Anda di halaman 1dari 25

BAB I

I.1 Latar Belakang


Setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum terdapat suatu
kebiasaan untuk menyelesaikan suatu masalah-masalah dan sengketa-sengketa yang
timbul diantara mereka dengan cara litigasi maupun non litigasi dimana cara ini
seperti ini dirasa lebih arif dan bijaksana demi menjunjung suatu keadilan dan
kebenaran daripada mereka bertindak dengan cara main hakim sendiri dimana cara
semacam ini tidaklah mencerminkan sikap yang baik.
Sengketa adalah suatu hal yang tidak terhindarkan di dalam dunia bisnis.
Sengketa seringkali timbul dan harus dihadapi oleh setiap pihak yang terlibat di
dalamnya. Sengketa dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau melalui pengadilan.
Jika perselisihan yang ada tetap dapat dibicarakan dan diselesaikan secara baik,
penyelesaian secara kekeluargaan merupakan jalur yang sangat wajar dan efisien.
Waktu yang terbuang tidak banyak dan biaya yang dikeluarkan tidak besar.
Membiarkan sengketa bisnis atau dagang terlambat diselesaikan mengakibatkan
perkembangan pembangunan tidak efisien. Kegiatan produktivitas menurun, dunia
bisnis akan mengalami kemandulan biaya produksi akan mengikat. Pihak konsumen
adalah contoh pihak yang paling dirugikan dalam hal ini, sekaligus menghambat
peningkatan kesejahteraan dan kemajuan kaum sosial pekerja. Sehubungan dengan
itu, maka mendesak dan perlu dipikirkan sistem penyelesaian yang cepat, efektif,
efesien, sederhana dan biaya murah.
Penyelesaian sengketa juga sering dilakukan melalui pengadilan. Dalam hal
ini, waktu yang terpakai akan banyak dan harus melalui tahap-tahapan peradilan yang
ada, yang tentunya juga melibatkan biaya yang tidak sedikit. Secara fakta, masih
banyak pihak yang menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan karena pihakpihak yang bersengketa ingin memperoleh kepastian dan kejelasan secara hukum
melalui putusan pengadilan tentang obyek sengketa yang ada. Tentunya, putusan
pengadilan secara umum bersifat menang-kalah (win-lose).
Para subjek hukum seperti orang dan badan hukum yang bergerak di bidang
bisnis atau perdagangan biasanya lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa
1

melalui suatu lembaga non litigasi seperti Lembaga Arbitrase. Dimana menyelesaikan
suatu sengketa dengan cara ini dirasa lebih baik untuk menjamin dan melindungi
kredibelitas dari suatu usaha yang jalankan dimana dalam penyelesaian sengketa
melalui arbitrase ini akan menhasilkan win-win solution diantara para pihak yang
bersengketa.
Daripada menggunakan penyelesaian melalui peradilan dimana tidak selalu
menguntungkan bagi kepentingan para pihak yang bersengketa bahkan lembaga
peradilan yang secara konkret ketika mengemban tugas untuk menegakkan hukum
dan keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap
sengketa yang diajukan dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak
efektif dan efisien.
Arbitrase sendiri merupakan lembaga penyelesaian sengketa bisnis sudah lama
dikenal dalam praktek perdagangan maupun penanaman modal di Indonesia. Di masa
lalu, arbitrase kurang menarik perhatian dan kurang populer walaupun sesungguhnya
sudah lama diatur didalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu, dengan
lahirnya Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa merupakan perkembangan penting bagi hukum nasional,
sekaligus memantapkan eksistensi lembaga arbitrase dalam menyelesaikan sengketasengketa dalam dunia usaha termasuk memperlancar upaya menciptakan perdagangan
bebas dan kompetisi yang sehat.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa ini telah memberikan jaminan kepastian hukum bagi
cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam setiap perjanjian di bidang
perdagangan nasional maupun internasional.Tidak hanya itu saja upaya penyelesaian
sengketa melalu arbitrase ini merupakan upaya yang baik untuk mendengarkan pihakpihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi hukum yang menjatuhkan putusan
terhadap suatu sengketa yang di adili nantinya. Apabila ditemukan titik temu dari
sengketa yang dipermasalahkan, maka hal ini terasa lebih baik dalam mengakhiri
suatu sengketa yang terjadi diantara kedua belah pihak. Usaha mendamaikan para
pihak-pihak yang bersengketa merupakan prioritas utama dan dipandang adil dalam
mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu dapat mewujudkan rasa
kekeluargaan dan kerukunan tetapi bila menemukan kendala dalam menyelesaikan
sengketa di arbitrase maka arbiter dapat mengambil suatu keputusan atau jalan tengah
untuk memecahkan suatu sengketa yang terjadi.
2

Selain itu juga lembaga arbitrase merupakan suatu lembaga penyelesaian sengketa
yang cukup luwes dimana lembaga ini tidak terikat akan suatu hukum acara dan
prosedur serta formalitas-formalitas yang harus dipenuhi seperti lazimnya pada
pengadilan negeri yang sangat terikat pada ketentuan yang sudah baku sehingga wajib
untuk diikuti. Pada hakikatnya pula penyelesaian melalui arbitrase ini hampir sama
dengan penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Dengan adanya penyelesaian
sengketa melalui arbitrase hal ini merupakan salah satu cara yang sampai sekarang
banyak mendatangkan keuntungan bagi para pihak yang bersengketa. Dimana dalam
hal

penyelesaian arbitrase akan mempercepat penyelesaiannya dan menghindari

suasana yang panas karena akan dapat menyulut api permusuhan diantara pihak-pihak
yang bersengketa nantinya. Apabila penyelesaian sengketa ini tercapai suatu
keputusan yang adil dan bijaksana maka hal ini merupakan nilai yang positif sekali
dimana hubungan yang sudah retak dikarenakan satu dan lain hal dapat terjalin
kembali seperti sediakala dan akan terasa lebih harmonis bahkan mungkin akan
bertambah akrab persaudarannya serta menjalankan usaha bisnisnya dengan lancar
kembali seperti sediakala dimana tidak ada pihak yang di kalahkan dalam hal ini (win
win solution) tetapi selain nilai keuntungan yang ada pastilah ada kelemahan dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

I.2 Pengaturan Arbitrase Sebelum UU No. 30/1999


Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UU
No. 30/1999, ketentuan-ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615 s.d.
Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang merupakan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disingkat KUHA Perdata) untuk
penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan
mereka.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal pembagian tiga kelompok
penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan peradilan yang berbeda, yaitu untuk
Golongan Bumiputera (penduduk pribumi) berlaku hukum Adat dengan pengadilan
Landraad dan hukum acaranya Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesich Reglement yang disingkat HIR), dan untuk Golongan Timur Asing dan
3

Eropa berlaku Burgerlijke Wetboek atau BW (KUH Perdata), dan Wetboek van
Koophandel atau WvK (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dengan hukum
acaranya Rv.
Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan BW
dan WvK dalam hukum positifnya. Sehubungan dengan hal itu pendapat Peter J.
Burns (di dalam Abstract bukunya) yang mempertanyakan pembedaan konvensional
antara Timur dan Barat sangat menarik untuk dikaji. Menurutnya telah terjadi ironi
dalam perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk memisahkan diri dari Belanda
karena setelah merdeka identitas bangsa Indonesia justru dibentuk oleh ide-ide
Belanda, secara asli, daripada oleh kepribumiannya sendiri. Identitas tersebut
(termasuk dalam sistem hukum) berakar dari Eropa daratan. Walaupun aturan-aturan
hukum acara perdata yang terdapat dalam Rv tidak dijumpai dalam HIR, ia kemudian
menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata
setelah Indonesia merdeka.
Ketentuan arbitrase juga (secara implisit) terdapat dalam Pasal 377 HIR dan
Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten yang disingkat RBg). Dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg
disebutkan bahwa: Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki
perselisihan mereka diputus oleh juru pisah maka mereka wajib memenuhi peraturan
pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa.
Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka melalui
juru pisah atau arbitrase
b. Juru pisah atau arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan
putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul
c. Arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan
pengadilan bagi golongan Eropa
Pasal 377 HIR dan 705 RBg memberi peluang bagi para pihak membawa
sengketa mereka di luar pengadilan untuk diselesaikan. Mengingat HIR dan RBg
tidak mengatur arbitrase lebih jauh lagi, Pasal 377 HIR dan 705 RBg menunjuk
ketentuan-ketentuan dalam Rv yang berlaku bagi golongan Eropa dengan tujuan
untuk menghindari rechts vacuum (kekosongan hukum). Peraturan pengadilan yang
4

berlaku bagi orang Eropa sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah
semua ketentuan acara perdata yang diatur dalam Rv, yaitu dalam Buku Ketiga Bab I
(dari Pasal 615 s.d. Pasal 651).
Ketentuan Pasal 615 s.d. Pasal 651 Rv mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Pasal 615 s.d. 623 Rv: Perjanjian arbitrase dan pengangkatan para arbiter.
Pasal 624 s.d. 630 Rv: Pemeriksaan di muka arbitrase.
Pasal 631 s.d. 640 Rv: Putusan arbitrase.
Pasal 641 s.d. 647 Rv: Upaya-upaya atas putusan arbitrase.
Pasal 648 s.d. 651 Rv: Berakhirnya acara arbitrase.
Mengingat pesatnya perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan

nasional dan internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, ketentuanketentuan yang terdapat dalam Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah tidak
sesuai lagi. Misalnya, dalam Rv tidak diatur tentang pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase asing yang saat ini telah menjadi kebutuhan sehari-hari dalam
kegiatan bisnis internasional. Masalah-masalah lain yang dinilai tidak sesuai lagi
dalam Rv contohnya adalah perjanjian arbitrase tidak harus tertulis (Pasal 615 ayat 3),
diizinkannya banding ke Mahkamah Agung atas putusan arbitrase (Pasal 641 ayat 1),
larangan bagi wanita untuk menjadi arbiter (Pasal 617 ayat 2), dan lain-lain. Semua
itu bertentangan dengan kecenderungan dalam perkembangan hukum modern saat ini.
Dengan demikian, perubahan yang bersifat filosofis dan substantif merupakan suatu
conditio sine qua non. Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ketentuan-ketentuan
mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal
651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dibandingkan dengan pengaturan Ketentuan-ketentuan Arbitrase Komisi
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Perdagangan Internasional (The
United Nations Commission on International Trade Law) atau lebih dikenal Arbitrase
Model Law UNCITRAL 1985 yang terdiri dari 36 pasal, UU No. 30/1999 yang terdiri
dari 82 pasal tersebut telah secara luas mengatur berbagai hal terkait dengan arbitrase.
Banyaknya

pasal

tersebut

tampaknya

agar

UU

No.

30/1999

mampu

mengakomodasikan banyak hal dengan mengaturnya secara mendetail (meskipun


seharusnya hal itu bukan muatan suatu undang-undang), misalnya, keharusan bagi
5

sekretaris untuk membuat notulen rapat sehubungan dengan kegiatan dalam


pemeriksaan dan sidang arbitrase. (Lihat Pasal 51 UU No. 30/1999.)
Selain itu, UU No. 30/1999 berusaha mengatur semua aspek baik hukum acara
maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional
dan internasional. Upaya memasukkan semua aspek arbitrase ke dalam satu undangundang

arbitrase

nasional

dapat

mendatangkan

banyak

persoalan

dan

membingungkan, baik mengenai letak pengaturannya maupun materinya.


Tentang letak pengaturan seperti prinsip pembatasan intervensi pengadilan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2), yaitu: Pengadilan Negeri wajib
menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam ha1-hal tertentu yang ditetapkan
dalam Undang-undang ini. Ayat (2) tersebut tidak berhubungan dengan ayat lainnya,
yaitu Pasal 11 ayat (1) yang mengatur mengenai perjanjian arbitrase, serta
diletakkan pada bab yang tidak ada kaitannya, yaitu Bab III tentang syarat arbitrase,
pengangkatan arbiter, dan hak ingkar. Dalam Model Law, prinsip ini (limited court
involvement) diletakkan pada bagian Ketentuan Umum (General Provisions). Materi
UU No. 30/1999 juga menimbulkan persoalan, misalnya tidak ada ketentuan
mengenai jangka waktu bagi pendaftaran putusan arbitrase internasional di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengaturan mengenai periode waktu itu sangat
penting karena putusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
didaftarkan.

I.3 Keuntungan Arbitrase


Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa
alasan sebagai berikut:
1. Kecepatan dalam proses
Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama
perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan.
Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu
penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-aturan
arbitrase yang dipilih. [Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: Dalam hal para pihak
telah memilih acara arbitrase harus ada kesepakatan mengenai ketentuan
jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu
dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan
menentukan.)
Demikian pula, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak,
sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam Pasal
53 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat
dilakukan perlawanan atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60
secara tegas disebutkan: Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Sebelum berlakunya UU No. 30/1999, pihak yang kalah berhak mengajukan
banding atas putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung, yang memeriksa
fakta-fakta dan penerapan hukumnya. Dengan demikian, putusan arbitrase
tidak bersifat final dan mengikat para pihak sampai permohonan banding
tersebut ditolak. (Lihat Pasal 641 Rv juncto Pasal 15 dan 108 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung). Selain itu, dalam pengaturan
internasional, Pasal 35 ayat (1) Ketentuan-ketentuan Arbitrase UNCITRAL
menyebutkan bahwa: An arbitral award, irrespective of the country in which it
was made, shall be recognized as binding and, shall be enforced. Jadi,
putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak, tidak peduli di negara mana pun ia dijatuhkan.
2. Pemeriksaan ahli di bidangnya
Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi
kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam
7

dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan. Dengan demikian,


pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan
dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hal itu dimungkinkan karena selain
ahli hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam
berbagai bidang misalnya ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli
pengangkutan udara, laut, dan lain-lain.
Sebagaimana diketahui dalam pemeriksaan persidangan di pengadilan ada
kemungkinan hakim tidak menguasai suatu perkara yang sifatnya sangat
teknis. Hal ini disebabkan sebagian besar hakim di pengadilan memiliki latar
belakang yang sama, yakni berasal dari bidang hukum, sehingga mereka hanya
memiliki pengetahuan yang bersifat umum (general knowledge) di bidang
lainnya dan sulit bagi mereka untuk memahami hal-hal teknis yang rumit
lainnya.
3. Sifat konfidensialitas
Pemeriksaan sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam
persidangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang
dijatuhkan dalam sidang tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan.
Dengan demikian, penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga
kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 27 UU No. 30/1999
disebutkan bahwa: Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup.
Berbeda dari arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan di pengadilan harus
dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat
terbuka dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia (bisnis)
mereka yang seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat luas.

I.4 Kelemahan Arbitrase


Beberapa faktor yang merupakan kelemahan arbitrase adalah sebagai berikut:
1. Hanya untuk para pihak bona fide

Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide
(bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah
mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap
kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan
putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk
menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan
memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di
pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu
putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan
stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa
perkaranya ke pengadilan.
Sering ditemui di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah
memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka
mengajukan perkaranya ke pengadilan. Anehnya, meskipun telah terdapat
klausul arbitrase di dalam perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang
menerima gugatan perkara tersebut. (Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2)
disebutkan bahwa: Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase...)
2. Ketergantungan mutlak pada arbiter
Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk
memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang
mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para
pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan
arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan
mengatakan putusan tersebut adil). Ketergantungan secara mutlak terhadap
para arbiter dapat merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam
arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding).
Meskipun semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan kewenangan
mutlak arbiter serta putusannya yang bersifat final dan mengikat, penulis tidak
sependapat; dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan. Artinya, itu
9

merupakan risiko yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak, dan
risiko tersebut harus diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga
arbitrase. Oleh karena itulah para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri
arbiter (yang terbaik dan paling menguntungkan dirinya) yang akan
menangani sengketa mereka.
3. Tidak ada preseden putusan terdahulu
Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan
tidak dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah
dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap
putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas
suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung
argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.
Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya
putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di
masa yang akan datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan
bertentangan dengan asas similia similibus, yaitu untuk perkara serupa
diputuskan sama.
4. Masalah putusan arbitrase asing
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan
sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu
menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang
kalah terdapat harta yang harus dieksekusi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya
penyelesaian sengketa melalui arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya
putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.

BAB II
II.1 Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari Bahasa Belanda: arbitrate dan Bahasa Inggris:
arbitration, dalam Bahasa Latin: arbitrare, yang berarti penyelesaian atau pemutusan
sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa mereka
10

akan tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang
mereka pilih atau tunjuk tersebut.
Dengan demikian arbitrase merupakan suatu peradilan perdamaian, dimana
para pihak yang bersengketa atau berselisih menghendaki perselisihan mereka tentang
hak-hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh
hakim yang adil yaitu tidak memihak kepada salah satu pihak yang berselisih tersebut.
Keputusan yang telah diambil mengikat bagi kedua belah pihak. Dalam pasal 1 ayat 1
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa
Selain itu juga banyak penulis yang mencoba untuk mendefinisikan arbitrase
dari sudut pandangnya masing-masing tetapi jika diperhatikan secara ensensinya
pendapat para penulis tersebut tidak berbeda secara signifikan, karena mengacu pada
pilihan penyelesaian sengketa komersial berdasarkan kesepakatan.
Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau
para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati
keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. ( Subekti, R. )
Arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara
yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan
kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak. (Abdurrasyid, H. Priyatna)
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berdasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang
dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan. ( Soemartono, Gatot )
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan
berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan
sengketa kepada seorang wasit atau arbiter. ( Mertokusumo, Sudikno )

11

Blacks Law Dictionary juga memberikan definisi arbitrase sebagai berikut a


method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are
usually agreed to by the disputing parties and whose decision is binding.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
arbitrase adalah upaya menyelesaikan sengketa di luar pengadilan yang didasarkan
atas perjanjian yang telah di sepakati oleh para pihak dalam hal ini melalui arbiter,
dimana penyelesaian melalui arbitrase ini dilakukan secara tertutup atau rahasia.

II.2 Pengertian Arbiter


Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan, arbiter adalah seorang
atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh
Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Arbiter dapat
ditunjuk oleh pengadilan negeri atau lembaga arbitrase dimana memiliki kemampuan
pada bidang tertentu untuk menyelesaikan suatu sengketa tertentu.
Yang dapat dipilih oleh para pihak sebagai arbiter hanyalah mereka yang
diakui termasuk dalam daftar arbiter yang disediakan oleh BANI dan/atau memiliki
sertifikat ADR/Arbitrase yang diakui oleh BANI dapat bertindak selaku arbiter
berdasarkan peraturan prosedur BANI yang dapat dipilih oleh para pihak.
Arbiter harus sekurang-kurangnya terdiri dari seorang arbiter (arbiter tunggal)
atau tiga orang arbiter tergantung pada kesepakatan para pihak yang diatur
sebelumnya dalam perjanjian antara mereka. Sehingga dalam hal ini arbiter hampir
sama dengan hakim, yang mana arbiter mempunyai wewenang untuk memutuskan
suatu sengketa secara langsung bila mengalami suatu kendala sehingga dengan ini
arbiter dengan sigapnya akan mengambil suatu jalan tengah yang baik bagi para pihak
yang bersengketa dalam hal ini.

II.3 Syarat Arbiter

12

Seperti telah dijelaskan di atas penyelesaian sengketa melalui arbitrase di


bantu oleh arbiter atau wasit. Dimana setiap orang dapat dikatakan untuk menjadi
seorang arbiter asalkan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undangundang tidak hanya itu saja menjadi seorang arbiter tidak harus berlatar belakang ahli
hukum tetapi ahli di tertentu seperti bidang minyak, lingkungan, perdagangan dan lain
sebagainya dapat menjadi arbiter, kecuali hakim, jaksa dan pejabat peradilan lainnya
dilarang untuk menjadi seorang arbiter.
Sehubungan dengan itu, siapa yang dapat bertindak sebagai arbiter di atur
dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa mengenai syarat pengangkatan arbiter harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Cakap melakukan tindakan hukum.
2. Berumur paling rendah 35 tahun.
3. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa.
4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan
arbitrase.
5. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bindangnya paling
sedikit 15 tahun.
Dari ketentuan tersebut di atas seorang arbiter atau wasit sebagai pihak yang
merancang, memimpin dan menyelesaikan suatu sengketa dengan cara arbitrase harus
bersikap netral atau tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Selain
itu pula syarat yang telah di tentukan tersebut di atas dapat ditafsirkan memberikan
keleluasaan kepada pihak asing untuk menjadi arbiter guna menyelesaikan suatu
sengketa.

II.4 Pengertian Lembaga Arbitrase


Dalam menyelesaikan suatu sengketa melalui arbitrase memiliki suatu
lembaga yang berwenang untuk menangani dan menyelesaikan suatu persengketaan
yang telah terjadi diantara pihak dimana para pihak telah menyepakatinya dengan
dituangkan dalam suatu perjanjian.

13

Menurut Pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang


Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan, lembaga arbitrase adalah
badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Sehingga lembaga arbitrase ini hampir mirip dengan lembaga peradilan
dimana lembaga ini dapat pula memutuskan suatu sengketa tidak hanya itu saja
keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga ini memiliki kekuatan yang sama pula
seperti lembaga peradilan dimana keputusan tersebut bersifat final dan mengikat (final
and binding).

2.5 Ruang Lingkup Arbitrase


Arbitrase yang merupakan salah satu penyelesaian sengketa di luar pengadilan
yang di dasarkan oleh perjanjian arbitrase yang telah di sepakati oleh para pihak bila
mengalami suatu sengketa, sehingga perkara yang di tangani dengan menggunakan
penyelesaian arbitrase ini lebih cenderung bersifat privat maupun publik tetapi dalam
hal permasalahan yang berkaitan dengan pidana penyelesaian melalui arbitrase tidak
dapat dilakukan karena hal ini merupakan kewenangan absolut dari lembaga
peradilan.

Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam menyelesaikan sengketa publik


maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk
menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). ( Kantaatmadja, Komar )

Sementara sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:


a. Ouality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact)
yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualitikasi teknis
yang tinggi;

14

b. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual,


sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen
(construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak;
c. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum
(question of fact and law).
Dengan demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini meliputi beda
pendapat dan sengketa di bidang perdaganganan, industri, keuangan, korporasi,
asuransi, lembaga keuangan, hak kekayaan intelektual, lisensi dan hakyang dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak, sehingga penyelesaian ini lebih cenderung diminati oleh
kalangan pengusaha pada khususnya karena cara ini lebih serasi dengan kebutuhan
dunia bisnis yang cenderung bergerak pada bidang perdata.

2.6 Syarat Arbitrase


Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi oleh para pihak dalam hal ini, dimana syarat ini merupakan hal yang
paling penting yang mana persetujuan di antara pihak di buat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Setiap lembaga arbitrase, baik domestik maupun internasional dalam
menyelesaikan sengketa harus memiliki klausul yang telah disepakati dengan bentuk
klausul arbitrase. Di Indonesia sendiri menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk menuangkan klausul
arbitrase dalam bentuk tertulis.
Penyelesaian sengketa secara arbitrase harus diperjanjikan (clausula
arbitrase):
1. Factum de compromitendo, merupakan suatu ketentuan yang
tercantum di dalam perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa
setiap perselisihan yang timbul di kemudian hari sehubungan dengan
perjanjian atau kontrak tersebut akan diserahkan pada arbitrase untuk
diputuskan.
2. Acta compromis, adalah suatu kesepakatan di antara para pihak yang
telah terlibat dalam suatu sengketa, untuk mengajukan sengketa

15

mereka agar diputuskan oleh arbitrase (pada umumnya arbitrase adhoc).


Sedangkan dalam lembaga arbitrase Indonesia seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) menyarankan kepada para pihak yang ingin
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase perlu membuat suatu perjanjian yang isi
perjanjiannya sebagai berikut:
Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus
oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan
administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya
mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai keputusan tingkat pertama dan
terakhir.
Sementara Perjanjian/klausula arbitrase bersifat accessoir, tetapi tidak menjadi
batal karena batalnya perjanjian pokok. Tetapi tidak hanya itu saja penyelesaian
sengketa melalui arbitrase tidak dalam bentuk tertulis untuk suatu perjanjian, sehingga
klausul arbitrase pun dapat dilakukan secara lisan apabila perjanjian pokoknya sudah
diadakan secara lisan oleh para pihak dalam hal ini.
Perjanjian tertulis harus memuat sebagai berikut:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

Masalah yang dipersengketakan,


Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak,
Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis arbitrase,
Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan,
Nama lengkap sekretaris,
Jangka waktu penyelesaian sengketa,
Pernyataan kesediaan dari arbiter, dan
Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala
biaya yang diperlukan bagi penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal-hal tersebut di atas batal demi hukum.
Perjanjian untuk berarbitrase harus jelas dan tegas (unequivocal) serta tertulis.
Sementara klausula arbitrase mempunyai empat fungsi yang esensial, yakni:
1) Untuk

menghasilkan

konsekuensi

yang

diperintahkan

(mandatory

consequences) bagi para pihak;


2) Untuk mencegah intervensi dari Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa
para pihak (sekurang-kurangnya sebelum putusan dijatuhkan);
16

3) Untuk memberdayakan arbiter dalam penyelesaian sengketa; dan


4) Untuk menetapkan prosedur dalam menyelesaikan sengketa

II.7 Pengertian Arbitrase Internasional


Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan
memilih lembaga arbitrase yang dikehendaki oleh para pihak dari berbagai badan
arbitrase yang ada saat ini baik nasional maupun internasional. Sehingga dalam hal ini
penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional pun diakui dan dianggap sah.
Syarat dapat dikatakan sebagai arbitrase Internasional jika sudah memenuhi
salah satu atau lebih syarat sebagai berikut:
1) Keorganisasiannya, yaitu suatu organisasi yang para anggotanya adalah
negara-negara, sehingga bersifat internasional.
2) Proses beracaranya, yaitu tata cara atau prosedur persidangannya dilaksanakan
menurut ketentuan atau peraturan, yang bebas dari sistem hukum negara di
tempat keberadaan arbitrase tersebut.
3) Tempatnya, yaitu dalam kenyataanya apakah tempat arbitrase tersebut
berhubungan dengan lebih satu yurisdiksi atau apakah terdapat unsur
yurisdiksi atau apakah terdapat unsur yurisdiksi asing di dalamnya

II.8 Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase


Dengan menyelesaikan perkara melalui Lembaga Arbitrase seperti Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berarti para pihak telah sepakat untuk
meniadakan proses pemeriksaan perkara melalui pengadilan negeri sehubungan
dengan adanya perjanjian di antara para pihak, yang mana para pihak akan
melaksanakan setiap keputusan yang di ambil oleh arbiter.

17

Sementara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini dilakukan dengan


beberapa tahapan yang harus dilalui sebagai berikut
1. Permohonan Arbitrase
Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan
Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase pada Sekretariat BANI. Di
dalam permohonan tersebut, pemohon menjelaskan baik dari sisi formal
tentang

kedudukan

pemohon

dikaitkan

dengan

perjanjian

arbitrase,

kewenangan arbitrase (dalam hal ini BANI) untuk memeriksa perkara, hingga
prosedur yang sudah ditempuh sebelum dapat masuk ke dalam penyelesaian
melalui forum arbitrase.
Penyelesaian sengketa di arbitrase dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan
para pihak berperkara. Kesepakatan tersebut dapat dibuat sebelum timbul
sengketa (Pactum De Compromittendo) atau disepakati para pihak saat akan
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase (akta van compromis).
Sebelum mendaftarkan permohonan ke BANI, Pemohon terlebih dahulu
memberitahukan kepada Termohon bahwa sehubungan dengan adanya
sengketa antara Pemohon dan Termohon maka Pemohon akan menyelesaikan
sengketa melalui BANI.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 30/1999, pemberitahuan
a.
b.
c.
d.
e.
f.

sebagaimana dimaksud di atas harus memuat dengan jelas:


Nama dan alamat para pihak;
Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
Cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila
tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan
usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Setelah menerima Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya


pendaftaran yang disyaratkan, Sekretariat harus mendaftarkan Permohonan itu
dalam register BANI. Badan Pengurus BANI juga akan memeriksa Permohonan
tersebut untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase

18

dalam kontrak telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk
memeriksa sengketa tersebut.
2. Penunjukan Arbiter
Pada dasarnya, para pihak dapat menentukan apakah forum arbitrase akan
dipimpin oleh arbiter tunggal atau oleh Majelis.
Dalam hal forum arbitrase dipimpin oleh arbiter tunggal, para pihak wajib
untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal
pemohon secara tertulis harus mengusulkan kepada termohon nama orang
yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal. Jika dalam 14 (empat belas) hari
sejak termohon menerima usul pemohon para pihak tidak berhasil menentukan
arbiter tunggal maka dengan berdasarkan permohonan dari salah satu pihak
maka Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter tunggal.
Dalam hal forum dipimpin oleh Majelis maka Para Pihak akan mengangkat
masing-masing 1 (satu) arbiter. Dalam forum dipimpin oleh Majelis arbiter
yang telah diangkat oleh Para Pihak akan menunjuk 1 (satu) arbiter ketiga
(yang kemudian akan menjadi ketua majelis arbitrase). Apabila dalam waktu
14 (empat) belas hari setelah pengangkatan arbiter terakhir belum juga didapat
kata sepakat maka atas permohonan salah satu pihak maka Ketua Pengadilan
Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.
Apabila setelah 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh
termohon dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan
menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya
akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah
pihak.
3. Tanggapan Termohon
Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang
memeriksa, maka setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang atau lebih
Sekretaris Majelis harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi
perkara arbitrase tersebut. Sekretariat harus menyampaikan satu salinan
Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada Termohon,
dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
19

Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian
Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam
Jawaban itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan
penunjukan itu kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut,
Termohon tidak menunjuk seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan
mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI.
Ketua BANI berwenang, atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu
pengajuan Jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan
alasan-alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut
tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari.
4. Tuntutan Balik
Apabila Termohon bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi)
atau upaya penyelesaian sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang
bersangkutan sebagai-mana yang diajukan Pemohon, Termohon dapat
mengajukan tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut
bersama dengan Surat Jawaban atau selambat-lambatnya pada sidang pertama.
Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan
tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian itu agar diajukan pada
suatu tanggal kemudian apabila Termohon dapat menjamin bahwa penundaan
itu beralasan.
Atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan
biaya tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pembebanan biaya
adminsitrasi yang dilakukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus
dipenuhi oleh kedua belah pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar
biaya yang berlaku yang ditetapkan oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila
biaya administrasi untuk tuntutan balik atau upaya penyelesaian tersebut telah
dibayar para pihak, maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian
akan diperiksa, dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan
tuntutan pokok.
Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar biaya
administrasi sehubungan dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak
menghalangi

ataupun

menunda

kelanjutan

penyelenggaraan

arbitrase
20

sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) sejauh biaya administrasi


sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) tersebut telah dibayar, seolaholah tidak ada tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tuntutan.
Jawaban Tuntutan Balik
Dalam hal Termohon telah mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau
upaya penyelesaian, Pemohon (yang dalam hal itu menjadi Termohon), berhak
dalam jangka waktu 30 hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh
Majelis, untuk mengajukan jawaban atas tuntutan balik (rekonvensi) atau
upaya penyelesaian tersebut.
5. Sidang Pemeriksaan
Dalam sidang pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase
dilakukan secara tertutup. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia,
kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih
bahasa lain yang akan digunakan. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili
oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.
Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan
diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat
unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para
pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang
memeriksa sengketa yang bersangkutan.
Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat
mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur
ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan.
Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis.
Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau
dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis
arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang
dianggap perlu pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan.
Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau majelis arbitrase,
diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata. Arbiter atau
majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang
21

dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang


sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil
secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut.
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180
(seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.
Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu
tugasnya apabila :
1. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu;
2. Sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya; atau
3. Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan
pemeriksaan.
Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan,
arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara
para pihak yang bersengketa. Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat
suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan
para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.
Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud termohon tanpa
suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil
secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan
sekali lagi.
Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon
dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka
persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan
tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan
atau tidak berdasarkan hukum.
Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu paling lama 30 hari
terhitung sejak ditutupnya persidangan, kecuali Majelis mempertimbangkan
bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya. Selain
menetapkan Putusan akhir, Majelis juga berhak menetapkan putusan-putusan
pendahuluan, sela atau Putusan-putusan parsial.
6. Biaya-biaya

22

Permohonan Arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya


administrasi sesuai dengan ketentuan BANI. Biaya administrasi meliputi biaya
administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta
biaya Sekretaris Majelis.
Mengenai biaya ini didasarkan juga pada besarnya nilai tuntutan yang
dicantumkan dalam permohonan arbitrase, baik materiil juga imateriil. Oleh
karena itu, pemohon arbitrase hendaknya lebih bijak dalam menetapkan nilai
tuntutannya. Satu dan lain hal, karena pendaftaran biaya arbitrase dihitung
berdasarkan prosentase nilai tuntutan dan majelis arbitrer hanya akan
mengabulkan nilai tuntutan yang dapat dibuktikan oleh pemohon.
Apabila terdapat pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase turut serta dan
menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase
seperti yang dimaksud oleh pasal 30 Undang-undang No. 30/1999, maka pihak
ketiga tersebut wajib untuk membayar biaya administrasi dan biaya-biaya
lainnya sehubungan dengan keikutsertaannya tersebut.
Dalam hal Termohon tidak memberikan tanggapan atau diam saja, maka
Pemohon arbitrase berkewajiban untuk membayar beban biaya perkara
Termohon. Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya
administrasi dilunasi oleh kedua belah pihak.

23

BAB III
III.1. Kesimpulan
Arbitrase dapat diajukan pada saat para pihak terjadi beda pendapat atau
sengketa yang mana penyelesaian melalui arbitrase harus didasarkan pada perjanjian
yang telah disepakati. Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase memilki tiga
tahapan dimulai dari tahapan persiapan, tahap pemeriksaan dan tahap pelaksanaan.
Dari beberapa tahapan arbitrase di atas, ternyata arbitrase mempunyai peran
sebagai salah satu bentuk penyelesaian suatu beda pendapat atau sengketa yang adil,
bijaksana, memuaskan para pihak, cepat, tuntas, efisien. Arbitrase adalah wadah untuk
membangun solusi yang didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan masing-masing
pihak yang bersengketa, yaitu membangun kepuasaan bersama dengan win-win
solution dan mendorong hubungan yang harmonis dan hubungan sosial yang lebih
kuat.
Keuntungan yang didapat bila menyelesaiakan sengketa dengan cara arbitrase
yaitu:
a. Kecepatan dalam proses
b. Pemeriksaan ahli di bidangnya
c. Sifat konfidensialitas
Tetapi

tidak

hanya

keuntunganya

saja

melaikan

kelemahan

dalam

penyelesaian sengeketa melalui arbitrase juga dapat ditemukan yaitu:


a.
b.
c.
d.

Hanya untuk para pihak bona fide.


Keuntungan mutlak pada arbiter.
Tidak ada presenden putusan terdahulu.
Masalah putusan arbitrase asing.

24

DAFTAR PUSTAKA
http://jefridayakk.blogspot.com/2014/02/proses-penyelesaian-sengketa-melalui.html
http://strategihukum.net/prosedur-penyelesaian-sengketa-melalui-arbitrase
http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Arbitrase_Nasional_Indonesia
http://gatot-arbitrase.blogspot.com/

25

Anda mungkin juga menyukai