Anda di halaman 1dari 6

Aisyah Jazuli Putri071411231074Week 6

Mengenal Pancasila

Sesuai fakta sejarah, Pancasila tidak terlahir dengan seketika pada tahun 1945, tetapi telah
mengalami proses penemuan yang lama, dengan dilandasi oleh perjuangan bangsa dan
berasal dari gagasan dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Proses konseptualisasi yang
panjang ini dicerminkan dalam usaha perumusan dasar negara yang muncul usulan-usulan
pribadi yang dikemukakan dalam sidang BPUPKI, yang mana Soekarno berhasil
mensintesiskan gagasan-gagasan atas

dasar falsafah negara yang kemudian disebut

Pancasila. Berdasarkan sejarah, ada tiga rumusan dasar negara yang dinamakan Pancasila,
yaitu rumusan konsep oleh Sukarno dalam sidang BPUPKI, rumusan oleh Panitia Sembilan
dalam Piagam Jakarta, dan rumusan pada Pembukaan Undang- Undang Dasar, yang dapat
dimaknai sebagai satu kesatuan dalam proses kelahiran falsafah negara Pancasila. Penulis
akan membahas mengenai alasan para pendiri bangsa dalam memilih Pancasila sesuai dengan
pidato Sukarno, arti penting Pancasila sesuai pandangan Somantri dan Mulders yang
ditentang oleh Van der Kroef, serta dinamika interpretasi Pancasila menurut Somantri yang
didukung oleh Prawiranegara.

Pembukaan UUD 1945 memuat Pancasila sebagai perwujudan prinsip-prinsip dasar negara
Indonesia merdeka. Prinsip-prinsip tersebut dikemukakan oleh Sukarno dalam pidatonya
yang dikenal sebagai "Lahirnya Pancasila" pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Alasan
mengapa pendiri bangsa menyetujui pidato Sukarno dan memilih Pancasila sebagai dasar
negara ialah karena Pancasila diambil dan digali melalui prinsip-prinsip fundamental yang
telah ada dan tumbuh di Indonesia sejak dahulu. Sesuai dengan Pancasila yang menurut
Soekarno (2007: 27) ialah sebagai sebuah philosofische grondslag atau fundamen, filsafat,
jiwa, pikiran dan hasrat yang sedalam-dalamnya, penulis berpendapat bahwa Pancasila
memiliki berbagai arti penting yang berfungsi sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara seluruh rakyat Indonesia. Singkatnya, Pancasila-lah yang mencerminkan
bagaimana Indonesia yang sebenarnya. Prinsip-prinsip Pancasila usulan Sukarno adalah, (1)
kebangsaan Indonesia, (2) internasionalisme atau peri-kemanusiaan, (3) mufakat atau
demokrasi, (4) kesejahteraan sosial, (5) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sukarno,

Aisyah Jazuli Putri071411231074Week 6

2007: 50). Usulan Sukarno atas Pancasila tersebut masih dalam bentuk yang sederhana, serta
sebagai hasil dari apresiasi yang kompleks atas kebutuhan ideologis sebuah negara yang baru
merdeka. Pancasila yang baru lahir merupakan hasil sintesa yang paling dapat
mengakomodasi kondisi heterogen bangsa karena tidak berasal dari kelompok etnis tertentu,
serta diwujudkan dengan tujuan untuk menentukan nilai-nilai dasar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Terdapat beragam pemahaman mengenai arti Pancasila yang sesungguhnya. Menurut Van der
Kroef (1945: 225), Pancasila merupakan sebuah ekspresi atas malaise spiritual yang
mendalam, sebuah jargon tanpa arti di tengah ketidakrekatan ikatan sosial, serta perubahan
nilai budaya yang membahayakan. Pernyataan tersebut dikritik oleh Somantri (2006: 2) yang
menyatakan bahwa Pancasila bukanlah merupakan jargon kosong yang muncul di tengahtengah malaise spiritual bangsa Indonesia, namun justru Pancasila merupakan nilai-nilai inti
yang bersifat inklusif yang telah digali oleh pendiri bangsa. Pancasila adalah pertemuan
antara nilai-nilai universal dengan kearifan lokal yang telah ada sejak zaman nenek moyang,
yang nilai-nilai ideal tersebut akan mampu untuk mewujudkan cita-cita Bhinneka tunggal Ika
(Somantri, 2006: 2). Menyetujui pernyataan Somantri, Mulder menyatakan bahwa Pancasila
merupakan invensi yang hebat dan takdir yang menggabungkan identitas nasional dengan
filsafat kehidupan bangsa (Mulder, 2005: 124). Penulis pula memiliki pandangan yang sama
dengan Somantri, bahwa Pancasila mengandung arti penting berupa panduan nilai yang
universal sebagai pedoman hidup dan pemersatu bangsa yang majemuk. Pancasila juga
sebagai jalan hidup, pandangan universal atas petunjuk arah dalam berbagai bidang
kehidupan.

Mendukung pernyataan Somantri, Eka Darmaputera berpandangan bahwa Pancasila tidak


hanya interpretasi pada sebuah fase sejarah selayaknya yang di kemukakan oleh Van der
Kroef, akan tetapi arti penting Pancasila dapat ditunjukkan dengan kemampuannya dalam
memelihara persatuan dalam keanekaragaman (Darmaputera dalam Somantri, 2006: 22).
Pancasila

merupakan

pilihan

cerdas

pendiri

bangsa

dalam

mengatasi

masalah

keanekaragaman ketika baru merdeka. Pancasila dibutuhkan untuk masyarakat yang sangat
terfragmentasi oleh suku, agama, bahasa, dan identitas-identitas lokal (Somantri, 2006: 23).

Aisyah Jazuli Putri071411231074Week 6

Sebagai dasar negara yang merupakan pandangan hidup bangsa menjadi sebuah falsafah
dasar, Pancasila dalam pelaksanaannya tidak bisa bertentangan dengan norma agama, norma
kesusilaan, norma sopan santun, norma hukum, serta norma maupun nilai universal lainnya.
Pancasila sebagai suatu cara berpikir filosofis, yang oleh karena itu segala implementasinya
harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan dapat diterima oleh akal sehat. Dalam
hal ini, sejarah telah menjadi medan pembuktian bagi arti penting serta efektivitas Pancasila
sebagai falsafah dasar dan nilai-nilai inti bangsa Indonesia.

Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, Pancasila mengalami banyak
dinamika dalam proses implementasinya. Sesaat setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945,
Pancasila melewati masa-masa percobaan demokrasi. Indonesia masuk ke dalam era
percobaan demokrasi multi-partai dengan sistem kabinet parlementer, di mana partai-partai
politik pada masa itu tumbuh sangat subur, dan proses politik yang ada cenderung selalu
berhasil dalam mengusung kelima sila sebagai dasar negara (Somantri, 2006: 9). Namun pada
akhir tahun 1959, Pancasila memasuki masa kelamnya di bawah ortodoksi ideologi ala
Soekarno (Somantri, 2006: 11). Presiden Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin
yang tujuannya agar presiden dapat tetap memegang kendali politik terhadap berbagai
masalah baik dalam internal maupun eksternal pemerintahan, dengan mencoba untuk
memerankan politik integrasi paternalistik (Somantri, 2006: 11-2). Sistem ini seakan
mengkhianati nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu sendiri, salah satunya adalah sila
permusyawaratan (Somantri, 2006: 12). Singkatnya, Pancasila yang dilahirkan oleh Soekarno
1 Juni 1945 sebagai Dasar negara Indonesia Merdeka, tenggelam dalam upayanya untuk
menggiring Indonesia pada ortodoksi ideologi, yang dalam praktiknya ditekankan pada
gagasan masa muda Soekarno untuk mempersatukan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme
(Somantri, 2006: 12-3).

Hingga pada tahun 1965, partai komunis berusaha melakukan pemberontakan yang berujung
pada pengalihan wewenang atas Indonesia dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.
Inilah yang merupakan awal era orde baru di mana Pancasila mengalami mistifikasi atau
penggunaanya sebagai instrumen politik yang dapat membenarkan segala penyelewengan
yang ada pada pemerintahan masa itu. Pancasila pula ditekankan sebagai ideologi negara

Aisyah Jazuli Putri071411231074Week 6

yang mengakibatkan Pancasila menjadi kaku dan mutlak pemaknaannya (Somantri, 2006: 178). Secara lebih lanjut rezim Soeharto menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, yaitu satusatunya asas yang menjadi dasar dalam kehidupan berpolitik (Somantri. 2006: 18). Hal ini
kemudian disorot oleh Prawiranegara yang mengungkapkan ketidaksetujuannya atas
Pancasila yang dijadikan sebagai asas tunggal, hingga membutuhkan interpretasi ulang atas
implementasi Pancasila yang salah kaprah ini. Pergantian landasan organisasi berbasis agama
menjadi berbasis Pancasila yang terjadi ada era pemerintahan Soeharto tersebut secara tidak
langsung telah menggantikan posisi agama dengan Pancasila itu sendiri sehingga seakan-akan
Indonesia telah mengagamakan Pancasila (Prawiranegara, 1984: 78).

Berakhirnya rezim Soeharto tidak lantas menghapus berbagai bekas penistaan Pancasila yang
terjadi pada masa itu. Sistem politik pada masa orde baru memang mengakibatkan trauma
atas implementasi Pancasila, yang dalam hal ini penulis menyetujui pendapat Prawiranegara
atas dibutuhkannya interpretasi ulang atas makna Pancasila yang sesungguhnya. Van der
Kroef (dalam Soemantri, 2006: 20) yang menilai kondisi Pancasila dari dinamika sejarah
bangsa Indonesia memandang bahwa Pancasila hanyalah arena perselisihan di kalangan
intelektual dan menjadi pembenaran para demagog. Pernyataan Van der Kroef tersebut
ditentang oleh Onghokham dan Achdian

yang sekaligus menjelaskan kesalahkaprahan

implementasi Pancasila pada masa orde baru. Onghokham dan Achdian (2006: 93)
berpendapat bahwa Pancasila ialah sebagai kontrak sosial, bukan sebagai ideologi. Pancasila
ialah sebuah bentuk kesepakatan yang mana seseorang/kelompok terikat dengan kewajibankewajiban moral dan/atau politik yang bergantung pada kontrak atau kesepakatan di antara
mereka dalam membentuk masyarakat. Singkatnya, pancasila sebagai konsepsi bernegara
yang telah disepakati dan diterima, maupun asas kehidupan bernegara yang menjadi acuan
atas kehidupan bersama.

Kesimpulannya, pendiri bangsa sampai pada konsensus untuk menjadikan Pancasila sebagai
dasar negara ialah karena Pancasila merupakan hasil sintesa yang paling dapat
mengakomodasi kondisi heterogen bangsa karena tidak berasal dari kelompok etnis tertentu,
serta diwujudkan dengan tujuan untuk menentukan nilai-nilai dasar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai dasar negara mengandung arti penting berupa

Aisyah Jazuli Putri071411231074Week 6

panduan nilai yang universal sebagai pedoman hidup dan pemersatu bangsa yang majemuk.
Namun dalam praktiknya, implementasi Pancasila harus dapat dipertanggungjawabkan secara
logis dan dapat diterima oleh akal sehat, yang mana sejarah telah menjadi medan pembuktian
bagi arti penting serta efektivitas Pancasila sebagai falsafah dasar dan nilai-nilai inti bangsa
Indonesia. Interpretasi Pancasila tidak hanya dapat ditilik melalui fase sejarah saja, namun
juga melalui berbagai pandangan atas nilai-nilai universal yang harus selalu dijadikan sebagai
pegangan atas falsafah dasar dalam kehidupan masyarakat. Dinamika sejarah yang terjadi
pada implementasi Pancasila pula menunjukkan bahwa Pancasila adalah sebuah pandangan
yang terbuka untuk berbagai proses interpretasi dari berbagai macam pihak, yang dalam hal
ini interpretasi Pancasila hendaknya terus diupayakan demi mempertahankan nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia yang bersifat universal.

Referensi
Mulder, Niels. 2005. Pancasila Philosophy and Society, dalam Mysticism in Java: Ideology
in Indonesia, Yogyakarta: Kanisius Publishing House, pp. 124-132
Onghokham dan Andi Achdian. 2006. "Pancasila: Dari Kontrak Sosial menjadi Ideologi
Negara" dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,
Jakarta: Brighten Press, 93-113
Prawiranegara, Sjafruddin, 1984. Pancasila as the Solely Foundation, dalam Indonesia, Vol.
38, pp. 74-83

Aisyah Jazuli Putri071411231074Week 6

Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia


Modern, dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,
Jakarta: Brighten Press, pp. 1-32
Sukarno, Ir. 2007. Lahirnya Pancasila: Pidato di hadapan Sidang BPUPKI 1 Juni 1945,
dalam Revolusi Indonesia: Nasionalisme, Marhaen dan Pancasila, Yogyakarta: Galang
Press, pp. 27-55
Van der Kroef, Justus M. 1954. Pantjasila; the National Ideology of the New Indonesia,
Philosophy East and West, Vol. 4 No. 3, pp. 225-251

Anda mungkin juga menyukai