Anda di halaman 1dari 5

A.

Latar Belakang
Terwujudnya kehidupan sosial ekonomi seseorang tidak terlepas dari usahausaha manusia itu sendiri dengan segala daya dan upaya yang ada serta
dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong antara lain dorongan untuk
mempertahankan diri dalam hidupnya dari berbagai pengaruh dorongan untuk
mengembangan diri dari kelompok. Semuanya terlihat dalam bentuk hasrat,
kehendak, kemauan, baik secara
pribadi maupun yang sifatnya kelompok sosial. Kehidupan sosial ekonomi dalam
pengertian umum menyangkut beberapa aspek, diantaranya pendidikan,
kepercayaan, status perkawinan, keadaan perumahan, kesehatan, status pekerjaan
dan penghasilan. Sedangkan, menurut Melly G. Tang, kehidupan sosial ekonomi
dalam ilmu kemasyarakatan sudah lazim mencakup tiga unsur, yaitu pekerjaan,
pendidikan, dan kesehatan (Yunus, 2011).
Aktivitas ekonomi secara sosial didefinisikan sebagai aktivitas ekonomi
yang
dipengaruhi oleh interaksi sosial dan sebaliknya mereka mempengaruhinya.
Prespektif ini digunakan oleh Ibnu Khaldun dalam menganalisis nilai pekerja
manusia, dalam arti mata pencaharian dan stratifikasi ekonomi sosial. Pendapat
dari Soeratmo (dalam Yunus, 2011) mengemukakan bahwa aspek kehidupan
sosial ekonomi meliputi: 1) Aspek sosial demografi, yang terdiri dari
pembaharuan sosial, tingkah laku, motivasi masyarakat, serta kependudukan dan
migrasi; 2) Aspek ekonomi, yang terdiri dari kesempatan kerja, tingkat
pendapatan dan pemilikan barang; serta 3) Aspek pelayanan sosial, yang terdiri
dari sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana olahraga dan sarana transportasi.
Berdasarkan Konvensi PBB tahun 1989 mengenai Hak-hak Anak dan
Konvensi ILO (International Labour Organization) Nomor 182 tahun 1999
mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Anak, anak adalah seorang individu yang berusia di
bawah delapan belas tahun. Anak-anak sebagai generasi penerus bangsa akan
menjadi pelaku utama dalam mengisi pembangunan Indonesia di masa
mendatang. Sehingga, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan
Menengah, Kemeterian Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, serta

Kementerian Sosial perlu mempersiapkan anak-anak untuk menyongsong masa


depan yang lebih baik. Pendidikan, kesehatan, serta perkembangan jiwa anak
merupakan bagian dari sejumlah rangkaian kebutuhan hak anak yang seharusnya
mereka terima sebagai bekal dalam menghadapi masa depan (Fithriani, 2012).
Namun pada kenyataannya, tidak semua anak memperoleh hak tersebut dan masih
ada sebagian anak-anak yang justru sepanjang waktu bekerja untuk mendapatkan
upah atau bekerja untuk keluarga. Anak-anak yang bekerja untuk mendapatkan
upah, apalagi jika tidak bersekolah, akan kehilangan masa kanak-kanaknya
(childhood) serta tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk menggapai
masa depan yang lebih baik. Hal ini menjadi lebih buruk, apabila mereka bekerja
pada pekerjaan atau peran serta atau partisipasi yang seharusnya dilakukan oleh
orang dewasa. Tentu saja hal ini akan menganggu perkembangan jiwa, mental,
dan kesehatan anak itu sendiri, terutama bagi mereka yang bekerja pada peran
serta yang sangat berbahaya yang dapat mencelakakan diri anak-anak tersebut.
Anak-anak sebagai individu yang tidak bebas merupakan korban terparah
dari kemiskinan. Anak-anak yang terjebak dalam kemiskinan memiliki
kesempatan yang terbatas untuk mengubah nasibnya. Mereka terjebak dalam
rutinitas yang merenggut hak mereka untuk bermain, mengembangkan diri secara
wajar, serta hak akan pendidikan. Anak yang hidup dalam kemiskinan tidak
memiliki kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya yang mendapatkan
pendidikan. Mereka tidak mampu atau bahkan tidak dimungkinkan untuk dapat
memenuhi kebutuhan akan pendidikan karena pada umumnya mereka
menanggung kewajiban untuk mencari nafkah atau membantu orang tua mereka
dalam mencari nafkah, tetapi ada pula yang bekerja di rumah untuk menggantikan
pekerjaan rumah orang tua.
Untuk menghilang kan hambatan finansial bagi keluarga
miskin dalam memasuki dunia pendidikan, dicetuskanlah sebuah
kebijakan

subsidi

biaya

pendidikan.

Program

Bantuan

Operasional Sekolah (BOS) merupakan salah satu program yang


bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan pada tingkat
pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah
Pertama

(SMP)

sebagai

wujud

nyata

Pemerintah

dalam

merealisasi program wajib belajar sembilan tahun di seluruh


wilayah Indonesia. Kebijakan subsidi pendidikan lainnya yang
diberikan pemerintah adalah beasiswa Bidik Misi. Dengan adanya
kebijakan tersebut, maka diharapkan keluarga miskin yangada di
Indonesia

dapat

menyekolahkan

anaknya

hingga

jenjang

pendidikan perguruan tinggi.


Meskipun kebijakan penekanan biaya pendidikan telah
dilakukan, tingkat peran serta anak pada ekonomi rumah tangga
suatu keluarga dengan tingkat kesejahteraan 30 persen terendah
di Indonesia terbilang masih cukup tinggi. Setidaknya, di tahun
2012 terdapat 60,53 persen anak usia lima hingga lima belas
tahun pada suatu keluarga dengan tingkat kesejahteraan 30
persen terendah di Indonesia berstatus bekerja (Fithriani, 2012).
Permasalahan peran serta anak pada ekonomi rumah tangga
telah menjadi masalah global selama tujuh belas tahun terakhir,
namun demikian ketersedian data mengenai hal ini masih
terbatas

di

Indonesia.

Bahkan,

sebuah

laporan

analisis

Perusahaan Maplecroft, telah menyebutkan bahwa dari 197


negara yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada pada
urutan ke-46 negara dengan tingkat peran serta anak dalam
ekonomi rumah tangga terbesar (Melani, 2013). Dengan kata
lain, Indonesia termasuk dalam lima puluh besar negara dengan
peran serta anak dalam ekonomi rumah tangga terbesar.
Walaupun demikian, peran serta anak di Provinsi Jawa Timur,
khususnya di Kabupaten Malang, masih cukup tinggi daripada di
provinsi lain di Pulau Jawa.
Peran serta anak dalam ekonomi rumah tangga diartikan
sebagai kegiatan ikut ambil bagian atau keikutsertaan dalam
suatu kegiatan pemanfaatan uang, tenaga, serta waktu yang
berharga secara aktif. Kegiatan ekonomi rumah tangga itu sendiri
mencakup semua pekerjaan atau peran serta atau partisipasi
dibayar dan beberapa tipe pekerjaan atau peran serta atau

partisipasi yang tidak dibayar, termasuk produksi barang-barang


yang dipakai sendiri. Apakah dibayar atau tidak, kegiatan atau
peran serta ini dapat dilakukan, baik di sektor formal maupun
informal, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Dalam hal
ini, penelitian akan dilakukan di Dusun Pohbener dan Dusun
Wiloso, Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang.
Misalnya, anak yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang tak
dibayar

di

usaha-usaha

yang

berorientasi

pasar

yang

dioperasikan oleh seorang anggota keluarga yang tinggal di


rumah yang sama dianggap terlibat dalam kegiatan ekonomi.
Anak

yang

bekerja

sebagai

pekerja

rumah

tangga

atau

melakukan jenis-jenis pekerjaan atau peran serta rumah tangga


lainnya di rumah tangga orang lain juga dianggap aktif secara
ekonomi. Namun, anak-anak yang melakukan tugas-tugas rumah
di rumahnya sendiri dianggap pasif secara ekonomi. Tidak semua
anak yang terlibat dalam pekerjaan atau peran serta adalah
pekerja anak. Tugas dan kegiatan yang sewajarnya dilakukan
oleh anak-anak justru membuat anak memperoleh keterampilan
dan memupuk rasa tanggung jawab. Dengan demikian, penulis
mengambil judul Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi Terhadap Peran Serta
Anak dalam Ekonomi Rumah Tangga di Dusun Pohbener dan Dusun Wiloso
Desa Gondowangi Kecamatan Wagir Kabupaten Malang.

DAFTAR RUJUKAN

Fithriani, Rizqa. 2012. Pekerja Anak, Kemiskinan, dan Nilai Ekonomi Anak: Studi
Kasus Provinsi Lampung Tahun 2011 (dalam Child Poverty and Social
Protection Conference). Naskah seminar tidak diterbitkan: Bandar Lampung
Melani, Ni Made Rita, I Made Anom Wiranata, dkk. 2013. Peran ILO Melalui
Proyek EAST dalam Upaya Pencegahan Pekerja Anak di Indonesia.
Universitas Udayana Press: Denpasar
Yunus, Auliya Insani. 2011. Potret Kehidupan Sosial Ekonomi Pedagang Kaki
Lima di Kota Makassar: Kasus Penjual Pisang Epe di Pantai Losari.
Skripsi tidak diterbitkan: Makassar

Anda mungkin juga menyukai