Anda di halaman 1dari 32

Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di

Indonesia yaitu hepatitis A, B, C, D dan E. Hepatitis A dan E sering muncul dan ditularkan
secara fecal oral dan biasanya berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Hepatitis ini
bersifat akut dan dapat sembuh dengan baik. Hepatitis B,C dan D jarang ditularkan secara
parenteral namun dapat menjadi kronis dan menimbulkan sirosis kemudian menjadi kanker hati.
Hepatitis B khususnya selain ditularkan secara parenteral juga ditularkan melalui seksual dan
kandungan.
A. EPIDEMIOLOGI
Hepatitis virus merupakan fenomena gunung es dimana penderita yang baru datang ke
layanan kesehatan jauh lebih sedikit daripada jumlah penderita sesungguhnya. Mengingat
penyakit ini merupakan penyakit kronis yang menahun, dimana pada saat orang tersebut telah
terinfeksi namun kondisinya masih sehat dan menunjukkan gejala dan tandayang khas tapi
penularan terus berjalan.
Virus hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta
orang diantaranya menjadi hepatitis B kronik. Sebanyak 1,5 juta penduduk dunia meninggal
setiap tahunnya karena Hepatitis. Prevalensi di setiap wilayah dapat bervariasi namun
infektivitas tinggi terdapat di daerah Sahara- Afrika, sebagian besar Asia, Amerika utara,
Amazon, Eropa Timur bagian selatan serta Timur Tengah.

(Rubins
, 2012).
Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi terkena Hepatitis B terbesar
kedua di Asia Tenggara setelah Myanmar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda),
studi dan uji saring darah donor PMI diperkirakan terdapat 100 penduduk Indonesia, 10
diantaranya telah terinfeksi Hepatits B. Sehingga saat ini diperkirakan terdapat 28 juta penduduk
Indonesia terinfeksi Hepatitis B dan 1,4 juta diantaranya berpotensi untuk menjadi kronis dan
dari yang kronis tersebut 1,4 juta orang berpotensi untuk menderita kanker hati.
Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahawa jumlah orang yang didiagnosis Hepatitis di
fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan gejala- gejala yang ada menunjukkan peningkat 2 kali
lipat apabila dibandingkan dari tahun 2007.

Dari grafik ditas terlihat bahwa dari hasil survei tahun sebelumnya yaitu 2007 , pada
tahun 2013 lima propinsi dengan prevalensi tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur , Papua,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Pada tahun 2013 ada 13 provinsi yang
memilki angka prevalensidiatas rata- rata nasional yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi
Tengah, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Aceh. Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara,
Kalimanatan Tengah, Sumatra Utara dan Kalimantan Selatan.

Dari tabel diatas terlihat karakteristik prevalensi Hepatitis tertinggi terdapat pada
kelompok umur 45-54 dan 65-74 (1,4%). Penderita Hepatitis baik laki- laki maupun perempuan
proporsinya tidak berbeda bermakna. Jenis pekerjaan juga mempengaruhi prevalensi Hepatitis.
Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita Hepatitis banyak terjadi pada petani/nelayan/buruh.

(Kemenkes, 2013).
Dari tabel diatas hasil survei menunjukkan bahwa Hepatitis B dari tahun 2008 mengalami
penurunan namun pada survei tahun 2013 justru mengalami kenaikan kembali yaitu sebesar
1,64%. Paremeter untuk mengetahui Hepatitis B adalah melalui HbsAg yaitu suatu protein
permukaan virus hepatitis B.
B. PATOFISIOLOGI
Virus Hepatitis B adalah suatu virus DNA dengan struktur genom yang sangat kompleks).
Virus Hepatitis B berupa virus DNA sirkoler berantai ganda, termasuk family Hepadnaviradae,
yang mempunyai tiga jenis antigen. Ketiga jenis antigen tersebut yaitu Antigen Surface Hepatitis
(HbsAg) yang terdapat mantel (envelope virus), antigen cor Hepatitis B (HbcAg) dan antigen
e Hepatitis B (HbeAg) yang terdapat pada nucleocapsid virus. Ketiga jenis antigen ini dapat
merangsang timbulnya antibodi spesifik masing masing yang disebut anti HBs, anti HBc dan
anti Hbe.

1) HbsAg (Hepatitis B surface Antigen) merupakan petanda serologik infeksi virus


hepatitis B pertama yang muncul di dalam serum dan mulai terdeteksi antara 1
sampai 12 minggu pasca infeksi, mendahului munculnya gejala klinik serta
meningkatnya SGPT. Selanjutnya HBsAg merupakan satu-satunya petanda serologik
selama 3 5 minggu. Pada kasus yang sembuh, HBsAg akan hilang antara 3 sampai 6
bulan pasca infeksi sedangkan pada kasus kronis, HBsAg akan tetap terdeteksi
sampai lebih dari 6 bulan. HBsAg positif yang persisten lebih dari 6 bulan
didefinisikan sebagai pembawa (carrier).
2) HbeAg (Hepatitis B e Antigen) adalah salah satu protein yang soluble yang muncul
bersama dengan HbsAg yang menunjukkan virus aktif bereplikasi dan infektivitas di
dalam tubuh setelah pasien terinfeksi. Adanya virus yang masuk tubuh akan
meresponnya melalui sistem imun yaitu dengan munculnya anti-Hbe.
3) HbcAg (Hepatitis B core antigen) adalah protein nukleokapsid pada hepatosit, yang
mempromosikan kematian sel imun. Sebagian besar HBcAg yang dihasilkan dirakit
menjadi inti virus (nukleokapsid).

Gb. Virus Hepatitis B


(Rubins, 2012).

Replikasi Virus dan Respon Imun

Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Partikel virus
hepatitis B yang utuh masuk kedalam tubuh dari peredaran darah dan masuk ke dalam hati.
Virus ini kemudian menempel pada sel inang . Setelah itu virus akan mempenetrasikan
materi genetiknya yaitu DNA pada genom virus tersebut untuk diangkut kedalam inti sel
dimana akan terjadi transkripsi genom virus hepatitis B dan akan bereplikasi dalam sel hati
yang menyebabkan pertambahan jumlah kromosom virus. Kromosom dengan jumlah yang
banyak tersebut kemudian akan melakukan perakitan komponen tubuh virus agar
membentuk virus yang utuh. Virus utuh selanjutnya akan keluar dari sel inang untuk
menginfeksi sel- sel lain.

Gb.replikasi Virus
(Rubins, 2012).
Virus Hepatitis B (VHB) merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali
dirangsang adalah respons imun nonspesifik (innate immune response) karena dapat
terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses
eliminasi nonspesifik ini tejadi tanpa restriksi Human Leukosit Antigen (HLA) yaitu dengan
memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik, yaitu
dengan mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah
kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada

permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding APC dan dibantu rangsangan sel T
CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC
kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati
dan menjadi antigen sasaran respons imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg.
Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada didalam sel hati yang terinfeksi.
Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan
meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga terjadi eliminasi
virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas IFN dan TNF yang
dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik).
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi
antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-Hbe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi
partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus kedalam sel. Dengan demikian anti-HBs
akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan
gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat
ditemukan adanya anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg.

Gb. Respon Imun Terhadap Hepatitis B Virus


(Rubins, 2012).
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri,
sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap.
Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor
virus ataupun faktor pejamu.

Faktor Virus, antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan
terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan VHB

yang tidak memproduksi HbeAg, integrasi genom VHB dala genom sel hati.
Faktor Pejamu, antara lain : faktor genetik, kurangnya IFN, kelainan fungsi limfositrespons antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal.
Infeksi virus HBV ini dibagi menjadi 2 macam yaitu akut hepatitis dan kronik
hepatitis.
a. Akut hepatitis B
Sebagian besar pasien dewasa banyak mengalami hepatitis akut. Hepatitis B
menginfeksi dan mengalami masa inkubasi dalam waktu yang cukup lama. Gejala
hepatitis B akan muncul setelah 2- 3 bulan paparan virus namun masa inkubasi
bervariasi yaitu kurang dari 2 minggu hingga 6 bulan.
b. Hepatitis B Kronik
Saat fase kronik pasien tidak terlihat sakit (tampak sehat) meski virus
berada dalam tubuhnya. Infeksi kronik sulit untuk di kontrol karena template HBV
sudah terintegrasi pada genome sel host. Pasien yang terdeteksi HbsAg dan HbcAg
dan memiliki kadar titer serum HBV DNA lebih dari 6 bulan akan berkembang
menjadi hapatitis B kronik. Sebetulnya hati mempunyai kemampuan untuk
memperbaiki jaringan yang rusak, namun peradangan menahun oleh virus hepatitis
B dapat mengakibatkan kerusakan permanen. Kerusakan permanen akan membuat
jaringan parut pada hati yang dapat terjadi yang disebut karsinoma hepatoseluler.
Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B Kronik yaitu fase
imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearence, dan fase nonreplikatif atau
fase residual.

(Rubins, 2012).
1. Fase toleransi sistem imun tubuh pada virus
Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran
terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi

tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase
replikatif dengan titer HbsAg yang sangat tinggi, HbeAg positif, anti-Hbe negatif, titer
DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase
imunotoleransi.
2. Fase imun tubuh dalam melawan virus (fase imunoaktif atau immune clearance)
Sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB
yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan
konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap
VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif atau immune clearance. Pada fase ini tubuh
berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi
VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi HbeAg baik secara spontan maupun karena
terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat
menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti.
3. Fase virus hepatitis B istirahat atau tidur.
Pada fase imunoaktif titer HbsAg yang terukur rendah dengan HbeAg yang
menjadi negatif dan anti-Hbe yang menjadi positif secara spontan, serta konsentrasi ALT
yang normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 2030% pasien Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan
menyebabkan kekambuhan.

(Rubins, 2012).
Hepatitis B kronik akan menyebabkan nekrosis sel dan inflamasi hati apabila
lebih dari 6 bulan. Seseorang yang terinfeksi hepatitis B kronik memiliki resiko
mengalami sirosis dan kanker hati. Hepatis sirosis merupakan penyakit kronik yang
mengakibatkan kerusakan sel hati dan sel tersebut digantikan oleh jaringan parut yang
disebut fibrosis sehingga terjadi penurunan jumlah sel hati yang normal. Laki- laki
memiliki faktor resiko lebih besar daripada perempuan, selain itu juga beresiko dengan
orang yang berumur lebih dari 40 tahun.
Hepatis sirosis ini juga dapat memicu terjadinya kanker hati namun mekanisme
patofisiologinya belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli mengatakan kemungkinan
terjadinya kanker bisa secara langsung maupun tidak langsung.

(Zeng, 2015).
C. Tanda dan Gejala
Kebanyakan penderita Hepatitis B akut tidak merasakan gejala yang khusus,
gejalanya bisa dikatakan sama dengan Hepatitis A. Namun beberapa penderita ada yang
merasakan beberapa gejala, dan umumnya gejala tersebut dapat dirasakan setelah 4-6
minggu paska infeksi dan gejala tersebut dapat terus berlanjut sampai beberapa minggu
bahkan beberapa bulan berikutnya. Apabila setelah enam bulan tubuh tidak dapat
mengendalikan infeksi HBV maka dapat muncul gejala Hepatitis B kronis. Gejala
tersebut antara lain:
a. demam
b.sakit perut kanan-atas
c. jaundice (kulit, kuku dan mata menguning)
d.urine gelap, tinja berwarna gelap atau pucat
e. mudah lelah, anoreksia, cemas, kebingungan dan malaise
f. mual, muntah dan kejang
g.hilang nafsu makan
h.berat badan menurun

(Dipiro, 2008).
Pada beberapa orang, virus Hepatitis B dapat menyebabkan infeksi liver kronis yang
kemudian dapat berkembang menjadi Sirosis atau kanker hati.
D. Tes Laboratorium
Hepatitis B dapat berkembang menjadi infeksi kronis/menahun jika setelah enam
bulan tubuh tidak dapat mengatasi infeksi yang terjadi. Hal ini dapat meningkatkan resiko
terjadinya kerusakan hati yang permanen (Sirosis) dan bahkan kanker hati. Virus
Hepatitis B tidak merusak hati secara langsung, tetapi menyerang ke sistem kekebalan
tubuh sehingga infeksi tersebut tidak memperlihatkan gejala yang nyata.
Tes Hepatitis B dilakukan dengan tes darah yang bertujuan mencari antigen (pecahan
virus hepatitis B) tertentu dan antibody (yang dibuat oleh system kekebalan tubuh sebagai
reaksi terhadap HBV). Antigen dan antibody tersebut antara lain :
- Antigen HBsAg (antigen permukaan, atau surface hepatitis B)
- Antigen HBcAg (antigen core/inti dari HBV)
- Antibodi anti-HBs (antibody terhadap antigen permukaan/surface HBV)
- Antibodi anti-HBc (antibody terhadap antigen bagian inti, atau core HBV)
- Antibodi anti-HBe (antibody terhadap antigen envelope HBV)
Selama fase infeksi kronis Hepatitis B terjadi, pada tes pengukuran darah terdapat
serum DNA HBV yang tinggi dan juga terdapat HBeAg. Pada fase inilah tubuh berusaha
untuk menyingkirkan HBeAg dengan cara membentuk antibody untuk HBeAg (AntiHBe).

(Dipiro, 2008).

(Anna, 2009).
Terdapat berbagai kombinasi antigen dan antobodi yang berbeda, dan masing-masing
kombinasi tersebut mempunyai arti sendiri.

Bila HBeAg dapat terdeteksi dalam contoh darah, berarti bahwa virus

masih aktif dalam hati (dan dapat ditularkan pada orang lain).
Bila HBeAg adalah negatif dan anti-HBe positif, berarti virus tidak aktif.
Namun hal ini tidak selalu benar. Beberapa orang dengan hepatitis B
kronis terinfeksi dengan apa yang disebut sebagai precore mutant

(semacam mutasi) HBV. Hal ini dapat menyebabkan HBeAg tetap negatif
dan anti-HBe positif, walaupun virus tetap aktif dalam hati, sehingga
pasien tersebut masih dapat menyebarkan virus.

Tes yang digunakan untuk mendiagnosa Hepatitis B :


1. Tes Enzim Hati
Tes ini mengukur enzim AST (Aspartat aminotransferase) atau SGOT (Serum
Glutamic Oksaloasetat transaminase) dan ALT (Alanin Aminotransferase) atau SGPT
(Serum Glutamik Piruvik Transaminase). Tingkat enzim hati yang tinggi menandakan
terjadinya suatu kerusakan pada hati. Pada Hepatitis B kronis, enzim hati terutama
ALT meningkat secara berkala, Hal ini menunjukkan resiko kerusakan hati jangka
panjang. Nilai normal kadar enzim AST untuk laki-laki adalah 6-34 IU/L dan wanita
20-40 IU/L, sedangkan nilai normal ALT adalah 20-60 IU/L.
2. HBV DNA Assays
Pengujian ini berdasarkan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
amplification dengan batas terendah yang dapat terdeteksi adalah 50-200IU/mL (2501000kopi/mL) dan batas dynamic range hingga 4-5 log10 IU / mL. Saat ini, tes DNA
HBV yang memanfaatkan real-time teknologi PCR dikembangkan sehingga terjadi
peningkatan sensitivitas (5-10 IU / mL) dan dynamic range yang lebih luas (sampai 89 log10 IU / mL). Penghitungan serum HBV DNA adalah cara yang digunakan untuk
mengevaluasi pasien dengan infeksi HBV kronis dan menilai efficacy pengobatan
antivirus yang diberikan.
Sebuah dilema besar dalam penafsiran tingkat serum HBV DNA adalah
penentuan batas nilai yang digunakan untuk menentukan indikasi pengobatan. Karena
HBV DNA tetap ada bahkan pada pasien yang sudah mengalami pemulihan serologi
dari infeksi HBV akut, rendahnya tingkat HBV DNA tidak dapat dikaitkan dengan
penyakit hati yang progresif dan pemberantasan virus merupakan suatu pengobatan
yang realistis.

Nilai dari HBV DNA yang ditetapkan sebagai kriteria diagnostik untuk Hepatitis
B kronis pada konferensi NIH tahun 2000 adalah sebesar 20.000IU/mL

(10 5

kopi/mL). Namun, hepatitis kronis, sirosis dan kanker hati ditemukan pada pasien
dengan penurunkan kadar HBV DNA. Juga ditemukan pada beberapa pasien hepatitis
B kronis dengan

peningkatan kadar HBV DNA dari tidak terdeteksi sampai

2.000.000IU/mL. Dengan demikian, pemantauan secara periodik kadar HBV DNA


lebih ditekankan untuk memastikan dan menangani sesegera mungkin.
3. Biopsi Hati
Tujuan dari tes biopsy hati adalah untuk melihat tingkat kerusakan hati (inflamasi
hati). Tingkat enzim hati yang mengalami peningkatan secara terus menerus adalah
tanda peradangan hati yang selanjutnya dapat berkembang menjadi jaringan parut
yang kaku. Prinsip dari Biopsi adalah pengambilan potongan hati menggunakan
jarum kecil, dimana potongan tersebut kemudian diperiksa dalam laboratorium.
Biopsi hati ini menilai kerusakan hati dengan mengukur seberapa kaku atau lunaknya
hati.

(Anna, 2009).
Tes biopsi hati harus mempertimbangkan usia, kadar ALT, status HbeAg, tingkat
HBV DNA, dan fitur klinis lainnya seperti penyakit hati kronis atau hipertensi portal.
Tes ini hanya diusulkan untuk pasien dengan HBV DNA yang tinggi (>100.000 kopi)
dan tingkat enzim hati yang tinggi, juga pada pasien sirosis.
E. Terapi Hepatitis B

Terapi farmakologis
a Hepatitis B akut
Tujuan terapi hepatitis B akut adalah untuk meringankan gejala klinis yang
ada, mempersingkat lamanya sakit, dan mencegah perkembangan penyakit yang
lebih parah. Umumnya tidak diperlukan terapi obat khusus pada hepatitis B akut,
namun cukup dengan terapi suportif untuk memperbaiki kondisi pasien. Terapi
antivirus

umumnya

juga tidak dibutuhkan, karena pada pasien yang

imunokompeten hepatitis B akut akan sembuh dengan sendirinya. Obat obat


simptomatik dapat digunakan untuk membantu menghilangkan keluhan dan gejala
klinis, misalnya untuk mengatasi nausea, anorexia, vomiting, demam, dan gejala
gejala yang lain.
Terapi antiviral diindikasikan bagi pasien dengan infeksi akut yang
berkepanjangan dan berat. Terapi yang direkomendasikan adalah lamivudine atau
telbivudine, jika tidak memungkinkan entenavir bisa digunakan. Sedangkan terapi
b

dengan IFN tidak direkomendasikan karena terbukti tidak memeberikan efek.


Hepatitis B kronis
Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah untuk menekan replikasi virus hepatitis
B dan untuk meringankan penyakit hepar, sehingga mencegah perkembangan
penyakit menjadi sirosis, hepatic failure, dan hepatocellular carcinoma (HCC).

(Tang, C.M, 2014)

First-line terapi pada hepatitis B kronis adalah PegIFN-, IFN-, entenavir, atau
tenofovir. Terapi dengan interferon merupakan first-line terapi ketika pasien tidak
mengalami sirosis.

(Liaw, 2012)

(Liaw, 2012)

(Liaw, 2012)

Perbandingan

Rute pemberian
Dosis

Immunomodulator
IFN-
sc
5-10

PegIFN-
sc
180g, qw

Analog nukleosida

Thy-
sc
1,6mg,

LAM
po
100mg,

ADV
po
10mg,

ETV
Po
0,5-1

biw

od

od

mg,

MIU, tiw

TBF
po
600
mg,

TDF
po
300
mg,

od

Lam

HbsAg (+)

4-6

12 bulan

6 bulan

bulan

bulan samapi terjadi HBeAg serokonversi

12 bulan

dan HBV DNA tidak terdeteksi


Lamanya terapi tidak jelas ketika HBsAg

terap
i

HbsAg (-)

od
od
Minimum 1 tahun, kemudian dilanjutkan 6

12 bulan

6 bulan

masih positif, terapi dapat dihentikan jika


pasien telah diterapi selama 2 tahun dan
Mekanisme

Memodulasi sistem imun dan

Efek samping

menghambat sintesis DNA


Gejala seperti
Jarang
influenza (demam dan

terjadi

menunjukkan HBV DNA tidak terdeteksi


Menghambat DNA polimerase
Jarang

Nefrot

Jarang Jarang Nefrot

terjadi

oksisiti

terjadi

terjadi oksisit

sakit kepala) depresi,


kontraindikasi

Resistensi
pada
treatment

1 th
2 th
>5th

mual, muntah
Wanita hamil, alergi, depresi

Pasien yang alergi terhadap obat

berat, sirosis, dan penyakit

bersangkutan

autoimun
Tidak tejadi resistensi, namun
ada beberapa pasien yang tidak
merespon terapi ini

24
38
80

0
3
29

0
0,2
1

4
25
N/A

0
0
0

naive
resistensi
pada
pasien

2 th
4 th

Tidak tejadi resistensi, namun N/A


ada beberapa pasien yang tidak N/A

25
N/A

9
39

N/A
N/A

0
0

merespon terapi ini

yang
resisten
terhadap
LAM
PegIFN : pegylated intereron, sc : subkutan, po : peroral, tiw : three times a week, qw : once a
week, biw : twice a week, od : once daily, ALT : alanine transaminase, LAM : lamivudine, ADV :
adefovir, ETV : entenavir, TBF : telbivudine, TDF : tenofovir, N/A : not applicable

Pasien dengan terapi analog nukleosida yang mengalami penurunan fungsi ginjal perlu
dilakukan penyesuaian dosis berdasarkan nilai clearance creatinin, yaitu :

(Lok, 2009)
Terapi pada pasien hepatitis B dengan HBeAg positif menunjukkan bahwa terapi dengan
menggunakan PegIFN 180g/minggu selama 48 minggu dapat menurunkan level HBV DNA
sebanyak 25% dibandingkan dengan kontrol. Jika digunakan terapi entenavir 0,5mg/hari selama
48 minggu dapat menurunkan level HBV DNA sebanyak 67% dibandingkan dengan kontrol.

Sedangkan terapi dengan menggunakan tenofovir 300mg/hari selama 48 minggu dapat


menurunkan level HBV DNA sebanyak 76% dibandingkan dengan kontrol (Lihat tabel 8).
Terapi pada pasien hepatitis B dengan HBeAg negatif menunjukkan bahwa terapi dengan
menggunakan PegIFN- 180g/minggu selama 48 minggu dapat menurunkan level HBV DNA
sebanyak 63% dibandingkan dengan kontrol. Jika terapi yang digunakan adalah entenavir dengan
dosis 0,5mg/hari selama 48 minggu dapat menurunkan level HBV DNA sebanyak 90%
dibandingkan degan kontrol. Sedangkan jika menggunakan tenofovir 300mg/hari selama 48
minggu dapat menurunkan level HBV DNA sebanyak 93% dibandingkan dengan kontrol (lihat
tabel 9).
Alternatif terapi :
a Emtricitabine (Emtriva, FTC), merupakan inhibitor replikasi HIV dan HBV yang poten.
Namun monoterapi emtricitabine ini tidak direkomendasikan, karena resiko resistensi
b

sangat tinggi. Dosis yang digunakan adalah 300mg/hari.


Clevudine (LFMAU, 2_-fluoro-5-methyl-beta-Larabinofuranosyl

uracil),

analog

nukleosida pirimidin yang terbukti mampu menekan replikasi HBV. Dosis yang
c

digunakan adalah 30mg/hari.


Thymosin-1, dapat menstimulasi fungsi sel T, namun masih sedikit studi yang
menunjukkan efikasi penggunan thymosin-1 pada pasien dengan hepatitis b kronik.

Penanganan terapi pada pasien yang mengalami resistensi pada beberapa terapi, yaitu :

(Lok, 2009).
Terapi kombinasi

Keuntungan dengan penggunaan terapi kombinasi antara lain efek antiviral yang
sinergis dan menurunkan resiko resistensi. Sedangkan kerugiannya antara lain, menambah
biaya, ada resiko interaksi obat, dan meningkatkan toksisitas.
Berdasarkan tabel 5, maka terapi kombinasi kurang direkomendasikan, karena
aktifitas antiviral yang dimiliki tidak berbeda signifikan dengan monoterapi masing-masing
obat. Namun pada kombinasi antara lamivudine dan adevofir dapat menurunkan resiko
resistensi terhadap lamivudine dibandingkan dengan monoterapi lamivudine. Begitu pula
dengan kombinasi antara lamivudine dan PegIFN- dapat menurunkan resiko resistensi
terhadap lamivudine dibandingkan dengan monoterapi lamivudine (lihat tabel 5).

Terapi pada populasi khusus


Terapi pada pasien dengan HCC
Terapi pada pasien dengan HCC yaitu dengan menggunakan IFN standar. Namun
pada beberapa studi yang penggunaan IFN pada terapi ini menunjukkan hasil yang tidak
berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kontrol, maka penggunaan IFN pada
kondisi ini perlu di evaluasi kembali. Terapi lalin yang bisa digunakan adalah lamivudine
dan entenavir.
Terapi pada anak-anak
Terapi lamivudine mulai dapat digunakan untuk anak-anak diatas 3 tahun dengan
dosis 3mg/kg/hari dengan dosis maksimal 100mg/hari. IFN pada usia 1 tahun dengan
dosis 6MU tiga kali seminggu, dengan maksimal dosis 10MU. Sedangkan terapi dengan
adefovir dapat digunakan anak-anak pada usia 12 tahun atau lebih, dan entenavir pada
usia 16 tahun atau lebih. Untuk PegIFN- dan telbifudine belum dapat dipastikan
efektifitas dan keamanannya bila digunakan pada anak-anak.
Terapi pada wanita hamil.
Terapi dengan PegIFN maupun IFN kontraindikasi pada wanita hamil karena
memiliki sifat antiproliferatif yang dapat menyebabkan teratogenik. telbivudine dan
tenofovir termasuk dalam kategori B. Sedangkan adefovir, lamivudine, dan entecavir
termasuk obat dalam kategori C pada wanita hamil yang berarti obat tersebut tidak
direkomendasikan pada wanita hamil.
Terapi pada HBV/HCV coinfection

Berdasarkan studi kombinasi terapi anatar PegIFN- dan ribavirin memiliki


efektifitas yang sama ketika digunakan pada terapi infeksi HCV dan HBV/HCV
coinfection.
Terapi pada HBV/HDV coinfection
Tujuan terapinya dalah menekan replikasi virus HDV, terapi yang digunakan
adalah IFN- atau PegIFN-
Terapi pada HBV/HIV coinfection
First-line terapi pada kondisi ini adalah kombinasi anatara tenofovir dan
lamivudine atau kombinasi tenofovir dan emtricitabine.
2

Terapi non farmakologis


a Pasien
disarankan untuk kontrol ke dokter dan berkonsultasi jika hendak
b

menggunakan obatobatan lain, seperti obat herbal ataupun obatobat non resep.
Menghindari konsumsi alkohol dan tidak merokok karena dapat meningkatkan

resiko perkembangan penyakit hepar


Tirah baring, sebagian besar penderita hepatitis B tidak perlu rawat inap di rumah
sakit kecuali pada kasus hepatitis yang sudah parah, dengan istirahat yang cukup

akan menjamin tubuh untuk memperbaiki selsel yang rusak


Menjaga keseimbangan nutrisi termasuk jika perlu pergantian cairan, seperti infus
yang hilang karena muntah atau diare.

Pencegahan hepatitis B
a

Vaksinasi
Vaksinasi pencegahan hepatitis b ini sebaiknya diberikan sedini mungkin. Vaksinasi
Pencegahan Hepatitis B bisa langsung diberikan pada kelompok masyarakat yang memiliki
resiko tinggi untuk tertular virus hepatitis B (VHB). Bagi mereka yang memiliki resiko tinggi
tertular hepatitis B harus degera diberikan vaksin hepatitis B. sedangkan pada bayi yang baru
lahir dengan ibu positif hepatitis B harus segera diberikan hepatitis B immune globulin

(HBIG).
Tidak menggunakan barang secara bersama
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara tidak menggunakan barang secara
bersama, khususnya alat-alat kebersihan yang dapat menyebabkan luka, antara lain seperti
pisau cukur, gunting kuku, sikat gigi, dan lain sebagainya. Ataupun penggunaan jarum suntik

bersamaan atau tidak steril juga perlu dihindari.


Melakukan hubungan seks yang sehat dan aman

Melakukan hubungan seks dengan

banyak pasangan dan berganti-ganti dapat

meningkatkan resiko tertular hepatitis B. Jika salah satu pasangan terinfeski hepatitis B maka
sang pria wajib menggunakan kondom saat berhubungan intim untuk menghindari resiko
d

penularan hepatitis b.
Hindari kontak dengan darah
Kontak dengan darah perlu dihindari atau diwaspadai karena salah satu media yangdapat
menularkan virus ini adalah darah.
Meningkatkan pemantauan dan

perawatan

yang

tepat

bagi

ibu

hamil

dengan

hepatitis B kronis
Pre-natal immunoprophylaxis penting sekali dilakukan sebagai cara pencegahan hepatitis
B dari ibu ke bayi yang baru dilahirkan. Jika bayi dilahirkan oleh seorang ibu yang diketahui
menderita heptitis b, bayi harus menerima HBIG waktu lahir atau dalam 12 jam kelahiran.

(Lo
k, 2009)

F. Contoh Kasus dan Penyelesaian


A. Kasus I
Identitas Pasien
1. Nama: Deni
2. Usia: 50 tahun
3. Pasien menolak untuk rawat inap dan diketahui bahwa pasien juga merupakan
perokok aktif

Hasil Tes Laboratorium


1.
2.
3.
4.

HBsAg (+)
HBeAg (-)
Serum ALT 75 int.unit/L (Harga Normal 40 int.unit/L)
Mengalami hepatitis kronik dengan bridging fibrosis pada biopsy

Terapi yang diberikan:


PegInterferon alfa, diberikan secara subcutan dengan dosis 5 MU dalam satu hari, selama 15
minggu. Setelah diberikan selama 2 minggu pasien mengalami demam, diare, dan sakit
kepala yang tidak tertahankan.
Penyelesaian:
PegInterferon alfa sebenarnya dapat pula digunakan untuk menangani pasien dengan
kasus ini, namun harus diberikan pengawasan (mengingat dalam kasus ini pasien mengalami
bridging fibrosis.) Penggunaan PegInterferon alfa selama 15 minggu kurang tepat. Sebaiknya
terapi ini dilakukan setidaknya 48 minggu (menurut National Institute for Health and Care
Treatment Guideline) untuk menghindari resiko sirosis.
Penggunaan terapi kombinasi entecavir dan tenofovir dapat pula diberikan

sebagai

second line terapi. Terapi nonfarmakologis dapat dilakukan dengan menghindari merokok
dan menjaga keseimbangan elektrolit saat mengalami diare.
B. Kasus II
Identitas Pasien:
1. Nama: Dodi
2. Umur: 22 tahun
Hasil laboratorium:
1.
2.
3.
4.

HBsAg (+)
HBeAg (+)
Anti-HBe (-)
HBV DNA 71,5 juta copy/ml (nilai normal 14 juta copy/ml)

5. ALT 20-30 int.unit/L (upper limit of normal 40 int.unit/L) Hasil biopsi hati normal
Terapi yang digunakan:
INF alfa 3x seminggu, lama terapi: 48 minggu dosis 10 MU
Penyelesaian:
Dalam kasus ini perlu adanya pertimbagan khusus apakah pasien akan mendapatkan
terapi antivirus ataupun tidak. Walaupun level HBV DNA tinggi, namun pasien masih
dikategorikan dalam usia muda, selain itu tidak ditemukan adanya inflamasi pada hasil
biopsy. Serum ALT-pun masih dalam range normal.
Meskipun sebenarnya terapi antivirus dapat menurunkan serum HBV DNA pada pasien,
namun tidak terdapat evidence yang menyatakan bahwa mengobati pasien dapat
meningkatkan outcome, dan pasien harus melaksanakan terapi ini selama beberapa tahun
hingga 1 dekade untuk mendapatkan efek terapi. Tidak dipungkiri juga akan memicu adanya
resistensi obat. Dimungkinkan pula pasien akan mengalami perubahan HBeAg dalam
beberapa tahun kedepan. Oleh karena itu disarankan agar pasien melakukan pengecekan
serum ALT setiap 3-6bulan. Jika dalam kurun waktu tersebut nilai ALT menjadi 2x lipat dari
nilai normal, maka monitoring dan terapi pemberian INF bisa dilakukan.

Lampiran

(Tang, 2014)

(Lok, 2009)

(Lok, 2009)

Daftar Pustaka
Dipiro, Joseph T, 2008, Pharmacotherapy A Phathophysiologic Approach, Seven Edition,
USA, The McGraw-Hill Companies, Inc., pp. 678-680.
Dipiro, Joseph T, 2008, Pharmacotherapy A Phathophysiologic Approach, Seven Edition,
USA, The McGraw-Hill Companies, Inc., pp. 678-680.
http://penyakithepatitisb.com/pengobatan-hepatitis-b-kronik/

diakses

tanggal

15

Februari 2015
http://penyakithepatitisb.com/pengobatan-hepatitis-b-kronik/, diakses tanggal 14 Februari
2015
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf,
diakses tanggal 14 Februari 2015
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf ,
diakses tanggal 14 Februari 2015
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3047495/table/T1/, diakses tanggal 14
Februari 2015
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3047495/table/T1/, diakses tanggal 18
Februari 2015
http://www.uptodate.com/contents/overview-of-the-management-of-hepatitis-b-and-caseexamples, Wolter Cluwer Update, diakses 13 Februari 2015
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/ , diakses tanggal 11 Februari 2015
Liaw, Y.F., et.al., 2012, Guideline ; Asian-Pacific Consensus Statement on the
Management of Chronic Hepatitis B: a 2012 Update, 6, Asian Pacific
Association for the Study of the Liver, Jepang, pp. 531 -561.
Lindseth, Glenda N. Gangguan Gangguan Hati, Empedu, Dan Pankreas. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Vol.1. Jakarta: EGC. hal.
485-493

Lok, A.S.F., McMahon, B.J., 2009, Chronic Hepatitis B: Update 2009, AASLD Practice
Guidelines, USA, pp. 1-38.
Rubins, 2012, Pathology : Clinicopathology Foundations of Medicine, Sixth Edition,
Philadelpia, Lippincott Williams & Wilkins, pp. 698-701.
Sanityoso A, dkk., 2009, Hepatitis Virus Akut, Hepatitis B Kronik. Ed. V. Jilid.1. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. h. 427-39
Sherman, M., et.al., 2007, Management of Chronic Hepatitis B : Consensus Guideline,
Asian Pacific Association for the Study of the Liver, 21, Can J
Gastroenterol, Canada, pp. 5-24.
Soemoharjo Sowignyo, 2007, Hepatitis Virus B, Edisi 2, Jakarta ,Penerbit Buku
Kedokteran EGC, hal 35-37.
Tang, C.M., Yau, T.O., and Yu, J., 2014, Management of Chronic Hepatitis B Infection:
Current Treatment Guidelines, Challenges, and New Developments,
20(20), World Journal of Gastroenterology, 6262-6290.
www.aasld.org/sites/default/files/guideline_documents/ChronicHepatitisB2009.pdf
diakses tanggal 12 Februari 2015

Anda mungkin juga menyukai