Anda di halaman 1dari 4

10. Apa yang harus dilakukan konselor jika ada kasus sebagai berikut.

Seorang anak Papua di


pindah ke sekolah ke Jawa Tengah yang didominasi anak suku Jawa. Bagaimana
konselor sekolah bisa membantu anak Papua menyesuaikan diri dengan lingkungan baru
tersebut. Apa saja isu budaya yang mesti dipertimbangkan oleh konselor?
Jawab:
Seorang anak Papua yang pindah ke sekolah Jawa Tengah merupakan wujud adanya
multikulturalisme di sekolah. Seseorang dari suatu kelompok budaya tertentu yang
kemudian berinteraksi dengan budaya lain akan membawa keanekaragaman budaya di
wilayah tersebut. Kondisi masyarakat termasuk sekolah yang tersusun dari banyak
kebudayaan inilah yang dimaknai sebagai multikultural. Multikultural juga menekankan
pada kesetaraan budaya. Multicultural sering merupakan perasaan nyaman yang dibentuk
oleh pengetahuan. Pengetahuan yang dibangun oleh keterampilan yang efektif, dengan
setiap orang dari sikap kebudayaan yang ditemui dalam setiap situasi yang melibatkan
sekelompok orang yang berbeda latar belakang kebudayaannya.
Keanekaragaman budaya siswa yang ada di sekolah memiliki potensi untuk terjadi
konflik, baik konflik dalam diri sendiri maupun konflik dengan lingkungannya. Dalam
teorinya semakin banyak perbedaan dalam suatu masyarakat, kemungkinan akan
terjadinya konflik itu juga sangatlah tinggi. Oleh karenanya setiap individu (siswa) di
lingkungan tersebut harus memiliki kesadaran budaya dan mampu untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan.
Kesadaran budaya merupakan salah satu dimensi yang penting dalam memahami
masyarakat dengan keragaman budaya. Hal ini akan membantu dalam memberikan
makna akan pemahaman mengenai perbedaan yang muncul. Konselor sebagai pendidik
psikologis memiliki peran strategis dalam menghadapi keragaman dan perbedaan
budaya. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki kompetensi dan menguasai ragam
bentuk intervensi psikologis baik secara pribadi maupun lintas budaya.
Tidak hanya mengajarkan siswa untuk memiliki kesadaran budaya, konselor pun perlu
membelajarkan siswanya untuk mampu menyesuaikan diri. Penyesuaian diri adalah
usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya,
sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati prasangka, depresi, kemarahan dan lain-lain
dapat diminimalisir. Ketika siswa mampu menyesuaikan diri maka akan dapat
mempertahankan eksistensialnya untuk bertahan hidup dan memperoleh kesejahteraan

jasmani maupun rohani sehingga dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan
tuntutan-tuntutan sosial di lingkungannya.
Dalam memberikan bantuan siswa untuk dapat menyesuaikan diri dengan
keanekaragaman budaya di lingkungannya perlu terlebih dahulu memperhatikan: (1)
kondisi jasmaniah; (2) perkembangan dan kematangan yang meliputi kematangan
intelektual, sosial, moral dan emosional, (3) penentu psikologis yang meliputi
pengalaman belajar, pembiasaan, frustasi dan konflik, (4) kondisi lingkungan meliputi
rumah, sekolah, dan masyarakat, serta (5) penentu budaya kultural berupa budaya dan
agama.
Beberapa bentuk bantuan yang dapat dilakukan konselor untuk mengembangkan
keterampilan penyesuaian diri siswa antara lain:
a) Memberi kesempatan siswa tersebut mengikuti kegiatan-kegiatan kelompok belajar
atau diskusi baik di jam mata pelajaran atau di luar jam mata pelajaran dengan
meminta kerjasama dengan guru bidang studi.
Proses pemberian bantuan ini dapat dilakukan dalam setting kelompok. Kaitannya
dalam pelayanan BK maka dapat menggunakan layanan bimbingan kelompok
maupuk konseling kelompok yang mengandung nilai-nilai multikultural. Melalui
suasana kelompok akan memungkinkan setiap anggota untuk belajar berpartisipasi
aktif dalam berbagi pengalaman dalam upaya membangun wawasan, sikap, atau
keterampilan yang diperlukan dalam upaya pencegahan timbulnya masalah atau upaya
pengembangan pribadi. Tujuan dari bimbingan maupun konseling kelompok ini untuk
menangani kesulitan dalam penyesuaian diri adalah (1) untuk membantu memberikan
orientasi kepada kelompok dalam memasuki atau menghadapi situasi baru lingkungan
baru atau pengalaman baru, (2) menyediakan pengalaman belajar yang berbeda
dengan pengalaman belajar yang diberikan dalam kegiatan kurikulum, (3)
memberikan penyesuaian dan terapi. Dengan demikian siswa tersebut dapat berbaur
dengan siswa-siswa lain, dapat lebih berinteraksi dan belajar untuk lebih terbuka
terhadap perbedaan-perbedaan, baik perbedaan pendapat ataupun perbedaan budaya.
b) Memotivasi siswa untuk mengikuti ekstrakulikuler
Dengan mengikuti kegiatan ekstrakulikuler siswa dapat mengembangkan dirinya
dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat mereka melalui kegiatan secara khsus
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan
berkewenangan disekolah. Kegiatan ekstrakulikuler ini memiliki manfaat sebagai
wadah penyalur hobi, minat, dan bakat para siswa secara positif yang dapat mengasah

kemampuan, daya kreatifitas, jiwa sportifitas, sosialisasi diri dengan lingkungannya,


penyesuaian diri yang sehat dan meningkatkan rasa percaya dirinya.
c) Mengajak siswa untuk berpikir realistis.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri terlihat dari ketidakpuasan terhadap diri
sendiri dan mempunyai sikap-sikap menolak diri. Siswa yang mengalami perasaan ini
merasa dirinya memainkan peran orang yang dikucilkan. Akibatnya, siswa tidak
mengalami kebahagiaan dalam berinteraksi dengan teman-teman sebaya atau
keluarganya. Remaja yang penyesuaian dirinya buruk, cenderung paling tidak
bahagia. Ketidakbahagiaan remaja kadang-kadang lebih, karena masalah-masalah
pribadi dari pada masalah-masalah lingkungan. Seperti memiliki cita-cita yang terlalu
tinggi dan tidak realistis bagi dirinya sendiri, dan bila prestasinya tidak memenuhi
harapan, dan bersikap menolak diri sendiri atau memiliki perasaan rendah diri, tidak
mau menerima kondisi fisk, tidak memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri,
maka inipun dapat mengakibatkan remaja menolak diri, jika remaja realistis tentang
derajat penerimaan yang dapat mereka capai, dan merasa puas kepada orang-orang
yang menerima mereka dan menunjukkan kasih sayang pada orang-orang tersebu,
kemungkinan untuk merasa bahagia akan emningkat. Artinya pula bahwa remaja
memiliki penyesuaian diri yang sehat.
d) Memberikan konseling bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam kaitannya dengan
multikulturalisme di lingkungannya
Konseling dilakukan antara konselor dan konseli berdasarkan kebutuhan yang
diharapkan oleh konseli. Dalam melakukan konseling lintas budaya ini konselor perlu
memahami beberapa kompetensi dan keterampilan terkait nilai-nilai budaya dalam
melaksanakan konseling. Hal yang perlu dipahami bahwa bimbingan dan konseling
dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas
keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada
nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang
harmoni dalam kondisi pluralistik.
Disamping itu, perlu dipertimbangkan beberapa isu budaya mengingat konseli
memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan konselor. Menurut McFadde
(Gladding, 2012), konselor perlu memperhatikan dan menguasai perspektif lintas budaya
yang berfokus pada tiga dimensi utama, yaitu:
a) Cultural historial, maksudnya adalah konselor harus menguasai pengetahuan akan
budaya konseli,

b) Psikososial, maksudnya adalah konselor harus memahami etnik, performa, percakapan,


tingkah laku kelompok sosial dari konseli agar bisa memiliki komunikasi yang
bermakna,
c) Saintifik ideological, maksudnya adalah konselor harus munggunakan pendekatan
konseling yang tepat untuk menghadapi masalah yang terkait dengan lingkungan
regional, nasional, ataupun internasional.

Anda mungkin juga menyukai