Anda di halaman 1dari 7

Potret Pelanggaran HAM di Indonesia

Oleh : Ryscha Yuliardi Pratama ( 071112034 )

Negara

Republik

Indonesia

sebagai

sebuah

Negara

Hukum

yang

menggunakan Pancasila sebagai dasar hukumnya dan Undang-Undang Dasar 1945


sumber hukum yang berlaku, setidaknya, secara aturan tertulis, bangsa ini telah
megupayakan penjunjungan Hak Asasi Manusia (HAM). Di dalam sebuah negara
hukum, biasanya dan sudah seharusnya juga telah mencakup negara demokratis dan
memuat subsantsi HAM, Hak Asasi Manusia dengan negara hukum tidak dapat
dipisahkan, bahkan harusnya keduanya saling menopang dan tidak saling tindih.
Oleh karena hal tersebut, maka salah satu fungsi keberadaan negara adalah untuk
turut serta melindungi hak asasi manusia. Namun, belakangan hal tersebut mulai
dikesampingkan, tidak hanya antar sesama masyarakat, namun juga oleh
pemerintah kepada masarakatnya. Merupakan ironi tersendiri ketika pemerintah
yang seharusnya mampu menyediakan balance yang menjunjung terjaminnya HAM,
ternyata mereka justru melupakannya dan cenderung tidak mau tahu.
Saya tidak mengurusi GTT, salahmu sendiri jagi GTT, saya
cuma ngurusi Guru PNS Malik Fajar, salah seorang pejabat
negara di Mendiknas
Untuk melihat lebih jaul lagi mengenai kasus yang berkaitan dengan HAM, pertamatama penulis ingin sedikit memberikan gambaran mengenai definisi dan peraturan
terkait HAM di Indonesia. Setelah itu penulis akan mencoba untuk melihat beberapa
contoh kasus penyelewengan HAM di Indonesia, baik itu dari pemerintah, maupun
masyarakat sendiri.

Defini HAM dan Peraturan yang ada Indonesia


UDHR (Universal Declaration of Human Rights) memberikan pengertian hak
asasi manusia (HAM) sebagai perangkat hak-hak dasar manusia yang tidak boleh
dipisahkan

dari keberadaanya

sebagai manusia. Dengan

demikian,

martabat

manusia merupakan sumber dari seluruh HAM. Di Indonesia, konsep HAM dapat
ditemukan antara lain dalam UURI No.39 Tahun 1999 tentang HAM, seperangkat
hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
dan perlindungan harkat dan martabat manusia. UURI No.39 Tahun 1999 juga
mendefinisikan kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang
apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi
manusia. Sedangkan menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM,
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk
aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau
dikhawatirksn tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Kasus pelanggaran HAM yang pernah
diadili di Indonesia adalah kasus Timor-Timur, Tanjung Periok dan yang terakhir
kasus Abepura di Papua. Namun dari kesekian contoh kasus tersebut, beberapa
adalah pelanggaran HAM berat yang notabene dinilai dari jatuhnya korban jiwa,
lantas bagaimana dengan yang kasat mata ?

Pelanggaran HAM Tekhnikal, oleh Pemerintah


Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan UUD
1945 Pasal 31 ayat 1
Petikan konstitusi tersebut menegaskan bahwa pendidikan adalah hak, dan
pemerintah memikul tanggung jawab untuk memenuhinya bagi setiap warganegara.
Meskipun telah dilandasi oleh landasan konstitusional atas hak pendidikan, ternyata
masih ada saja kelemahan dalam pelaksanaan dan penerapannya. Salah satu potret
dari kekurangan itu adalah mengenai persyaratan Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2014 ini. Seperti kita ketahui bersama dalam
website resmi yang dikelola Panitia Pelaksana SNMPTN 2014 dan Majelis Rektor
Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (https://web.snmptn.ac.id/ptn/36) dinyatakan
di sana bahwa seorang calon peserta SNMPTN 2014 disyaratkan tidak tuna netra,
tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan,
dan tidak buta warna keseluruhan mapun sebagian ( www.suryaden.my.id ). Bagi
kaum difabel, persyaratan SNMPTN 2014 jelas akan membunuh harapan mereka
untuk menjadi peserta SNMPTN. Hak mereka untuk mengembangkan minat, bakat
dan kecerdasannya di perguruan tinggi negeri tertutup. Ketiadaan akses terhadap
hak atas pendidikan juga akan berdampak terhadap hak hidup anak-anak difabel
kedepannya. Bagaimanapun, pendidikan adalah pangkal dari penikmatan hak di
semua sector kehidupan. Peniadaan terhadap hak atas pendidikan seorang ialah
sumber dari malapetaka masa depan. Dengan konteks demikian, sangat terpahami
apabila keluarga difabel sangat marah dan sedih ketika perguruan tinggi negeri yang
notabene dikelola oleh Negara menutup hak atas pendidikan difabel.
Munculnya persyaratan SNMPTN 2014 yang dinilai menghalangi kaum difabel
sebagai salah satu peserta, sebenarnya adalah satu pukulan telak, mengingat negara

Indonesia pasca reformasi telah memiliki begitu banyak landasan hokum hak asasi
manusia yang menjamin dengan tegas terhadap tanggung jawab pemenuhan hak
atas pendidikan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sudah sangat jelas menjamin bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara.
Pasal 12 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tegas
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan
pribadinya, untuk memperoleh pendidikan. Bahkan, Pasal 4 ayat (1) UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga tegas
menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa ( www.suryaden.my.id ).
Namun lagi-lagi Pemerintah, nampaknya lalai atau mungkin (me)lupa(kan) akan
peraturan yang pernah ia buat.

Pelanggaran HAM Horisontal, Sesama Masyarakat


Kasus buruh panci yang sempat menjadi headline di beberapa media pada
kurun tahun 2013 lalu memberikan kenyataan pahit bahwa di tengah zaman yang
sudah demokratis dan modern ini, masih terdapat nilai-nilai dari bentuk
perbudakan. Kepolisian Resor Kota Tangerang yang menangani kasus ini
menemukan fakta bahwa pabrik panci ini adalah pabrik ilegal karena tidak memiliki
izin industri dari Kota Tangerang. Selain itu, juga terindikasi adanya pelanggaran
HAM karena menurut kesaksian buruh yang bekerja di sana, mereka diperlakukan
tidak manusiawi. Telepon genggam dan pakaian milik buruh disita oleh pemilik
perusahaan dan istrinya tanpa alasan yang jelas, ada 6 orang buruh disekap dengan
dikunci dari luar, keadaan mereka sangat memprihatinkan pada saat itu. Hak untuk

kesehatan dan komunikasi kerap diabaikan oleh pemilik perusahaan, ada indikasi
praktek Sweatshop dengan memperkerjakan buruh yang masih berusia di bawah
17 tahun dengan status masih anak-anak ( www.tempo.co ). Bagas, salah seorang
buruh korban penyekapan, mengatakan selama bekerja dia mengetahui ada seorang
anggota polisi yang kerap. Bagas menyebutnya sebagai anggota Brimob yang sering
menakut-nakuti dengan senjata api. "Kamu mau ditembak seperti ini," kata dia
mengutip pernyataan anggota kepolisian itu. Bagas menceritakan anggota Brimob
yang dikenal dengan nama Nurjaman itu selalu datang untuk mengancam para
pekerja. Brimob itu, kata dia, kerap membentak dan memukuli pekerja lain untuk
memberi pelajaran. "Dia menembak ke tanah dan membentak kami," kata dia di
Kontras pada Rabu, 8 Mei 2013. Nurjaman, kata dia, juga selalu datang jika ada
pekerja yang kabur. Pukulan dan bentakannya akan lebih keras dari biasanya. Jika
ada yang kabur, kata Bagas, Nurjaman akan menanyai teman yang satu daerah
dengan buruh yang kabur. Dia memaksa, apakah yang kabur pernah bercerita. Setiap
pertanyaan, kata dia, disertai pukulan dan tendangan. "Jika ada yang kabur,
temannya akan dipukuli," ujarnya. Pemuda berusia 22 tahun ini telah bekerja selama
enam bulan di pabrik pembuat panci di Tanggerang itu. Selama itu pula dia telah
menerima kekerasan fisik dan mental ( www.tempo.co ).

Kesimpulan
Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk
hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak-hak tersebut diberikan
langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Oleh karena itu, setiap upaya
perampasan terhadap nyawa termasuk di dalamnya tindak kekerasan pada
hakekatnya merupakan pelanggaran HAM bila dilakukan secara sewenang-wenang

dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang
berlaku ( Arief, 1966:76-77 ).

Kondisi Indonesia saat ini amat jauh dengan cita-cita awal yang ingin menegakkan
HAM tanpa terkecuali, hal ini bisa dilihat pada fenomena-fenomena kekinian,
dimana semakin marak terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
tidak hanya oleh sesama masyarakat, namu pemerintah pun juga telah mengambil
bagian di dalamnya. Kepedulian terhadap sesama sudah mulai terkikis oleh
timbulnya rasa tidak simpatik terhadap sesama manusia yang mungkin timbul
akibat adanya kemajuan zaman yang telah membutakan nurani. Hal ini juga
diakibatkan oleh adanya keinginan untuk memperkaya diri sendiri, sehingga
mengesampingkan hak-hak yang dimiliki manusia lain. Sehingga, dengan kata lain,
bangsa Indonesia ini bisa dikatakan bahwa hanya pandai dan ahli dalam membuat
aturan, namun dalam pelaksanaanya, nampaknya kita masih perlu banyak belajar.

Referensi :

Arief, Barda Nawawi. 1994. Kebijakan Legistatif dalam Penanggulangan Kejahatan


dengan Pidana Penjara. Badan Penerbit Undip. Semarang.
www.suryaden.my.id

,Difabel

Tidak

Boleh

Kuliah

di

Indonesia

dalam

http://suryaden.my.id/gaya/difabel-tidak-boleh-kuliah-di-indonesia/ diakses 17
April 2014
www.tempo.co ,Sekap Pabrik Buru Panci di Sepatan digerebek, dalam
http://www.tempo.co/read/news/2013/05/04/064477916/Sekap-BuruhPabrik-Panci-di-Sepatan-Digerebek/ diakses 17 April 2014

Anda mungkin juga menyukai