melalui suatu lembaga non litigasi seperti Lembaga Arbitrase. Dimana menyelesaikan
suatu sengketa dengan cara ini dirasa lebih baik untuk menjamin dan melindungi
kredibelitas dari suatu usaha yang jalankan dimana dalam penyelesaian sengketa
melalui arbitrase ini akan menhasilkan win-win solution diantara para pihak yang
bersengketa.
Daripada menggunakan penyelesaian melalui peradilan dimana tidak selalu
menguntungkan bagi kepentingan para pihak yang bersengketa bahkan lembaga
peradilan yang secara konkret ketika mengemban tugas untuk menegakkan hukum
dan keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap
sengketa yang diajukan dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak
efektif dan efisien.
Arbitrase sendiri merupakan lembaga penyelesaian sengketa bisnis sudah lama
dikenal dalam praktek perdagangan maupun penanaman modal di Indonesia. Di masa
lalu, arbitrase kurang menarik perhatian dan kurang populer walaupun sesungguhnya
sudah lama diatur didalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu, dengan
lahirnya Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa merupakan perkembangan penting bagi hukum nasional,
sekaligus memantapkan eksistensi lembaga arbitrase dalam menyelesaikan sengketasengketa dalam dunia usaha termasuk memperlancar upaya menciptakan perdagangan
bebas dan kompetisi yang sehat.
Hadirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa ini telah memberikan jaminan kepastian hukum bagi
cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam setiap perjanjian di bidang
perdagangan nasional maupun internasional.Tidak hanya itu saja upaya penyelesaian
sengketa melalu arbitrase ini merupakan upaya yang baik untuk mendengarkan pihakpihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi hukum yang menjatuhkan putusan
terhadap suatu sengketa yang di adili nantinya. Apabila ditemukan titik temu dari
sengketa yang dipermasalahkan, maka hal ini terasa lebih baik dalam mengakhiri
suatu sengketa yang terjadi diantara kedua belah pihak. Usaha mendamaikan para
pihak-pihak yang bersengketa merupakan prioritas utama dan dipandang adil dalam
mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu dapat mewujudkan rasa
kekeluargaan dan kerukunan tetapi bila menemukan kendala dalam menyelesaikan
sengketa di arbitrase maka arbiter dapat mengambil suatu keputusan atau jalan tengah
untuk memecahkan suatu sengketa yang terjadi.
2
Selain itu juga lembaga arbitrase merupakan suatu lembaga penyelesaian sengketa
yang cukup luwes dimana lembaga ini tidak terikat akan suatu hukum acara dan
prosedur serta formalitas-formalitas yang harus dipenuhi seperti lazimnya pada
pengadilan negeri yang sangat terikat pada ketentuan yang sudah baku sehingga wajib
untuk diikuti. Pada hakikatnya pula penyelesaian melalui arbitrase ini hampir sama
dengan penyelesaian sengketa di muka pengadilan. Dengan adanya penyelesaian
sengketa melalui arbitrase hal ini merupakan salah satu cara yang sampai sekarang
banyak mendatangkan keuntungan bagi para pihak yang bersengketa. Dimana dalam
hal
suasana yang panas karena akan dapat menyulut api permusuhan diantara pihak-pihak
yang bersengketa nantinya. Apabila penyelesaian sengketa ini tercapai suatu
keputusan yang adil dan bijaksana maka hal ini merupakan nilai yang positif sekali
dimana hubungan yang sudah retak dikarenakan satu dan lain hal dapat terjalin
kembali seperti sediakala dan akan terasa lebih harmonis bahkan mungkin akan
bertambah akrab persaudarannya serta menjalankan usaha bisnisnya dengan lancar
kembali seperti sediakala dimana tidak ada pihak yang di kalahkan dalam hal ini (win
win solution) tetapi selain nilai keuntungan yang ada pastilah ada kelemahan dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Eropa berlaku Burgerlijke Wetboek atau BW (KUH Perdata), dan Wetboek van
Koophandel atau WvK (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dengan hukum
acaranya Rv.
Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan BW
dan WvK dalam hukum positifnya. Sehubungan dengan hal itu pendapat Peter J.
Burns (di dalam Abstract bukunya) yang mempertanyakan pembedaan konvensional
antara Timur dan Barat sangat menarik untuk dikaji. Menurutnya telah terjadi ironi
dalam perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk memisahkan diri dari Belanda
karena setelah merdeka identitas bangsa Indonesia justru dibentuk oleh ide-ide
Belanda, secara asli, daripada oleh kepribumiannya sendiri. Identitas tersebut
(termasuk dalam sistem hukum) berakar dari Eropa daratan. Walaupun aturan-aturan
hukum acara perdata yang terdapat dalam Rv tidak dijumpai dalam HIR, ia kemudian
menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata
setelah Indonesia merdeka.
Ketentuan arbitrase juga (secara implisit) terdapat dalam Pasal 377 HIR dan
Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten yang disingkat RBg). Dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg
disebutkan bahwa: Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki
perselisihan mereka diputus oleh juru pisah maka mereka wajib memenuhi peraturan
pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa.
Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka melalui
juru pisah atau arbitrase
b. Juru pisah atau arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan
putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul
c. Arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan
pengadilan bagi golongan Eropa
Pasal 377 HIR dan 705 RBg memberi peluang bagi para pihak membawa
sengketa mereka di luar pengadilan untuk diselesaikan. Mengingat HIR dan RBg
tidak mengatur arbitrase lebih jauh lagi, Pasal 377 HIR dan 705 RBg menunjuk
ketentuan-ketentuan dalam Rv yang berlaku bagi golongan Eropa dengan tujuan
untuk menghindari rechts vacuum (kekosongan hukum). Peraturan pengadilan yang
4
berlaku bagi orang Eropa sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah
semua ketentuan acara perdata yang diatur dalam Rv, yaitu dalam Buku Ketiga Bab I
(dari Pasal 615 s.d. Pasal 651).
Ketentuan Pasal 615 s.d. Pasal 651 Rv mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Pasal 615 s.d. 623 Rv: Perjanjian arbitrase dan pengangkatan para arbiter.
Pasal 624 s.d. 630 Rv: Pemeriksaan di muka arbitrase.
Pasal 631 s.d. 640 Rv: Putusan arbitrase.
Pasal 641 s.d. 647 Rv: Upaya-upaya atas putusan arbitrase.
Pasal 648 s.d. 651 Rv: Berakhirnya acara arbitrase.
Mengingat pesatnya perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan
nasional dan internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, ketentuanketentuan yang terdapat dalam Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah tidak
sesuai lagi. Misalnya, dalam Rv tidak diatur tentang pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase asing yang saat ini telah menjadi kebutuhan sehari-hari dalam
kegiatan bisnis internasional. Masalah-masalah lain yang dinilai tidak sesuai lagi
dalam Rv contohnya adalah perjanjian arbitrase tidak harus tertulis (Pasal 615 ayat 3),
diizinkannya banding ke Mahkamah Agung atas putusan arbitrase (Pasal 641 ayat 1),
larangan bagi wanita untuk menjadi arbiter (Pasal 617 ayat 2), dan lain-lain. Semua
itu bertentangan dengan kecenderungan dalam perkembangan hukum modern saat ini.
Dengan demikian, perubahan yang bersifat filosofis dan substantif merupakan suatu
conditio sine qua non. Pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, ketentuan-ketentuan
mengenai arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal
651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 Rbg, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dibandingkan dengan pengaturan Ketentuan-ketentuan Arbitrase Komisi
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hukum Perdagangan Internasional (The
United Nations Commission on International Trade Law) atau lebih dikenal Arbitrase
Model Law UNCITRAL 1985 yang terdiri dari 36 pasal, UU No. 30/1999 yang terdiri
dari 82 pasal tersebut telah secara luas mengatur berbagai hal terkait dengan arbitrase.
Banyaknya
pasal
tersebut
tampaknya
agar
UU
No.
30/1999
mampu
arbitrase
nasional
dapat
mendatangkan
banyak
persoalan
dan
Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide
(bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya. Para pihak yang bonafid adalah
mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap
kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan
putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk
menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan
memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di
pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu
putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan
stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa
perkaranya ke pengadilan.
Sering ditemui di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah
memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka
mengajukan perkaranya ke pengadilan. Anehnya, meskipun telah terdapat
klausul arbitrase di dalam perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang
menerima gugatan perkara tersebut. (Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2)
disebutkan bahwa: Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase...)
2. Ketergantungan mutlak pada arbiter
Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk
memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang
mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para
pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan
arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan
mengatakan putusan tersebut adil). Ketergantungan secara mutlak terhadap
para arbiter dapat merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam
arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding).
Meskipun semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan kewenangan
mutlak arbiter serta putusannya yang bersifat final dan mengikat, penulis tidak
sependapat; dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan. Artinya, itu
9
merupakan risiko yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak, dan
risiko tersebut harus diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga
arbitrase. Oleh karena itulah para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri
arbiter (yang terbaik dan paling menguntungkan dirinya) yang akan
menangani sengketa mereka.
3. Tidak ada preseden putusan terdahulu
Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan
tidak dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah
dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap
putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas
suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung
argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.
Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya
putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di
masa yang akan datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan
bertentangan dengan asas similia similibus, yaitu untuk perkara serupa
diputuskan sama.
4. Masalah putusan arbitrase asing
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan
sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya. Kesulitan itu
menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang
kalah terdapat harta yang harus dieksekusi. Oleh karena itu, berhasil tidaknya
penyelesaian sengketa melalui arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya
putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.
BAB II
II.1 Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari Bahasa Belanda: arbitrate dan Bahasa Inggris:
arbitration, dalam Bahasa Latin: arbitrare, yang berarti penyelesaian atau pemutusan
sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa mereka
10
akan tunduk dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang
mereka pilih atau tunjuk tersebut.
Dengan demikian arbitrase merupakan suatu peradilan perdamaian, dimana
para pihak yang bersengketa atau berselisih menghendaki perselisihan mereka tentang
hak-hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh
hakim yang adil yaitu tidak memihak kepada salah satu pihak yang berselisih tersebut.
Keputusan yang telah diambil mengikat bagi kedua belah pihak. Dalam pasal 1 ayat 1
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa
Selain itu juga banyak penulis yang mencoba untuk mendefinisikan arbitrase
dari sudut pandangnya masing-masing tetapi jika diperhatikan secara ensensinya
pendapat para penulis tersebut tidak berbeda secara signifikan, karena mengacu pada
pilihan penyelesaian sengketa komersial berdasarkan kesepakatan.
Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau
para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati
keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. ( Subekti, R. )
Arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara
yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan
kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak. (Abdurrasyid, H. Priyatna)
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berdasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang
dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan. ( Soemartono, Gatot )
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan
berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan
sengketa kepada seorang wasit atau arbiter. ( Mertokusumo, Sudikno )
11
12
13
14
15
Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal-hal tersebut di atas batal demi hukum.
Perjanjian untuk berarbitrase harus jelas dan tegas (unequivocal) serta tertulis.
Sementara klausula arbitrase mempunyai empat fungsi yang esensial, yakni:
1) Untuk
menghasilkan
konsekuensi
yang
diperintahkan
(mandatory
17
kedudukan
pemohon
dikaitkan
dengan
perjanjian
arbitrase,
kewenangan arbitrase (dalam hal ini BANI) untuk memeriksa perkara, hingga
prosedur yang sudah ditempuh sebelum dapat masuk ke dalam penyelesaian
melalui forum arbitrase.
Penyelesaian sengketa di arbitrase dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan
para pihak berperkara. Kesepakatan tersebut dapat dibuat sebelum timbul
sengketa (Pactum De Compromittendo) atau disepakati para pihak saat akan
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase (akta van compromis).
Sebelum mendaftarkan permohonan ke BANI, Pemohon terlebih dahulu
memberitahukan kepada Termohon bahwa sehubungan dengan adanya
sengketa antara Pemohon dan Termohon maka Pemohon akan menyelesaikan
sengketa melalui BANI.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 30/1999, pemberitahuan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
18
dalam kontrak telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk
memeriksa sengketa tersebut.
2. Penunjukan Arbiter
Pada dasarnya, para pihak dapat menentukan apakah forum arbitrase akan
dipimpin oleh arbiter tunggal atau oleh Majelis.
Dalam hal forum arbitrase dipimpin oleh arbiter tunggal, para pihak wajib
untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal
pemohon secara tertulis harus mengusulkan kepada termohon nama orang
yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal. Jika dalam 14 (empat belas) hari
sejak termohon menerima usul pemohon para pihak tidak berhasil menentukan
arbiter tunggal maka dengan berdasarkan permohonan dari salah satu pihak
maka Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter tunggal.
Dalam hal forum dipimpin oleh Majelis maka Para Pihak akan mengangkat
masing-masing 1 (satu) arbiter. Dalam forum dipimpin oleh Majelis arbiter
yang telah diangkat oleh Para Pihak akan menunjuk 1 (satu) arbiter ketiga
(yang kemudian akan menjadi ketua majelis arbitrase). Apabila dalam waktu
14 (empat) belas hari setelah pengangkatan arbiter terakhir belum juga didapat
kata sepakat maka atas permohonan salah satu pihak maka Ketua Pengadilan
Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.
Apabila setelah 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh
termohon dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan
menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya
akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah
pihak.
3. Tanggapan Termohon
Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang
memeriksa, maka setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang atau lebih
Sekretaris Majelis harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi
perkara arbitrase tersebut. Sekretariat harus menyampaikan satu salinan
Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada Termohon,
dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
19
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian
Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam
Jawaban itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan
penunjukan itu kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut,
Termohon tidak menunjuk seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan
mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI.
Ketua BANI berwenang, atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu
pengajuan Jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan
alasan-alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut
tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari.
4. Tuntutan Balik
Apabila Termohon bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi)
atau upaya penyelesaian sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang
bersangkutan sebagai-mana yang diajukan Pemohon, Termohon dapat
mengajukan tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut
bersama dengan Surat Jawaban atau selambat-lambatnya pada sidang pertama.
Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan
tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian itu agar diajukan pada
suatu tanggal kemudian apabila Termohon dapat menjamin bahwa penundaan
itu beralasan.
Atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan
biaya tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pembebanan biaya
adminsitrasi yang dilakukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus
dipenuhi oleh kedua belah pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar
biaya yang berlaku yang ditetapkan oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila
biaya administrasi untuk tuntutan balik atau upaya penyelesaian tersebut telah
dibayar para pihak, maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian
akan diperiksa, dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan
tuntutan pokok.
Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar biaya
administrasi sehubungan dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak
menghalangi
ataupun
menunda
kelanjutan
penyelenggaraan
arbitrase
20
22
23
BAB III
III.1. Kesimpulan
Arbitrase dapat diajukan pada saat para pihak terjadi beda pendapat atau
sengketa yang mana penyelesaian melalui arbitrase harus didasarkan pada perjanjian
yang telah disepakati. Dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase memilki tiga
tahapan dimulai dari tahapan persiapan, tahap pemeriksaan dan tahap pelaksanaan.
Dari beberapa tahapan arbitrase di atas, ternyata arbitrase mempunyai peran
sebagai salah satu bentuk penyelesaian suatu beda pendapat atau sengketa yang adil,
bijaksana, memuaskan para pihak, cepat, tuntas, efisien. Arbitrase adalah wadah untuk
membangun solusi yang didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan masing-masing
pihak yang bersengketa, yaitu membangun kepuasaan bersama dengan win-win
solution dan mendorong hubungan yang harmonis dan hubungan sosial yang lebih
kuat.
Keuntungan yang didapat bila menyelesaiakan sengketa dengan cara arbitrase
yaitu:
a. Kecepatan dalam proses
b. Pemeriksaan ahli di bidangnya
c. Sifat konfidensialitas
Tetapi
tidak
hanya
keuntunganya
saja
melaikan
kelemahan
dalam
24
DAFTAR PUSTAKA
http://jefridayakk.blogspot.com/2014/02/proses-penyelesaian-sengketa-melalui.html
http://strategihukum.net/prosedur-penyelesaian-sengketa-melalui-arbitrase
http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Arbitrase_Nasional_Indonesia
http://gatot-arbitrase.blogspot.com/
25