCF. Hal ini menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan dalam
sampel penelitian ini memiliki free cash flow yang meningkat seiring dengan performa
perusahaan yang semakin baik. Selanjutnya, nilai rata-rata (mean) variabel DIV sebesar
-1,0414 dengan nilai minimum dan maksimum masing-masing sebesar -6,0128 dan
0,9221. Nilai standar deviasi sebesar 1,1723. Menunjukkan adanya penyimpangan data
sebesar 1,1723 dari rata-rata hitung.
4.2
Uji Regresi
Setelah dilakukan beberapa pengujian untuk memperoleh model penelitian yang
kuat (robust), didapat hasil estimasi koefisiensi yang memiliki sifat BLUE. Tabel 4.2
menyajikan hasil akhir estimasi yang digunakan untuk analisis dalam pengujian
statistik:
Pada tabel 4.2, terlihat nilai adjusted R2 sebesar 0,2812 yang menunjukkan
bahwa variabel-variabel bebas memberikan informasi yang dibutuhkan untuk
saham yang diperoleh kembali. Selain itu, manajer akan lebih tertarik untuk
menginvestasikan dananya pada proyek untuk meningkatkan profit.
Selanjutnya, variabel SIZE (ukuran perusahaan) yang diukur dengan total aset
memperlihatkan pengaruh positif terhadap pembelian kembali saham. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan kecil yang sedang berkembang lebih
termotivasi untuk menginvestasikan 100% cash flow mereka untuk mempercepat
pertumbuhan
perusahaan,
sementara
itu,
perusahaan-perusahaan
besar
lebih
memungkinkan untuk menghasilkan dana lebih dari yang mereka butuhkan untuk
membiayai semua peluang investasi yang menarik dibanding perusahaan kecil (Berk
dan DeMarzo, 2013). Ketika sebuah perusahaan memiliki kelebihan dana, mereka dapat
mendistribusikannya (payout) kepada pemegang saham. Oleh karena itu, perusahaan
dengan ukuran besar lebih mampu untuk melakukan pembelian kembali saham
dibanding dengan perusahaan yang berukuran lebih kecil. Hal ini menggambarkan
bahwa ukuran perusahaan berkontribusi terhadap kebijakan pembelian kembali saham
pada perusahaan-perusahaan di BEI.
Pada tabel 4.2 tampak bahwa variabel DEBT tidak signifikan terhadap variabel
Net Repurchase. Dengan demikian, pengaruh yang kuat antara financial leverage
dengan pembelian kembali saham tidak ditemukan pada perusahaan-perusahaan yang
terdaftar di BEI. Hal ini menggambarkan bahwa leverage ratio kurang memotivasi
perusahaan untuk melakukan kebijakan pembelian kembali saham, sehingga dapat
disimpulkan bahwa hampir tidak ada perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI
melakukan pembelian kembali saham dengan tujuan untuk mencapai struktur modal
tertentu.
Dalam penelitian ini, free cash flow pengaruh positif terhadap pembelian
kembali saham. Pada perusahaan-perusahaan di BEI, keberadaan free cash flow
memotivasi perusahaan untuk melakukan pembelian kembali saham dengan tujuan
untuk mengurangi konflik keagenan. Tentunya free cash flow tersebut berasal dari
kenaikan profit yang tidak stabil. Jika free cash flow berasal dari profit yang stabil
dalam jangka panjang, maka perusahaan lebih termotivasi untuk meningkatkan
pembayaran dividen (Jagannathan, Stephens, dan Weisbach, 2000).
Dalam penelitian ini, variabel ROA (profitabilitas) memperlihatkan pengaruh
negatif terhadap pembelian kembali saham. Dengan hasil tersebut, maka pengaruh
variabel ROA terhadap Net Repurchase dapat dijelaskan dengan penelitian sebelumnya
yang menunjukkan bahwa perusahaan lebih termotivasi meningkatkan pembayaran
dividennya karena dipandang perusahaan mampu menghasilkan profit yang lebih stabil
dalam jangka panjang. Tingginya rasio profitabilitas menunjukkan bahwa perusahaan
mampu menghasilkan profit yang lebih stabil dalam jangka panjang karena profit
diperoleh dari pengelolaan aset perusahaan (Jagannathan, Stephens dan Weisbach,
2000). Hal itu menggambarkan bahwa performa perusahaan merupakan faktor yang
dipertimbangkan oleh perusahaan-perusahaan di BEI dalam menentukan keputusan
pembelian kembali saham.
Tabel 4.2 menunjukkan pengaruh yang kuat antara tingkat pembayaran dividen
terhadap pembelian kembali saham tidak ditemukan pada perusahaan-perusahaan yang
terdaftar di BEI. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat pembayaran dividen bukan
merupakan faktor yang kuat untuk melakukan pembelian kembali saham, sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa
perusahaan-perusahaan
di
BEI
tidak
begitu
5.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis atas hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kepemilikan
Daftar Pustaka
Allen, F., A. Bernardo, & I. Welch. 2000. A Theory of Dividends Based on Tax
Clientele. Journal of Finance, 6, 2499-2536.
Barclay, Michael J., & Clifford W. Smith. 1988. Corporate Payout Policy: Cash
Dividends Versus Open-market Repurchases. Journal of Financial Economics, 22,
61-82.
Berk, Jonathan, & P. DeMarzo. 2013. Corporate Finance (3rd Ed). Boston: Pearson
Education.
Brav, Alon, et al. 2005. Payout Policy in the 21st Century. Journal of Financial
Economics, 77, 483-527.
Dittmar, Amy K. & Robert F. Dittmar. 2002. Stock repurchase waves: An explanation
of the trends in aggregate corporate payout policy. Working Papers Series,
University of Michigan.
El Houcine, Rim. 2013. Ownership Structure and Stock Repurchase Policy: Evidence
from France. Journal of Accounting and Taxation, 5, 45-54.
Fama, Eugene F., & Kenneth R. French. 2001. Disappearing Dividends: Changing Firm
Characteristics or Lower Propensity to Pay? Journal of Financial Economics, 60,
3-43.
Ginglinger, Edith, & Jacques Hamon. 2007. Actual Share Repurchases, Timing and
Liquidity. Journal of Banking and Finance, 31, 915-938.
Godfrey, Jayne, et al., 2010. Accounting Theory (7th Ed). McDougall, Milton: John
Wiley & Sons Australia.
Grinstein, Yaniv, Roni Michaely. 2005. Institutional Holdings and Payout Policy. The
Journal of Finance, 60, 1389-1426.
Grullon, Gustavo, & Roni Michaely. 2002. Dividends, Share Repurchases, and the
Substitution Hypothesis. The Journal of Finance, 57, 1649-1684.
Harvey, Keith D., M. Cary Collins, & James W. Wansley. 2003. The Impact of TrustPreferred Issuance on Bank Default Risk and Cash Flow: Evidence from the Debt
and Equity Securities Markets. The Financial Review, 38, 235-256.
Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. UU No. 36 Tahun 2008.
Jagannathan, M., Clifford P. Stephens, & Michael S. Weisbach. 2000. Financial
Flexibility and the Choice between Dividends and Stock Repurchases. Journal of
Financial Economics, 57, 355-384.
Jahera, John S., William P. Lloyd. 1996. An Empirical Assessment of Factors Affecting
Corporate Debt Levels. Managerial Finance, 22, 29-38.
Jensen, Michael C. 1986. Agency Cost of Free Cash Flow, Corporate Finance, and
Takeovers. American Economic Review, 76, 323-329.
Jensen, Michael C., William H. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial
Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics, 3, 305-360.
Maury, C. Benjamin, & Anete Pajuste. 2002. Controlling Shareholders, Agency
Problems and Dividend Policy in Finland. Finnish Journal of Business Economics,
51, 15-45.
Rau, P. Raghavendra, & Theo Vermaelen. 2002. Regulation, Taxes, and Share
Repurchases in the United Kingdom. Journal of Business, 75, 245-282.
Ross, S.A., R.W. Westerfield, & B.D. Jordan. 2013. Fundamentals of Corporate
Finance (10th Ed). New York: McGraw-Hill.
Shleifer, Andrei, & Robert W. Vishny. 1986. Large Shareholders and Corporate
Control. The Journal of Political Economy, 94, 461-488.
Swandari, Fifi. 2003. Pengaruh Perilaku Risiko dan Struktur Kepemilikan terhadap
Kebangkrutan Bank di Indonesia: Kasus Krisis Ekonomi Tahun 1997. Simposium
Nasional Akuntansi VI, 227-248.
Vermaelen, Theo. 1981. Common Stock Repurchases and Market Signalling. Journal of
Financial Economics, 9, 139-183.
APENDIKS
Standard-deviation
Minimum
Maximum
Median
98.173.667
110.000.000
359.500
335.699.000
51.062.000
INS
0,6151
0,2238
0,9977
0,6429
MNG
0,0395
0,1476
0,7916
SIZE
9,3626
0,6286
7,9514
10,4191
9,3281
DEBT
0,1882
0,1632
0,5782
0,1632
FCF
0,0781
0,0574
-0,0899
0,2831
0,0681
ROA
0,0684
0,0765
-0,0913
0,4527
0,0456
DIV
-1,0414
1,1723
-6,0128
0,9221
-0,9142
Net Repurchase
Koefisien
Prob (t-Statistik)
INS
-208.000.000***
0,0028
MNG
-204.000.000*
0,0683
SIZE
59.413.619**
0,0189
DEBT
-10.482.630
0,9106
FCF
919.000.000*
0,0680
ROA
-764.000.000**
0,0409
DIV
3.733.464
0,7683
Prob (F-Statistik)
Adjusted R-squared
Jumlah Observasi
*** = signifikan pada = 1%.
**
= signifikan pada = 5%.
*
= signifikan pada =10%.
0,000936
0,28118
59