Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

A. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik lakilaki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30
tahun (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), Apendisitis
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga
abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Jadi,
dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks
dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi. Klasifikasi
apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik
(Sjamsuhidayat, 2005).
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut adalah nyeri samar-samar dan tumpul
yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya :
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden
apendisitis kronik antara 1-5%.

B. Anatomi
1. Anatomi Usus Besar

Gambar 1.1 anatomi usus besar

Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter, adalah
sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka, yaitu tempat sisa
makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon
gelombang peristaltik dan menyebabkan defekasi atau pembuangan. Usus besar terdiri
atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus halus. Serabut longitudinal pada
dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang memberi rupa berkerut-kerut dan
berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus dari yang ada pada usus halus dan tidak
memiliki vili. Didalamnya terdapat kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam

usus dan

dilapisi oleh epitelium silinder yang memuat sela cangkir. Usus besar terdiri dari :
1. Sekum
Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup ileosekal.
Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit, berisi jaringan
limfoid, menonjol dari ujung sekum.
2. Kolon
Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga
bagian, yaitu :
a. Kolon asenden

Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan membalik
secara horizontal pada fleksura hepatika.
b. Kolon transversum
Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral
ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura splenik.
c. Kolon desenden
Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid berbentuk
S yang bermuara di rektum.
3. Rektum
Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12 sampai 13
cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus.
2. Anatomi Apendiks

Gambar 2.1 anatomi letak apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), lebar


0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Pada
pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinis,
apendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dengan pusat. Lumennya sempit
dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan
parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri

mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar
umbilikus.
3. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam apendiks bersifat basa
mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk
apendiks ialah IgA. Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh. Apendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri secara teratur kedalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif
dan lumennya cenderung kecil, maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan
terutama rentan terhadap infeksi ( Sjamsuhidayat, 2005).
C. Etiologi dan Predisposisi
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai
faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
adalah

erosi

mukosa

apendiks

karena

parasit

seperti

E.histolytica.

Penelitian

epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal
yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut.
(Sjamsuhidayat, 2005).
D. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas

dinding

apendiks

mempunyai

keterbatasan

sehingga

menyebabkan

peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat


aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi

mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan
obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan
yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.
Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu
pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu
massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek
dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
E. Manifestasi Klinik
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. nyeri kuadran bawah terasa
dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan
bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior
anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar
dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada
pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. nyeri pada
defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. nyeri pada saat berkemih
menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya
kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul
dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan
nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi
menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda
tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit
lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks.
Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasienpasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih
muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

F. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan
cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai
pembedahan dilakukan ( akhyar yayan, 2008 ). Analgetik dapat diberikan setelah
diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan
sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan
dibawah anestesi umum umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi
terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah.
Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus
meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C.
Suzanne, 2002).
G. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih
tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan
nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan
toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).
H. Pengkajian Fokus
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan
hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit maupun
selama pasien dirawat di rumah sakit.
1. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/
bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
2. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita
akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.

3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama

Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.


b. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana sifat dan
hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat dan
memperingan.
4. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci
diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri
pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila
tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini
disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak apendiks
apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri,
maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini
merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
5. Perubahan pola fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000) adalah
sebagai berikut :
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda : Takikardi.
c. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang).
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan. Penurunan atau tidak
ada bising usus.
d. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia. Mual/muntah.

e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat dan
terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum
kanan), meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti
tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks). Keluhan berbagai rasa nyeri/
gejala tak jelas (berhubungan dengan lokasi apendiks, contoh : retrosekal atau
sebelah ureter).
Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau telentang dengan lutut
ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki
kanan/ posisi duduk tegak. Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.
f. Pernapasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal.
g. Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah).
6. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.00020.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada CRP ditemukan
jumlah serum
yang meningkat.
Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada
apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian menyilang dengan
apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran
sekum.
I. Diagnosa dan Fokus Intervensi
1. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama, perforasi/ ruptur pada apendiks, pembentukan abses ; prosedur invasif insisi
bedah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan infeksi berkurang.
KH : Meningkatnya penyembuhan luka dengan benar, bebas tanda infeksi/ inflamasi,
drainase purulen, eritema dan demam.

Intervensi :

a. Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental,


meningkatnya nyeri abdomen.
Rasional : Dugaan adanya infeksi/ terjadinya sepsis, abses, peritonitis.
b. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/ drein (bila dimasukkan),
adanya eritema.
Rasional : Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan/ atau pengawasan
penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
c. Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptik. Berikan perawatan
paripurna.
Rasional : Menurunkan resiko penyebaran infeksi.
d. Berikan informasi yang tepat, jujur, dan jelas pada pasien/ orang terdekat.
Rasional : Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosi,
membantu menurunkan ansietas.
e. Ambil contoh drainase bila diindikasikan.
Rasional : Kultur pewarnaan Gram dan sensitivitas berguna untuk mengidentifikasikan
organisme penyebab dan pilihan terapi.
f. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah mikroorganisme
(pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk menurunkan penyebaran dan
pertumbuhannya pada rongga abdomen.
g. Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan.
Rasional : Dapat diperlukan untuk mengalirkan isi abses terlokalisir.
2. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pengeluaran
cairan

berlebih,

pembatasan

pascaoperasi,

status

hipermetaabolik,

inflamasi

peritonium dengan cairan asing.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan dan
elektrolit menjadi kuat.
KH : kelembaban membran mukosa, turgor kulit baik, tanda vital stabil dan secara
individual haluaran urine adekuat.
Intervensi :
a. Awasi TD dan nadi.
Rasional : Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler.
b. Lihat membran mukosa : kaji turgor kulit dan pengisian kapiler.
Rasional : Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.
c. Awasi masukan dan haluaran : catat catat warna urine/ konsentrasi, berat jenis.
Rasional : Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga
dehidrasi/ kebutuhan peningkatan cairan.

d. Auskultasi bising usus. Catat kelancaran flatus, gerakan usus.


Rasional : Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukkan oral.
e. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukkan peroral dimulai, dan lanjutkan
dengan diet sesuai toleransi.
Rasional : Menurunkan iritasi gaster/ muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan.
f. Berikan perawatan mulut sering dengan perhatian khusus pada perlindung bibir.
Rasional : Dehidrasi mengakibatkan bibir dan mulut kering dan pecahpecah.
g. Pertahankan penghisapan gaster/ usus.
Rasional : Selang NG biasanya dimasukkan pada praoperasi dan dipertahankan pada
fase segera pascaoperasi untuk dekompresi usus, meningkatkan istirahat usus,
mencegah muntah.
h. Berikan cairan IV dan elektrolit.
Rasional : Peritonium bereaksi terhadap iritasi/ infeksi dengan menghasilkan sejumlah
besar cairan yang dapat

menurunkan volume sirkulasi darah, mengakibatkan

hipovolemia. Dehidrasi dan dapat terjadi ketidakseimbangan elektrolit.


3. Gangguan rasa nyaman : nyeri (akut) berhubungan dengan distensi jaringan
usus oleh inflamasi ; adanya insisi bedah.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang.
KH : Klien melaporkan nyeri berkurang/ hilang, klien rileks, mampu istirahat/ tidur dengan
tepat.
Intervensi :
a. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10). Selidiki dan laporkan
perubahan nyeri dengan tepat.
Rasional : Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan.
Perubahan

pada

karakteristik

nyeri

menunjukkan

terjadinya

abses/

peritonitis,

memerlukan upaya evaluasi medik dan intervensi.


b. Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.
Rasional : Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis,
menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi telentang.
c. Dorong dan ajarkan ambulasi dini.
Rasional : Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh : merangsang peristaltik dan
kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen.
d. Berikan aktivitas hiburan.
Rasional : Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi, dan dapat meningkatkan
kemampuan koping.
e. Pertahankan puasa/ penghisapan NG pada awal.

Rasional : Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan iritasi gaster/
muntah.
f. Berikan analgesik sesuai indikasi.
Rasional : Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi lain
seperti ambulasi, batuk.
g. Berikan kantong es pada abdomen.
Rasional : Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa ujung saraf.
Catatan : jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan kompresi jaringan.
4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi dan salah
interpretasi informasi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman proses penyakit, pengobatan dan potensial komplikasi.
KH : Berpartisipasi dalam program pengobatan.
Intervensi :
a. Kaji ulang pembatasan aktivitas pascaoperasi, contoh : mengangkat berat, olahraga,
seks, latihan, menyetir.
Rasional : Memberikan informasi pada pasien untuk merencanakan kembali rutinitas
biasa tanpa menimbulkan masalah.
b. Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh : peningkatan nyeri,
edema/ eritema luka, adanya drainase, demam.
Rasional : Upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi serius,
contohnya : peritonitis, lambatnya proses penyembuhan.
c. Dorong aktivitas sesuai toleransi dengan periode istirahat periodik.
Rasional : Mencegah kelemahan, meningkatkan penyembuhan dan perasaan sehat,
mempermudah kembali ke aktivitas normal.
d. Diskusikan perawatan insisi termasuk mengganti balutan, pembatasan mandi dan
kembali ke dokter untuk mengangkat jahitan/ pengikat.
Rasional : Pemahaman maningkatkannkerjasama dengan program terapi, meningkatkan
penyembuhan dan proses perbaikan.
e. Berikan laksatif/ pelembek feses jika diindikasikan dan hindari enema.
Rasional : Membantu kembali ke fungsi usus semula, mencegah mengejan saat defekasi.
(Doenges, 2000).

DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, J, Corwin. 2009. Buku Saku patofisiologi, EGC, Jakarta.


Johnshon, M,. et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition, IOWA
Intervention Project, Mosby.
Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong, 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Smeltzer, Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &suddart. Edisi
8. Volume 2. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai