Anda di halaman 1dari 47

BAB 2

GANGGANG HIJAU (CHLOROPHYTA)


CHLOROPHYTA (GANGGANG HIJAU)
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi FMIPA UNS Solo)
PENDAHULUAN
Ganggang hijau (Clorophyta) merupakan taksa yang besar dan beragam;
mikroskopis atau makroskopis, hidup di ar tawar atau laut, berbentuk uniseluler
atau multiseluler, koloni, filamen atau lembaran. Kandungan nutrisinya juga
beragam, baik karbohidrat, protein, lipid, maupun metabolit sekunder, sehingga
dimanfaatkan sebagai bahan pangan, obat, dan kecantikan. Chlorella telah
dibudidayakan sejak jaman Maya dan Azteck untuk menghasilkan suplemen
makanan. Ganggang hijau juga merupakan salah satu sumber energi alternatif yang
paling menjanjikan, karena dapat menghasilkan biodiesel (pengganti solar), etanol
(pengganti bensin), hidrogen dan bahkan hidrokarbon (minyak bumi). Produktivitas
tahunan dan kandungan minyak beberapa jenis ganggang hijau bersel tunggal jauh
lebih tinggi (90.000 L/ha) dari pada tanaman pertanian, seperti kelapa sawit (6000
L/ha), kanola (rapeseed) (1200 L/ha), dan kedelai (450 L/ha). Energi yang
dihasilkan dari pembakaran lipid ganggang hijau juga lebih tinggi (41 MJ/kg) dari
pada minyak kanola atau kedelai (37 MJ/kg), meskipun lebih rendah dari solar
(42,7 MJ/kg). Budidaya ganggang hijau sangat dipengaruhi jenis ganggang dan
kondisi lingkungan, seperti karbon, sinar matahari, air, dan ruangan yang dapat
dimodifikasi untuk menghasilkan kondisi optimal, sehingga sering digunakan
bioreaktor dengan sistem tertutup yang relatif masih mahal.
Biodiesel dan Etanol. Semua suku ganggang hijau memiliki jenis-jenis
yang dapat menghasilkan bahan bakar alternatif, baik Chrorophyceae,
Ulvophyceae, maupun Charophyceae. Beberapa jenis memiliki kadar lipid hampir
50%, misalnya Scenedesmus dimorphus (40% berat kering), sehingga berpotensi
sebagai sumber biodiesel; ada pula yang memiliki kadar karbohidrat lebih dari 50%,
misalnya Spirogyra (64% berat kering), sehingga berpotensi sebagai sumber etanol,
serta mengandung protein tinggi untuk pangan (Tabel 1.). Dalam skala industri,
bioreaktor ganggang hijau mikroskopis dapat menangkap CO2 sebagai sumber
karbon dari proses fermentasi untuk menghasilkan etanol. Pembakaran biomassa
sisa dapat menghasilkan panas untuk menyuling biodiesel. Abu sisa pembakaran
dapat digunakan sebagai sumber hara. Bahan bakar ini tidak mengandung sulfur,
tidak beracun dan dapat mengalami biodegradasi.
Tabel 1. Kadar lipid, karbohidrat, dan protein pada beberapa jenis ganggang
hijau.
Jenis ganggang hijau
Chlamydomonas rheinhardii
Chlorella pyrenoidosa
Chlorella vulgaris
Dunaliella bioculata
Dunaliella salina

Persentase (berat kering)


Lipid
Karbohidrat
Protein
21
17
48
2
26
57
14-22
12-17
51-58
8
4
49
6
32
57

16

Euglena gracilis
Porphyridium cruentum
Prymnesium parvum
Scenedesmus dimorphus
Scenedesmus obliquus
Scenedesmus quadricauda
Spirogyra sp.
Spirulina maxima
Spirulina platensis
Synechoccus sp.
Tetraselmis maculata

14-20
9-14
22-38
16-40
12-14
1-9
11-21
6-7
2-5
5
3

14-18
40-57
25-33
21-52
10-17
33-64
13-16
8-14
15
15

39-61
28-39
28-45
8-18
50-56
47
6-20
60-71
46-63
63
52

Hidrogen. Gas hidrogen dapat digunakan untuk membangkitkan listrik


tanpa menghasilkan gas rumah kaca. Gas ini dapat diekstrasi dari minyak bumi dan
gas alam, tetapi membutuhkan biaya mahal sehingga hanya dilakukan untuk
keperluan tertentu seperti untuk menghasilkan bahan bakar roket dan pesawat
angkasa luar. Air dapat dipisahkan menjadi hidrogen dan oksigen melalui
elektrolisis, namun tidak ekonomis karena memerlukan energi yang jauh lebih
besar. Ganggang hijau Chlamydomonas reinhardtii yang banyak dijumpai di kolam
air tawar, sejak 1939 telah dilaporkan dapat menjadi penghasil hidrogen dalam
jangka pendek, namun baru 60 tahun kemudian mekanismenya diketahui, dimana
ganggang hijau yang kekurangan sulfur dan oksigen dapat menghasilkan hidrogen
dalam waktu yang dapat diatur, sehingga secara periodik dilakukan penambahan
sulfur agar terus menerus diperoleh hidrogen. Bioreaktor berukuran 500 L yang
diisi air dan ganggang dapat menghasilkan 1 L gas hidrogen per jam.
Hidrokarbon. Salah satu ganggang hijau mikroskopis yang kaya
hidrokarbon adalah Botryococcus braunii. Jenis ini tersebar luas di perairan tawar
dan payau dari kawasan tropis hingga kutub. Kadar hidrokarbon yang dihasilkannya
bervariasi antara 2-86%, tergantung strain dan kondisi lingkungannya. Dalam
pengilangan, hidrokarbon ini akan menghasilkan bensin (67%), avtur (15%), solar
(15%), dan residu minyak (3%). Hasil pembakarannya bebas oksida sulfur dan
nitrogen, sehingga ramah lingkungan.
CHLOROPHYTA
Ganggang hijau umumnya tumbuh di perairan, namun beberapa jenis dapat
tumbuh pada tanah atau batu yang lembab, batang pohon, dan permukaan salju.
Beberapa jenis sangat terspesiasi hingga hanya tumbuh pada hewan tertentu seperti
kura-kura, sloth, atau moluska laut. Ganggang hijau memiliki anggota sangat
banyak dan bentuk morfologinya sangat beragam, dari uniseluler, multiseluler,
senositik (memiliki lebih dari satu inti dalam satu sel), hingga koloni, namun
semuanya memiliki kesamaan mendasar secara biokimia dan ultrastruktur.
Chlorophyta beranggotakan organisme-organisme yang mampu melakukan
fotositesis. Pigmen fotosintesisnya serupa dengan tumbuhan tinggi, terdiri dari
klorofil a dan b; -, -, dan -karoten, serta beragam xantofil. Jumlah dan bentuk
kloroplas beragam, tetapi selalu memiliki dua selaput, 2-5 tilakoid per lamela, dan
biasanya dengan satu pirenoid atau lebih. Dinding sel mengalami kalsifikasi dan
mengandung selulosa, glukosida hidroksiprolin, xilan, dan manan. Cadangan
makanan utama berupa pati, yang disimpan dalam kloroplas. Pergerakan sel

17

dilakukan oleh 2-4 flagela apikal. Berbeda dengan tumbuhan tinggi, sel-sel
Chlorophyta tidak terdiferensiasi menjadi jaringan tertentu, meskipun thallusnya
dapat tersusun dari beberapa sel yang berbeda. Ganggang hijau yang masih hidup
saat ini umumnya dapat dikelompokkan dalam Chlorophyceae, Charophyceae, dan
Ulvophyceae.
CHLOROPHYCEAE
Sebagian besar Chlorophyta termasuk dalam Chlorophyceae. Ganggang ini
dicirikan oleh adanya 2-4 flagela di dekat apeks sel, berwarna hijau cerah meskipun
klorofilnya dapat tertutupi pimen lain. Pembelahan mitosis pada ganggang ini
terjadi dengan terbentuknya fikoplas, suatu microtubuli yang berkembang dan
memisahkan inti. Fikoplas tidak terdapat pada organisme lain, sehingga
diperkirakan tidak ada organisme lain yang secara evolusi diturunkan dari ganggang
ini. Chlorophyceae memiliki beberapa cara reproduksi aseksual dan seksual.
Reproduksi seksual ditandai dengan terbentuknya zigospora (zigot diploid dorman
dengan dinding tebal) yang diikuti meiosis. Ganggang ini beranggotakan organisme
unisellular seperti Chlamydomonas dengan dua flagela apikal dan Chlorella yang
non motil, hingga organisme berbentuk koloni seperti Hydrodictyon, Gonium, dan
Volvox. Koloni tunggal Volvox dapat terdiri dari 60.000 sel dan beberapa di
antaranya mengalami spesialisasi. Anggota yang paling kompleks berbentuk
filamen, beberapa di antaranya menunjukkan tanda-tanda awal tumbuhan tinggi,
namun tumbuhan tinggi diyakini secara evolusi tidak berasal dari ganggang ini.
Klorella, sel berukuran kecil, panjang 2-12, menjorong, kloroplast varietal
menempel pada dinding sel dan menutupi semua bagian pingggir, berupa cawan
dan mantel, pirenoid umum pada sejumlah jenis. Pada Clrorella elipsoidea: sel
menjorong, asimetrik, kloroplast berbentuk lempeng lipatan yang menutupi dinding
sel, sel vegetatif panjang 9-9,5, diameter 7-8. Pada C. vulgaris: sel membulat,
diameter 4-10, kloroplast berbentuk mangkok, dan sering dijumpai pirenoid
tunggal. C. pyrenoidosa memiliki ukuran yang lebih kecil dari C. vulgaris,
reproduksi aseksusl, menghasilkan 4,8, atau 16 autospora yang dilepaskan ketika
didnding sel induk pecah. Spora tidak mampu bergerak. Pembelahan sel
memerlukan intensitas
Asal-usul dan persebaran Klorela bersifat kosmopolitan, baik perairan
tawar, payau, air asin maupun di daratan, termasuk pada tanah dan dinding beton.
Sering juga hidup di genangan air. Ekologi Terdapat dua galur, yaitu mesofili dan
termofili yaitu C. pyrenoidosa dengan suhu optimal untuk pertumbuhan berkisar
25-260C dan 38-39C. Pada air tawar tertentu klorela mampu beradaptasi pada
salinitas di atas 30 %0.
Kegunaan Sejak tahun 1950 klorela telah digunakan sebagai protein sel
tunggal. Sekarang alga ini dikonsumsi sebagai makanan kesehatan dan digunakan
sebagai bahan tambahan memproduksi susu, fermentasi kedelai, minuman, mi dan
kue. Sejumlah Chlorella laut yang dibiakkan, digunakan sebagai makanan pada
akuakultur atau sebagai makanan tambahan, khususnya larva kerang dan hewan
lainnya. Mikroalga Chlorella sering dikombinasikan dengan mikroalga lainnya.
Ketika disebar di lapangan, ekstrak ini merangsang pertumbuhan dan perakaran dari
buah-buahan sayuran, padi, dan lapangan rumput. Ekstrak ini dapat berfungsi

18

sebagai hormon pengatur tumbuh yang diproduksi oleh Japanesse Plant Growth
Regulator Research 1984.
Strain Chlorella tertentu dikembangkan dalam kultur dengan kondisi
kekurangan nitrogen dan salinitas tinggi, untuk menghasilkan pigmen karotenoid
merah astaxantin. Strain ini dapat digunakan sebagai suplemen pada kultur ikan dan
kerang. Chlorella spp, dapat dibudidayakan dalam media limbah cair industri
pertanian. Sejumlah manfaat Chlorella telah diketahui seperti terapi pengobatan
tukak lambung, luka, sulit buang air besar, leukopenia, anemia, hipertensi,
kekurangan nutrisi pad a anak dan neurosis. Efek ini telah diuji secara klinis dan
mungkin dapat dikombinasikan tidak hanya pada komponen makanan seperti
vitamin, mineral, serat dan protein, tetapi juga untuk perlindungan arteriosklerosis
dan hipokolesterolenia dengan glikolopid, glikoprotein, peptid, nukleotid
komponen sejenis.
Produksi dan perdagangan Produksi massal Chlorella telah dilakukan
di Amerika pada tahun 1951. Sedangkan perdagangan komersial telah dilakukan di
Jepang pada tahun 1960 dan di Taiwan 1964. Pada tahun 1977, telah terdapat 48
pabrik Chlorella dalam skala besar di Asia dengan produksi lebih dari 1000 kg alga
kering per bulan. Pada periode yang sama banyak pabrik yang ditutup akibat
melimpahnya produksi. Penyakit fotosensitivitas dapat ditimbulkan oleh
pengolahan Chlorella dengan etanol dan tercemar cairan biomassa Chlorella yang
dapat mengganggu kesehatan pad a saat panen. Kemungkinan besar chloropyllases
yang tersisa utuh menyebabkan pembentukan pheoforbidfotn-sensitif. Perlakuan
panas pada saat panen dan pembuatan tablet menggunakan metoda kering (tanpa
etanol) dapat memecahkan masalah ini. Namun, pabrik produksi alga yang sukses
membuat tepung Chlorella di Semenanjung Malaysia ditutup pada periode tersebut
karena kegagalan pemasaran Chlorella. Pada saat ini makanan kesehatan Chlorella
diproduksi dan dipasarkan terutama oleh lebih dari 70 perusahaan di Jepang dengan
bermacam-macam nama dagang.
Jumlah total tepung chiarella yang diperdagangkan di Jepang pada tahun
1996 sebesar 2000 ton berat kering, termasuk 30 ton dari Indonesia dan 900 ton dari
Taiwan. Di Taiwan, total produksi tepung Chlorella sekitar 1600 ton. Di Jawa
Timur, Indonesia, sebuah perusahaan makanan kesehatan Jepang telah membangun
pabrik yang direncanakan menghasilkan produksi 300 ton Chlorella. Produk
Chlorella spp. telah berkembang pesat dalam jumlah besar menggunakan teknik
fermentasi di Jepang dan Korea.
Budidaya Chlorella tumbuh dengan baik pada media anorganik
(contohnya Bold's Knop) menggunakan N03-, NH4 + atau urea sebagai sumber
nitrogen. Kultur alga diberi gelembung udara yang mengandung 5% CO 2 untuk
meningkatkan pertumbuhan. Perkembangan dan produksi biomassa lebih lanjut,
dapat ditingkatkan dengan menambah sumber karbon organik seperti glukosa dan
asetat. Sejumlah spesies mampu tumbuh dalam keadaan gelap dengan penambahan
karbon organik, di bawah kondisi heterotropik. Stok kultur alga dapat dipelihara
pada media agar miring 2%, penerangan menggunakan lampu pijar (neon) dapat
dilakukan secara terus-menerus atau secara berselang (keadaan normal 12: 12 jam
periode teranggelap), dengan intensitas 34-50 IJmol photon m- 2s-1. Unsur mikro
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroalga hijau tersebut adalah Mn, Fe, Zn,
Cu, dan kadangkadang juga Mo. Unsur mikro ini penting terutama untuk
pertumbuhan secara autotrof, dan sedikit pada kondisi heterotrof.

19

Budidaya alga: Penanaman massa Chlorella dilakukan daiam lingkaran


berdiameter 36-56 m, dengan permukaan dangkal, serta perlakuan pengadukan
konsentrat yang dilakukan secara berotasi pada bagian tengah kolam penanaman.
Pada pabrik Chiarella Jepang yang terdapat dj Jawa Timur memiliki 16 buah kolam
areal terbuka dengan diameter 36 m. Untuk meningkatkan hasH biomassa, media
budidaya ditambahkan dengan CO2, asam asetat dan glukosa. Alga ini juga dapat
ditumbuhkan
pad a massa alga yang tinggi, dengan permukaan yang terbuka dan sangat
dangkal, kemudian diletakkan kincir air di bagian tengahnya. Cara tersebut mampu
meningkatkan produksi. Dewasa ini, Chlorella telah ditanam pada fermentor, atau
kombinasi fermentor dengan tabung fotobioreaktor untuk menghasilkan biomassa
alga secara kontinu, baik secara autotrof maupun heterotrof. Dan diperoleh hasil 10
kali lebih tinggi dibanding pada kultur terbuka. Dengan sistem tertutup masalah
kontaminasi oleh mikroalga lainnya dapat dipecahkan, akan tetapi menyebabkan
peningkatan biaya produksi. Cara ini hanya layak secara ekonomi untuk produksi
yang menghasilkan bahan kjmia yang bernilai tinggi. Kerapatan sel optimum pada
setiap media budldaya diperoleh dengan pencahayaan maksimal; di atas konsentrasi
tersebut, hasil biomassa alga menurun, seiring dengan meningkatnya respjrasi dan
pembatasan akibat kejenuhan cahaya.
Pertumbuhan dalam fotobioreaktor telah dipelajari pada beberapa kasus
yang menggunakan jenis Chiarella berbeda. Pengaruh kecenderungan lempeng
reaktor terhadap produktivitas kultur di luar ruangan telah dipelajari di Singapura
untuk C. pyrenoidosa. Bentuk lain dari bioreaktor pada Chlorella spp. lainnya,
dapat ditumbuhkan pada tabung bioreaktor yang bisa ditempatkan dj dalam fasilitas
biokoil vertikal. Biaya yang dikeluarkan pada sistem tertutup lebih tinggi
dibandingkan sistem terbuka. Namun, sistem terbuka memiliki resiko kontaminasi
lebih besar. Sehingga, biaya budidaya biomassa alga secara heterotrofik
sesungguhnya lebih rendah daripada biaya secara autotrofik.
Pemanenan Kultur Chlorella dipompakan keluar dari kolam budjdaya,
kemudian disentrjfus dan dicuci secara berulang, tahapan ini merupakan tahap yang
membutuhkan biaya tinggi pad a budidaya mikroalga. Dari konsentrat 50-200 lipat
berat basah diperoleh 5-15% berat kering. Hasil Konsentrasi biomassa Chlorella
yang dihasilkan pada media budidaya terbuka dapat berkisar antara 1-5g/l.
Sedangkan produksi harian bervariasi antara 15-40 g/m2, tergantung pad a
perubahan iklim termasuk cahaya, suhu dan salinitas.
Pasca panen Chlorella dikeringkan setelah dinding sel dihancurkan
dengan proses fisika dan disimpan pada suhu rendah. Kemudian diberi perlakuan
untuk melindungi dari serangga. Konsentrat dikeringkan menjadi tepung Chlorella
dan dicetak menjadi tablet menggunakan mesin cetakan.
Hama dan penyakit Permasalahan yang sering dijumpai adalah
kontaminasi mikroalga lain terhadap media kultur chlorella terbuka.
Prospek Penelitian kultur Chlorella menggunakan limbah cair industri
agronomi telah dilakukan di berbagai negara di Asia. Dari hasil penelitian tersebut
diperoleh biomassa alga yang dapat digunakan sebagai makanan ternak berkualitas
tinggi.
Penelitian di Malaysia menunjukkan bahwa konsentrasi polutan yang tinggi
seperti ammonia dan fosfat yang mengakibatkan rendahnya oksigen terlarut (COD);
oksogen dapat ditingkatkan dengan pembiakkan ChIarella vulgaris konsentrasi

20

tinggi pada limbah industri karet atau minyak sawit. Mikroalga ini juga dapat
diaplikasikan pada limbah industri logam berat. Dengan demikian penggunaan
Chlorella pada limbah industri memperlihatkan prospek yang cerah, namun
demikian masih diperlukan penelitian intensif di masa mendatang.
Sumberdaya genetik Pemeliharaan strain Chlorella sangat penting untuk
pembudidayaan mikroalga tersebut pada masa mendatang. Pelestarian dltujukan
terhadap organismenya untuk melindungi karakter khusus dan unik. Kriopreservasi
kultur Chlorella dalam bentuk alga beku dapat disimpan selama 22 tahun. Dewasa
ini berkembang teknik transformasi dan rekombinasi Chlorella yang potensial untuk
tujuan komersial.

BAB 3
TUMBUHAN LUMUT
PENDAHULUAN
Biasanya orang awam mengangap lumut sebagai organisme hijau yang
tumbuh pada tembok, lantai, dan tempat-tempat lembab lainnya, bahkan di dalam
bak mandi. Kehadirannya tidak diinginkan karena merusak keindahan. Sebenarnya
organisme hijau tersebut bukan hanya terdiri dari lumut, tetapi ada juga ganggang
dan lumut kerak (lichen). Bentuk tubuh lumut yang khas dengan mudah dapat
dibedakan dari ganggang dengan bantuan lensa pembesar. Lumut memiliki bagianbagian menyerupai daun atau tanpa daun yang disebut talus, sedangkan ganggang
terestrial hanya memiliki bagian tubuh seperti rambut dan tidak berdaun. Apabila di
rumah lumut dianggap merusak keindahan, maka sebaliknya di hutan lumut
memiliki manfaat ekologi sangat penting. Tumbuhan ini merupakan salah satu
organisme perombak bahan-bahan organik yang mengubah sampah sisa-sisa batang
dan daun menjadi tanah yang kaya zat hara. Lumut juga menjadi tempat
berkecambah berbagai macam biji tumbuhan, dan habitat berbagai jenis binatang
kecil. Salah satu fungsi ekologi terpenting lumut adalah kemampuannya menyerap
dan menyimpan air dalam jumlah besar, misalnya Sphagnum dapat menyerap air
hingga 90% bobot tubuhnya, sehingga lumut merupakan lumbung air bagi kawasan
hutan.
Tumbuhan lumut (lumut-lumutan) atau Bryophyta merupakan bioindikator
yang baik terjadinya perubahan iklim. Lumut sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan karena umumnya tanpa lapisan kutikula dan tidak memiliki berkas
pengangkut, sehingga sangat mudah kehilangan cairan akibat penguapan dan
terganggu sistem difusi untuk distribusi air dan zat hara. Di kawasan tropis,

21

meningkatnya suhu global diperkirakan menyebabkan berkurangnya kemelimpahan


lumut di dataran rendah serta perpindahan lumut ke arah yang lebih tinggi, lebih
sejuk, dan lebih lembab. Sebaliknya di kawasan kutub dan pegunungan tinggi,
pemanasan global dapat meningkatkan pemantapan suatu spesies atau invasi spesies
asing. Di pulau Galindez, Antartika pemanasan global menyebabkan meningkatnya
pemantapan lumut Deschampsia antarctica, sehingga antara 1964-1990 jumlahnya
meningkat dari 500 menjadi 12.030 individu. Di Quelccaya, Andes, susutnya kubah
es menyebabkan hadirnya kembali lumut Distichia muscoides yang pernah hadir di
kawasan tersebut sekitar 6000-11.000 tahun yang lalu saat suhu bumi lebih hangat
1,5-2,0oC dari saat ini. Lumut juga merupakan bioindikator pencemaran
lingkungan. Meningkatnya hujan asam di kawasan Alpen karena peningkatan
industrialisasi di Eropa barat telah menyebabkan berkurangnya kemelimpahan
lumut tertentu di kawasan itu.
Tumbuhan lumut memiliki habitat peralihan antara perairan dan daratan,
sehingga memiliki sifat-sifat untuk beradaptasi di kedua lingkungan tersebut.
Tumbuhan ini menyerupai ganggang karena memerlukan air untuk reproduksi,
tidak memiliki berkas pengangkut, tidak dapat tumbuh tinggi karena tidak
mengalami lignifikasi, serta tidak memiliki akar dan daun sejati. Tumbuhan ini
menyerupai tumbuhan paku karena memiliki spora yang dindingnya dilindungi lilin
untuk mencegah dehidrasi, sel pembentuk gamet dikelilingi sel-sel jaket pelindung,
sel telur dan sperma dibentuk dalam ruangan tertentu, serta zigot tetap di dalam
tubuh induk hingga berkembang menjadi embryo. Sepanjang hidupnya sebagian
besar lumut berhabitat terestrial, dan sering menjadi bagian dominan vegetasi hutan
pegunungan tropis; namun lumut terbesar Dawsonia yang tingginya dapat mencapai
satu meter tumbuh ditempat-tempat berawa di Asia Tenggara dan Australia.
Lumut merupakan tumbuhan paling sederhana karena tidak berpembuluh
dan susunan sel-sel daun dan akar (rizoid) hanya terdiri dari satu lapis. Pada lumut
yang tumbuh tegak rizoid muncul di pangkal batang, sedangkan pada lumut yang
tumbuh menjalar rizoid terdistribusi di sepanjang aksis. Beberapa jenis lumut
mempunyai batang dengan sel-sel tebal memanjang seperti tracheida, misalnya
Polytrichum dan Symphogyna; pada beberapa marga tertentu juga terdapat kutikula,
seperti Metzgeria dan Orthotrichum. Keduanya tumbuh di ranting pepohonan yang
lembab di hutan dan menghasilkan sel-sel koloid untuk menyimpan air sebagai
cadangan pada musim kemarau panjang.
Siklus hidup lumut dibedakan menjadi dua generasi, yaitu gametofit dan
sporofit. Berbeda dengan tumbuhan tinggi, gametofit lumut merupakan tumbuhan
lumut yang terlihat sehari-hari dan berfungsi untuk fotosintesis. Generasi ini akan
menghasilkan gamet jantan dan betina yang selanjutnya dapat melakukan pembuah
dan menghasilkan sporofit, yang sebagian atau seluruh daur hidupnya bersifat
parasit pada gametofit. Gametofit dapat berbentuk talus sebagaimana ganggang atau
sudah terdiferensiasi menjadi bentuk seperti batang dan daun, sedang akar masih
tetap berupa rizoid.
Tumbuhan lumut umumnya dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
Hepaticae (lumut hati, liverwort), Anthocerotae (lumut tanduk, hornwort), dan
Musci (lumut daun, moses). Pengelompokan ini didasrkan bentuk talus, keberadaan
daun, perkembangan gametofit, dan mekanisme pembukaan kapsul. Pada
Hepaticae, protonema gametofit biasanya tidak diketahui, talus dewasa selalu
terletak dorsiventral dan mengandung badan minyak. Antheridium biasanya terbuka

22

tidak teratur. Kapsul sporofit biasanya mengalami pemanjangan tangkai. Jenis


lumut hati yang umum dikenal berasal dari bangsa Marchantiales, Jungermaniales,
dan Metzgeriales. Pada Anthocerotae hanya dikenal kelas Anthocerotales dengan
salah satu marga yang terkenal, Anthoceros. Sebenarnya lumut ini termasuk lumut
hati, namun karena bentuk sporofitnya unik maka dipisahkan sebagai kelas
tersendiri. Musci merupakan lumut yang keragaman dan distribusinya paling luas.
Gametofit lumut ini dibedakan dari lumut hati karena memiliki rizoid multiseluler,
sporofit tumbuh dari sel-sel apikal, mekanisme pembukaan kapsul komplek, dan
sporanya tidak memiliki elater steril. Lumut ini terdiri dari bangsa Sphagnales,
Andreales, dan Bryales yang dibedakan berdasarkan struktur protonema dan
kapsulnya.
LEJEUNEACEAE (LUMUT HATI)
Ida Haerida (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi-LIPI, Cibinong-Bogor)
Biasanya orang mengidentikkan lumut hati dengan Marchantia
polymorpha, yang sangat mudah dijumpai di sembarang tempat asalkan lembab dan
berair, terutama di dataran tinggi. Distribusinya yang sangat luas dan
keberadaannya yang melimpah di mana-mana menyebabkan banyak orang yang
tidak menyadari bahwasanya lumut ini aslinya merupakan hasil introduksi. Dalam
buku ini diperkenalkan familia yang sebagian besar anggotanya asli dari kawasan
Malesia, Lejeuneaceae. Kelompok ini merupakan lumut hati yang memiliki jumlah
jenis terbanyak (ratusan jenis dan sekitar 90 marga). Lumut ini berwarna hijau,
kekuningan, coklat, hitam atau keputih-putihan, namun tidak pernah berwarna
kemerah-merahan; tumbuh merayap pada batang pohon atau daun, kadang
menjuntai; percabangan menyirip, menggarpu atau tidak beraturan. Batang dengan
atau tanpa hialodermis; tidak memiliki stolon. Daun tersusun incubus, terbelah
menjadi sebuah cuping dorsal yang berukuran besar dan sebuah cuping ventral yang
berukuran lebih kecil; memiliki sejenis daun lain yang melekat pada batang disebut
underleaf (kecuali marga Cololejeunea), yang bertoreh atau tidak bertoreh. Selselnya mengandung minyak yang berbentuk homogen atau bersekat; kadang
memiliki oceli.
Salah satu lumut hati yang termasuk dalam suku Lejeuneaceae ialah
Lopholejeunea applanata. Lumut ini tersebar dari kawasan Malesia (seperti Papua
(yang mencakup Nugini, Bismarck dan Solomon), Jawa, Sumatera, Semenanjung
Malaya, Sulawesi, dan Filipina,) serta Asia (seperti Myanmar, Thailand, Sri Lanka
dan India). Tumbuh pada ketinggian 200-2450 m. dpl., pada batu basah, batang
pohon, humus di sekitar bebatuan dan terkadang pada tumbuhan hidup.
Lopholejeunea applanata berwarna hijau kehitaman ketika segar, namun menjadi
coklat tua atau coklat pucat ketika kering, panjang sekitar 6-50 mm, lebar sekitar
0,9-1,5 mm, bercabang tidak beraturan. Batang berdiameter 120-200 (-240) m,
irisan melintang batang memperlihatkan jumlah sel korteksnya 11-14 buah dengan
ukuran 25-50 x 14-37 m dan sekitar 30 buah sel-sel medula yang berukuran lebih
kecil (17-37 x 13-24 m). Rizoid sedikit, memberkas, coklat, terletak di basal
underleaf, tanpa cakram rizoid. Daun menyirap, menyebar dari batang pada sudut
50-70o. Cuping besar membundar telur, agak cekung, panjang 0,60-0,85 mm, lebar
0,45-0,60 mm, agak melancor, ujung melancip hingga meruncing, terkadang
menumpul, biasanya mengurva, tepi rata atau kadang terdapat 1-beberapa gigi kecil
dekat ujung, tepi ventral biasanya mengurva, tepi dorsal agak terlengkung batik

23

mengarah ke basal cuping. Cuping kecil membundar telur, panjang sekitar 1/6-1/4
dari panjang cuping besar. Underleaf menyirap atau kadang-kadang bersinggungan,
berbentuk agak bundar, panjang 0,30-0,40 mm, lebar 0,70-1,0 mm, bagian yang
lebar berukuran lebih besar dibandingkan bagian yang memanjang, 5-7 x dari lebih
lebar daripada batang, rata, tepi sangat terlengkung batik, basal biasanya agak
rompong, garis penyisipan sangat melengkung.
Lopholejeunea spp. termasuk dalam anak suku Ptychanthoideae
berdasarkan alat perkembangbiakannya. Katup kapsul akan terlepas dan tersebar
apabila matang, dinding kapsul berwarna kecoklat-coklatan. Elater biasanya
berjumlah 72 per kapsul. Spora berbentuk isodiameter. Pada suku Lejeuneaceae
terdapat kelompok lain yang katup kapsulnya tidak akan terlepas dan tersebar
apabila telah matang, dinding-dinding kapsulnya berwarna pucat, elaternya
berjumlah kurang lebih 4 per kapsul, serta sporanya berbentuk persegi empat
memanjang. Kelompok dengan ciri-ciri ini disebut anak suku Lejeuneoideae.
Salah satu lumut hati yang termasuk dalam anak suku Lejeneoideae ialah
Leptolejeunea maculata. Lumut ini ditemukan di Jawa dan Cina (Hainan, Taiwan).
Di Jawa ditemukan pada ketinggian kurang lebih 1000 m.dpl. Leptolejeunea
maculate memiliki tubuhnya sangat kecil (renik), rapuh, berwarna hijau muda
hingga hijau kecoklatan ketika kering. Panjang tubuhnya hingga 10 mm, dengan
lebar kira-kira 1 mm. Cuping besar lonjong, panjang 0,3-0,7 mm dan lebar 0,1-0,3
mm, ujung meruncing terkadang menumpul, tepi daun menggergaji namun
terkadang agak rata pada setengah bagian dari cupingnya. Cuping kecil membundar
telur, panjang 0,1-0,2 mm, lebar sekitar 0,1 mm, ujung romping, gigi pertama
menumpul, terdiri dari sebuah sel lonjong, gigi kedua tumpul. Underleaf berjauhan,
bercuping rangkap sangat dalam, panjang 0,4-0,9 m dan lebar 0,1-0,2 m. Rizoid
berkelompok.
ANTHOCEROTACEAE (LUMUT TANDUK)
Nunik Sri Ariyanti (Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor)
Anthoceros laevis L. dan Phaeoceros laevis (L.) Prosk. sering dijumpai
tumbuh di tanah atau batu di tepi selokan air, di tanggul atau tebing di tepi jalan
yang sedikit terbuka dan cukup basah atau lembab; tubuhnya berupa lembaran hijau
muda atau tua kebiruan, berbentuk roset dengan tepi bercuping-cuping dan
berlekuk-lekuk; mempunyai bagian tubuh penghasil spora (sporofit) dengan kapsul
(kotak penghasil spora) berbentuk silindris memanjang tidak mempunyai seta
(tangkai kapsul), ketika spora telah masak kapsul pecah memanjang dari atas ke
bawah menjadi dua bagian.
Secara sepintas, tanpa adanya sporofit dan pengamatan mikroskopik, kedua
lumut ini sulit dibedakan dari lumut hati bertalus (Marchantiaceae dan
Metzgeriaceae) terutama dari marga Aneura. Pengamatan dengan mikroskop akan
menunjukkan sel kedua lumut ini mengandung satu kloroplas besar, sedangkan sel
lumut hati bertalus mengandung banyak kloroplas berukuran kecil. Jika dijumpai
sporofit, kedua lumut ini mudah dibedakan dari lumut hati bertalus. Sporofit lumut
hati bertalus mempunyai kapsul bulat dengan seta panjang dan jika spora masak
kapsulnya membuka secara memanjang menjadi 4 bagian.
Apakah benar Phaeoceros laevis dan Anthoceros laevis merupakan dua jenis
yang berbeda atau sinonim semata, masih terjadi perbedaan pendapat di antara para
ahli. Meskipun tepi talus Phaeoceros biasanya bercuping lebih halus dari

24

Anthoceros, keduanya sangat mirip dan hanya dapat dibedakan berdasarkan warna
sporanya. Phaeoceros mempunyai spora kuning sampai coklat sedangkan spora
Anthoceros berwarna hitam. Kedua jenis lumut tanduk ini kosmopolitan, tersebar
luas di seluruh dunia.
Anthoceros laevis dan Phaeoceros laevis merupakan anggota
Anthocerotaceae, salah satu suku dalam Anthocerotophyta (meliputi kurang dari
100 jenis dengan 8-9 marga) atau kelompok tumbuhan yang dikenal dengan nama
umum lumut tanduk; dinamakan demikian karena bentuk sporofitnya menyerupai
tanduk. Selain Anthoceros dan Phaeoceros, anggota Anthocerotaceae yang umum
dijumpai di daerah tropis adalah Dendroceros, Folioceros, dan Megaceros. Lumut
tanduk biasanya tumbuh di tempat yang agak terbuka, di tanah atau batu, di tepi
sungai atau tepi jalan, tetapi Dendroceros dan Megaceros dapat tumbuh epifit pada
pohon atau batang lapuk di hutan pegunungan yang lembab. Suku lain dalam
Anthocerotophyta adalah Nothothylaceae, dibedakan dari Anthocerotaceae antara
lain karena sporofitnya tidak tumbuh tegak, melainkan mendatar.
Anthocerotaceae memiliki gametofit berupa talus tersusun oleh beberapa
lapis sel berdinding tipis dengan 1 kloroplas (2-4 kloroplas pada Megaceros) tanpa
badan minyak, melekat pada substrat dengan rizoid uniseluler; sporofit tegak, tanpa
seta, hanya terdiri atas kaki dan kapsul, terdapat jaringan meristem di antara kapsul
dan kaki, kapsul silindris mempunyai kolumela dan menghasilkan spora dan elater
atau pseudoelater, spora masak secara bertahap dari atas ke bawah, kapsul
membuka dengan cara pecah memanjang menjadi dua bagian (valva).

Gambar 1. Anthoceros: a. gametofit, b. sporofit


Seperti lumut lainnya, lumut tanduk mengalami pergantian generasi
gametofit dan sporofit. Gametofit lumut tanduk selalu berupa talus, melekat pada

25

substrat dengan rizoid uniselular. Talus tersusun oleh beberapa lapis sel. Pada
bagian ventral dijumpai rongga-rongga udara yang berhubungan dengan udara luar
dengan adanya pori. Rongga-rongga ini mengandung koloni simbion alga hijau-biru
(sianobakter) dari marga Nostoc. Asosiasi antara Nostoc dan lumut tanduk ini saling
menguntungkan. Nostoc dapat memfiksasi nitrogen dari udara yang diperlukan
lumut tanduk, sedangkan Nostoc menerima karbohidrat dari lumut tanduk.
Meskipun gametofit lumut hati bertalus (Marchantiaceae dan
Metzgeriaceae) juga berupa talus, secara mikroskopik talus lumut tanduk mudah
dibedakan dari lumut hati bertalus karena sel-sel lumut tanduk berdinding tipis,
umumnya mengandung satu kloroplas besar berbentuk piringan, kecuali pada
Megaceros dengan 2-4 kloroplas. Setiap kloroplas biasanya mengandung satu
pirenoid, organel yang berperan dalam sintesis pati dan hanya dijumpai pada lumut
tanduk dan alga eukariot. Di dalam sel lumut tanduk tidak dijumpai badan minyak.
Organ reproduksi lumut tanduk tenggelam di dalam talus. Anteridiumnya
berbentuk bulat bertangkai, berkelompok atau tunggal di dalam rongga pada bagian
dorsal talus. Arkegoniumnya tenggelam pada bagian dorsal talus, bagian leher
arkegonium muncul tepat di bawah permukaan talus. Sporofit lumut tanduk hanya
terdiri dari kaki dan kapsul, tanpa seta. Sporofit ini paling unik di antara lumut
lainnya (Marchantiophyta dan Bryophyta) karena berklorofil dan di pangkal
kapsulnya terdapat meristem sehingga dapat tumbuh memanjang tidak terbatas dan
dapat hidup lama sesudah gametofitnya mati. Kapsul lumut tanduk, seperti
namanya, berbentuk silindris memanjang seperti tanduk. Dinding kapsul tersusun
oleh 4-5 lapis sel dengan atau tanpa stoma. Ketika masih muda seluruh bagian
kapsul dilindungi oleh seludang (involucre) terbentuk oleh sel-sel gametofit.
Seludang ini selanjutnya tertembus oleh kapsul yang memanjang sehingga hanya
melindungi bagian pangkal kapsul saja. Di dalam kapsul lumut tanduk dijumpai
sumbu pusat disebut kolumela yang merupakan jaringan steril. Kolumela dikelilingi
jaringan sporogen yang akan menghasilkan spora dan elater. Elater lumut tanduk
pada umumnya uniseluler, memanjang dan mempunyai penebalan dinding sel spiral
seperti pada lumut hati, tetapi pada Anthoceros dan Phaeoceros elaternya
multiselular, bercabang dan penebalan dinding selnya tidak beraturan. Elater
multiselular ini disebut pseudoelater. Pemasakan spora lumut tanduk tidak terjadi
secara serentak, melainkan bertahap dari bagian ujung ke pangkal yang merupakan
bagian sporofit paling muda dan dekat dengan jaringan meristem. Kapsul lumut
tanduk dengan spora yang telah masak pecah memanjang menjadi dua bagian
(valva), sehingga tampak kapsul terbelah dua dari atas ke bawah.
SPHAGNACEAE (LUMUT DAUN)
Florentina Indah Windadri (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi-LIPI,
Cibinong-Bogor)
Sphagnaceae merupakan salah satu contoh suku lumut daun. Lumut ini
hanya beranggotakan satu marga yaitu Sphagnum, yang telah banyak dikenal
karena sering dimanfaatkan sebagai media penanaman tanaman hias pot dan
pembungkus tanamanan hidup. Pemanfaatan seperti ini didasarkan pada susunan
daunnya yang sangat rapat, dengan sel-sel daun yang unik dan mampu menyerap air
cukup banyak dengan tingkat penguapan relatif kecil. Di samping itu, sifatnya yang
lentur meskipun dalam keadaan kering membuat lumut ini sering digunakan dalam
pengepakan barang. Di Jepang, lumut ini pernah dimanfaatkan sebagai bahan

26

pakaian karena kemampuannya menyerap keringat lebih tinggi dari pada katun,
lebih sejuk, tahan lama dan mengandung antiseptik. Dalam bidang kesehatan lumut
ini digunakan untuk pengobatan mata atau sebagai bahan campuran salep. Manfaat
lainnya adalah sebagai bioindikator pencemaran lingkungan yang sama baiknya
dengan lumut kerak, terbukti dari keefektifannya dalam menyaring dan menyerap
limbah cair yang banyak mengandung logam-logam berat, atau bahan organik
seperti minyak, detergen dan pewarna. Bagian tumbuhan Sphagnum yang mati
biasanya terdeposit di lingkungan, seperti dasar danau. Material ini dapat digunakan
sebagai bahan bakar atau pupuk organik (humus).
Gametofit dewasa Sphagnum menyerupai satu sumbu utama yang
dikelilingi cabang-cabang yang muncul dengan interval yang teratur. Ciri khasnya
cabang-cabang yang berada di bagian ujung terkumpul membentuk untaian,
susunan sel-sel daunnya terdiri dari dua macam sel, yaitu : sel-sel linier berklorofil
dan sel-sel persegi, besar, jernih, porus, mengginjal. Kedua macam sel tersebut
dihubungkan oleh serabut-serabut spiral dan membentuk jaringan seperti jala.
Struktur daun yang demikian mampu menampung air.
Perbanyakan Sphagnum umumnya terjadi secara vegetatif, yaitu dengan
pelapukan bagian yang tua, sehingga cabang-cabangnya melepaskan diri dan
tumbuh menjadi individu baru. Tanaman dewasa dapat menghasilkan organ seksual,
baik jenis yang berumah satu atau berumah dua. Antheridium, setiap memulai
perkembangannya diawali dari sel-sel apikal yang berada di aksis daun yang
mengarah ke ujung cabang-cabang kecil paling atas. Cabang-cabang antheridium
sering berwarna menyolok dan mengkluster dalam bulatan. Kelamin betina berupa
kumpulan kuncup archegonium dengan braktea muncul secara lateral di
pertengahan batang utama. Setelah pembuahan dihasilkan zigot dari sporofit yang
terdiri dari kapsul, mengandung archesporium berbentuk kubah, dan kaki. Seta
berfungsi sebagai penegak kapsul dengan dasar kelamin betina, kapsul tua tumbuh
sebagai aksis tanpa daun atau pseudopodium. Persebaran spora terjadi akibat
tekanan udara yang dihasilkan dari bagian tengah ke bawah kapsul yang mendorong
pembukaan tutup kapsul (operculum). Dengan tekanan tinggi maka spora secara
efektif dapat tersebar. Spora yang berkecambah membentuk filament, yang segera
tumbuh menjadi protonema, lalu berkembang menjadi kuncup dan tumbuh menjadi
gametofit berdaun.
Antar jenis Sphagnum dapat dibedakan berdasarkan perawakan, warna,
jumlah percabang setiap untaian, serta bentuk dan ukuran daun. Di dunia tercatat
lebih dari 220 jenis Sphagnum, dimana 20 jenis di antaranya tumbuh di Indonesia.
Jenis-jenis tersebut umumnya tumbuh di danau berlumpur, lembab, mengandung
sulfur, pada ketinggian 2000-2500 m.dpl. Jenis yang banyak ditemukan di
Indonesia dan mempunyai kisaran ekologi cukup luas adalah Sphagnum
junghuhnianum, sedangkan Sphagnum novo-guinense diperkirakan endemik pulau
Nugini.
Sphagnum junghuhnianum Dozy et Molk. Lumut ini mempunyai ukuran
bervariasi dari kecil hingga besar, merah jambu hingga merah sangat menyala,
sering di atas batuan yang kecoklatan. Hialodermnya jarang berlubang terdiri dari
3-4 sel yang tebal. Daun lanset melebar, panjang 1,5-2,0 mm, lebar 0,7-1,0 mm, tepi
bagian atas menggulung ke dalam, ujung bergigi persegi. Sel-sel leukosis cembung
ke sisi abaksial, berjumlah sedikit hingga beberapa, berlubang melingkar terutama
pada sudut-sudut sel, diameter 12-20 m. Sisi adaksial di bagian tengah daun tidak

27

berlubang tetapi lebih rendah, sel-sel leukosisnya lateral dengan lubang di kedua
sisi. Sel-sel klorosis trapezium pada penampang lintang dengan bagian adaksial
lebih lebar. Daun pada batang bervariasi, berbentuk segitiga hingga menyerupai
lidah, jarang berserabut tetapi sel-sel leukosisnya berserabut ke arah ujung, bagian
bawah melebar. Berumah satu dan merupakan Sphagnum yang melimpah di
kawasan Malesia. Jenis ini banyak tumbuh di tanah yang basah dan di dekat air
terjun dengan habitat teduh pada ketinggian 1000-3500 m.dpl. Di Indonesia
ditemukan mulai dari Sumatera hingga Nugini.
Sphagnum novo-guineense Fleisch. & Warnst. Hijau keputihan hingga
hijau atau kadang-kadang kecoklatan dengan batang lebih cerah. Percabangan
menggarpu, cabang biasanya panjang dan menyebar, mencapai 25 mm. Daun
lanset, cembung, bentuk seragam, tersusun dalam 5 deret, panjang 1,3-1,6 mm,
lebar 0,7-0,9 mm; sel-sel leucosis jarang berlubang pada sisi abaksial, sisi
adaksialnya berlubang sirkuler, 4-6 m diameternya terdapat di sudut-sudut sel.
Sel-sel klorosis bentuk segitiga pada penampang lintang, melebar keluar di sisi
abaksial, tetapi tenggelam di bawah permukaan adaksial. Daun-daun batang
menyerupai jari tetapi berbulu di daerah ujung. Jenis ini endemik di kawasan
Nugini dan sekitarnya. Ditemukan terutama di semak-semak atau hutan yang
lembab di pegunungan yang basah.

Gambar 2. Sphagnum: a. sporofit, b. gametofit

28

BAB 4
TUMBUHAN PAKU
Agung Sedayu (Universitas Negeri Jakarta)
*Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta, Kampus B UNJ, Jl. Pemuda 10 Rawamangun,
Jakarta Timur 13220.

Posisi kelompok tumbuhan vaskular paling sederhana ditempati oleh


kelompok paku-pakuan. Secara klasik kita mengenal dua pembagian utama pada
paku-pakuan, yaitu kelompok dengan sorus di bawah helai daun majemuk yang
dikatakan sebagai paku sejati dan satu kelompok lain, yang disebut sebagai kerabat
paku (fern-allies). Kerabat paku secara klasik mencakup tiga kelas, yaitu: (1)
Psilotopsida (paku telanjang; Psilotum); (2) Lycopodiopsida (paku rambat atau
paku kawat; yaitu Selaginella, Lycopodium dan Isoetes); dan (3) Equisetopsida
(paku ekor kuda: Equisetum). Sedangkan paku sejati ditempatkan pada kelas
terakhir, yaitu Polypodiopsida/ Pteropsida.
Pengunaan data DNA/molekular memberikan kontribusi sangat penting
pada klasifikasi makhluk hidup, termasuk tumbuhan vaskular sederhana.
Penelitian-penelitian tentang kekerabatan tumbuhan hijau menunjukkan, bahwa
paku-pakuan (paku sejati dan kerabat paku) memiliki asal usul yang parafiletik
(Hasebe dkk., 1994, 1995; Manhart, 1994, 1995; Pryer dkk., 1995, 2001, 2004;
Kranz & Huss, 1996;
Pahnke dkk., 1996; Wolf, 1997; Wolf dkk., 1998; Beckert dkk., 1999;
Vangerow dkk., 1999; Sano dkk., 2000; Schneider dkk., 2004; Wikstrom & Pryer,
2005; Tsutsumi & Kato, 2006). Berdasarkan prinsip baru bahwa setiap takson harus
beranggotakan kesatuan yang monofiletik, maka sistem klasifikasi yang
menyebutkan bahwa paku terdiri dari dua kelompok (paku sejati dan kerabat paku)
harus diperbaiki. Sebuah sistem klasifikasi paku yang baik diusulkan oleh Smith
dkk. (2006).
Gabungan karakter-karakter taksonomi, dan terutama data molekular
menunjukkan bahwa tumbuhan dengan daun sejati (eufilofita/euphyllophytes);
yaitu tumbuhan dengan meristem tepi dan pucuk, cabang lateral dengan sporangia
di ujungnya, dan berkas xilem primer yang jelas bercangap (Stein, 1993; Kenrick &
Crane, 1997); tersusun atas tiga clade utama. Tiga clade tersebut adalah Lycofita
(Lycophytes), Monilofita (Monilophytes) dan Spermatofita (Spermatophytes).
Lycofita adalah yang secara klasik dikenal sebagai Lycopodiopsida (Selaginella,
Lycopodium dan Isoetes), adalah sister dari clade [Monilofita + Spermatofita] yang
ternyata memiliki kekerabatan paling dekat. Berdasarkan skema ini, hubungan
Lycofita bukanlah berkerabat dengan paku-pakuan, sehingga tidak layak disebut
paku-pakuan.

29

Skema yang menunjukkan kekerabatan tumbuhan vaskular (Smith dkk. 2006).

Selain Spermatofita yang merupakan kerabat dekat Monilofita, dan Lycofita


yang tidak layak dikelompokkan sebagai paku; apa yang terjadi dengan dua
kelompok kerabat-paku terdahulu, Psilotopsida (Psilotum) dan Equisetopsida
(Equistum)? Apa pula yang disebut sebagai Monilofita? Kita bahas istilah yang
terakhir terlebih dahulu. Monilofita (atau secara lepas dapat kita sebut sebagai
paku-pakuan) merupakan tumbuhan vaskular sederhana yang termasuk dalam
divisi
Tracheophyta,
anak-divisi
Euphyllophytina,
dan
infradivisi
Moniliformopses/Monilofita. Namun karena infradivisi adalah ranking yang tidak
dikenal dalam ICBN, maka istilah Monilofita adalah istilah informal. Kelompok
Monilofita berbagi karakter apomorfi yaitu sistem vaskular berupa protoxilem yang
hanya terletak pada cangap berkas xilem (Stein 1993), ultrastruktur sperma, dan
tentunya analisis sekuens DNA (Nickrent dkk., 2000; Renzaglia dkk., 2000; Pryer
dkk, 2001; Pryer dkk, 2004; Smith dkk., 2006).
Monilofita terdiri dari empat clade utama, yaitu Psilotopsida (terdiri dari
Psilotales dan Ophioglossales), paku ekor-kuda (Equisetopsida), paku Marattioid
(Marattiopsida) dan paku leptosporangiate (Polypodiopsida). Sehingga dapat
dikatakan sebagai kelompok yang dahulu disebut sebagai paku sejati plus dua
anggota kerabat paku, yaitu Psilotopsida/paku telanjang dan Equisetopsida/paku
ekor-kuda. Berdasarkan analisis yang mendasarkan diri pada data molekular
tersebutlah pertanyaan tentang kelompok-kelompok kerabat paku yang sebelumnya
ditanyakan terjawab. Psilotopsida dan Equisetopsida adalah bangsa yang terdapat
dalam clade Monilofita yang monofiletik. Psilotales yang dahulunya dianggap
memiliki karakter berbeda dan ditempatkan dalam kelas terpisah dalam kerabatpaku rupanya berkerabat dekat dan dikelompokkan dalam satu kelas dengan
Ophioglossales (dahulu terdapat dalam kelompok Pteridopsida; eusporangiate).
Sementara paku ekor-kuda adalah sister yang memiliki kedekatan struktur DNA
dengan Marattiopsida (Pryer dkk., 2004; Smith dkk., 2006). Clade terakhir dalam
Monilofita yang beranggotakan kelompok dengan sporangia kecil yang berasal dari
satu sel (epidermis) asal dan memproduksi spora dengan jumlah tertentu 128
(disebut sebagai kelompok paku leptosporangiate) dinamakan sebagai bangsa
Polypodiopsida.
Daftar suku-suku yang monofiletik berdasarkan analisis molekular dan dianggap
mencerminkan sistem klasifikasi paku-pakuan yang lebih alamiah dapat dilihat pada
Smith dkk.(2006), yang makalah lengkapnya dapat dengan mudah diunduh melalui
internet, misalnya pada http://www.pryerlab.net/publication/fichier749.pdf
PSILOTACEAE (PAKU PURBA)
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)
Psilotaceae berpotensi sebagai sumber bahan obat untuk antioksidan, anti
inflamasi, dan anti kanker karena mengandung biflavonoid amentoflavone.
Senyawa ini tidak ditemukan pada tumbuhan paku lainnya kecuali Selaginellaceae,
serta beberapa jenis tumbuhan berujung dan berbiji. Psilotaceae telah hadir sejak
periode Oligocene awal. Sebagian besar anggotanya telah punah, jenis -jenis yang
tetap lestari biasanya tidak berdaun atau berdaun sangat kecil dan belum
terdiferensiasi (mikrofil). Jenis yang masih lestari hanya sekitar 10 jenis,
digolongkan dalam dua marga: Psilotum dan Tmesipteris. Psilotum tumbuh di
daerah tropis dan subtropis, sedang Tmesipteris umumnya hanya tumbuh di pulau-

30

pulau kawasan Pasifik barat. Psilotum beserta Ophioglossideae membentuk jalur


keturunan basal pada garis evolusi Moniliformopses, suatu kelompok yang terdiri
dari tumbuhan paku eusporangiate dan leptosporangiate.
Psilotaceae dicirikan oleh batang yang bercabang menggarpu, tanpa akar,
berkas pengangkut sedehana dan berdinding tebal, serta synangia homospor.
Tumbuhan paku ini tidak memiliki daun dan akar, homospor, terestrial atau epifit,
berkas pengangkut bertipe protostele. Sporofit membentuk cabang menggarpu,
terdiri dari bagian rizom tanpa akar namun memiliki banyak rizoid dan
mengandung mikoriza; serta bagian batang aerial bersegitiga, berwarna hijau untuk
fotosintesis yang membawa enantion dan eusporangia atau sinangium bercuping 23 pada cabang lateral yang sangat pendek. Gametofit hidup bebas, biseksual, di
bawah tanah, tanpa klorofil, dan menggantungkan kehidupannya pada fungi
simbiotik (mikoheterotrofik). Sperma biflagela yang dihasilkan anteridium
membutuhkan lapisan tipis air untuk mencapai sel telur di arkegonium untuk
menghasilkan zigot yang akan berkembang menjadi sporofit.
Sporofit Psilotum berupa batang di atas tanah, bercabang-cabang
menggarpu (dikotom), dilengkapi daun-daun kecil berupa sisik-sisik (mikrofil)
tersusun spiral; rizom merayap di bawah tanah dan bercabang-cabang mergarpu.
Untuk melekat pada substrat, marga ini tidak menggunakan akar dan masih
menggunakan rizoid. Bagian terluar korteks rizom terdapat mikoriza. Berkas
pengangkut batang bertipe sifonostele, sedang berkas pengangkut rizom bertipe
protostele. Psilotum bersifat homospora, spora dihasilkan sporangium yang terletak
di ketiak daun pada ujung batang. Setiap tiga sporangium berkelompok membentuk
sebuah sinangium yang tangkainya sangat pendek. Tipe pembentukan spora adalah
eusporangiate, dimana spora berasal dari beberapa sel inisial. Spora tumbuh
menjadi gametofit berkelamin ganda dan bersimbiosis dengan fungi (mikoriza).
Sperma berflagela banyak dan memerlukan air untuk menuju sel telur. Pada
awalnya gametofit melekat pada rizom sporofit dengan akar haustorium, suatu
struktur yang dapat menyerap nutrien langsung dari sel-sel sporofit, selanjutnya
melepaskan diri. Gametofit berbentuk silindris, bercabang-cabang menggarpu,
diameter 2-5 mm, panjang dapat mencapai 20 mm, tumbuh di atas batu atau epifit
pada pohon, memiliki rizoid dan tidak berwarna atau berwarna cokelat. Beberapa
gametofit memiliki berkas pengangkut. Psilotum dapat pula memperbanyak diri
secara vegetatif dengan gemma (kuncup) pada rizom.
Tmesipteris tumbuh sebagai epifit pada batu atau pohon. Batang sporofit
umumnya tidak bercabang, apabila bercabang sifatnya dikotom. Daun di pangkal
batang berbentuk sisik, makin ke ujung makin besar, hingga akhirnya berbentuk
lanset. Daun bertulang satu, lebih besar dari daun Psilotum dan memiliki stomata di
kedua permukaannya. Sporangium terletak di ketiak daun pada ujung batang,
kadang-kadang membentuk strobilus, meskipun berbeda dengan strobilus
Lycopodium. Karakteristik Tmesipteris lainnya pada dasarnya sama dengan
Psilotum.
LYCOPODIACEAE (PAKU KAWAT)
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)
Lycophyta (Lepidophyta) yang masih lestari, secara tradisional dibagi
menjadi dua kelompok berdasarkan ada tidaknya ligula, yaitu Ligulopsida
(memiliki ligula) dan Eligulopsida (tanpa ligula). Ligulopsida memiliki dua suku,
Selaginellaceae dan Isoetaceae, sedangkan Eligulopsida memiliki satu suku

31

Lycopodiaceae. Tumbuhan Paku kawat memiliki sporofit yang dapat dibedakan


dengan jelas antara batang, akar dan daun. Batang dan akar bercabang menggarpu.
Tipe daun khas mikrofil, tidak bertangkai dan bertulang satu. Berkas pengangkut
bertipe protostele atau sifonostele. Sporangium terletak di ketiak daun dan
terkumpul di ujung batang membentuk strobilus. Spora bersifat homospora dengan
gametofit endosporik atau heterospora dengan gametofit eksosporik. Nama Paku
kawat kadang-kadang digunakan baik untuk Lycopodium maupun Lygodium.
Suku Lycopodiaceae tidak memiliki ligula dan bersifat homospor. Hampir
semua Lycophyta yang masih hidup termasuk dalam suku Lycopodiaceae, bahkan
dulu hampir semua dimasukkan dalam marga Lycopodium. Lycopodiacea
digolongkan berdasarkan susunan sporofil, adanya rizom, struktur vegetatif, bentuk
gametofit dan jumlah kromosom, sehingga tidak lagi dikelompokkan dalam satu
marga Lycopodium. Lycopodiaceae tersebar mulai dari daerah kutub hingga daerah
tropis, tetapi jarang mendominasi suatu komunitas. Sporofit umumnya memiliki
rizom bercabang-cabang, dimana batang dan tunas adventif muncul ke atas. Berkas
pengangkut batang dan akar bertipe protostele. Mikrofil tersusun spiral, tetapi pada
beberapa kelompok berseling atau melingkar. Pada awalnya suku ini hanya
memiliki dua marga, yaitu Lycopodium dan Phylloglossum.
Lycopodiaceae bersifat homospora, sporangium terdapat di permukaan atas
sporofil. Pada Huperzia dan Phlegmarius, sporofil terletak di antara trofofil, bentuk
sporofil keduanya sama. Pada Diphasiastrum dan Lycopodium sporofil non
fotosintesis mengelompok dalam strobilus di ujung batang. Selama perkecambahan, spora membentuk gametofit berkelamin ganda. Tergantung marganya
gametofit dapat berbentuk tidak beraturan dan berwarna hijau, misalnya
Lycopodiella, Pseudolycopodiella dan Palhinhaea atau berbentuk simbion
mikoriza, terletak di bawah tanah dan non fotosintesis, misalnya Diphasiastrum,
Lycopodium, Huperzia dan Phlegmarius.
Perkembangan arkegonium dan anteridium gametofit Lycopodiaceae dapat
memakan waktu 6-15 tahun dan selama masa itu dapat menghasilkan sporofit
beberapa kali. Fertilisasi Lycopodiaceae membutuhkan air. Sperma dengan dua
flagella berenang dalam air menuju arkegonium yang berisi sel telur. Zigot
berkembang membentuk embryo yang tumbuh di dalam arkegonium. Sporofit
muda segera melepaskan diri dari gametofit, namun kadang-kadang tetap melekat
pada gametofit dalam jangka waktu lama.
Lycopodium hidup di tanah atau epifit. Batang bercabang-cabang
menggarpu dan tertutup daun-daun. Panjang daun 2-10 mm, kadang-kadang
mencapai 2-3 cm. Daun tersusun spiral dalam karangan padat atau tidak beraturan.
Umumnya bentuk daun sama (isofil), tetapi ada pula yang tidak sama (anisopil).
L.clavatum mewakili Lycopodiaceae yang tumbuh di bawah tanah, gametofit
mengandung mikoriza dan membentuk strobilus. Lycopodium memiliki beberapa
tipe sporofil dan trofofil: (i) Sporofil dan trofofil serupa atau agak lebih kecil, letak
keduanya bergantian. Strobilus tidak ada. Setelah spora dalam sorus habis
dihamburkan, sporofil berfungsi sebagai trofofil. (ii) Bentuk, ukuran dan warna
sporofil sangat berbeda dengan trofofil. Sporofil hanya berfungsi sebagai tempat
pembentukan sporangium dan berkumpul di ujung batang atau cabang membentuk
strobilus. (iii) Semua daun yang telah tua menjadi sporofil dan membentuk
sporangium. Strobilus tidak ada karena semua daun berfungsi sebagai sporofil.
Sporangium bertipe eusporangiate. Berntuk seperti ginjal, tangkai pendek, jika tua

32

berwarna kekuning-kuningan, diameter 1-1,5 mm. Dinding sporangium terdiri atas


beberapa lapis sel. Bagian paling dalam berupa lapisan tapetum yang aktif
membentuk spora. Diameter spora 0,03 mm, berdinding tipis dan pada aksospora
terdapat penebalan jala. Spora membentuk susunan tetrade.
Irisan melintang batang Lycopodium, misalnya L.clavatum, terdiri atas
epidermis, korteks dan stele. Epidermis terdiri atas selapis sel yang dinding luarnya
dilapisi kutikula dan terdapat stomata. Korteks, daerah antara epidermis dan stele,
memiliki tiga bentuk, yaitu: seluruhnya terdiri atas sel-sel berdinding tipis dan
memiliki ruang-ruang antara sel, terdiri atas sel-sel sklerenkim dan tanpa ruang
antar sel dan terdiri atas tiga bagian, yakni paling luar sel berdinding tebal, di
tengah sel berdinding tipis dan ruang antar sel, serta paling dalam terdiri atas sel
berdinding tebal. Batang Lycopodium tidak memiliki kambium. Stele pada dasarnya
bertipe protostele, tersusun atas xilem primer dan floem primer, tetapi ada pula yang
bertipe: Aktinostele (jari-jari), misalnya L. serratum, Stellate stele (lekukan
iregular), misalnya L.annotinum, Mixed protostele (jala disisipi floem), misalnya
L.sernuum, dan Plektostele (lekukan berbentuk papan-papan), misalnya L.volubile.
Gametofit Lycopodium tidak banyak dikenal karena sporanya tumbuh
sangat lambat. Gametofit terdiri dari tiga tipe: (i) Gametofit memiliki kloroplas,
hidup di bawah tanah, berbentuk silindris atau oval. Bagian pangkal tumbuh rizoid,
sedang di bagian atas terdapat lobus-lobus tidak beraturan seperti daun.
Gametangium terdapat pada pangkal lobus berwarna hijau, misalnya L.inundatum,
L.salaccense dan L.sernuum. (ii) Gametofit tidak memiliki kloroplas, hidup di
bawah tanah, berbentuk umbi atau cawan. Gametangium di bagian atas gametofit,
pada dataran atau lekukan. Rizoid tumbuh di bagian bawah gametofit. Tipe ini
dapat berumur sampai 20 tahun. Spora berkecambah setelah 3-5 tahun, semula
hanya terdiri dari lima sel dan mendapat nutrien dari cadangan makanan dalam
spora. Setelah mengalami fase istirahat 12-15 tahun, sel-sel ini dimasuki hifa jamur,
misalnya L. clavatum, L. complanatum, L. annotinum dan L. obscurum. (iii)
Gametofit yang tidak memiliki kloroplas, hidup sebagai saprofit pada batang pohon.
Berbentuk umbi yang ditumbuhi cabang-cabang silindris, tidak berwarna.
Gametangium dibentuk pada permukaan cabang-cabang tersebut. Di dalam selselnya sering dijumpai jamur mikoriza, misalnya L. phegmaria.
SELAGINELLACEAE (PAKU RANE)
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)
Di Jawa, suku Sunda memanfaatkan Selaginella sebagai lalapan dan jamu
tradisional. Hal ini kemungkinan tekait dengan keanekaragaman Selaginella yang
relatif tinggi di Jawa Barat, mengingat lingkungan yang basah sesuai sebagai
habitatnya. Jenis yang paling banyak digunakan adalah S. plana, selain itu banyak
pula ditemukan S. wildenowii, S. ornata, dan S. involvens yang kadang-kadang juga
digunakan untuk bahan obat. Dalam pengobatan tradisional Cina jenis yang banyak
digunakan adalah S. doederleinii dan S. tamariscina, tetapi keduanya jarang
ditemukan di Malesia, sehingga harus diimpor. Selaginella sangat menarik sebagai
tanaman hias karena bentuk morfologinya yang unik dan beragam, dan beberapa di
antaranya telah lama dikembangbiakkan. Di Jepang terdapat lebih dari 250 kultivar
S. tamariscina.
Selaginella memiliki banyak nama lokal, seperti: rumput Solo, cemara kipas
gunung, cakar ayam (Jawa), paku rane (Sunda), menter (Jakarta), tai lantuan
(Madura), usia (Ambon), sikili batu, lingonai (Minangkabau), dan shi shang be atau

33

juan bai (Cina). Dalam bahasa Indonesia tumbuhan ini biasa disebut cakar ayam
atau paku rane. Selaginella dinamai cakar ayam karena daunnya tersusun di bagian
kiri-kanan batang secara median dan lateral, sehingga tampak seperti sisik-sisik
pada kaki ayam. Daun berbentuk sisik ini menyebabkan tumbuhan ini sering
tampak seperti tumbuhan lumut sehingga dinamai clubmoses, namun sejatinya
merupakan tumbuhan paku karena memiliki berkas pengangkut dan menggunakan
spora untuk berkembang biak.
Selaginella dapat dimanfaatkan terutama sebagai antioksidan, antiinflamasi,
anti kanker, dan antimikrobia (virus, bakteri, jamur, protozoa). Selaginella
mengandung alkaloid, terpenoid, dan fenolat (flavonoid, tanin, dan saponin), namun
khasiat utamanya disebabkan biflavonoid, seperti amentoflavon, robustaflavon, dan
ginkgetin. Senyawa-senyawa ini hanya diproduksi oleh Selaginellaceae,
Psilotaceae, tumbuhan berunjung dan beberapa jenis tumbuhan berbunga. Ekstrak
S. doederleinii dapat menghambat kanker. Ekstraks S. involvens menghambat lipid
peroksida. Ekstrak S. tamariscina menghambat produksi nitrat oksida dan lipid
peroksida serta melawan leukemia dan diabetes. Amentoflavon dari ekstrak S.
doederleinii dan S. tamariscina berpotensi sebagai antivirus dan antiinflamasi.
Robusflavon dari S. denticulate, S. lepidophylla dan S. wildenowii berperan sebagai
antivirus.
Selaginella telah hadir di bumi lebih dari 320 juta tahun yang lalu, sejumlah
besar jenisnya telah punah yang lestari tereduksi menjadi herba. Selaginellaceae
hanya memiliki satu marga Selaginella dengan sekitar 700-750 jenis. Klasifikasi
umumnya merujuk pada Jermy (1986) yang membagi marga Selaginella menjadi
lima sub marga, yaitu: Selaginella (2 jenis ) tumbuh di rawa-rawa temperate,
Ericetorum (3 jenis ) tumbuh di tanah tandus, Tetragonostachys (50 jenis ) tumbuh
di tempat yang kering musiman, sedangkan Stachygynandrum (600 jenis ) dan
Heterostachys Baker (60 jenis ) tumbuh di hutan dataran rendah hingga
pegunungan tropis. Semua Selaginella dari Malesia bersifat anisofil dan termasuk
dalam submarga Stachygynandrum. Selaginella juga dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu: (i) Homocophyllum: daun satu macam (isofil) dan tersusun spiral,
batang biasanya tumbuh tegak, misalnya S. selaginoides atau sporofil membentuk
empat barisan vertikal, misalnya S.pygmaea, S.uliginous, S. rupestris dan
S.oregana. (ii) Heterophyllum: daun dua macam tersusun dalam empat baris
membujur pada batang. Semua Selaginella dari Malesia termasuk kelompok
terakhir ini.
Selaginella memiliki habitus yang beragam, seperti merayap (S. kraussiana,
S. martensii, S. denticulata), roset dengan rizom dan buku-buku pendek (S.
pallescens, S. lepidophylla, S. tamariscina), rimpang tegak hingga 4 m, tunas
muncul dari pangkal bagian strobilus (S. denticulata, S. gigantea), memanjat
dengan rimpang dapat melekat pada inang (S. willdenovii), tegak, pendek,
bertumpuk-tumpuk (S. selaginoides), merayap, cabang sekunder tegak membentuk
payung (S. vogelii, S. haematode, S. erythropus). Selaginella memiliki pigmentasi
yang juga beragam; berwarna biru (S. uncinata, S. vogelii, S. lyallii), merah (S.
erythropus), variegata (S. tamariscina), kuning-emas (S. kraussiana var. aurea),
perak (S. viticulosa). Umurnya sangat beragam, beberapa jenis hidup ratusan tahun,
seperti S. tamariscina, tetapi terdapat ada yang musiman, seperti S. tenerrima, S.
tuberosa, S. pygmaea dan S. gracillima.

34

Di Malesia, keanekaragaman Selaginella dan jenis endemis pada setiap


pulau sebagai berikut: P. Kalimantan (Borneo) 58 (42), P. Irian (Nugini) 55 (39),
Filipina 48 (26), Sumatera 29 (9), Thailand 29 (1), Semenanjung Malaya 25 (6),
Sulawesi 21 (7), Maluku 18 (4), Jawa 22 (5), Nusa Tenggara 9, dan Oseania 8 (3).
Beberapa spesies memiliki sebaran geografi cukup luas, misalnya S. involvens
ditemukan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Thailand, Semenanjung
Malaysia dan Filpina. Beberapa spesies lainnya ditemukan mengelompok pada
pulau-pulau yang berdekatan, misalnya S.stipulata ditemukan di Jawa, Sumatera,
dan Semenanjung Malaysia; S. caudata ditemukan di Nugini dan Maluku; S.
aristata ditemukan di Jawa, Sulawesi, Maluku dan Filipina.
Selaginella umumnya tumbuh terestrial pada hutan primer dan sekunder
dataran rendah hingga pegunungan menengah. Mereka sering ditemukan pada
tempat-tempat terbuka yang lembab, baik di sekitar mata air atau anak sungai atau
padang terbuka yang lembab, serta sering menjadi vegetasi penutup tanah pada
tepian hutan. Beberapa jenis tumbuhan ini memiliki sebaran altitudinal sangat luas,
di Jawa S. plana dapat ditemukan mulai dari daratan pantai P. Nusakambangan
hingga ketinggian sekitar 2000 mdpl di G. Slamet. Bahkan beberapa jenis lain di P.
Irian (Nugini) tumbuh hingga ketinggian 3200 mdpl. Beberapa tumbuh baik
terestrial maupun epifit di pangkal-pangkal pohon, misalnya S. involvens di G.
Merapi. Terdapat pula jenis yang epifil di cabang yang tinggi, misalnya S.
angustiramea hingga ketinggian 25 m di atas tanah. Beberapa jenis tumbuh di
kawasan karst misalnya S. aristata, S. antimonanensis, S. pricei dan S. chaii.
Sporofit Selaginellaceae memiliki persamaan dengan Lycopodiaceae.
Beberapa jenis yang berukuran kecil, menyerupai lumut hati berdaun
(Jungermanniales) dan tumbuh di antara tumbuhan lumut, sehingga sering
dinamakan tumbuhan paku lumut (clubmoses). Di dekat percabangan batang
terdapat alat tambahan yang dinamakan rizofora (pendukung akar). Rizofora
berbentuk seperti batang, tetapi tidak bendaun, tumbuh ke bawah menuju tanah dan
pada ujungnya tumbuh akar. Sporangium terdapat dalam strobilus. Daun
Selaginella berupa mikrofil, berukuran kecil, memiliki satu tulang daun, tidak
bercabang. Pada bagian pangkal dari sisi ventral daun terdapat sisik-sisik yang
dinamakan ligula (lidah-lidah). Ligula ini merupakan alat penghisap air (tetes air
hujan) dan mempunyai hubungan dengan berkas pengangkut.
Struktur anatomi batang Selaginella hampir sama dengan Lycopodium.
Penampang melintang batang terdiri atas epidermis, korteks dan stele. Epidermis
terdiri dari selapis sel tidak berwarna yang dinding luarnya dilapisi kutikula, tetapi
tidak memiliki stomata. Korteks beberapa lapis: paling luar berupa 3-11 lapis sel
berdinding tebal yaitu lapisan sklerenkim. Sebelah dalam merupakan sel-sel
berdinding tipis, biasanya terdapat kloroplas dan ruang antar sel. Stele mengalami
beberapa modifikasi. Pada jenis yang batangnya pipih dorsiventral, hanya terdapat
satu stele (monostele), misalnya S. chrysocaulos, S.martenssi dan S. chrysorhizos,
tetapi jenis -jenis lain memiliki 2, 3 atau lebih stele. Berkas pengangkut batang
bertipe protostele. Korteks dan stele dipisahkan rongga udara dan dihubungkan
filamen-filamen trabekula. Bagian dalam korteks terdapat selapis sel endodermis
yang mula-mula letaknya teratur dalam satu lingkaran, tetapi karena korteks dan
stele saling menjauh maka endodermis memanjang ke arah radial hingga berubah
menjadi sel-sel trabekula. Hal ini terlihat dari adanya penebalan titik kaspari pada

35

trabekul. Lapisan terluar stele berupa perisikel, disusul floem, protoxilem dan
metaxilem.
Daur hidup Selaginella sangat unik karena mencirikan pergeseran antara
tumbuhan berpembuluh tanpa biji ke tumbuhan berbiji, yakni dengan adanya sifatsifat spora heterospor, gametofit endospor, dan fase embryo serupa biji. Tingginya
keanekaragaman Selaginella diduga akibat sifatnya yang heterospor, sehingga
memungkinkan terjadinya persilangan antar jenis. Selaginella merupakan tumbuhan
paku heterospora, sehingga memiliki mikrosporangium dan makrosporangium.
Sporofil yang membentuk mikrospora disebut mikrosporofil sedang sporofil yang
membentuk makrospora disebut makrosporofil. Sporofil dan trofofil berbeda bentuk
dan ukurannya. Makro-sporofil biasanya terdapat pada pangkal strobilus, sedang
mikrosporofil di ujung. Mikrosporangium menghasilkan banyak mikrospora,
sedang makrosporangium hanya menghasilkan empat makrospora melalui
pembelahan meiosis.
Gametofit Selaginella, terutama mikrogametofit, telah berkembang pada
waktu masih di dalam spora, bahkan pertumbuhan gametofit telah dimulai sewaktu
masih berada di dalam sporangium. Meskipun pertumbuhan yang lengkap baru
terjadi setelah spora dihamburkan dan jatuh di tempat yang cocok. Gametofit jantan
sangat kecil dan sangat tereduksi. Perkembangan mikrogametofit dimulai dengan
terbentuknya sel protalial, kecil seperti lensa dan sel anteridial besar. Sel protalial
bersifat vegetatif dan dinamakan sel rizoid, sedang sel anteridial membelah
beberapa kali membentuk gametofit yang hanya terdiri dari beberapa sel, dimana 2
atau empat sel di tengah menjadi sel spermatogen primer, sedang sel-sel di
sekelilingnya menjadi sel dinding. Sel spermatogen membelah beberapa kali
membentuk sel induk spermatozoid. Sedang sel dinding larut, menjadi lapisan
lendir yang didalamnya terkandung spermatozoid. Setelah spermatozoid masak,
dinding mikrospora pecah dan spermatozoid keluar. Gametofit betina tidak banyak
tereduksi. Makrogametofit terbentuk di dalam makrospora, dan prosesnya berbedabeda tergantung jenis nya. Pada S.krausiana proses ini dimulai dengan
membesarnya makrospora, diikuti pembelahan inti spora, sehingga protoplas
multinukleat. Lalu protoplasma menepi membentuk lapisan pada dinding spora.
Pembelahan sel menghasilkan jaringan yang terdiri dari 2-3 lapisan sel di bagian
ujung makrospora. Jaringan ini dipisahkan suatu selaput dari jaringan lain dam
membentuk beberapa arkegonium. Lalu dinding makrospora pecah dan gametofit
tersembul ke luar dengan membentuk 3 rizoid pada tiga tempat. Pertumbuhan
makrogametofit dapat terjadi pada waktu makrospora masih berada di dalam
makrosporangium atau setelah keluar. Beberapa jenis Selaginella dapat mengalami
apogami.
Penelitian sitologi terhadap berbagai Selaginella menunjukkan bahwa
jumlah dasar kromosomnya adalah x = 7, 8, 9, 10, 11, dan 12, namun hal ini tidak
menunjukkan kaitan dengan klasifikasi sub marga di atas. Di sisi lain terdapat
kenyataan menarik dimana jenis dengan x = 9 jarang terbentuk strobilus, sedangkan
pada jenis dengan x = 10 selalu membentuk strobilus di ujung percabangan.
Penelitian filogeni molekuler menunjukkan bahwa Selaginellaceae merupakan
kelompok monofiletik, dimana submarga Selaginella merupakan sister group dari
suatu clade yang tersusun atas semua jenis lain. Submarga Stachygynandrum yang
besar merupakan kelompok polifiletik, dengan beberapa anggotanya parafiletik
terhadap subgenera Tetragonostachys, Ericetorum, dan Heterostachys. Subgenera

36

Tetragonostachys dan Ericetorum merupakan kelompok monofiletik, sedangkan


monofiletik dari Heterostachys belum diketahui.
EQUISETACEAE (PAKU EKOR KUDA)
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)
Equisetum (Latin equus, "kuda"; seta, "bulu") dikenal sebagai paku ekor
kuda karena morfologinya membentuk berkas seperti ekor kuda. Ironisnya tumbuan
ini beracun bagi kuda atau hewan ternak lain apabila memakan dalam jumlah
banyak, meskipun di Jepang dengan teknik tertentu tumbuhan ini dimasak dan
disajikan di meja makan. Pada masa lalu rumpun kering Equisetum digunakan
untuk menggosok peralatan dapur dan peralatan logam karena mengandung banyak
silika. Dalam pengobatan tradisional, paku ekor kuda yang mempunyai efek
mendinginkan dengan rasa agak getir, digunakan sebagai astringen, diuretik,
mengobati infeksi saluran kemih, gangguan prostat, dan batu ginjal; pendarahan
akibat luka dan menstruasi; luka pada kerongkongan, mulut, gusi, dan sariawan;
penyakit saluran pernafasan seperti tuberculosis atau emphysema; iritasi kulit
seperti eksem, borok, dan luka bernanah; serta infeksi jamur. Karena mengandung
mineral dan silika, herba ini digunakan untuk mengobati anemia dan sampo penguat
rambut.
Equisetaceae telah hadir sejak masa Permian, fosilnya banyak dijumpai
dalam deposit batubara, bersama dengan kerabat dekatnya Calamites yang telah
punah dan tingginya sekitar 30 m. Marga yang lestari hingga kini hanya Equisetum,
terdiri dari sekitar 25 jenis. Penyebarannya kosmopolitan, terutama di belahan bumi
utara, baik di Asia, Amerika utara dan Eropa. Tumbuhan ini menyukai tempat yang
lembab, basah, dan dingin, seperti dekat sungai kecil atau kolam, rawa-rawa, tepian
sungai dan di tepian hutan, kadang-kadang membentuk rumpun yang sangat lebat.
Equisetum menyukai tanah pasir yang basah, namun beberapa tumbuh akuatik
atau beradaptasi pada tanah lempung. Salah satunya, Equisetum arvense, berpotensi
sebagai gulma karena dapat tumbuh kembali setelah dicabut, karena rizomnya
tertanam cukup dalam dan sulit digali, terlebih tahan terhadap herbisida yang
dirancang untuk gulma tumbuhan berbiji.
Rizom merayap di dalam tanah, memunculkan batang-batang tegak di atas
tanah yang hanya berumur setahun (annual). Batang berlubang dibagian tengahnya,
memiliki daun-daun kecil seperti sisik, tunggal, melingkari buku-buku batang.
Ujung daun meruncing, memiliki satu berkas pengangkut, ukuran sangat kecil
sehingga fotosintesis lebih didominasi permukaan batang yang berklorofil. Cabang
muncul pada buku-buku batang. Pada jenis tertentu, cabang baru tumbuh apabila
ujung batang patah. Jenis yang bercabang banyak dianggap primitif, misalnya
Equisetum arvense, sedang yang bercabang sedikit dianggap maju. Akar sangat
kecil tumbuh di buku-buku rizom dan di pangkal batang. Rizom dapat bertahan
lama untuk melindungi dari kekeringan. Sporangium terdapat pada sporangiofor
yang sebenarnya sporofil. Sporangiofor sangat pendek membentuk kerucut di ujung
batang. Sporofil berbentuk perisai berisi 5-10 sporangium. Sporangium bertipe
leptosporangiate, berasal dari sebuah sel permukaan. Sel sporogen mula-mula
membentuk beberapa lapis sel dinding, lapisan dalam berupa sel tapetum.
Kumpulan sporofil disebut strobilus.
Selama pembentukan spora, dinding sel tapetum larut, plasmanya menjadi
periplasmodium yang terletak di antara spora dan digunakan untuk membentuk
dinding spora. Ketika spora masak, dinding sporangium tinggal selapis. Spora

37

tersebar dengan retaknya dinding yang menghadap sporangiofor, karena


mengkerutnya dinding sel akibat kekeringan. Spora terdiri dari endosporangium dan
eksosporangium, serta dilindungi beberapa lapis perisporium. Lapisan perisporium
paling luar berupa dua pita sejajar dengan ujung melebar seperti lidah. Apabila
basah, pita ini akan membalut spora, sedang apabila kering pita akan lepas dari
gulungan, namun pada eksosporium tetap melekat.
Anatomi batang Equisetum menyerupai tumbuhan air tawar, di dalamnya
terdapat banyak rongga udara dan terdapat tiga macam saluran: (i) Saluran pusat
(central), terletak di tengah-tengah batang. Tidak ditemukan pada batang muda dan
rizom. (ii) Saluran karinal (carinal), terletak di dalam berkas pengangkut, berupa
lingkaran dan mengakibatkan terbentuknya rigi-rigi di permukaan batang. (iii)
Saluran valekuler (valecular), terletak di dalam korteks, berseling dengan saluran
karinal.
Gametofit berwarna hijau dan tumbuh bebas, sangat kecil (diameter 1-10
mm). Menyukai tanah lembab, basah, teduh dan berhumus. Jenis yang tumbuh di
daerah panas diameternya dapat mencapai 3 cm, misalnya E. debile. Gametofit
bersifat monoesis atau dioesis (heterotalik). Gemetofit masak setelah berumur 3-5
minggu, berkelamin ganda atau jantan saja. Pada gametofit berkelamin ganda,
arkegonium masak sebelum anteridium, sehingga dapat terjadi penyerbukan silang.
Sperma multiflagela, memerlukan air untuk berenang ke sel telur. Zigot
berkembang membentuk embryo dan sporofit muda.
CYATEACEAE (PAKU POHON)
Wita Wardani (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi LIPI, Cibinong-Bogor)
Paku pohon merupakan jenis paku besar yang sangat atraktif. Bongkotnya
yang unik dapat tumbuh tinggi, mengantarkan kanopinya yang indah ke atas
bermandi cahaya matahari. Perawakan yang khas menyebabkan tumbuhan ini
sering digunakan sebagai tanaman hias di taman-taman. Pada beberapa jenis paku
pohon yang telah dewasa, bongkot bagian bawah tertutupi serabut akar adventif
hingga mencapai ketebalan yang cukup besar. Bagian inilah yang ramai
diperdagangkan orang hingga ke level internasional untuk berbagai kebutuhan
dalam pertanian dan seni. Saat ini marga Cyathea termasuk ke dalam daftar
appendix II CITES yang berarti perdagangan produk dari tumbuhan ini harus
mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan secara internasional. Jenis yang paling
dikenal dalam hal ini adalah Cyathea contaminans.
Bongkot paku pohon biasanya tunggal, tegak, seperti batang pohon asli
hingga mencapai tinggi 20 m, berdiameter 2-24 cm, padat dan agak jarang
bercabang. Kadang-kadang ditemukan pula yang menjalar di tanah. Permukaannya
terselimuti akar adventif yang bisa cukup tebal di bagian bawah dan pada bagian di
atasnya yang tak tertutupi seringkali tampak bekas-bekas perlekatan daun yang
jelas. Daun-daun membentuk karangan di atas batang. Daun itu monomorf,
menyirip, bertangkai kokoh, pada beberapa jenis gugur tidak sempurna, panjangnya
bisa mencapai 3-5 m. Tangkainya kaku, bersisik, berkutil atau berduri, kadangkadang berambut. Pada kedua sisi pangkal tangkai daun dan rakhis timbul
pneumatod yang membentuk 2-3 baris garis berwarna terang, terputus atau
bersambungan, melintang dari pangkal daun ke arah distal. Laminanya eliptik,
besarnya hingga 3,5 m x 1 m, menyirip hingga menyirip ganda-menyirip bercangap
dengan pinak daun yang selalu lebih pendek di bagian bawah daripada pinak daun
tengah. Rakis beralur, kadang-kadang ditemukan alur tambahan di bagian tengah,

38

stramineous hingga kuning kecoklatan, jarang ditemukan berwarna gelap


mengkilap. Rambut hampir selalu ada di atas permukaan semua bagian, bengkok ke
atas atau kadang-kadang bercabang. Pinak daun hingga 70 x 20 cm, umumnya
menyirip bercangap. Bagian pinak daun hingga 12 x 2,5 cm, hampir simetris di
bagian basal, semakin memendek dan menyempit ke arah luar. Tulang daun
tersusun bebas, sederhana atau bercabang, paling bawah biasanya menggarpu,
kadang-kadang menyirip pada segmen anak daun yang bercangap dalam. Sorus
membundar, biasanya duduk pada pergarpuan tulang daun, atau pada tulang daun
yang sederhana. Indusium kadang ada kadang tidak. Jika ada, maka terpasang
menyelimuti sekeliling bagian basal penyangga sporangium. Pembukaan indusium
membentuk ujung mangkuk atau bukaan yang meninggalkan torehan tak beraturan.
Penyangga sporangium tegak, menggada atau membulat. Sporangium banyak,
selalu bertangkai pendek, dengan gelang annulus tersusun hampir vertikal,
membentuk jalur yang seolah memotong tangkainya. Parafisis biasanya hadir
sebagai rambut multiseluler, kadang-kadang pipih dengan sel yang lebar-lebar di
bagian bawah. Spora trilet, tetrahedral hingga membulat, berdinding tipis, halus
atau berpapil atau beralur tidak beraturan, berjumlah 16-64 butir per sporangium.
Jenis-jenis Cyathea dapat dibedakan dari karakter sisik pada bagian pangkal
tangkai daun juga sisik pada lamina daun, dari bintul-bintul pada pangkal tangkai
daun, serta dari bentuk dan posisi sorus. Cyathea contaminans memiliki sisik
pangkal tangkai daun tipis, berwarna coklat muda pucat dengan tepian berseta
berwarna gelap. Cyathea junghuniana yang sering ditemukan di habitat yang sama,
memiliki sisik pangkal tangkai daun yang lebih kaku, berwarna gelap mengkilap.
Jenis ini sering disalah-identifikasikan dengan Cyathea raciborskii yang juga
bersisik gelap dan hidup di habitat yang sama, namun memiliki sisik pada tulang
daun yang berjendolan dan menutupi hampir seluruh permukaan tulang daun,
sedangkan pada C. junghuniana sisik pada bagian tersebut berbentuk pipih
memanjang dan tidak banyak (jarang-jarang). Selain itu, C. junghuniana memiliki
pangkal tangkai daun yang berbintul tajam (hampir seperti duri) seperti halnya pada
C. contaminans, sedangkan pada C. raciborskii bintul-bintul tersebut tumpul seperti
jerawat.
Bongkot ketiga jenis ini banyak dicari sebagai komoditi ekspor, namun yang
paling laris adalah C. contaminans. Akar adventif pada bongkot C. contaminans
berwarna hitam dan memiliki tekstur yang lebih baik dibandingkan jenis yang lain
untuk kebutuhan media tanam epifit sedangkan dua jenis lainnya memiliki akar
adventif yang serabutnya lebih besar-besar, berwarna merah dan bertekstur lebih
liat, kurang disukai untuk media tanam. Selain itu, ketebalan akar adventif C.
contaminans bisa mencapai 25 cm pada paku pohon yang sudah tua, jauh lebih
tebal daripada dua jenis lainnya. Bongkot paku pohon yang kurus tertutupi akar
adventif pada C. junghuniana dan raciborskii banyak digunakan untuk hiasan
bangunan dan ajir tanaman merambat. Selain karena selimut serabut akarnya,
batang bongkot juga banyak diminati karena materialnya tidak mudah rusak terurai
atau membusuk.
Sayangnya, paku pohon merupakan jenis yang lambat pertumbuhannya.
Paku pohon memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai tinggi maximum.
Akar adventif yang tebal juga merupakan penunjang utama taruk mengingat
bongkot paku tidak dapat membesar seperti halnya batang pohon kayu.
Pengambilan bongkot atau akar adventifnya yang tidak terkendali akan mengancam

39

populasi tumbuhan yang unik ini. Karena itu, pemanenannya dari alam bebas untuk
keperluan ekspor di negara ini telah dibatasi melalui peraturan-peraturan terkait
CITES untuk menghindari kepunahan.
GLEICHENIACEAE
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)
Salah satu jenis Gleicheniaceae yang mudah dijumpai adalah paku resam,
Dicranopteris linearis yang biasa menutupi tebing-tebing di tepi jalan dari dataran
menengah hingga tinggi. Preferensi habitatnya yang sama dengan Pinus merkusii
(resam) yaitu: terbuka, miskin hara dan cenderung kering sehingga di Sumatera
sering ditemukan di habitat yang sama, kemungkinan menjadi landasan penyebutan
Dicranopteris linearis dan jenis-jenis Gleicheniaceae lainnya sebagai paku resam.
Paku resam mudah dijumpai di hutan sekunder, tumbuh dengan baik pada tanah
yang kekurangan hara. Tumbuhan ini dapat bercabang-cabang dengan cepat
membentuk ketebalan setinggi 2 m, menaungi semua tumbuhan lain. Apabila
memanjat pada pohon dapat mencapai tinggi 7 m, daunnya menggarpu, cabang baru
akan muncul di pertemuan keduanya. Tumbuhan ini memiliki kegunaan tradisional,
daunnya dapat digunakan untuk mengobati demam, cacingan, bisul, tukak lambung
dan luka. Di Nugini, bagian yang menjalar digunakan untuk tali saat membuat
rumah. Daunnya digunakan untuk hiasan pada upacara adat atau huasan sehari-hari,
juga untuk hiasan senjata dan ikat pinggang.
Tumbuhan ini sangat cocok untuk mengawali proses suksesi primer pada
tanah terbuka yang terjadi akibat bencana tanah longsor atau banjir; atau bekas
tambang yang ditinggalkan. Karena paku paku resam termasuk salah satu tumbuhan
yang dapat tumbuh dengan cepat pada tanah yang miskin hara; dapat merayap pada
tebing yang miring, dapat segera menempati lahan kosong yang diterlantarkan.
Pertumbuhannya yang cepat membantu mengikat tanah dan mengembalikan hara ke
dalam tanah. Rizom yang ramping, panjang dan menyebar kemana-mana, serta
formasi daun tuanya yang lebat dapat mencegah tanah dari erosi lebih lanjut,
sedangkan daun mudanya dapat menangkap serasah. Ketika mati, hara
dikembalikan ke tanah. Kelebatan paku resam dapat menghambat tumbuhnya
permudaan tumbuhan lain, karena naungan dan kompetisi ruang; namun alam telah
mengatur, sisa-sisa paku resam tua dan mati sangat mudah terbakar pada musim
kemarau, baik secara sengaja maupun alamiah. Kebakaran ini memungkinkkan
bekas tanah terabaikan yang kini telah kaya hara ini dapat permudaan tumbuhan
lain, dan memungkinakn ekosistem melanjutkan suksesi menuju klimaks.
Paku resam tumbuh terestrial, sering menjalar dan membentuk massa tebal,
rizom menjalar panjang, di bawah tanah, hampir selalu bercabang dikotom, hampir
selalu protostele, ujungnya terdapat sisik atau bulu-bulu bercabang multiseluler.
Daun stipitate panjang, kebanyakan bercabang dengan bentuk pseudodichotomous
dengan tunas apikal yang kadang-kadang dorman, beberapa dapat terulang berkalikali, cabang utama pinnatifid atau bi-pinnatifid pada costa, vein bebas ke tepi,
tersusun pinnate pada setiap segmen, tunggal, bercagak satu atau beberapa kali. Sori
muncul di permukaan vein, biasanya cabang akoskopis, umumnya memiliki 2-25
sporangia, exindsiate, tetapi kadang-kadang dengan sisik berbulu, cincin lengkap,
menyerong; spora monolete atau trilete, kecil, tidak berwarna.
Gleicheniaceae terdiri dari enam marga dan sekitar 125-160 jenis,
kebanyakan tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Pada awalnya tumbuhan ini
hanya dibagi dalam dua marga, dimana hampir semua anggotanya dimasukkan

40

dalam marga Gleichenia. Tumbuhan ini kebanyakan hidup xerofit. Semua jenis
memiliki rizom, batang dan daun bercabang menggarpu. Bentuk menggarpu pada
daun sebenarnya palsu (pseudodikotomi), karena pada ketiak percabangan terdapat
mata kuncup yang dorman dan menghentikan pertumbuhan memanjang secara
terminal. Selanjutnya pertumbuhan memanjang diteruskan cabang lateral. Susunan
daun berbeda-beda, bentuk daun steril dan fertil sama. Sporangium terdapat dalam
sorus, bertipe simplices, terletak pada permukaan atas daun. Sorus tanpa indusium
dan mengandung sedikit sporangium. Sporangium duduk atau bertangkai pendek,
biasanya berdekatan. Struktur anatomi batang sederhana. Gametofit bisanya
memiliki tulang di tengah, kiri dan kanan tulang melebar menyerupai sayap. Bagian
tepi bawah gametofit terbentuk tonjolan yang dapat lepas dan tumbuh menjadi
sporofit secara apogami.
LYGODIACEAE
Agung Sedayu (Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Jakarta)
Lygodium flexuosum (L.) Sw. Tumbuhan ini dikenal dengan nama hata
kembang (Sunda), paku ribu-ribu (Asahan) atau durhawa (Alor). Hata kembang
memiliki ciri morfologi yang unik. Daun majemuk hata kembang berukuran sangat
panjang (tidak terhingga) sehingga kelihatan seperti batang. Batang hata kembang
sendiri berupa rimpang dan tidak pernah muncul ke permukaan tanah. Dengan rakis
daun majemuknya yang memuntir hata kembang memanjat pohon lain sebagai
liana. Rimpang (batang) hata kembang pendek menjalar di dalam tanah, dan
diselimuti oleh akar, mengeluarkan daun yang tersusun berjejalan, ujung rimpang
diselubungi sisik hitam. Daun tumbuhan muda menggarpu sekali atau dua kali,
setiap cabang dengan anak daun tunggal yang berbagi menjari menjadi 3-7 cuping,
pangkalnya menjantung, tepinya menggergaji; rakis dari daun yang memanjat
bersayap, menggepeng, sedikit berbulu pada permukaan atas diantara sayap; ujung
rakis selalu dalam keadaan dorman, diselubungi rambut coklat. Cabang rakis
sekunder menyirip atau menyirip ganda, berbentuk bulat telur sempit atau deltoid;
pinak daun steril di bagian pangkal menjari menjadi 5 cuping, pangkalnya
menjantung jelas; pinak daun steril di bagian lebih ke ujung. Anak daun fertil lebih
kecil dari yang steril, sorofor dengan panjang 3-5 mm, pada ujung cuping anak
daun; indusia gundul; spora berbingkahan (verrucosae) halus. Hata kembang
tersebar cukup luas dari Himalaya hingga Cina bagian selatan, Hongkong India, Sri
Lanka, seluruh Malesia, Australia bagian utara hingga Melanesia. Secara lokal,
paku ini ditemui dengan mudah di daerah terbuka, hutan-hutan jati atau bambu, dari
ketinggian rendah hingga 1000 m dpl. Jenis ini tidak ditemui di hutan primer
dengan kanopi tertutup. Jika kita menemukannya di daerah yang cukup terbuka dan
agak kering, permukaan daunnya sering beradaptasi dengan menumbuhkan rambutrambut halus yang cukup lebat. Paku ini digunakan di Malaysia untuk pengobatan
tradisional penyakit kulit termasuk panu; sementara rebusannya dicampur dengan
bahan-bahan lain untuk menyembuhkan demam. Kandungan kimia hata kembang
dilaporkan efektif sebagai kontrasepsi, mengandung O-p-kumaril-dryokrasol,
dryokrasol, tektokuinon, kaempferol, kaempferol-3--D-glukosida, sitosterol dan
stigmasterol. Potensi hata kembang sebagai obat pada penderita fibrosis hati sedang
diteliti dengan intensif di India.
Lygodium microphyllum Cav. (R.Br.). Hata kembang sering hidup
berdampingan dalam satu lokasi dengan kerabat dekatnya Paku kawat, nama
Melayu untuk Lygodium microphyllum Cav. (R.Br.) yang dahulu dikenal dengan

41

nama L.scandens (L.) Sw. Paku kawat berukuran jauh lebih kecil dari hata
kembang. Rimpang Paku kawat menjalar meliputi daerah cukup luas, bercabang
menggarpu, diselimuti dengan rambut coklat kehitaman. Daun muda biasanya
menggarpu ganda, setiap cabang dengan pinak daun bercuping empat, gundul,
tepinya beringitan. Rakis yang memanjat gundul, hingga panjang 3 m atau lebih;
cabang utama sepanjang 4 mm atau lebih, diakhiri oleh ujung yang dorman yang
diselimuti rambut coklat gelap; cabang rakis sekunder menyirip, sekitar panjang 15
cm dengan 3-6 pinak daun bertangkai pada tiap sisinya; pinak daun agak gundul,
berbentuk bundar telur hingga memanjang dengan pangkal melebar pada individu
muda, tepinya beringgitan; pangkal pinak daun selalu bersendi; daun fertil selalu
berukuran lebih kecil dari yang steril, dengan lamina yang proporsinya lebih lebar.
Sorofor langsing dengan panjang 4-6 mm. Spora dengan ornamen berbentuk
jejaring yang timbul di permukaan luar. Paku kawat tersebar dari Afrika tropis, Asia
Tenggara, Teluk Bengal, Hongkong, Pulau Ryukyu, Melanesia, dan Australia. Jenis
ini jarang sekali ditemukan di Kepulauan Sunda Kecil, terutama Flores. Paku ini
tumbuh di tepi-tepi hutan sekunder, sering sebagai gulma, memanjat pohon-pohon
di tempat terbuka, menyenangi tanah berlempung, atau di rawa-rawa di ketinggian
0-1000 m. Paku kawat digunakan untuk pengobatan luka, memar atau bisul,
termasuk pengobatan supranatural. Daunnya yang muda dapat dimakan, semantara
rakisnya yang menali digunakan untuk mengikat.
Suku Lygodiaceae hanya terdiri dari satu marga, Lygodium. Suku ini dengan
batang (rimpang) dengan ikatan pembuluh protostele, menjalar di bawah
permukaan tanah, pendek atau panjang, mengeluarkan daun yang tumbuh berjejalan
atau tersusun berjarak, daun tumbuh tak berbatas, percabangan dikotom yang pada
saat muda diselubungi rambut yang kaku. Tangkai daun dan rakis langsing dan
membelit, keseluruhan daun dapat berukuran hingga beberapa meter. Rakis dengan
beberapa cabang utama yang pendek yang di ujungnya diselimuti rambut coklat
halus. Tiap cabang utama dengan sepasang cabang sekunder. Pinak daun tersusun
menyirip atau menggarpu (dikotom), bercuping menjari hampir ke pangkalnya.
Pinak daun steril bertepi rata, bergigi atau bercuping teratur; vena bebas, sering
bersatu di ujung; anak daun fertil sering dengan lebar lebih ramping daripada yang
steril, dihiasi tepinya dengan cuping pendek tempat duduk sporangia yang disebut
sorofor (sorophore), masing-masing sorofor dengan dua baris sporangia yang
masing-masing menempel pada vena dan dilindungi indusium. Sporangia besar,
bertangkai pendek, dengan sel anulus yang menebal hanya beberapa sel saja yang
pecah secara vertikal; spora 128256 buah tiap sporangium, tetrahedral dan trilet;
gametofit fotosintesis, menjantung. Perhitungan kromosom menunjukkan jumlah
kromosom dasar x = 29, 30.
Suku ini terdiri dari 25-40 jenis di daerah tropis dan sub-tropis, tersebar di
selatan hingga Selandia Baru dan Afrika Selatan, dan di utara hingga Jepang dan
Massachusetts di Amerika Serikat. Lygodiaceae adalah satu-satunya suku paku
yang memanjat menggunakan rakis yang memuntir. Jenis pemanjat lain seperti
Gleichenia, memanjat mengunakan daun perambat, atau Stenochlaena,
menggunakan rimpangnya. Klasifikasi berdasarkan data molekuler (DNA)
memisahkan Schizaeaceae dengan Lygodiaceae dalam suku terpisah, dengan
Lygodiaceae merupakan suku yang lebih basal (primitif). Keduanya ditempatkan
dalam satu bangsa yang monofiletik, Schizaeales.

42

MARSILEACEAE
Agung Sedayu (Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Negeri Jakarta)
Marsilea crenata C. Presl. atau semanggi merupakan jenis paku-pakuan
yang kadang dikacaukan dengan tumbuhan dikotiledon yang nama dan habitusnya
serupa, yaitu semanggi gunung (Oxalis corniculata; Oxalidaceae). Dengan sedikit
ketelitian, keduanya dapat dengan mudah dibedakan, karena tumbuhan dikotiledon
tentunya menghasilkan bunga, dan semanggi gunung selalu dapat diamati berbunga
kuning menarik; sedangkan semanggi termasuk paku-pakuan, tentunya tidak
menghasilkan bunga. Selain itu daun semanggi gunung berdaun-tiga (trifoliolate)
dengan ujung pinak daun bergubang dalam, sedangkan semanggi berdaun-empat
(quadrifoliolate) dengan ujung pinak daun rata. Semanggi dikenal juga dengan
nama jukut calingcingan (Sunda) atau tapak itek (Malaysia).
Semanggi adalah paku dengan batang (rimpang) yang langsing dan
menjalar, bercabang tidak beraturan, akar keluar di tiap buku-buku rimpang, bukubuku rimpang berjarak lebih jauh saat tumbuhan tersebut berada pada lingkungan
yang terendam, dibandingkan individu yang ada di darat, rimpang dilindungi
rambut coklat pucat. Daun yang tegak dengan empat anak daun keluar dari
rimpang, sendiri atau menggerombol; tangkai dengan panjang 2-4 cm pada
tumbuhan yang hidup di darat, atau hingga 30 cm jika terendam air, gundul atau
sedikit bersisik. Lamina simetris dengan empat pinak daun (dua pasang pinak daun)
yang membulat telur sungsang , mengipas, pangkalnya membaji, tepi ujung daun
rata, hampir-rata atau berliuk, ujung pinak daun membulat, gundul, atau berrambut;
vena anastomosis, areole sempit. Sporangia dalam sporokarp bertangkai; tangkai
sporokarp sekitar 5 cm keluar dari pangkal tangkai daun; sporokarp berukuran 3-4
mm, lonjong, dengan ujung membulat , berrambut saat muda, tidak berrusuk,
dengan dua gigi di ujungnya.
Semanggi tumbuh di tanah berlumpur, berair tenang, di parit-parit, kolam
dangkal atau di sawah, dari ketinggian rendah hingga 900 m. Jenis paku ini
diketahui cukup toleran terhadap air yang sedikit tercemar. Sporokarp juga
merupakan sistem pengamanan spora yang baik, yang dapat melindungi spora saat
kondisi lingkungan kurang baik, selama bertahun-tahun. Jika sporokarp termakan
burung, spora yang keluar melalui saluran pencernaan burung tidak rusak dan dapat
tetap tumbuh jika jatuh ke tempat yang cocok. Suku Marsileaceae tersebar subkosmopolitan, mengakar pada substrat di kolam-kolam, perairan dangkal atau
kolam-kolam yang terbentuk saat salju mencair di musim semi.
Semanggi mengandung banyak kalium, kalsium, besi, magnesium, dan
protein. Setiap 100 g segar semangi mengandung 1 g protein, 1,2 g lemak, 3,3 g
serat, 48 mg kalsium, 25 mg besi, 12166 IU vitamin A, 3 mg vitamin C dengan
kandungan energi sebesar 63 kJ. Semanggi merupakan bahan sayur yang digunakan
masyarakat Jawa, Filipina dan Thailand, biasanya daun yang muda direbus dan
dimakan sebagai sayuran. Orang Filipina mengunakan semanggi sebagai obat
oedema dan neurasthenia. Di India digunakan untuk mengobati lepra, penyakit
kulit, demam dan keracunan darah. Jenis yang ada di Australia menghasilkan
sporokarp yang cukup besar, digiling menjadi tepung dan dijadikan makanan. Di
beberapa tempat, semanggi dimanfaatkan sebagai tanaman penghias akuarium dan
taman-taman berkolam.
Semanggi termasuk dalam suku Marsileaceae meliputi tiga marga, yaitu
Marsilea, Pilularia dan Regnellidium dengan sekitar 75 jenis, merupakan kelompok

43

yang monofiletik. Suku ini dipisahkan dari Azollaceae dan Salviniaceae (yang
dahulu dimasukkan dalam Marsileaceae) berdasarkan karakter spora yang berbeda
(Schneider & Pryer 2002). Suku ini merupakan paku air dengan perakaran yang
menempel pada substrat. Rimpang biasanya panjang dan menjalar, langsing, kadang
dengan rambut. Pinak daun 4, 2 atau 0 setiap daunnya; vena bercabang dikotomi
namun sering bersatu kembali mendekati tepi pinak daun; sori muncul dari rimpang
atau dari pangkal petiolus, pada sporokarp berbentuk-kacang yang bertangkai; spora
heterosporus; mikrospora membulat, trilet; megaspora membulat, dilengkapi
acrolamela (acrolamella) di permukaan apertur eksin, lapisan perin (perine)
menggudir (gelatinous). Perhitungan kromosom menunjukkan jumlah kromosom
dasar x = 10 pada Pilularia dan 20 pada Marsilea.
Paku air, yaitu Marsileaceae dan Salviniaceae (termasuk Azollaceae) adalah
satu-satunya suku paku-pakuan modern yang berpola hidup heterospor setelah
periode Paleozoic. Penemuan fosil sporokarp dan spora tumbuhan paku yang
kemudian diberi nama Regnellidium upatoiensis di Amerika Serikat memberikan
bukti bahwa suku Marsileaceae berdiversifikasi menjadi kelompok yang ada
sekarang pada periode Cretaceous tengah.
MATONIACEAE
Agung Sedayu (Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Jakarta)
Matonia pectinata R.Br. adalah jenis paku yang menarik bagi pengemar
tumbuhan yang tertarik dengan sejarah alam paku-pakuan. Sayangnya masyarakat
umum kurang mengenal jenis tumbuhan ini. Bahkan tidak diketahui nama
tradisional bagi paku ini. Jenis dari suku Matoniaceae ini unik, karena termasuk
suku paku primitif bersama suku Osmundaceae, Schizaeaceae dan Gleicheniaceae
yang dikenal dalam bentuk batuan fosil yang tersebar di seluruh dunia, namun kini
hanya dapat ditemui di Asia Tenggara, yaitu di puncak-puncak gunung dan bukit
terpencil di Sumatera, Kalimantan dan Malaysia. Bukti jenis relic dari kelompok
yang menghadapi kepunahan.
Marga Matonia R.Br. (1829) adalah jenis paku dengan batang berupa
rimpang yang menjalar (creeping), bercabang, trisiklik-solenostelik (tricyclicsolenotelic) Rimpang diselimuti rambut lebat berwarna coklat yang multiseluler dan
beruntun tungal (uniseriate), rambut berukuran hingga panjang 5 mm. Daun
tersusun berseling, dalam dua baris pada sisi dorsal rimpang; tangkai daun coklat,
berrambut pada pangkal, gundul di ujung, jauh lebih panjang dari lamina; lamina
berbentuk payung, tegak lurus dengan tangkai daun, menjari dengan pinak daun
pusat, menjangat; pinak daun 10-30, menyisir, bercuping dalam, linear,pinak daun
tepi lebih pendek; costa gundul atau berambut di bagian bawah; segmen pinak daun
linear-lonjong, bertepi rata, bagian atasnya (adaksial) berkilat dan gundul, bagian
bawah (abaksial) berbintil; vena membentuk areole, menggarpu, biasanya bebas
atau ber-anastomosis pada bagian daun steril. Sori bulat, dalam satu baris pada dua
sisi ibu tulang daun; indusia berdiameter 1-1.1 mm, memerisai, hemispherical,
menggulung ke dalam di tepinya; sporangia 5-10 pada satu baris; spora tetrahedral,
trilet.
Marga Matonia terdiri dari dua jenis: M. pectinata dengan jumlah pinak
daun lebih dari 19 tiap daun, segmen-pinak daun biasanya menyerong (oblique) dan
melancor (falcate); costa gundul. Jenis kedua adalah M. foxworthyi dengan jumlah
pinak daun tiap daun kurang dari 15, segmen-pinak daun hampir-condong ke atas

44

(subpatent), menyerong (oblique), lurus atau sedikit melancor (falcate); costa


biasanya berbulu di bagian bawah.
Keseluruhan Matoniaceae tersebar terbatas dalam wilayah Malesia saja dan
terdiri dari dua marga, Matonia dan Phanerosorus. Matonia tumbuh di daerah
terbuka di puncak-puncak gunung atau di punggungan bukit-bukit. Marga Matonia
tersebar di Kalimantan, Semenanjung Malaya, Sumatera, termasuk Kepulauan
Lingga dan Kepulauan Riau, pada ketinggian (90-)750-2000 m, sedangkan marga
Phanerosorus tumbuh di tebing-tebing cadas kapur atau gua.
Dalam klasifikasi Smith dkk. (2006), Matoniaceae merupakan kelompok
saudara (sister) dengan Dipteridaceae, kemudian bersama Gleicheniaceae, dua suku
tersebut dikelompokkan dalam bangsa Gleicheniales. Secara perawakan memang
bentuk daun M. pectinata mirip sekali dengan paku-paku dari kelompok resam
(Gleicheniaceae)
Fosil Matoniaceae dengan bentuk yang mirip dengan Matonia yang hidup
sekarang diketahui berasal dari upper Triassic dan upper Cretaceous. Dari jejak
fosil diketahui Matoniaceae tersebar sangat luas meliputi seluruh Eurasia, Australia
(termasuk Tasmania), Afrika, Madagaskar, Amerika Utara dan Selatan, dan
Greenland. Penemuan terakhir menunjukkan bahwa kelompok Matonia mungkin
berusia lebih tua, dengan ditemukannya fosil Matoniaceae dari Pulau Alexander di
Antarktika yang berasal dari awal periode Cretaceous, juga penemuan di Tasmania
yang berasal dari pertengahan-Mesozoic. Dari data fosil diketahui bahwa Matonia
mulai tersebar terbatas di Asia Tenggara pada masa Neogene. Matonia dan
Phanerosorus dapat dibedakan dari daunnya yang menjari (pedate) dengan pinak
daun (pinnae) menyisir (pectinate) pada Matonia, sedangkan Phanerosorus
memiliki daun yang majemuk menyirip serta adanya tunas yang dorman pada pinak
daun.
Suku Matoniaceae memiliki batang berupa rimpang yang menjalar
(creeping), dorsiventral, polysiklik-stenostelik, diselubungi rambut-rambut coklat
yang lebat. Daun berseling (alternate) keluar dari sisi dorsal rimpang; tangkai daun
mengkilat, gundul (glabrous); lamina menjari (pedate) dengan pinak daun (pinnae)
menyisir (pectinate), atau menyirip berseling dengan pinak daun terdiri dari tunas
yang dorman. Bagian pinak daun (pinnule) tunggal atau menggarpu, vena bebas
atau ber-anastomosis pada bagian bersorus. Sori bulat atau menjorong, dalam satu
baris pada dua sisi ibu tulang daun; indusia bertangkai tebal, memerisai, tepinya
menggulung ke dalam, sporangia dalam satu atau beberapa lapis di sekitar
reseptakulum, tersusun atas tangkai yang pendek dan tebal, kapsul dengan annulus
yang menyerong. Spora tetrahedral, trilet. Perhitungan kromosom menunjukkan
suku ini memiliki n = 26 (Matonia) dan n = 25 (Phanerosorus).
OPHIOGLOSSACEAE
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)
Suku ini menarik dikaji secara fenetik dan filogenetik, karena bukti-bukti
morfologi dan molekulernya mengarahkan kepada pengelompokan nenek moyang
yang relatif berbeda. Berdasarkan bentuk morfologi vegetatif dan reproduktifnya
tidak ada keraguan bahwa tumbuhan ini termasuk dalam Polypodiopsida. Namun
kajian molekuler terbaru menunjukan bahwa Ophioglossaceae berkerabat dekat
dengan Psilotaceae, dan keduanya merupakan saudara setetua dalam Psilotopsida.
Ketidakcocokan (non-congruence) antara bukti-bukti morfologi dan genetika dalam

45

satu individu menunjukkan adanya perbedaan kecepatan evolusi di antara keduanya


sehingga menarik untuk diteliti. Ophioglossaceae umumnya dianggap memiliki 5
marga, yang dibedakan berdasarkan bentuk sporangiumnya, dengan sekitar 70-80
jenis. Marga biasa ditemukan adalah: Ophioglossum, Botrychium, and
Helminthostachys.
Tumbuhan ini biasanya hanya menghasilkan satu daun dalam satu waktu,
menghasilkan eusporangia yang besar berisi banyak spora dan berdinding tebal,
sporofil terdiri atas dua bagian, yaitu sporofor yang menghasilkan sporangia dan
helai daunnya sangat tereduksi dan termodifikasi, serta trofofor yang ukuran, warna,
bentuk dan penampilannya sangat serupa dengan trofofil; gametofit di dalam tanah
dan tergantung mikoriza untuk mendapatkan energi (mikoheterotrofik), hal ini
berbeda dengan gametofit paku lainnya yang terestrial dan dapat melakukan
fotosintesis. Pada beberapa jenis Botrychium tidak hanya gametofitnya yang
mikoheterotrofik tetapi juga sporofitnya, karena ukurannya kecil dan tidak mampu
melakukan fotosintesis.
Ophioglossaceae umumnya perenial, tumbuh di daratan, kecuali beberapa
jenis Ophioglossum yang tumbuh epifit, tersebar di daerah beriklim tropis dan
sedang. Rizom pendek, akar bersimbiosis dengan mikoriza, tanpa bulu-bulu, tanpa
cabang atau dengan sedikit cabang lateral, tetapi ada yang bercabang menggarpu.
Batang tunggal tidk bercabang, tegak, berkas pengangkut bertipe eustele. Pangkal
daun membesar, menjepit, membentuk pelepah, terbuka atau menyatu, mengelilingi
primordia daun berikutnya; primordia kasap atau dengan bulu uniseriate panjang.
Daun berupa sporofil dan trofofil. Daun 1 (-2) per batang, tangkainya dibedakan
menjadi trofofor yang steril berbentuk helai untuk fotosintesis, dan sporofor yang
fertil dan menghasilkan spora. Sporofil dengan sorus yang tersusun malai atau bulir.
Helai trofofor majemuk hingga tunggal, jarang absen, vein anastomose atau
menyirip bebas atau tersusun seperti jeruji kipas. Indument absen atau tersebar luas,
panjang berbulu uniseriate, terutama pada tangkai dan rakis. Sporofor bercabang
menyirip atau tunggal. Sporangium besar tanpa cincin; terbuka atau tenggelam,
diameter0,5-1,5 mm, berdinding tebal, dengan ribuan spora. Semua spora berbentuk
sama, trilete, berdinding tebal, permukaan rugate, tuberculate, baculate, kadang
menyatu dalam jejaring halus, permukaannya agak benjol-benjol. Gametofit
tumbuh di dalam tanah, tidak hijau, biasanya berdaging, bundar atau garis, bersifat
saprofit, bersimbiosis dengan mikoriza. Anteridium dan arkegonium dapat bertahan
beberapa tahun di dalam gametofit.
Ophioglossum memiliki sporangium dalam dua baris, berhadapan. Dinding
sporangium retak melintang pada saat spora masak. Trofofil bertepi rata atau
melekuk 1-2 kali, pertulangan daun berbentuk jala, ibu tulang daun tidak jelas,
misalnya O. pendulum (epifit) dan O.vulgatum (di tanah). Botrichium memiliki
tangkai sporofil bercabang-cabang, sporangium dua baris di sepanjang cabang.
Dinding sporangium membuka melintang apabila spora masak. Trofofil menyirip 14 kali, tulang daun menggarpu. Biasanya tumbuh di tanah, misalnya B.daucifolium
dan B. ternatum. Helminthostachys memiliki sporangium melingkari tangkai,
apabila masak dinding sporangium pecah membujur. Trofofil berbagi tiga, anak
daun berbentuk lanset. Hanya memiliki satu jenis , yaitu: H. zeylanica.
OSMUNDACEAE
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)

46

Osmunda regalis merupakan salah satu jenis Osmundaceae


yang memiliki banyak kegunaan. Rambut-rambutnya dapat
dicampur dengan wool untuk membuat pakaian. Akarnya menjadi
bahan baku serat Osmunda yang digunakan secara luas untuk
mengepotkan anggrek dan tumbuhan epifit lainnya. Tumbuhan
dapat digunakan untuk penutup tanah dengan ditanam berjaak 1
m. Akarnya berkhasiat sebagai astringent, diuretic, tonic and
menyembuhkan berbagai penyakit. Sangat berguna untuk mengobati penyakit
kuningdan menghilangkan penyumbatan di rongga perut. Daunnya digunakan untuk
mengompres luka dan rematik. Infus daunnya dicampur akar Asarum untuk
mengobati cacingan pada anak-anak.
Osmundaceae merupakan paku leptosporangiate paling primitif, sporangia
merupakan peralihan antara eusporangia dan leptosporangia; cincin rudimenter,
pangkal daun stipular, dan tanpa sorus. Kebanyakan klasifikasi menempatkan
Osmundaceae, suatu kelompok yang pertama kali muncul pada Permian, sebagai
salah satu kelompok basal paku leptosporangiate. Osmunda yang hadir saat ini
berasal dari Palaeocene. Suku ini memiliki tiga marga yang lestari, yaitu: Osmunda
(12-14 jenis), Leptopteris (6 jenis), dan Todea (1 jenis). Semuanya hidup sepanjang
tahun (perenial). Sporangium tidak membentuk sorus, tanpa tangkai atau tangkai
sangat pendek. Tanpa cincin, tetapi mempunyai sekelompok sel berdinding tebal.
Jika masak membuka dengan suatu retakan. Letak sporangium tersebar, kadangkadang menutupi sebagian besar permukaan daun. Indusium tidak ada. Tidak
terdapat sisik-sisik, tetapi pada daun muda sering terdapat bulu-bulu yang
menghasilkan lendir. Gametofit muda berbentuk memanjang, hijau tua, berdaging
dengan satu tulang di tengah. Hidup lebih dari setahun, panjang dapat sampai 5 cm,
monoesis. Sporangia semuanya masak secara bersamaan dan bivalvate; muncul
secara terpisah-pisah atau dalam kelompok pada segmen daun yang pendek. Besar
dan berbentuk seperti mutiara, setiap sporangium memiliki tangkai pendek yang
kuat, dinding dengan dua lapis sel tebal. Cincin sangat tidak berkembang. Spora
homospor dan fotosintetik. Spora trilete dan echinae dari perispore memiliki
tubercles yang unik. Batang tegak atau mendongak, padat dan mengeras, biasnya
bercabang menggarpu, batang memiliki rumpun arborescent tunggal. Tangkai
panjang, dengan sayap seperti stipula di pangkalnya. Daun menyirip, panjang
sekitar 1-2 m, memiliki trichomes terutama saat masik muda. Daun dapat steril atau
fertil, dibedakan atas bagian steril dan fertil. Berkas pengangkut protostele menuju
dictyostele. Rizom keras dan mengandung sclerenchym, ditutupi pangkal daun dan
akar serabut, tetapi tanpa sisik-sisik. Gametofit epigeal dan fotosintetik, tumbuh di
daratan dan berdaging, bentuk jantung sungsang hingga memanjang, dan bagian
tengahnya menebal. Arkegonium muncul di permukaan bawah di sekitar bagian
tengah yang menebal. Anteridium kebanyakan muncul di permukaan bawah bagian
tepi. Sporangia Osmunda muncul telanjang pada pinnula non-laminar, sedangkan
Todea and Leptopteris sporangia telanjang pada pinnula laminar.
Pada Leptopteris daun tipis, tersusun spiral, tetapi tampak seperti roset. Pada
Todea tanaman tua berhabitus seperti tumbuhan paku pohon, tinggi mencapai 1-2
meter. Daun steril kebanyakan menyerupai daun fertil, dengan kumpulan
sporangium di permukaan dorsal sepanjang tulang daun. Pada Osmunda daun dapat
mencapai 2-3 m, misalnya O.chinnamonea. Terbagi menjadi bagian fertil dan steril.
Bagian fertil tidak mempunyai helai dan tidak hijau. Pada O.regalis bagian fertil

47

terletak di bagian terminal, sedang pada O.claitoniana di bagian median. Pada


O.chinnamomea dua atau tiga daun menghasilkan sporangium.
Kajian sekuens rbcL Osmundaceae menunjukkan bahwa Osmunda tidak
monofiletik dengan Todea dan Leptopteris. Osmunda cinnamomea merupakan jenis
paling basal di antara Osmundaceae, dan dapat disebut fosil hidup karena bentuk
morfologinya sangat serupa dengan fosil O. Claytoniites yang berasal dari Triassic.
Osmunda japonica dan O. regalis berkerabat sangat dekat dan hanya satu
nucleotide gen rbcL yang berbeda dari keduanya, sedangkan pada O. cinnamomea
dan O. claytoniana sangat berbeda.
POLYPODIACEAE
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)
Polypodiaceae memiliki anggota yang sangat banyak dengan bentuk
morfologi dan adaptasi lingkungan yang sangat beragam, sehingga kadang-kadang
orang tidak menyadari kalau suku ini hadir di sekitar rumah, baik tumbuh liar di
kebun, menempel di tembok atau tepian got, epifit pada pepohonan atau bahkan
hadir di kampus dalam pot-pot indah melalui rental-rental tanaman hias. Modifikasi
material di dalam pot, menyebabkan sejumlah besar Polypodiaceae yang aslinya
tumbuh di alam sebagai epifit, dapat ditanam di tanah atau pot. Beberapa jenis yang
banyak dibudidayakan karena keindahannya adalah Aglaomorpha, Drynaria,
Phlebodium, Platycerium, Polypodium dan Pyrrosia.
Polypodiaceae memiliki anggota cukup banyak, sekitar 50-60 marga, dan
lebih dari 1000 jenis. Kebanyakan tumbuh di daerah tropis Asia. Polypodiaceae
pada awalnya digunakan untuk menamai seluruh paku tingkat tinggi sehingga
mencakup hampir 7000 jenis. Kini anggotanya hanya terbatas pada Polypodium dan
kerabat dekatnya; dicirikan oleh helai daun seperti kulit, bercuping dalam tetapi
tidak terpisahkan, rizom merayap panjang, daun melekat pada rizom, sorus bundar,
terbuka, dan tanpa indusium. Beberapa jenis melakukan adaptasi untuk bertahan
hidup, misalnya memperbesar ukuran rizom untuk tempat tinggal semut atau
membentuk daun khusus untuk menangkap humus dan air. Salah satu suku yang
menampung sejumlah besar bekas anggota suku ini adalah Pteridaceae, akibatnya
beberapa marga sering dimasukkan baik pada suku Polypodiaceae maupun
Pteridaceae. Polypodiaceae diperkirakan merupakan tumbuhan paku yang hadir
belakangan, sehingga tidak ditemukan bentuk fosil nenek moyangnya.
Kebanyakan Polypodiaceae merupakan tumbuhan epifit, kadang-kadang
terestrial; rizom menjalar, kadang-kadang tegak, diselimuti sisik-sisik, bertipe
dictyostele. Daun kebanyakan stipitate panjang, kebanyakan articulate ke rizom,
berkas pengangkut beberapa hingga banyak dalam lingkaran tunggal, helai tunggal,
pinnatifid atau pinnate (jarang cuping digitate), kadang-kadang cuping articulate ke
rizom, kasap, kadang-kadang berbulu, atau berbulu stellate atau bersisik, vein
kebanyakan anastomos dengan veinlet bebas. Sorus exindusiate, bundar atau elips,
kadang-kadang memanjang atau garis, kadang-kadang pada cuping yang mengerut
atau bagian helai, kadang-kadang menyebar luas di permukaan helai dan mengerut
atau tidak; annulus memanjang, interrupted; spora monolete jarang trilete.
Kajian morfologi dan molekuler menunjukkan bahwa Davallia,
Nephrolepis, Oleandra, dan Polypodium memiliki nenek moyang yang sama.
Davalia memiliki sorus bundar atau memanjang pada permukaan bawah daun dekat
tepi. Indusium melekat di pangkal dan kiri kanan sorus, membentuk seperti piala
atau terbuka ke arah tepi. Daun menyirip rangkap dua atau lebih dengan

48

pertulangan daun bebas. Rizom merayap dengan ruas-ruas panjang dan bersisik
rapat, berwarna pirang, misalnya D. trichomanoides dan D. solida. Nephrolepis
memiliki sorus bundar atau garis pada permukaan bawah daun, sepanjang tepi atau
agak jauh sejajar tepi. Indusium sesuai bentuk sorus, biasanya berbentuk ginjal.
Daun panjang, sempit, majemuk menyirip. Rizom tegak, ditumpangi akar, kadang
bercabang dan berumbi, misalnya N. exaltata, N. cordifolia dan N. biserrata.
Oleandra memiliki sorus bundar di kanan kiri tulang daun, berderet membujur.
Indusium berbentuk ginjal atau memanjang. Daun tunggal, sempit, lanset, tidak
bertoreh, pertulangan daun berlekatan. Rizom tegak, memanjat atau merayap,
misalnya O. Musifolia. Polypodium memiliki sorus di permukaan bawah daun,
dalam barisan atau tidak beraturan, tanpa indusium, berbentuk bundar memanjang,
garis atau tidak beraturan, kadang-kadang tertanam pada lekukan, misalnya P.feei
dan P. commutatum.
PTERIDACEAE
Agung Sedayu (Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Jakarta)
Acrostichum aureum L. atau paku laut adalah salah satu dari beberapa jenis
paku yang mampu hidup di pinggir laut dan mentolelir substrat dengan kadar garam
tinggi. Sebenarnya ada beberapa jenis paku yang dapat hidup di tepi laut, pantai dan
daerah mangrove, seperti Stenochlaena palustris atau Drynaria spp., namun dua
jenis yang disebutkan belakangan adalah jenis-jenis yang hidup sebagai epifit,
paling tidak memanjat di pohon inangnya, sehingga tidak mendapat pengaruh
langsung kadar garam laut. Paku laut adalah satu-satunya jenis yang mampu hidup
menancapkan akarnya di tanah yang berkadar garam (kadang-kadang sangat) tinggi.
Paku dengan nama latin Acrostichum aureum L. ini termasuk salah satu
jenis paku yang mendapatkan kehormatan, dideskripsikan langsung oleh Linnaeus
pada bukunya Species Plantarum pada tahun 1753. Linnaeus memberi nama
akhiran jenis aureum berdasarkan warna bagian bawah (abaksial) daun fertil yang
berwarna keemasan karena sebagian atau seluruh permukaan bawah daun tertutupi
oleh sori yang berwarna coklat keemasan. Istilah sori yang menutupi seluruh bagian
permukaan bawah daun kemudian dikenal mengikuti terminologi nama marga paku
ini, yaitu acrostichoid, dari marga Acrosticum.
Paku laut tumbuh di tanah yang kering atau tergenang air laut, payau atau
tawar, tumbuh bergerombol, kadang sampai menutupi daerah tertentu. Batang
(rimpang, caudex) pendek atau panjang, tegak atau sedikit menjalar; batang ditutupi
oleh sisik berbentuk bulat telur hingga linear berukuran hingga 30 x 15 mm jika
bulat telur atau hingga 17 x 2 mm jika linear, sel di bagian tengah sel keras, hitam,
tidak tembus pandang, sel tepi tembus pandang berkisi-kisi (clathrate), sisik yang
muda tembus pandang berkisi-kisi keseluruhan selnya. Daun dapat mencapai tinggi
3 m atau lebih, dengan 3-29 buah pinak daun yang tersusun berseling; pinak daun
terbawah biasanya berukuran terbesar, ke arah atas ukuran pinak daun terus
mengecil; daun terdiri hanya dari daun steril, hanya daun fertil atau susunan dari
bagian lamina yang steril di pangkal diikuti bagian yang steril di ujung lamina.
Tangkai daun hingga panjang 125 cm, biasanya dengan pinak daun rudimenter
berwarna kehitaman; tangkai daun dengan trikoma transparan berukuran sangat
kecil. Para peneliti sebelumnya selalu menyatakan bahwa tangkai daun dan daun
Acrostichum gundul, namun pengamatan terakhir menunjukkan tangkai daun
ditumbuhi oleh trikoma halus yang mungkin rontok saat daun dewasa (Sedayu &

49

Hovenkamp 2005). Pinak daun steril linear hingga bulat telur sempit, pangkal pinak
daun runcing atau menyerong, ujung pinak daun runcing, meruncing (dengan atau
tanpa drip tip) hingga rompong, tepi rata, pinak daun paling ujung sering bercangap
menyirip; pinak daun fertil berukuran lebih kecil dari pinak daun steril, diselimuti
seluruh atau sebagian permukaan bawah (adaksial) nya oleh sporangia yang
acrostichoid, kecuali ibu tulang daun, sebagian kecil pangkal pinak daun dan drip
tip-nya. Diantara sporangia, permukaan bawah pinak daun fertil juga ditumbuhi
oleh parafisis (paraphyses) berukuran kecil 0,25-0,35 mm, berbentuk beragam,
seperti gada, atau seperti jamur payung dengan cuping di tepi-tepinya. Sporangium
dengan tangkai pendek dilindungi sel annulus sebanyak 16-25 sel. Spora trilet
dengan ukuran hingga 62,5 m x 65 m, kasap dan biasanya berisi minyak.
Perhitungan kromosom menunjukkan jumlah kromosom n = 30; 2n = 60;
kromosom poliploidi 2n = 120 dan aneuploidi 2n = 119.
Paku laut dari marga Acrostichum paling tidak terdiri dari dua jenis, A.
danaeifolium yang hanya terdapat di benua Amerika dan A. aureum yang tersebar
pantropis. Para ahli masih tidak menyepakati apakah di Malesia terdapat satu jenis
lain yang berkerabat sangat dekat (atau mungkin cryptic species) dengan A. aureum,
yaitu A. speciosum. A. speciosum dideskripsikan oleh para peneliti sebagai jenis
yang berukuran lebih kecil, dengan ujung daun yang lebih meruncing (ada drip tip
dan berukuran lebih panjang). Survei spesimen herbarium menunjukkan individu
dengan ciri seperti A. speciosum tidak hanya ditemui di Malesia, namun juga hingga
Afrika, Jepang dan Taiwan. Tidak ditemukan ciri spesifik yang benar-benar dapat
mendefinisikan A. speciosum, sehingga identitas jenis tersebut sangat tidak jelas.
A. aureum tersebar secara pantropis, sehingga kita dapat menemukannya
dengan mudah di sepanjang garis pantai Afrika, Amerika Tengah dan Selatan, India,
Madagaska, Sri Lanka, seluruh Malesia, hingga Australia Utara, dan kepulauan
Pasifik. Biasanya jenis paku ini tumbuh di daerah pantai, dan sering dikelompokkan
sebagai mangrove sejati, atau mangrove ikutan. Jenis ini sering juga ditemui hidup
di perairan pedalaman yang tawar atau di kolam-kolam air asin di pedalaman yang
berasosiasi dengan mata air panas bermineral. Beberapa populasi pedalaman yang
ditemukan termasuk populasi yang tumbuh di mata air panas Ciseeng, Bogor (27
km dari pantai Teluk Jakarta), atau yang ditemukan di Saudi Arabia, 100 km dari
pantai dengan ketinggian 823 m dpl.
Jenis paku ini sering dianggap sebagai gulma pada hutan mangrove yang
sedang direboisasi, namun di Riau paku laut mulai ditanam sebagai penahan abrasi
pada tepi sungai dan kanal. Masyarakat tradisional memanfaatkan daun muda yang
lunak sebagai sayuran. Di Indocina, pinak daun dewasa digunakan membuat atap
rumah. Di Bangladesh, tangkai daun yang cukup panjang digunakan sebagai pagar
dan konstruksi tembok dari lumpur.
Fosil daun fertil, sporangia dan spora paku laut tercatat dari Holocene dan
Paleocene awal di Kalkuta dan Maghalaya (India), sementara fosil tertuanya juga
tercatat dari India dari masa Cretaceous akhir.
Paku laut (Acrosticum) adalah salah satu anggota suku Pteridaceae (Pteroid
atau pteridoid). Suku ini menyatukan beberapa suku tradisional seperti
Acrostichaceae, Actiniopteridaceae, Adiantaceae (adiantoid, suplir), Anopteraceae,
Antrophyaceae,
Ceratopteridaceae,
Cheilanthaceae
(cheilanthoid),
Cryptogrammaceae,
Hemionitidaceae,
Negripteridaceae,
Parkeriaceae,
Platyzomataceae, Sinopteridaceae, Taenitidaceae (taenitidoid) dan Vittariaceae

50

(vittarioid). Terdiri dari sekitar 50 marga dan 950 jenis. Beberapa marga sangat sulit
didefinisikan dan merupakan kelompok (clade) yang parafiletik bahkan polifiletik,
yang harus didefinisikan ulang. Marga-marga dalam Pteridaceae adalah
Acrosticum, Actiniopteris, Adiantopsis, Adiantum, Aleuritopteris, Ananthacorus,
Anetium, Anogramma, Antrophyum, Argyrochosma, Aspidotis, Astrolepis,
Austrogramme, Bommeria, Cassebeera, Ceratopteris, Cerosora, Cheilanthes,
Cheiloplecton, Coniogramme, Cosentinia, Cryptogramma, Doryopteris, Eriosorus,
Haplopteris, Hecistopteris, Hemionitis, Holcochlaena, Jamesonia, Llavea,
Mildella, Monogramma, Nephopteris, Neurocallis, Notholaena, Ochropteris,
Onychium, Paraceterach, Parahemionitis, Pellaea, Pentagramma, Pityrogramma,
Platyloma, Platyzoma, Polytaenium, Pteris (termasuk Afropteris, Anopteris),
Pterozonium, Radiovittaria, Rheopteris, Scoliosorus, Syngramma, Taenitis,
Trachypteris, dan Vittaria. Walaupun hubungan antar marga masih belum jelas dan
beberapa memiliki posisi polifiletik atau parafiletik, namun keseluruhan suku
merupakan kelompok yang monofiletik.
Pteridaceae merupakan suku besar yang sebenarnya dapat dibagi menjadi
beberapa suku atau paling tidak anak-suku (subfamily). Jika Pteridaceae harus
dipecah, maka yang paling mungkin dilakukan adalah membagi kelompok tersebut
menjadi (1) Parkeriaceae atau Parkerioideae, yang terdiri dari Acrostichum dan
Ceratopteris, (2) Adiantaceae atau Adiantoideae yang terdiri dari Adiantum dan
marga-marga Vittarioid, (3) Cryptogrammacea (tidak memiliki nama anak-suku)
yang terdiri dari Coniogramma, Cryptogramma dan Llavea, (4) Sinopteridaceae
atau Cheilantoideae, dan (5) Pteridaceae sensu stricto atau Pteridoideae yang terdiri
dari Pteris dan Taenitis serta kerabat-kerabatnya.
Suku Pteridaceae merupakan paku daratan, epipetric atau epifitik, subkosmopolitan, walaupun paling umum dijumpai di daerah tropis dan daerah
gersang. Ciri-ciri umum suku ini cukup sulit didefinisikan karna banyaknya variasi
antar marga, namun biasanya berupa paku dengan rimpang (batang) pendek atau
panjangyang menjalar atau tegak, dilindungi oleh sisik. Daun monomorfik,
hemidimorfik atau dimorfik pada beberpa marga, daun tunggal, membagi menyirip,
atau menjari, kadang; vena bebas atau menggarpu atau ber-anastomosis dan
membentuk pola jejaring. Sori marginal atau intramarginal, tanpa indusium sejati,
sering dilindungi oleh tepi lamina yang berkeluk balik, atau sporangia sepanjang
vena. Sporangia dengan anulus vertikal, reseptakulum tidak menonjol. Spora
membulat atau tetrahedral, trilet dengan pola pahatan yang bervariasi. Perhitungan
kromosom menunjukkan suku Pteridaceae dengan jumlah kromosom dasar x = 29
atau 30, kecuali pada Platyzoma dengan x = 38 (Smith dkk. 2006).
SALVINIACEAE
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)
Salvinia banyak tumbuh di daerah tropis dan sedang yang hangat. Jenis
yang banyak dikenal adalah Salvinia natans yang sering digunakan untuk
menghiasi akuarium. Jenis lainnya, S. molesta, dari Amerika selatan dikenal sebagai
gulma pada perairan daerah tropis. Catatan etnobotani terhadap suku ini relatif
belum ada. Salvinia merupakan satu-satunya marga dalam suku Salviniaceae
dengan sekitar 10 jenis, merupakan tumbuhan paku yang mengapung di permukaan
air tawar. Salviniaceae berkerabat dekat dengan Azolla, bahkan marga ini kadangkadang dimasukkan dalam Salviniaceae. Tumbuhan ini merupakan paku heterospor,

51

menghasilkan spora dengan ukuran yang berbeda. Perkembangan daunnya unik,


karena permukaan atas sepasang daun daun yang mengapung dan menghadap ke
aksis batang sejatinya merupakan bagian abaksial. Di samping itu tumbuhan ini
memiliki daun ketiga yang posisinya tenggelam dalam air berbentuk seperti akar
serabut.
Salviniaceae meliputi segolongan kecil tumbuhan paku air
(hydropteridophyta) yang hidupnya terapung bebas. Tumbuhan ini hererospora,
sporangium dalam sorus bertipe gradatae. Sorus terletak di dalam sporokarp. Setiap
sporokarp hanya mengandung satu sorus dan hanya membentuk makrosporangium
atau mikrosporangium saja. Sehingga sporokarp dibedakan menjadi
makrosporokarp dan mikrosporokarp. Salviniaceae berkerabat dekat dengan
Azollaceae.
Salvinia merupakan tumbuhan paku air yang mengapung bebas pada
permukaan air. Daun berkarang, pada setiap buku terdapat 3 daun. Dua daun
terletak di atas dan menjadi alat pengapung, daun ketiga tenggelam. Daun yang
tenggelam ini bememiliki buku-buku, berbulu tebal dan berbentuk seperti akar.
Bulu-bulu ini tidak seperti bulu akar karena terdiri dari banyak sel. Sehingga daun
yang tenggelam tidak berfungsi sebagai akar. Fungsi daun ini kemungkinan sebagai
pelindung sporokarp dan stabilisator untuk mencegah/ mengurangi kemungkinan
terbawa arus air. Daun untuk mengapung biasanya telah mengalami modifikasi,
misalnya bentuk daun agak cekung, seperti perahu dan permukaan daun penuh
bulu-bulu dan papila, sehingga tidak mudah basah. Pada setiap buku daun
pengapung dan ternggelam terdapat inisial cabang.
Batang berupa rizoid, penuh dengan rongga udara karena hidup di dalam air.
Sporokarp terdapat pada buku-buku daun tenggelam. Jumlahnya antara 4-20 buah,
terletak dalam barisan atau tandan. Bentuk bulat panjang atau sedikit pipih. Dari
luar, semua sporokarp memiliki bentuk dan ukuran sama, tetapi satu atau dua
sporokarp yang dibentuk pertama kali dalam suatu tandan berisi megasporangium,
sedang lainnya berisi mikrosporangium. Dinding sporokarp berasal dari bagian
basal indusium yang tumbuh memanjang dan melengkung, membentuk cincin.
Di dalam megasporangium mula-mula terdapat delapan sel induk spora,
yang kemudian membentuk 32 megaspora, dari jumlah tersebut hanya satu yang
eksis. Selama perkembangan megaspora plasma sel melepasakan diri dari sel
tapetum dan dari spora-spora lain yang telah mengalami degenerasi, sehingga
terbentuk jaringan terdiri dari banyak rongga-rongga yang dinamakan perisporium
atau episporium. Jaringan perisporium di ujung spora lebih tebal. Pada bagian ujung
terdapat celah yang berhubungan dengan ruangan bercabang tiga. Di dalam
mikrosporangium terdapat 16 sel induk spora, sehingga akan terbentuk 64 spora
yang kesemuanya akan masak, pada saat itu plasma sel mengental, membentuk
masa bulat yang disebut masula.
Mikrospora berkecambah menumbuhkan mikro-protalium (mikrogametofit)
berbentuk buluh pendek, terdiri atas beberapa sel dan mempunyai 2 anteridium
yang masing-masing menghasilkan empat spermatozoid. Gametofit ini sangat
sederhana dan berkembang di dalam sporangium. Dinding sporangium tidak
membuka, tetapi di suatu tempat ditembus oleh mikroprotalium sehingga
spermatozoid dapat bergerak bebas. Makrospora tetap diselubungi sporangium,
keduanya terlepas dari tumbuhan induk dan berenang pada permukaan air.
Makrospora berkecambah membentuk makroprotalium pada ujungnya.

52

Makroprotalium memiliki beberapa akegonium, tetapi hanya salah satu sel telur
yang dibuahi dalam arkegonium, dapat berkembang menjadi embryo.
SCHIZAEACEAE
Agung Sedayu (Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Negeri Jakarta)
Schizaea dichotoma (L.) J.E. Smith. Nama rumput bulu merak sebenarnya
bukanlah bahasa Indonesia. Nama tersebut diberikan oleh orang Belitung untuk
paku dari jenis Schizaea dichotoma (L.) J.E. Smith. Suku-suku di berbagai daerah
Indonesia mengenalnya dengan nama lain seperti paku cakar ayam (Bangka), silaju
(pantai barat Sumatera), atau paku cakar ayam, raja hantu (Irian Jaya). Rumput
bulu merak memiliki rimpang (batang) yang pendek dan menjalar di bawah tanah
hingga kedalaman 3-6 cm, rimpang diselimuti bulu coklat kasar sepanjang 2-3 mm,
sistem pembuluh protostele ber-medula. Tangkai daun hingga 15 cm, bersayap
sempit mendekati ujungnya. Daun berukuran panjang dan lebar 10-20 cm,
bercabang dikotom 2-8 kali; cabang basal serupa dengan tangkai daun, semakin ke
ujung berangsur-angsur dengan sayap yang makin melebar sebagai bentuk reduksi
dari lamina; lamina dengan satu baris stomata di permukaan bawah daun, kadang
permukaan lamina ditumbuhi rambut-kelenjar bersel-dua; ujung rambut-kelenjar
sering rontok meninggalkan tonjolan-tonjolan di permukaan daun yang merupakan
bekas pangkai daun-kelenjar. Sporangia Schizaea tumbuh pada segmen khusus di
daun (sorofor = sorophores); sorofor menempati sekitar 3-5 mm bagian ujung setiap
cabang daun fertil, tersusun menyirip, masing-masing dengan abungan tengah
(median ridge) di bagian bawah daun; sporangia dalam dua baris, menempel pada
sisi abungan, sporangia dilindungi oleh tepi daun yang berkeluk balik. Spora licin
atau berbintil. Gametofit membenang dengan anteridia dan arkegonia pada cabang
pendek khusus; bergantung pada mikoriza untuk pemenuhan kebutuhan nutrisinya,
sehingga beberapa sel dalam gametofit khusus disediakan untuk ditempati jamur
endofitik. Percobaan kultur in-vitro rumput bulu merak menunjukkan spora dapat
berkecambah baik di tempat gelap maupun jika ada cahaya, dan juga saat
bersimbiosis dengan mikoriza atau tidak. Namun spora yang berkecambah gagal
hidup sebagai gametofit dewasa.
Rumput bulu merak tersebar mulai Kepulauan Mascarene, Sri Lanka, India
selatan, Myanmar, Thailand, Indocina, seluruh Malesia kecuali Jawa Timur dan
Kepulauan Sunda Kecil, terus hingga Tahiti, Australia dan Selandia Baru. Jenis ini
menyukai tempat-tempat yang sedikit ternaungi, kadang juga dalam kerimbunan
hutan, dengan tanah berpasir, dari permukaan laut hingga ketinggian 1000 m.
Masyarakat Belitung menggunakan rumput bulu merak sebagai obat batuk dan
radang tenggorokan, juga perawatan wanit yang melahirkan. Masyarakat Malaysia
mengunakan rebusan akar dan bahan-bahan lain untuk penyakit ginjal, dan
impotensi.
Suku Schizaeaceae tersebar secara pantropis. Paling umum di daerah empat
musim di belahan bumi selatan, seperti Afrika Selatan, Chile, Selandia Baru dan
Tasmania. Di belahan bumi utara hanya di Amerika Utara. Fosil Schizaeaceae
ditemukan dari lapisan tanah dengan usia Mesozoic dan Cenozoic, namun
pengunaan fosil untuk menentukan posisi sistematika Schizaea dan Lygodium justru
memusingkan. Data dari DNA menunjukkan ke-monofiletik-an Schizaea dan
Lygodium sehingga layak dipisahkan dalam dua suku berbeda. Data tersebut juga
dapat memperkirakan bahwa jenis-jenis modern berdiferensiasi dari masa Neogene.

53

Suku Schizaeaceae terdiri dari dua marga, Actinostachys dan Schizaea, dan
sekitar 30 jenis. Suku ini merupakan kelompok yang monofiletik. Fosil kelompok
Schizaea tertua ditemukan dari periode Cretaceaous. Suku ini merupakan tumbuhan
terestrial, dengan rimpang pendek, merayap; daun tunggal berbentuk linear atau
kipas yang bercangap, bentuk cangap bervariasi; vena menggarpu, bebas; sporangia
di tepi daun, pada penonjolan di tepi daun yang bercabang atau tidak, tidak dalam
sori yang jelas, tidak berindusium. Spora bilateral, monolet, 128-256 tiap
sporangium. Gametofit hijau dan membenang (Schizaea) atau mengumbi dan tidak
hijau (Actinostachys). Perhitungan kromosom menunjukkan suku Schizaeaceae
memiliki jumlah kromosom dasar yang bervariasi, x = 77, 94 atau 103.
Schizaeaceae mengandung 3-O-glikosida dari flavonol kaempferol dan quercetin,
senyawa yang tidak pernah ditemukan pada Psilotaceae. Hal tersebut menunjukkan
bahwa walaupun termasuk kelompok paku primitif, Schizaeaceae tidak berkerabat
dengan Psilotaceae.

54

BAB 5
TUMBUHAN BERUNJUNG (GYMNOSPERMAE)
PENDAHULUAN
Tumbuhan berunjung atau tumbuhan berbiji terbuka atau Gymnospermae
(Yunani: gumnos, telanjang; sperma, biji), merupakan nama umum untuk
semua tumbuhan berpembuluh yang menghasilkan biji (spermatophyta), tetapi
tidak membentuk bunga, mencakup Cycadophyta (sikas), Ginkgophyta (ginkgo),
Pinophyta (conifer), dan Gnetophyta. Berdasarkan berkas pengangkutnya,
Gnetophyta berkerabat dekat dengan tumbuhan berbunga (angiospermae,
magnoliophyta), namun kajian molekuler terbaru menunjukkan posisinya lebih
dekat dengan Pinophyta. Tumbuhan berunjung mencakup sebagian besar tumbuhan
berbiji purba; lahir pada periode Devonian dari nenek moyang yang menyerupai
tumbuhan paku. Tumbuhan ini telah memiliki saluran serbuk sari dan biji
(embryophyta siphonogamae).
Tumbuhan berunjung umumnya berhabitus pohon, tetapi terdapat pula jenis
berhabitus semak bahkan liana. Biji tidak tertutup karpela tetapi muncul dari sisiksisik biji yang membentuk runjung (kerucut). Cycadophyta merupakan tumbuhan
biji paling purba yang masih bertahan hingga kini. Tumbuhan berunjung tersebar di
seluruh dunia dan merupakan vegetasi utama penyusun hutan-hutan di daerah
beriklim sedang, baik di belahan bumi utara atau selatan. Conifer kebanyakan
tumbuh di daerah beriklim sedang dan sub artik, sedangkan sikas and gnetophyta
terutama tumbuh di daerah tropis dan sub tropis. Tumbuhan berunjung mencakup
70 marga dengan 750 jenis.
Tumbuhan berunjung sebagaimana tumbuhan berbiji lainnya memiliki
generasi sporofit yang sangat komplek dan generasi gametofit yang sangat
tereduksi. Gametofit jantan ditemukan pada awal perkembangan serbuk sari (polen)
dan akhirnya tereduksi menjadi 2-3 sel, sedang gametofit betina atau kantung
embryo tereduksi menjadi 8 sel. Gamet jantan motil pada Cycas dan Ginkgo,
megaspora tidak pernah terlepas dari megasporangium (ovulum, bakal buah),
pertumbuhan butir serbuk sari menghasilkan tabung saluran serbuk sari. Biji
dibentuk dari gametofit betina dan integumentum (biasanya 2, kadang-kadang salah
satu atau kedua-duanya tereduksi), berisi embryo sporofit, dinding megasporangium
dan kadang-kadang endosperm. Tumbuhan berunjung membentuk biji dalam
ovulum terbuka, muncul pada permukaan megasporofil (sisik-sisik kerucut atau
daun buah). Tumbuhan ini tidak memiliki berkas pengangkut pada penebalan kayu
sekunder, memiliki saluran resin, bunga tereduksi menjadi kantung serbuk sari dan
bakal buah, biasanya tersusun dalam strobilus.
CYCADACEAE (SIKAS-SIKASAN)
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)
Cycadaceae atau sikas-sikasan dikenal pula sebagai palem sagu (sago palm)
karena bagian empulurnya kaya akan karbohidrat (pati) dan dapat diolah menjadi
sagu, sebagaimana pada tumbuhan sagu yang sebenarnya (Metroxylon spp.) atau
aren (Arenga cathecu). Tentu saja cara ini tidak dianjurkan karena akan mematikan
tumbuhan sikas tersebut, sebaliknya ekstraksi sagu dari rumpun sagu yang

55

sebenarnya tidak akan mematikan karena masih adanya bagian dari rumpun yang
hidup.
Sikas-sikasan merupakan tumbuh berbiji yang dicirikan adanya mahkota
besar yang tersusun dari kumpulan daun di ujung batang yang tegak. Tumbuhan ini
selalu hijau, berbiji terbuka, berumah dua, dan memiliki daun-daun besar majemuk
menyirip. Karena bentuk morfologinya, tumbuhan ini secara awam sering
dikacaukan dengan palem-paleman atau tumbuhan paku pohon, meskipun mereka
tidak berhubungan kerabat. Kecepatan pertumbuhan sikas-sikasan sangat lambat,
organ reproduksi seksualnya baru terbentuk setelah berumur 10-an tahun, dan
membutuhkan serangga polinator yang sangat spesifik. Penyerbukan dengan
bantuan angin hanya dapat terjadi apabila tumbuhan jantan terletak sangat dekat
dengan tumbuhan betina (< 2 m). Pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan ini
sangat lambat, akibatnya semua jenis Cycadaceae dimasukkan dalam appendiks
CITES, sehingga harus menggunakan ijin khusus untuk memperdagangkannya.
Sikas-sikasan mengandung berbagai metabolit sekunder yang dapat
berperan sebagai obat maupun racun. Kulit kayu dan bijinya yang digiling dengan
minyak dapat digunakan sebagai obat luar untuk luka dan pembengkakan. Jus
daunnya dapat digunakan untuk mengobati perut kembung dan muntah-muntah.
Sebaliknya serbuk sarinya dapat menyebabkan mabuk karena bersifat narkotik, dan
kulit biji mentahnya beracun. Secara tradisional, racun syaraf cycasin dari pati dan
biji sikas dapat dieliminasi dengan mencucinya secara berulang-ulang, namun racun
tersebut tidak sepenuhnya dapat hilang, sehingga konsumsi terus menerus pati sikas
dapat menyebabkan terjadinya kelainan syaraf berupa penyakit Lytico-Bodic yang
serupa dengan Parkinson. Hal yang sama dapat terjadi apabila seseorang secara
terus menerus mengkonsumsi daging hewan yang diberi makan sikas, karena akan
terjadi penumpukan racun dari sikas pada lemak hewan tersebut.
Cycadaceae memiliki 9 marga dan sekitar 100 jenis, tumbuh di daerah tropis
dan subtropis. Di Asia Tenggara tumbuhan yang ditemukan umumnya bermarga
Cycas. Jenis C. revoluta tersebar ke utara hingga Jepang selatan pada garis lintang
31LU, sedangkan C. megacarpa tumbuh ke selatan hingga Australia timur pada
garis lintang 26LS. Beberapa jenis dapat tumbuh pada kawasan beriklim kering
seperti di tepian padang pasir, pada pasir atau batu, dan toleran terhadap kadar
garam tinggi; serta dapat tumbuh di bawah sinar matahari penuh atau di bawah
naungan. Keragaman sikas-sikasan kini relatif jarang meskipun pada periode
Jurassic sangat melimpah. Tumbuhan ini dapat memfiksasi nitrogen dengan bantuan
ganggang hujau-biru yang tumbuh di akarnya. Ganggang ini menghasilkan
neurotoksin yang dikirim ke biji, sehingga menyebabkan bijinya beracun.
Sikas-sikasan berhabitus pohon atau semak berkayu, berbentuk seperti
palem. Batang tebal, berumbi dan kebanyakan subterraneus (Zamia, Bowenia dan
Stangeria) atau kolumner dan bercabang-cabang (Cycas, Dion dan Ceratozamia),
beberapa marga tumbuh hingga ketinggian sekitar 50 kaki, semuanya dengan
empulur yang sangat besar, pertumbuhan sangat lambat. Daun berseling dalam
spiral, rapat, sehingga tampak seperti karangan dan ujungnya membentuk mahkota,
menetap hingga 3-10 tahun, pangkal daun tetap melekat, meskipun daunnya sudah
rontok, ukuran dan jumlah anak daun bermacam-macam, vernasi daun tegak, tidak
circinatus. Buah berbentuk runjung atau kerucut (kecuali Cycas yang memiliki
bakal buah, berbentuk kecil, kuat dan muncul dari tepian tangkai sporofil);
berkelamin tunggal (berumah dua), ukuran bermacam-macam, terminal pada

56

rumpun atau umbi (aksiler pada Macrozammia); sisik-sisik kerucut jantan


membawa sejumlah mikrosporangia; yang menghasilkan sperma besar sangat motil,
kadang-kadang mengelompok; pada runjung bakal buah (kecuali Cycas) sporofil
umumnya berbentuk perisai; membawa bakal buah di tepi; sporofil dan bakal buah
ini serupa fungsinya dengan daun buah; pada saat pembuahan bakal buah telanjang
berkembang membentuk biji seperti drupe, kadang-kadang berwarna cerah.
Secara taksonomi konsep jenis biologi tidak dapat diterapkan pada
Cycadaceae karena antar jenisnya dapat melakukan perkawinan dan menghasilkan
keturunan yang fertil. Konsep spesies fenetik juga sulit diterapkan pada tumbuhan
ini karena tingginya tingkat kesamaan antar jenis. Umumnya para pakar
menerapkan konsep jenis morfogeografi yang merupakan modifikasi dari konsep
jenis evolusioner yang mengkombinasikan antara isolasi geografi dan perbedan
morfologi, sehingga klasifikasi sikas-sikasan sangat dipengaruhi distribusi
geografinya.
GINKGOACEAE
Ahmad Dwi Setyawan (Jurusan Biologi, FMIPA, UNS Surakarta)
Tumbuhan ini berasal dari Cina, banyak ditanam di Cina, Korea dan Jepang,
sebagai pohon suci di halaman kuil atau sebagai pohon peneduh di tepian jalan;
tidak ditemukan bentuk liarnya. Nama ginkgo kemungkinan merupakan kesalahan
eja terhadap nama asli dalam aksara Cina, nama yang benar adalah ginkyo, namun
nama ginkgo tetap digunakan karena telah mapan. Tumbuhan ini banyak digunakan
dalam pengobatan tradisional Cina, karena melimpahnya kandungan biflavonoid,
khususnya ginkgetin, sehingga diintroduksi oleh banyak negara. Di Indonesia,
upaya ini relatif kurang berhasil, meskipun anakannya dapat tumbuh antara lain di
Kebun Raya Cibodas dan Kebun Raya Bali.
Ginkgoaceae hanya memiliki satu marga dan satu jenis, yaitu Ginkgo
biloba. Habitusnya berupa pohon, berumah dua, bercabang-cabang banyak, tumbuh
hingga setinggi 90 kaki. Berkas pengangkut sejati tidak ditemukan pada penebalan
kayu sekunder, saluran resin ada. Daun berseling, sering berkarang pada cabang
yang pertumbuhannya lamban, flabellatus, sering bifid, bertulang menggarpu.
Pohon jantan (staminatus) mengandung benang sari dalam strobilusnya, tanpa
braktea, muncul dari pangkal daun, memiliki dua anthera (mikrosporangium) pada
setiap tangkai (sporofil). Pohon betina (ovulatus) memiliki bakal buah melimpah,
muncul di tunas-tunas pendek (taji) pada pasangan-pasangan tangkai (salah satu
pasangan biasanya gugur) atau kadang-kadang tidak berbatas pada tangkai, setiap
bakal buah disokong oleh collar kecil; pembuahan dilakukan oleh sperma kecil dan
motil. Buah Ginkgo biloba sebenarnya merupakan biji, berbentuk plum atau batu,
bagian luar empuk dan bagian dalam keras, embryo mempunyai dua kotiledon.
PODOCARPACEAE
Tatik Chikmawati (Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor)
Sundacarpus amarus (Bl.) C.N. Page. Ki bima atau ki lilin, semula
dikelompokkan dalam marga Podocarpus (P, amara Bl,), namun sejak 1989
dimasukkan dalam marga Sundacarpus menjadi S, amarus (Bl.) C.N. Page, Nama
amara diilhami dari rasa daunnya yang pahit. Jenis ini memiliki kayu berwarna
coklat kemerahan merata, kayunya mudah diolah, tidak mudah pecah, jarang
mengeriput atau melengkung, tahan pelapukan, tahan serangga pembuat lubang dan

57

rayap, sehingga banyak dimanfaatkan untuk untuk mebel dan bahan bangunan. Ki
bima berperawakan pohon dengan tinggi 10-60 m, diameter 12-140 cm. Permukaan
kulit dihiasi banyak rekahan. Kotiledon 3 pasang bersatu. Tunas daun kecil,
membulat, dengan sisik berlunas panjang sampai 2 cm. Daun matang berbentuk
garis, menyempit ke arah pangkal tangkai yang panjangnya 5 mm, biasanya agak
melancip dan meruncing, memiliki suatu alur di atas tulang tengah atas, dan
menonjol di bawah, 5-15 cm x 6-14 mm. Kerucut jantan 15-35 x 2,5-3,5 mm,
tunggal, dan di ujung atau mengelompok dengan beberapa sisik basal steril. Ujung
mikrosporofil meruncing, segitiga, berlunas, panjang 0,8 mm. Satu sampai beberapa
bakal biji tersebar secara lateral sepanjang tunas bersisik, panjang 3-5 mm, sisik
segitiga sampai membundar, melanjut, menyebar, panjang segitiga sisik 1,5-2 mm,
sisik steril gugur. Bakal biji dan tutupnya bundar telur, lebih panjang dari braktea
(sisik fertil), menjengger pada ujungnya, berwarna biru gelap. Di Jawa dan
Sumatera, ki bima merupakan tumbuhan raksasa yang dapat mencapai tinggi 40 m
dan diameter 1,25 m. Batang berbentuk tiang, tajuk daun tinggi. Di Jawa jenis ini
tumbuh pada ketinggian 1000-1700 m dpl, dan banyak terdapat di hutan hujan
pegunungan. Jenis ini juga tumbuh di Australia, Nugini, Maluku (Buru, Halmahera,
Morotai), kepulauan Sunda Kecil (Timor, Flores, Sumbawa barat, Lombok),
Sulawesi Tengah dan Tenggara, dan Filipina. Tumbuhan umum dijumpai di hutan
hujan primer dan sekunder, sangat umum di Nugini, kadang-kadang di hutan
pegunungan berlumut dengan ketinggian 900 m dpl. Di Sabah, tumbuh sampai
ketinggian 3000 m dpl.
Dacrycarpus imbricatus (Bl.) de Laub. Jamuju (kihaji, kipuiri, cemoro)
semula dikelompokkan dalam marga Podocarpus dengan nama ilmiah Podocarpus
imbricatus Bl., namun sejak 1988 dimasukkan dalam marga Dacrycarpus dengan
nama ilmiah Dacrycarpus imbricatus (Bl.) de Laub. Jenis ini memiliki kayu indah,
berwarna kuning keabu-abuan merata atau coklat keabu-abuan merata atau kuning.
Di Jawa dan Sumatera Barat, kayunya berharga mahal dan sangat digemari karena
seratnya indah dan halus. Jamuju berperawakan pohon, tinggi mencapai 50 m,
diameter hingga 20 cm. Percabangannya panjang, menyebar, dan mengantung.
Kulit coklat merah dan menggelembur; kulit dalam orange, dengan resin
kecoklatan. Daun tersusun dalam 2 deret berhadapan dan memuntir ke satu sisi,
pada cabang tua tersusun seperti sisik, menyirap. Daun berupa gantilan lansing,
rata, panjang 0,8-1,2 cm, memiliki dua bentuk, sempit pada ranting pendek
menyirip dan seperti sisik pada ujung ranting, bagian yang fertil selalu pada daun
seperti sisik. Daun pembalut menyebar, menjarum, panjang 2,5-4 mm. Kerucut
jantan di ketiak daun, silindris, panjang 1 cm. Kerucut betina tunggal atau dalam 2
rangkaian pada ujung ranting, tetapi hanya satu yang fertil. Biji bulat telur, panjang
0,5-0,6 cm, ditunjang oleh cakram berdaging yang berwarna merah. Jenis ini
tersebar di seluruh Jawa di hutan campuran yang lembab dan hutan cemara, pada
ketinggian 700-2900 m dpl., tetapi di Sumatera Utara dan Nugini ditemukan pada
ketinggian 170-3300 m dpl. Jenis ini juga tumbuh di Myanmar utara, Vietnam,
Laos, Semenanjung Malaya, Filipina (Luzon, Mindanao), Kalimantan, Sulawesi,
Maluku (Morotai, Seram), dan kepulauan Sunda Kecil (Bali-Timor).
Podocarpus neriifolius Don. Handalaksa (ki putri, malela) atau P.
neriifolius Don sering dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan, mebel,
kerajinan, alat musik dan kertas karena berwarna putih, berbenang halus, agak berat
dan keras. Jenis ini juga dimanfaatkan daunnya sebagai obat rematik dan sakit

58

persendian dengan cara merebusnya. Handalaksa berperawakan pohon, sedang atau


pendek, tetapi setelah tua menjadi besar sekali, hingga mencapai tinggi 40 m, tetapi
sampai ketinggian 15-20 m tidak bercabang, diameter 1-(1,5) m. Batang tegak,
bulat lurus, tanpa benjolan, tanpa jalur atau saluran akar. Kulit coklat keabuan, tipis,
berserat, mengelupas dalam potongan memanjang; percabangan menyebar. Daun
lanset, biasanya agak melengkung, panjang 4-23 cm, lebar 0,75-2 cm, menjangat,
tulang tengah daun menonjol di pemukaan adaksial, rata atau agak menonjol di
permukaan abaksial, pangkal membaji dalam tangkai pendek, ujung melancip
panjang; daun muda lebih lebar, dengan ujung bertusuk, menumpul. Kerucut jantan
dan betina pada pohon berbeda; kerucut jantan tunggal atau dalam rangkaian 2 atau
3, normalnya duduk, 2,5-5 cm, dengan beberapa braktea tersusun spiral; struktur
yang menghasilkan biji di ketiak, tunggal, bertangkai 0,9-2,2 cm. Tangkainya
merah-oranye ketika matang, mengerucut sungsang sampai menjorong, 8-10 5-8
mm, pangkal dengan 2 brakea mendabud, 2-6 mm. Epimatium merah keunguan
ketika matang. Biji membulat telur atau membulat telur sampai agak membulat,
0,8-1,6 cm, ujung membundar atau menumpul dan ditunjang oleh cakram yang
mendaging. Handalaksa tersebar di Jawa pada hutan primer yang lembab, terpencar,
tidak pernah dalam tegakan, pada ketinggian (400)-1000-2600 m dpl. Pada elevasi
tinggi merupakan pohon besar. Daerah sebarannya dari India ke Cina, Taiwan dan
seluruh Malesia hingga Solomom. Di pulau-pulau yang hutan dataran rendahnya
masih lebat, tingginya dapat mencapai 60 m.
Podocarpaceae meliputi perdu atau pohon yang kadang-kadang sangat
tinggi. Daun tersusun berseling atau spiral, bentuk bervariasi dari seperti sisik,
jarum sampai melanset. Kerucut uniseksual, biasanya berumah dua, terletak pada
bagian atas ketiak daun. Kerucut jantan terdiri dari banyak mikrosporofil yang
tersusun spiral, masing-masing memiliki sepasang mikrosporangia. Mikrospora
bersayap. Kerucut bakal biji terdiri dari satu bakal biji tunggal dibalut dengan satu
lapis struktur sukulen (epimatium) dan terletak pada satu tangkai yang merupakan
persatuan sisik. Biji seluruhnya atau sebagian terbenam dalam aril yang berbentuk
mangkok (phyllocladus). Kotiledon 2. Epimatium mungkin homolog dengan sisik
bakal bijinya Araucariaceae.
Podocarpaceae tersusun atas 18 marga, 184 jenis dan 9 varietas yang
tersebar luas di daerah tropis, 12 marga perdominan di Australia dan Malesia dan 9
marga terbatas di belahan bumi selatan. Keanekaragamannya paling tinggi di
Malesia, dengan 13 jenis dari Kalimantan dan 15 jenis dari Nugini. Marga yang
tersebar luas di Malesia adalah Podocarpus, Dacrycarpus, Dacrydium,
Falcatifolium, Nageia, dan Sundacarpus.
Kebanyakan Podocarpaceae tumbuh di hutan tropis atau subtropis dari
dataran rendah ke subalpin. Beberapa jenis tumbuh di lantai hutan yang dinaungi
pepohonan lain, atau tumbuh pada hutan berlumut pada pegunungan tropis yang
tinggi. Beberapa jenis yang tumbuh di kawasan beriklim sedang belahan bumi
selatan berperawakan semak rendah atau mendongak di bawah pohon. Banyak jenis
tumbuh di tanah yang miskin hara seperti tanah gambut, tetapi dapat pula
berkompetisi dengan tumbuhan lain pada tempat-tempat yang subur. Individu
pohon biasanya memencar di hutan, tidak membentuk tegakan hutan yang seragam.
Penyebaran biji diduga berkaitan dengan bentuk dan warna dari tangkai berdaging.
Burung dan mamalia berperan dalam penyebarannya.

59

PINACEAE (TUSAM-TUSAMAN)
Agung Sedayu (Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Negeri Jakarta)
Pinus merkusii Jung. et de Vriese kadang dikenal dengan nama pinus saja;
atau tusam, sebagaimana bahasa daerah Batak Toba dan Karo. Di Aceh, tumbuhan
ini dinamai sala, uyeum (Gayo) atau sulu (Alas). Di Minangkabau dinamai susugi,
dan di Kerinci dinamai sigi. Pada beberapa buku, jenis dari Aceh dan Sumatera
sering dinamai damar batu dan damar bunga, namun penamaan ini tampaknya
keliru, karena kedua nama tersebut mengacu pada pohon dari suku
Dipterocarpaceae, sebagaimana banyak dibudidayakan di Krui, Lampung Barat.
Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang daerah sebaran
alamnya mencapai sebelah selatan garis katulistiwa, yaitu di dataran tinggi Kerinci
Seblat pada garis lintang 2 LS. Populasi yang ada di luar Sumatera seluruhnya
ditanam manusia, sehingga tumbuhan ini tidak memiliki nama daerah di Sunda,
Jawa, Banjar, Bugis, Bali atau suku lain di luar Sumatera, karena itu orang Jawa dan
suku-suku lain menggunakan nama yang telah ada, biasanya tusam atau pinus.
Tusam tersebar secara alami di Myanmar timur, Indocina, Cina selatan, Thailand
utara, Filipina dan Sumatera (Aceh, Tapanuli dan Kerinci). Sekarang jenis ini
ditanam di seluruh Asia Tenggara. Tusam tumbuh dengan baik di hutan dan savana.
Tumbuhan ini termasuk jenis pionir pada daerah-daerah yang terganggu, terutama
akibat kebakaran hutan. Mereka menyukai daerah dengan cahaya matahari langsung
dan tumbuh mengelompok membentuk hutan tusam.
Tusam berupa pohon dengan tinggi 20-60 m, diameter di pangkal batang
mencapai 1 m, mengeluarkan resin yang wangi; kulit batang tebal, gelap,
membentuk lempengan, bagian dalam berwarna coklat keabu-abuan; semakin ke
atas seperti bersisik dan berwarna agak kemerahan. Cabang berat, horisontal atau
sedikit menanjak. Daun jarum, dua buah pada setiap berkas, panjang 12-25 cm;
berkas terletak di ketiak sisik yang cepat luruh, pangkalnya dibungkus selaput yang
terdiri atas sisik tipis-menyelaput (katafil); tangkai berkas menebal, dengan 3 rusuk
tajam. Strobilus jantan panjang hingga 2 cm, menghasilkan tepung sari yang
dilengkapi dua kantung udara. Strobilus betina panjang hingga 10 cm dengan
diameter hingga 4 cm; apofisis (ujung strobilus yang berupa perisai) mengetupat;
pusar terletak 3-5 mm dari tepi atas sisik strobilus. Biji bulat telur-menggepeng,
panjang 6-7 mm, dilengkapi sayap panjang hingga 32 mm. Serbuk sari melakukan
penyerbukan dengan bantuan angin (anemofili). Dua kantung udara yang terdapat
pada setiap serbuk sari berperan dalam proses melayangnya serbuk sari di udara.
Perkecambahan alamiah tusam akan berlangsung dengan baik jika tanah
mendapat cahaya matahari langsung. Oleh karena itu mekanisme perkecambahan
alamiah tusam diduga juga dipicu oleh peristiwa kebakaran hutan periodik, yang
menyebabkan semak dan pohon-pohon kompetitor mati, dan cahaya matahari dapat
sampai ke tanah. Pertumbuhan anakan tusam selanjutnya sangat terbantu oleh
mikoriza pada akarnya. Secara umum pola pertumbuhan tusam mengikuti model
arsitektur Rauh. Batangnya monopodial dan menumbuhkan tangga cabangcabang yang keluar secara ritmik.
Tusam dan pinus lainnya (sekitar 10 jenis di seluruh dunia) disadap
batangnya untuk mendapatkan resin. Resin kasar kemudian didestilasi untuk
memperoleh gom resin dan gom terpentin. Resin yang berbentuk padat, aromatik,
transparan dan mengkilap memiliki banyak kegunaan industrial sebagai bahan lem,
tinta, pelapis, material insulasi elektronik, karet sintetik, permen karet, sabun, dan

60

deterjen. Sedangkan terpentin yang berbentuk cairan bening yang wangi dan rasa
pahit digunakan sebagai pelarut cat dan pernis, namun sekarang banyak digantikan
spiritus putih yang merupakan bahan sintetik dari minyak bumi. Terpentin juga
merupakan bahan tambahan pada parfum, vitamin, resin politerpen, dan lem.
Derivat terpentin yang utama digunakan sebagai desinfektan dan cairan pembersih
dengan aroma pinus (karbol). Produk resin tusam yang bernama gondorukem
adalah komponen utama lilin/malam yang digunakan untuk membatik.
Tusam termasuk dalam suku Pinaceae, tumbuhan berbiji telanjang. Suku ini
umumnya berupa pohon atau semak yang mengandung resin. Daun tersusun spiral
(memilin), menjarum, baik pada cabang normal, maupun pada cabang normal
bertunas-pendek (pada kasus terakhir, daun tersusun terpusar atau dalam berkas).
Pinaceae berumah satu; strobilus jantan (mikrostrobilus) terdiri dari banyak stamen,
kecil atau agak besar, kadang mirip untai lada (catkin), terletak pada ketiak sebuah
sisik; stamen (mikrosporofil) banyak, tersusun spiral; tangkai sari berujung pada
sisik berbentuk hampir-memerisai yang di bagian bawahnya memiliki 2 kepala sari
(mikrosporangia). Strobilus betina (megastrobilus) tersusun atas sisik-sisik yang
tersusun spiral; sisik yang besar di luar permukaan atasnya mendukung sisik kedua
(sisik ovul) yang bagian atasnya memiliki dua ovul kolateral (megasporangia); ovul
dengan mikropil yang menghadap sumbu strobilus. Sisik yang masak luruh atau
memisah, biasanya mengayu, terdiri atas sisik ovul yang membesar, ujungnya
membentuk perisai (apofisis); apofisis dengan pusar di tengah. Biji 2 setiap sisik
ovul, dengan sayap sedikit menyerong pada satu sisi biji. Kotiledon banyak.
Tusam yang hidup saat ini beranggotakan 100 jenis, merupakan marga
terbesar dari kelompok konifer. Tusan merupakan komponen utama dan sangat
penting peran ekologinya pada hutan boreal, subalpin, iklim sedang dan tropis,
bahkan hutan semak d daerah gersang (arid). Secara ekonomi, tusam sangat
penting, karena merupakan sumber bagi industri kayu, kertas, resin, arang, makanan
dan tanaman hias. Penyebaran alami seluruh marga tusam terbatas pada belahan
bumi utara, kecuali populasi kecil P. merkusii yang melewati garis khatulistiwa di
Sumatera. Jenis-jenis seperti P. caribaea, P. patula, P. pinaster, dan P. radiata
adalah jenis-jenis yang sekarang kosmopolitan atau sub-kosmopolitan karena
ditanam di berbagai tempat di dunia.
Berdasarkan fosil, marga Pinus diperkirakan bernenek moyang di Eurasia,
berdiversifikasi pada masa Eocene, namun berdasarkan data DNA diduga lebih tua,
yaitu pada Mesozoic. Analisis filogeni menunjukkan kelompok konifer pecah
menjadi Pinaceae dan konifer bukan-Pinaceae. Kelompok saudara (sister) terdekat
Pinaceae justru bukanlah konifer bukan-Pinaceae, namun Gnetales. Secara filogeni,
tusam adalah jenis yang cukup terisolasi dibandingkan kerabat terdekatnya di Asia.
Namun jenis-jenis Asia memiliki kesamaan DNA dengan jenis dari Amerika, yang
artinya mereka tidak jauh berpisah secara divergen walaupun terpisahkan oleh
samudera.
GNETACEAE (MELINJO-MELINJOAN)
Atik Retnowati (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi, LIPI)
Gnetum gnemon L. Melinjo merupakan suatu jenis tanaman berbiji terbuka
berbentuk pohon yang berasal dari Asia tropis dan Pasifik barat. Melinjo dikenal
pula dengan nama belinjo, mlinjo (Jawa), dan tangkil (Sunda). Melinjo banyak
ditanam di pekarangan sebagai peneduh atau pembatas pekarangan; terutama

61

dimanfaatkan "buah" dan daunnya. Berbeda dengan anggota Gnetum lainnya yang
biasanya merupakan liana, melinjo berbentuk pohon. Melinjo merupakan tumbuhan
tahunan berbentuk pohon yang berumah dua. Tinggi dapat mencapai 5-10 m.
Batangnya kokoh dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Daun tunggal,
berhadapan dan berbentuk oval dengan ujung tumpul. Melinjo tidak menghasilkan
bunga dan buah sejati, karena bukan termasuk tumbuhan berbunga. Perbungaan
soliter dan aksiler yang terdapat juga pada kayu yang tua, panjang 3-6 cm dengan
bunga pada lingkaran buku. Terdapat bunga betina sebanyak 5-8 pada setiap buku
perbungaan yang membulat. Yang dianggap sebagai buah sebenarnya adalah biji
yang terbungkus oleh selapis aril yang berdaging. Buah seperti kacang, berbentuk
ellips dengan panjang 1-3,5 cm dan terdapat satu biji pada setiap buah.
Melinjo mempunyai enam varietas, yang paling banyak dibudidayakan
adalah G. gnemon var. gnemon. Varietas ini mempunyai ukuran buah yang lebih
besar dan tumbuh sebagai pohon. Melinjo jarang dibudidayakan secara intensif.
Kayunya dapat dipakai sebagai bahan papan. Ada informasi lain yang menyebutkan
bahwa kulit kayu yang dipukul-pukul akan menghasilkan tali yang awet dan benang
untuk membuat tali pancing dan jala. Daun mudanya (Jawa: so) digunakan sebagai
sayuran (misalnya pada sayur asem). "Bunga" (jantan maupun betina) dan bijinya
yang masih kecil maupun yang sudah masak juga dijadikan sayuran. Biji melinjo
yang ditumbuk juga menjadi bahan baku emping. Sebagai sumber pangan, biji
melinjo mengandung kadar urea agak tinggi sehingga konsumsi berlebihan
sebaiknya dihindari.
Gnetum costatum. Jenis ini merupakan melinjo-melinjoan yang endemik di
pulau Nugini dan sekitarnya. G. costatum juga hidup sebagai tumbuhan berumah
dua. Tinggi dapat mencapai 15-20 m dengan kulit kayu berwarna coklat kemerahan
pada bagian dalam dan tan pada bagian luar. Kalau melinjo daunnya membulat
telur, jenis ini daunnya membundar telur sungsang dengan panjang sekitar 15-18 cm
dan lebih tebal daripada daun melinjo. Bunga jantan soliter, aksiler, tunggal dan
berwarna kekuning-kuningan. Bunga betina steril, bentuk membundar telur. G.
costatum tumbuh di hutan hujan tropis pada ketinggian sampai 135 m dpl., biasanya
tumbuh di sepanjang sungai atau dekat sungai dan juga bisa tumbuh di hutan
skunder ataupun hutan yang sudah mengalami gangguan. di Nugini, jenis ini dapat
ditemukan di hutan campuran antara jenis-jenis Lithocarpus, Anisoptera dan
Hopea. Daerah dengan kondisi antara basah dan kering merupakan tempat tumbuh
terbaik bagi jenis ini. Di masyarakat, buah G. costatum dapat dimanfaatkan sebagai
sayuran. Buah, daun dan bunganya baik jantan atau betina direbus dan sajikan
sebagai sayuran. Untuk menghilangkan rasa pahit, buah dapat direbus lebih lama.
Penambahan santan, akan membuat masakahn lebih lezat. Diketahui kandungan
tepung pada kernels, daun dan bunganya sebesar (40-45%), sedangkan kandungan
protein sebesar 8-10 %.

62

Anda mungkin juga menyukai