Anda di halaman 1dari 3

Hari Guru Mengenang 1995 s.

d 2008
Juli 1995, Senin dengan seragam berwarna biru. Pertama kalinya aku mengenal
bangku sekolah. Aku tergabung di kelompok apel, entah apa maksudnya kami
didiskriminasikan dalam kelompok dengan nama-nama buah. Semoga tidak
keliru, aku satu meja dengan Reza, Rezeki, Renaldi, Rian, dan Norlatifah.
***
Bu guru, begitu kami memanggil beliau. Kepada seorang perempuan berlogat
jawa kental yang mungkin usianya lebih tua dari ibuku. Di TK kami hanya ada
empat pengajar, semua dipanggil Bu Guru. Akibatnya selama beberapa waktu,
kukira semua guru adalah perempuan. Bedanya hanya ada yang kusebut Bu
kepala sekolah alias Mama Lana, Bu Putih karena kulit beliau sangat putih, Bu
Mia yang baru mengajarku saat TK nol besar, dan wali kelasku yang hingga hari
ini kusebut Ibu Jawa aku lupa nama beliau-.
Juli 1997, aku tidak lagi belajar di TK. Variasi seragamku berkurang, jika
sebelumnya empat macam sekarang hanya tiga macam termasuk seragam
olahraga. Aku bersekolah di MI yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Di kelas,
aku selalu duduk paling depan karena aku selalu paling pendek. Aku di kelas 1B,
wali kelasku Ibu Asiah. Tulisan beliau italic waktu itu aku terkagum-kagum
mengapa tulisan beliau miring-. Satu tahun yang menyenangkan, aku duduk
bersebelahan dengan Nurul Hikmah sekarang ia sudah menjadi ibu dari dua
anak-. Kami terjebak dalam ikatan menjadi sahabat sejati. Sebenarnya aku juga
tidak mengerti, barangkali maksud kami waktu itu adalah selalu duduk bersama
sampai kelas 6.
Juli 1998, aku resmi menjadi murid kelas 2A, wali kelasku Ibu Chairani. Beliau
paling senior di sekolah, cara berpakaian beliau mengingatkanku pada poster Ibu
Kartini. Di rumah, aku selalu bercerita dan menyebut beliau sebagai Ibu NenekNenek. Di kelas 2 ini kami diajari menulis bersambung, indah sekali. Seperti
tulisan teks proklamasi. Namun, aku kesulitan dan harus mengakalinya dengan
menulis tegak biasa lalu membubuhkan rantai-rantai pengait disetiap huruf.
Juli 1999, sekarang aku di kelas 3B. Pertama kalinya diajar penuh oleh Pak guru.
Bapak Sunarto, aku tak pernah menyangka bahwa beliaulah yang akan menjadi
guru favoritku selama di MI. Logat beliau mengingatkanku pada Ibu Jawa, tapi
tak bisa membuatku memanggil beliau sebagai Bapak Jawa. Rumah beliau satu
jalur dengan rumahku, biasanya beliaulah yang jadi patokan apakah aku harus
terburu-buru atau tidak ke sekolah. Aku akan panik bila aku melihat beliau
melintas di depan rumahku dengan sepeda motor Honda dan ada tulisan Bravo.
Aku akan bilang, Antar sekarang..... Bapak Narto sudah lewat.
Juli 2000, masuk kelas 4A, meski tak ada hubungannya, akan kukatakan bahwa
adikku yang bungsu baru berumur 3 bulan. Kelas kami di gunung, wali kelasku
Ibu Sudarni. Logat beliau Celebes kental. Di kelas 4 ini aku terpesona oleh
kehadiran pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Waktu itu aku suka Bahasa
Inggris, dihadapan teman-teman, dengan bangga aku melafalkan blackboard

seperti apa adanya dia. Aku belum tahu bahwa pelafalan bahasa Inggris tak
seperti bahasa Indonesia. Dulu masih sistem caturwulan, aku merasa sistem itu
adalah milikku. Karena ada namaku disana. Memasuki caturwulan 2, wali kelas
kami diganti, Bapak Kasim.
Juli 2001, resmi menjadi murid kelas 5B, wali kelasku Bapak Ideram. Beliau suka
baca koran, tulisan beliau sangat rapi. Sebelum menulis di papan tulis, beliau
selalu membagi papan tulis menjadi dua, dengan garis lurus. Tegas. Sampai hari
ini aku belum bisa menulis serapi beliau. Kabar terakhir yang kudengar, saat ini
beliau mengajar di SD Semayap.
Juli 2002, akhirnya aku kelas 6B. Bapak Sunarto lagi... Kelas 6 ini aku sering
terlambat, aku harus menunggu kedua adikku yang juga satu sekolah denganku,
kelas 4 dan kelas 1. Aku sering dihukum berdiri di depan kelas dan membaca
doa masuk kelas sendirian. Akurapopo. Disini aku jatuh hati dengan pelajaran
IPS. Aku suka buku IPS yang kami pakai, terbitan Intan Pariwara. Sampulnya
bergambar Kanguru dan Menara Eiffel. Sungguh, aku berkata ke orangtuaku
bahwa nanti aku akan masuk jurusan IPS. Aku benar-benar menyukai IPS. Pun
hari ini.
Juli 2003, setelah enam tahun berseragam putih merah, akhirnya aku resmi
berseragam putih biru. Di masa orientasi yang berlangsung tiga hari, ada guru
yang menepuk bahuku di koperasi. Belajar bujur-bujur lan lah, pesan beliau.
Aku bertanya-tanya siapakah beliau? Tapi sudahlah, meski penasaran, aku tidak
berani bertanya ke siapapun tentang nama beliau. Masa orientasi berakhir,
kegiatan belajar dimulai. Aku di kelas 1A, wali kelasku ibu Superni, beliau guru
bahasa Inggris. Saking seniornya, beliau juga pernah menjadi guru mamaku
waktu mamaku masih MTs.
Setelah beberapa pekan di MTs, aku tahu nama bapak guru yang menegurku di
koperasi. Beliau Pak Sholihin, guru matematika sekaligus bagian kesiswaan.
Selama tiga tahun di MTs, beliaulah guru yang akan selalu kukenang. Beliau yang
selalu membimbing dalam berbagai kegiatan dan lomba. Saat class meeting,
beliau yang paling betah menasihatiku berjam-jam. Aku paling ingat saat beliau
melatih untuk lomba pidato tiga bahasa, aku sempat kesal karena disuruh
mengulang-ulang. Beliau berkata, Bapak kada peduli ikam marah atau apa, tapi
tadi bagus. Aku mudah terharu, tapi waktu itu aku jaim. Aku mempertahankan
wajah merengutku.
Juli 2004, aku di kelas 2D. Kelas kami paling belakang, mungkin karena posisinya
D. Wali kelas kami seorang guru bahasa Arab, bapak Ahmad Hudari, seingatku
beliau pindahan dari Rantau dan baru beberapa bulan di Kotabaru. Beliau lulusan
pesantren, sejak itu aku mengira semua yang lulusan pesantren akan berwajah
seteduh beliau, akan berbicara sesantun beliau, dan akan berpembawaan
setenang beliau. Aku jadi ingin masuk pesantren juga. Heheee...
Juli 2005, sebentar lagi.... Aku di kelas 3A dan tahukah siapa wali kelasku? Bapak
Sholihin, bukan main girangnya aku. Rasanya aku ingin berkata, Pak, pian ajari
ulun sehari semalam jua kadapapa, ulun senang. Sesiang-siangnya jam

pelajaran Matematika, jika yang mengajar adalah beliau, aku tidak akan
mengantuk sedikitpun. Beliau sosok paling bersemangat yang pernah kutemui
selama belasan tahun kehidupanku dan semangat beliau selalu berhasil
menulariku.
Juli 2006, usai sudah pendidikan dasar sembilan tahun. Aku akan masuk SMA,
jurusan IPS. Namun, orangtuaku tidak pernah benar-benar mengiyakan keinginan
itu. Akhirnya aku masuk kelas akselerasi dan itu artinya aku harus ada di jurusan
IPA. Ya sudahlah...
Tahun pertama, wali kelasku Ibu Ratnawati, pengajar Biologi. Suami beliau juga
pengajar di SMA 1, Bahasa Inggris. Disini aku kembali jatuh hati pada
Matematika, aku terpesona pada pelajaran logaritma. Guru kami Pak Nanang
Mas, sekaligus kepala sekolah kami. Beliau sangat tenang. Aku pernah dipanggil
satu kali ke ruangan beliau dan ditanya Kenapa kada hakun umpat mengarang
bahasa Arab, takutan kah?
Jleb... kada pak, jawabku menyembunyikan kekhawatiranku. Sejak itu, aku
semakin bersemangat belajar matematika. Aku tidak boleh malu dihadapan
beliau.
Tahun kedua, wali kelasku guru Fisika, Ibu Sri Wahyuni. Aku suka cara beliau
mengajar. Aku suka dipaksa, aku suka diferensial, aku suka diberi PR hari Sabtu
dan dikumpul Minggu pagi pukul 10 di rumah beliau.
2007 itu pertama kalinya aku melihat jenazah secara langsung, pak Nanang
meninggal dunia. Beberapa hari kupandangi buku teks Matematika terbitan
Erlangga, buku yang selalu dibawa beliau. Pesan beliau, Buku Matematika
dibawa tiap hari, kalau ada jam kosong, bapak isi Matematika. Al-Fatihah....
November 2007 itu kudengar kabar Pak Sholihin meninggal dunia.
Sesungguhnya yang kukenang dari beliau sepenuhnya tentang kebaikan.
Sesungguhnya yang kukenang dari beliau sepenuhnya tentang ketulusan.
Selamat Hari Guru,
....dalam cahaya pendar yang terus engkau jaga....

Anda mungkin juga menyukai