Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU

BLOK 22
UNIT PEMBELAJARAN 6
KUNJUNGAN KE FARM BURUNG

KELOMPOK 13
MOHAMAD LUTVI AMIN
11 / 315616 / KH / 07074

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

I. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Bagaimana manajemen pemeliharaan burung ?
2. Apa saja penyakit pada burung baik infeksius dan non infeksius?

II. PEMBAHASAN
1. Manajemen pemeliharaan burung meliputi :
a. Bentuk dan ukuran kandang
Kandang/sangkar burung dapat dibuat dengan sistem individu (satu kelompok reproduksi
dari jenis yang sama dalam satu kandang yang terpisah); sistem kompartemen (satu kelompok
reproduksi dari jenis yang sama dalam satu kandang B yang bersisian paralel dengan kandang
lainnya); atau sistem komunal atau koloni (beberapa kelompok reproduksi dari jenis yang
sama atau berbeda dalam satu sangkar besar). Pada sistem komunal, dapat dilakukan
penggabungan berbagai jenis burung tetapi tidak dilakukan pencampuran dengan jenis
predator atau kompetitor agresif. Jenis predator dan kompetitor masing-masing dapat
dimasukkan ke dalam kandang individu yang terpisah. Selanjutnya ukuran satu unit
kandang/sangkar individu maupun kompartemen disesuaikan dengan ukuran burung yang
akan dipelihara. Ukuran yang umumnya dibuat adalah 3 m x 3 m, dengan tinggi minimal 3 m
(terutama untuk jenis arboreal). Kelompok reproduksi yang menganut pola monogami (satu
pasangan jantan dan betina), ukuran kandang untuk berkembang biak dapat lebih kecil (Setio
dan Takandjandji, 2007).
Ukuran sangkar. Besarnya sangkar burung perlu disesuaikan dengan ukuran burung, jenis
burung dan gaya atau gerak mereka ketika berkicau. Tangkringan/ tenggeran. Tenggeran ideal
terbuat dari kayu keras dan permukaan kasar tetapi tidak tajam, misalnya kayu asam dan bukan
kayu yang halus permukaannya seperti kayu jambu biji misalnya. Diameter ideal adalah kaki
burung bisa mencengkeram kira-kira 2/3 bagian lingkar tenggeran. Jumlah tenggeran bisa
satu, dua atau tiga. Sementara khusus branjangan bisa menggunakan sangkar bulat dengan
ukuran diameter 35-30 cm sepanjang 75 100 cm dengan tangkringan khusus terbuat dari
batu apung (Setio dan Takandjandji, 2007).

Kandang penangkaran

Keterangan bagian dalam:

G : Tangkringan

A+B

Keterangan tampak depan:

: lokasi untuk penempatan sarang;

dalam satu kandang bisa diberi dua atau tiga


tempat biar burung memilih sendiri mau
bersarang di mana.
C : Atap tertutup

A : Kawat strimin sehingga burung bisa terlihat


dari luar untuk pengecekan.
B : Jendela untuk keluar masuk tangan mengganti
air minum dan pakan.

D : Atap terbuka (digunakan kawat strimin)

C : Papan/tembok tertutup

E : Wadah air (untuk mandi)

D : Pintu untuk keluar masuk orang.

F : Lokasi/wadah pakan/air untuk minum

Kandang sangkar

b. Pakan
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam masalah pakan adalah bahwa pakan tersebut
memenuhi kriteria. Pakan harus mengandung unsur-unsur karbohidrat, lemak, protein,
vitamin, dan mineral. Jika semua unsur terpenuhi dan jumlahnya mencukupi maka kesehatan
burung peliharaan itu dapat tetap terjaga (Anonim, 2010).
Pakan burung bermacam-macam dan dikelompokkan ke dalam jenis burung pemakan
biji-bijian, buah buahan, dan sayur-sayuran. Jenis pakan yang dapat diberikan pada burung
adalah:
a) Kelompok biji-bijian: jagung, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang nasi,
kacang turis dan biji bunga matahari.
b) Kelompok buah-buahan: pisang, pepaya dan jambu biji.
c) Kelompok sayur-sayuran: kacang panjang, bayam, kangkung, tauge, tomat dan wortel
(Setio dan Takandjandji, 2007).
c. Perawatan
Pada perawatan burung seperti pemberian pakan, memandikan, sanitasi dan lain-lain,
yang perlu diperhatikan adalah konsistensi. Pemberian pakan harus teratur dan konsisten baik
dalam jadwal maupun takaran. Ketidak konsistenan akan menyebabkan burung tidak stabil.
Konsisten terhadap jadwal memandikan burung, di pagi hari, sore hari, sehari sekali atau
seminggu sekali. Kalau memang perlu ada perubahan maka hendaknya perubahan tidak
dilakukan secara drastis dan konsisten menerapkan pola baru tersebut. Perubahan dilakukan
secara bertahap selain itu lakukan latihan atau perawatan untuk menjaga kualitas fisik dan
mental burung (Anonim, 2008).

d. Sexing
Kelompok lovebird dimorfik
1. Lovebird abisinia (Agapornis taranta) : Lovebird jantan berat badan 65 gram, dahi
berwarna merah. Lovebird betina berat badan 55 gram, dahi berwarna hijau.
2. Lovebird madagaskar (Agapornis cana) : Tidak ada perbedaan berat badan antara lovebird
jantan dan lovebird betina. Lovebird jantan kepala dan leher berwarna abu-abu. Lovebird
betina bulu tubuh keseluruhannya berwarna hijau.
3. Lovebird muka merah (Agapornis pullaria) : Lovebird jantan: dahi dan muka berwarna
merah-oranye, tunggir (bulu di atas pantat, di bawah ujung lipatan sayap) berwarna biru
muda, bulu terbang dan bagian bawah bulu sayap berwarna hitam. Lovebird betina dahi
dan muka lebih didominasi warna oranye dibandingkan warna merah, bagian bulu penutup
sayap berwarna hijau dan di tepi sayap berwarna kekuningan (Prijono, 2000).
3

Kelompok intermediate
1. Lovebird black collared (Agapornis swinderniana) : Lovebird jantan dan betina sangat sulit
dibedakan dan tampak serupa dalam penampilan luarnya.
2. Lovebird jantan dan betina serupa dalam penampilannya, meskipun pada umumnya
lovebird betina mempunyai bulu di bagian kepala dengan warna yang lebih pucat (Prijono,
2000).
Kelompok lovebird kacamata
Empat jenis lovebird yang termasuk dalam kelompok lovebird kacamata adalah lovebird
nyasa (Agapornis lilianae), lovebird pipi hitam (Agapornis nigrigenis), lovebird topeng
(Agapornis personata), lovebird fischer (Agapornis ficheri). Keempat jenis lovebird ini sangat
sulit dibedakan antara jantan dan betina. Meskipun demikian ada sedikit perbedaan berat
badan antara jantan dan betinanya. Satu keunikan dari lovebird kelompok kacamata adalah
pada saat menjelang musim berkembangbiak burung betina akan membawa bahan sarang di
bawah bulu tunggir dan bulu punggung bagian bawah (Prijono, 2000).
Pada jenis lovebird yang tidak dapat dibedakan jenis kelaminnya berdasarkan penampilan
luarnya yang spesifik maka akan sulit untuk membedakan lovebird jantan dan lovebird betina.
Pada kejadian ini makan ada beberapa cara untuk digunakan memnedakan lovebird jantan dan
lovebird betina. Lovebird betina cenderung memiliki tubuh yang kekar dan lebih berat.
Lovebird jantan mempunyai warna yang lebuh terang dari lovebird betina. Lovebird betina
bertengger dengan jarak antarkaki lebih lebar dibandingkan lovebird jantan. Lovebird betina
mempunyai ekor dengan bentuk lebih rata dibandingkan pada ekor lovebird jantan yang
berbentuk agak meruncing. Kegiatan membangung sarang lebih intensif dilakukan oleh
lovebird betina ketimbang jantan. Pada musim berkembang biak, tulang pubis lovebird betina
menjadi lebih elastic dan jarak antara kedua tulang pubis tersebut melebar karena pengaruh
hormone. Keadaan tersebut dapat dirasakan dengan rabaan tangan. Pada lovebird jantan, jarak
antara dua tulang pubis tersebut sempit. Teknik perabaan ini hanya dapat digunakan bila
kegiatan seksual lovebird betina dengan aktif. Untuk mengetahui jenis kelamin lovebird juga
bisa dilakukan dengan menggunakan alat laparoscopy. Cara lain untuk mengetahui jenis
kelamin lovebird adalah dengan menguji DNA yang dapat diperoleh dari darah atau bulu
burung. Apabila dalam foto tersebut terlihat dua pita maka lovebird tersebut dapat dipastikan
berkelamin betina. Namun jika terlihat hanya satu pita, lovebird itu bias dipastikan jantan
(Prijono, 2000).

2. Penyakit pada burung :


a. Canary Pox
Canary pox disebabkan oleh avian pox virus dari genus Avipoxvirus yang merupakan
anggota famili Poxviridae yang memiliki genom dsDNA (MacLahlan dan Dubovi, 2011).
Transmisi penyakit ini bisa secara kontak langsung dengan burung yang terinfeksi atau
secara tidak langsung dari benda yang terkontaminasi. Selain itu transmisi juga bisa terjadi
melalui nyamuk. Masuknya virus ke tubuh hewan bias dengan dua cara yaitu melalui kulit
yang terluka atau gigitan nyamuk dan melalui inhalasi. Penyakit ini memiliki dua bentuk
yaitu bentuk kutaneus dan bentuk diphteritik (pernapasan). Virus yang masuk melalui jalur
kulit biasanya menyebabkan infeksi dalam bentuk kutaneus, sedangkan yang masuk melalui
jalur inhalasi biasanya menyebabkan bentuk diphteritik. Pada bentuk kutaneus akan terlihat
3 bentukan lesi pada daerah-daerah yang tidak ditumbuhi bulu, seperti disekitar mata, kaki,
nares, dan paruh. Lesi tersebut berupa papula dengan diameter 2-4 mm yang kemudian akan
berubah menjadi vesikula yang akan pecah secara spontan kemudian mengering dan
membentuk krusta. Burung yang terinfeksi bentuk kutaneus ini sering menggarukkan daerah
sekitar mata dan paruhnya ke tenggeran, mereka juga akan mematuk lesi di kakinya hingga
berdarah.
Pada bentuk diphteritik, lesi terlihat di mukosa lidah, faring dan laring. Lesi fibrinosa
berwarna abu-abu hingga coklat dan bersifat kaseous. Pada kasus yang parah, burung akan
mengalami kesulitan unutkng menelan dan mengalami dispnoe. Diagnosa dapat dilakukan
dengan melihat gejal klinis, pemeriksaan histopatologis dimana akan terlihat hiperplasia
pada epidermal serta adanya benda inklusi intrasitoplasmik yang bersifat eosinofilik
(merah). Selain itu juga bisa dengan metode serologis seperti ELISA dan metode molekuler
seperti PCR (Saif et al., 2008). Untuk tereapi, karena infeksi ini disebabkan oleh virus, maka
belum ada terapi kausatif yang dapat digunakan. Terapi yang biasanya hanya terapi suportif
seperti pemberian antibiotik, pemberian iodin pada lesi kutaneus dan mukosa, serta
pemberian multivitamin (Harrison dan Lightfoot, 2006).
b. Avian Chlamydophylosis
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Chlamydophila pittaci, yaitu bakteri gram negatif
dan hanya dapt bereplikasi secara intraselular. Bakteri ini memeliki 3 bentuk yang secara
morfologis berbeda yaitu elementary body (EB), reticulate body (RB), dan intermediete
body (IB). EB merupakan bentuk infeksius yang berada di luar sel. EB berukuran kecil
sekitar 200-300 nm dan setiap EB dilapisi oleh membran sitoplasmik,ruang periplasmik, dan
lapisan terluar yang mengandung lipopolisakarida. EB memasuki sel hospes secara
5

endositosis dan berubah menjadi RB yang memiliki diameter 1 m. RB akan melalukan


pembelahan biner di dalam endosom dan mengalami maturasi menjadi IB dengan diameter
sekitar 0.3-1.0 mm,sebelum kemudian menjadi EB kembali dan melisiskan sel hospes.
Bakteri ini masuk ke dalam tubuh hospes melalui inhalasi lalu EB akan menginvasi selsel di saluran pernapasan dan didistribusikan melalui darah ke organ-organ lain (Quinn et
al., 2002). Gejala klinis yang terlihat bervariasi dan tidak ada gejala yang patognomonik.
Pada kebanyakan kasus infeksi terjadi secara laten tanpa adanya gejala klinis dan hewan
yang terinfeksi akan menjadi carrier. Pada burung yang terinfeksi parah gejala yang mungkin
terlihat adalah bulu kusam, depresi dan anoreksia. Pada kasus kronis akan terlihat penurunan
berat badan.
Gejala awal yang mungkin terdeteksi adalah adanya konjunctivitis, rhinitis, dan sinusitis
dengan leleran jernih, bila terjadi infeksi sekunder leleran akan menjadi purulen. Selain itu
mungkin teramati dispnoe. Gejala-gejala ini sering kali diikuti dengan feses yang berwarna
hijau terang atau diare yang berwarna hijau kekuningan. Perubahan patologi yang terjadi
adalah pembesaran limpa, perikarditis, hepar sangat membesar dan biasanya terdapat
nekrotik foki yang kecil, serta pada serosa saluran pernapasan menunjukan adanya eksudat
putih kekuningan.
Diagnosa dapat dengan melakukan radiografi pada hewan untuk melihat adanya
pembesaran limpa, hepar, dan ginjal. Selain itu bisa juga dengan pemeriksaan serologis
(ELISA), isolasi bakteri, dan identifikasi bakteri dengan sampel dari swab konjunctiva
(Brown dan Chitty, 2004). Untuk terapi dapat diberi antibiotik seperti doxycycline yang
dicampur dengan air minum dengan dosis 280 mg/L air atau disuntikan secara IM dengan
dosis 100 mg/kg BB sekali seminggu (Harrison dan Lightfoot, 2006).
c. Air sac mite
Disebabkan oleh Cytodites nudus ditemukan pada kantung udara, dan pulmo burung liar
serta kenari dengan bentuk oval, panjang 50m dan atau Sternostoma tracheocolum yang
memiliki tempat predileksi pada trakea dan bronchi. Transmisi terjadi secara langsung antara
cavitas nasal burung terinfeksi ke burung sehat melalui eksternal nostril, indukan yang
meloloh anaknya, air dan lingkungan tercemar. Tungau tersebut merayap dari bagian kepala
burung kemudian memasuki nostril, melewati trakea dan sampai ke pulmo (Elmer dan
Glenn, 2009).
Gejala klinis infestasi parasit tersebut antara lain batuk, bersin, perubahan pada vokal ,
tail bobbing dan burung membuka paruhnya. Kasus yang berat dapat menimbulkan
kelemahan dan kematian (Fowler, 2008).

Pengobatan dapat menggunakan ivermectin 0.1% (1:10 dilusi dengan propylene glycol)
sebagai pengobatan atau pyrethrin/piperonyl butoxide spray, pada berat 50 gram 1 tetes dan
100 gram 2 tetes pada bagian yang sedikit bulu dan bawah leher (Sridadi, 2001)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Kunci Utama Perawatan Burung. Diunduh dari omkicau.com/2008/11/02/kunciutama-perawatan-burung/ pada 26 Maret 2015
_______. 2010. Pakan Burung. Diunduh dari omkicau.com/pakan-burung/ pada 26 Maret 2015.
Brown, N. Chitty, J. 2004. BSAVA Manual of Psittacine Bird 2 Edition. British Small Animal
Veterinary Association. England
Elmer, RN dan Glenn, AN. 2009. Parasitology The Biology of Animal Parasites. Sixth Edition.
Penerjemah drh. Wardianto. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas gadjah Mada.
Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta.
Fowler, ME. 2008. Zoo and Wild Animal Medicine. Philadelphia : W.B. Saunders Company.
Harrison, G. J. Lightfoot, T. L. 2006. Clinical Avian Medicine. Spix Publishing: Florida
MacLahlan, J. Dubovi, E. 2011. Fenner Veterinary Virology 4 Edition. Elsevier. United
Kingdom
Prijono, S N. 2000. Lovebird. Penebar Swadaya. Jakarta.
Quinn, P. Markey, B. Carter, M. Donnelly, W. Leonard, F. 2002. Veterinary Microbiology and
Microbial Disease. Blackwell Science. USA
Saif, Y. Fadly, A. Glisson, J. McDougald, L. Nolan, L. Swayne, D. 2008. Disease of Poultry 12
th Edition. Blackwell Publishing. Iowa

Setio, Pujo., dan Mariana Takandjandji. 2007. Konservasi Ex Situ Burung Endemik Langka
Melalui Penangkaran.
Sridadi. 2001. Beternak Kenari dan Permasalahannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai