Anda di halaman 1dari 11

MENINGKATKAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL SISWA AUTIS

MELALUI PERMAINAN GOBAK SODOR DALAM BIMBINGAN


KELOMPOK
Fifi Khoirul Fitriyah1

ABSTRACT
The purpose of this study is to know whether there is a significant increase
the social interaction ability score of autism students after the use of Gobak Sodor
game in group guidance. This research uses a one-group pretest-posttest design. The
subject of this research is two autistic students in inclusive school of SMP Galuh
Handayani Surabaya selected with a purposive sample technique. The reason the
researchers chose subjects of this study is that two students had lower social
interaction ability. In addition, they do not have a personality disorder characterized
by the following characteristics: excessive dependence, and excessive fear, deep
sadness, exploitative behavior, uncontrolled anger, and if their problems are
handled they will not be satisfied. Data collection technique of this research uses
observation and data analysis uses the sign test. Result of data analysis showed that
> or 1 > 0.05 so that Ho is refused and Ha is reseived, it can be concluded that
the research hypothesis is accepted or there is a significant increase in score of
social interaction skills of autism students after the use Gobak Sodor game in
group guidance.
Key word : Social interaction, autism students, Gobak Sodor game, and group
guidance.

I. PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah
banyaknya jumlah peserta didik berkebutuhan khusus, salah satunya adalah peserta
didik autis. DSM-IV (Peeters terjemahan Simbolon, 2009) mendefinisikan autis
merupakan gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya gangguan dalam
melakukan komunikasi dan interaksi sosial, serta memiliki minat aktivitas yang
terbatas.
Gatra dalam Pamuji (2006) melaporkan bahwa setiap 150 kelahiran terdapat
1 anak autisme. Data WHO dalam Wagino (2006) melaporkan perbandingan anak
autis dengan anak normal diseluruh dunia termasuk di Indonesia mencapai 1:100.
Permasalahan banyaknya jumlah autis di Indonesia menuntut pemerintah untuk
melakukan upaya sistematis melalui peningkatan kualitas dan kuantitas layanan
pendidikan. Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
pendidikan bagi peserta didik autis dan peserta didik berkebutuhan khusus lainnya
adalah melalui pendidikan inklusif.
Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah diperlukan peranan
dan kerjasama bidang bimbingan dan konseling. Kartadinata (2008) menjelaskan
peranan guru pembimbing atau konselor adalah membantu kesulitan peserta didik
berkebutuhan khusus dengan memberikan layanan bimbingan dan konseling. Guru
pembimbing dan konselor dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling
dianjurkan untuk berkolaborasi dengan pihak lain yang memiliki keahlian menangani
permasalahan siswa berkebutuhan khusus, misalnya; guru lulusan PLB, ahli
kesehatan, dan psikolog. Sehingga dapat disimpulkan bahwa guru pembimbing atau
1

Alumni Prodi BK FIP Unesa

konselor memiliki peranan penting dalam membantu peserta didik berkebutuhan


khusus melalui layanan bimbingan dan konseling.
Permendiknas RI Nomor 70 Tahun 2009 Pasal 10 tentang Pendidikan Inklusif
(2009) menyatakan bahwa: (1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan
paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang
ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. (2) Satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh pemerintah
kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing
khusus. Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2007) menegaskan bahwa
pembimbing yang dimaksud dalam sekolah inklusif adalah guru lulusan PLB, guru
BK, Psikolog, atau guru bidang studi yang telah mengikuti pelatihan pendidikan bagi
peserta didik berkebutuhan khusus.
Salah satu jenis peserta didik berkebutuhan khusus yang disebutkan dalam
Permendiknas RI Nomor 70 Tahun 2009 Pasal 3 tentang Pendidikan Inklusif (2009)
adalah peserta didik yang autis. Peserta didik autis merupakan salah satu peserta
didik berkebutuhan khusus yang berhak mengikti pendidikan secara inklusif pada
satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Dari 3 indikasi permasalahan autis yang disebutkan dalam DSM-IV (Peeters
terjemahan Simbolon, 2009) yaitu gangguan dalam komunikasi dan interaksi sosial,
serta memiliki minat aktivitas yang terbatas, interaksi sosial merupakan
permasalahan yang penting yang harus segera diselesaikan. Hal ini disebabkan
karena kemampuan interaksi sosial merupakan salah satu kemampuan yang harus
dimiliki setiap individu agar dapat membina hubungan baik dengan individu lain dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal sehingga individu tersebut
merasa nyaman berada di lingkungannya (Peeters terjemahan Simbolon, 2009).
Ketika individu merasa nyaman dengan lingkungannya, maka individu tersebut akan
mudah terbantu untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan meningkatkan
minat aktivitasnya yang terbatas.
Setiap manusia dalam kehidupan sosialnya penting untuk melakukan
interaksi sosial. Kemampuan melakukan interaksi sosial tersebut dapat terjadi akibat
adanya dukungan dari lingkungan. Asumsi teori perilaku yang dikemukakan oleh
Cormier dan Cormier (Darminto, 2007) menjelaskan bahwa berbagai bentuk
gangguan psikologis atau gangguan perilaku merupakan hasil belajar. Perilaku
menyimpang (tidak adaptif) seperti yang dialami siswa autis terbentuk, berkembang,
dipertahankan, dan diubah melalui cara-cara yang sama seperti halnya perilaku
normal (adaptif). Perilaku adaptif dan tidak adaptif terbentuk dan dipertahankan oleh
situasi-situasi eksternal, atau proses-proses internal seperti kognisi, mediasi, dan
pemecahan masalah. Karena perilaku siswa autis merupakan hasil belajar, maka
perilaku tersebut dapat diubah sesuai dengan perilaku yang diinginkan yaitu siswa
autis menjalin interaksi sosial dengan orang lain melalui proses belajar yang pada
akhirnya kemampuan interaksi sosial siswa autis meningkat.
Berbagai intervensi diberikan untuk menangani permasalahan siswa autis.
Wagino, dkk (2006) menyatakan intervensi yang selama ini dilakukan untuk
mengurangi ketidakmampuan penyandang autis mulai dari pengobatan, terapi, diet,
hingga pelayanan pendidikan dini bagi penyandang autis kurang membuahkan hasil
maksimal dalam membantu penyandang autis mengatasi permasalahannya
khususnya dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial.
Pada masa perkembangan remaja, setiap peserta didik memerlukan
bimbingan, informasi, dan pelayanan yang memfasilitasi kompetensi kemandirian
atau kematangan fisik dan mentalnya secara seimbang melalui pengembangan bakat,
minat, dan karakter yang diharapkan. Pelayanan Bimbingan dan Konseling diarahkan
pada tercapainya tugas perkembangan peserta didik secara optimal (Direktorat
Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, 2008).
Terdapat berbagai jenis layanan bimbingan konseling yang dapat diterapkan
untuk membantu siswa autis dalam mencapai tugas perkembangan secara optimal
2

khususnya dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial. Layanan-layanan


tersebut bersifat individual maupun kelompok. Dalam mengatasi masalah penelitian
ini, layanan bimbingan dan konseling yang digunakan adalah layanan bimbingan
kelompok. Alasan peneliti menggunakan layanan bimbingan kelompok disebabkan
karena siswa autis membutuhkan suasana kelompok yang di dalamnya terdapat
dinamika kelompok sehingga membantu dalam meningkatkan kemampuan interaksi
sosialnya. Hal ini sesuai dengan temuan McConnell (2002) yang menyatakan bahwa
siswa autis membutuhkan partner untuk membantunya dalam meningkatkan
kemampuan interaksi sosial, sehingga suasana kelompok dibutuhkan siswa autis agar
kemampuan interaksi sosialnya meningkat. Rendahnya kesadaran siswa autis tentang
permasalahan yang dialaminya sendiri dan rendahnya pemahaman mereka tentang
permasalahan siswa lain, menyebabkan layanan konseling kelompok kurang tepat
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan penelitian ini.
Dalam pelaksanaannya, bimbingan kelompok memiliki beberapa teknik yang
dapat digunakan. Salah satu teknik bimbingan kelompok adalah teknik bermain.
Tujuan teknik ini adalah menjadikan individu mampu mengatasi konflik-konflik
dirinya melalui proses bermain yang di dalamnya memiliki unsur terapeutik sehingga
membantu dalam proses perubahan perilaku (Nursalim dan Suradi, 2002; Cramer,
dkk dalam Delphie, 2005).
Permainan yang dipilih dalam bimbingan kelompok adalah permainan
Gobak Sodor. Permainan Gobak Sodor dipilih karena di dalamnya terdapat
aspek-aspek pembelajaran yang berorientasi pada perubahan perilaku. Aspek-aspek
tersebut yaitu: (1) Dilakukan secara berkelompok berjumlah 6 orang atau lebih,
sehingga memungkinkan menjadi sarana terbentuknya dinamika sosial, (2) Menuntut
terjalinnya komunikasi dan kerjasama yang mendukung terjadinya interaksi sosial,
dan (3) Adanya reward yang bertujuan untuk merubah dan mempertahankan perilaku
yang diinginkan (Husna, 2009).
Secara teoritis, permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok sesuai
untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis. Namun, penggunaan
permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok ini masih perlu untuk diuji
keefektifannya secara empiris dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial
siswa autis. Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah: apakah ada peningkatan
yang signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah
penggunaan permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok? Tujuan
penelitian ini secara operasional adalah untuk mengetahui adanya peningkatan yang
signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah penggunaan
permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok.
II. KAJIAN TEORI
Autis merupakan gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya
gangguan dalam melakukan komunikasi dan interaksi sosial, serta memiliki minat
aktivitas yang terbatas (DSM-IV dalam Peeters terjemahan Simbolon, 2009).
Lumbantobing (Pamuji, 2007) menyatakan bahwa anak autis adalah kondisi anak
yang mengalami perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang; sosial dan afek,
komunikasi verbal dan non verbal, imajinasi, fleksibelitas, minat, kognisi dan atensi.
Sedangkan Nakita (Pamuji, 2007) menyatakan autis adalah gangguan yang berat
terutama ditandai dengan gangguan pada area perkembangan sebagai berikut;
keterampilan interaksi sosial yang resiprokal, keterampilan komunikasi dan adanya
tingkah laku yang stereotipe minat dan aktivitas terbatas.
Sebagian besar permasalahan autis adalah berhubungan dengan kehidupan
sosial interpersonalnya. Fokus penelitian ini adalah mengatasi gangguan autis yang
berhubungan dengan interaksi sosial. Hal ini disebabkan karena kemampuan
interaksi sosial merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki setiap individu
agar dapat membina hubungan baik dengan individu lain dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan tempat tinggal sehingga individu tersebut merasa nyaman berada
3

di lingkungannya. Ketika individu merasa nyaman dengan lingkungannya, maka


akan mudah untuk membantunya dalam meningkatkan kemampuan komunikasi dan
meningkatkan minat aktivitasnya yang terbatas (Peeters terjemahan Simbolon, 2009).
Terdapat berbagai pendapat yang menyatakan tentang penyebab-penyebab
autis. Peeters terjemahan Simbolon (2009) menyatakan autisme adalah gangguan
perkembangan yang kompleks, yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak,
sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku,
kemampuan sosialisasi, sensori dan belajar. Autisme merupakan suatu gangguan
perkembangan, gangguan pemahaman atau gangguan pervasif, dan bukan suatu
bentuk penyakit mental. Sedangkan Lovaas (Pamuji, 2007) menyatakan bahwa autis
terjadi akibat dari kesalahan proses belajar, sehingga dalam memberikan intervensi
menggunakan modifikasi perilaku.
Setiap manusia dalam kehidupan sosialnya penting untuk melakukan
interaksi sosial. Kemampuan melakukan interaksi sosial tersebut dapat terjadi akibat
adanya dukungan dari lingkungan. Asumsi teori perilaku yang dikemukakan oleh
Cormier dan Cormier (Darminto, 2007) menjelaskan bahwa berbagai bentuk
gangguan perilaku merupakan hasil belajar. Perilaku menyimpang (tidak adaptif)
seperti yang dialami siswa autis terbentuk, berkembang, dipertahankan, dan diubah
melalui cara-cara yang sama seperti halnya perilaku normal (adaptif). Perilaku
adaptif dan tidak adaptif terbentuk dan dipertahankan oleh situasi-situasi eksternal,
atau proses-proses internal seperti kognisi, mediasi, dan pemecahan masalah.
Skinner (Alwisol, 2008) menyatakan tiga asumsi dasar teori perilaku yaitu;
perilaku itu mengikuti hukum tertentu, perilaku dapat diramalkan, dan perilaku dapat
dikontrol. Perilaku manusia dapat dipahami dan dikontrol menggunakan teknik
analisis fungsional perilaku. Analisis fungsional perilaku adalah suatu analisis
perilaku dalam bentuk hubungan sebab akibat, bagaimana suatu respon timbul
menyingkap bahwa penyebab terjadinya perilaku sebagian besar berada di event
antecedennya atau berada di lingkungan. Apabila penyebab, atau stimulus yang
menjadi peristiwa mendahului suatu respon dapat dikontrol, itu berarti telah
dilakukan tindak kontrol dari suatu respon.
Darminto (2007) menyatakan anteceden dan konsekuensi adalah bagian
penting dari teori perilaku. Anteceden adalah peristiwa-peristiwa yang mendahului
perilaku, sedangkan konsekuensi adalah peristiwa-peristiwa yang mengikuti perilaku
yang dipelajari. Asumsi teori perilaku yang dikemukakan Cormier dan Cormier
(Darminto, 2007) menjelaskan bahwa perilaku terjadi dalam konteks sosial dan
berhubungan secara fungsional dengan anteceden dan konsekuensi internal maupun
eksternal.
Teori perilaku memiliki klasifiksi tipe perilaku (Alwisol, 2008) yaitu perilaku
responden dan perilaku operan. Perilaku responden adalah perilaku yang dihasilkan
organisme untuk menjawab stimulus yang secara spesifik berhubungan dengan
respon itu. Sedangkan perilaku operan adalah respon yang dimunculkan organisme
tanpa adanya stimulus spesifik yang langsung memaksa terjadinya respon itu.
Terjadinya pengikatan stimulus baru dengan adanya respon baru. Organisme
dihadapkan kepada pilihan-pilihan respon mana yang akan dipakainya untuk
menanggapi suatu stimulus. Keputusan respon mana yang dipilih tergantung pada
efeknya terhadap lingkungan yang tertuju kepadanya atau konsekuensi yang
mengikuti respon itu.
Berdasarkan teori perilaku dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial dapat
terjadi ketika stimulus yang menjadi peristiwa mendahului suatu respon tersebut
dikontrol, sehingga didapatkan suatu respon yang diinginkan. Respon yang
diinginkan dalam penelitian ini adalah siswa-siswa autis melakukan interaksi sosial
yang pada akhirnya mampu meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya.
Prinsip-prinsip pengendalian perilaku interaksi sosial siswa autis dapat
diterapkan melalui layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dalam mengatasi
masalah penelitian ini, layanan bimbingan dan konseling yang digunakan adalah
4

layanan bimbingan kelompok. Alasan peneliti menggunakan layanan bimbingan


kelompok dalam penelitian ini adalah disebabkan karena siswa autis membutuhkan
suasana kelompok yang di dalamnya terdapat dinamika kelompok sehingga
membantu dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis.
Winkel dan Hastuti (2005) mandefinisikan bimbingan kelompok adalah
pelayanan bimbingan yang diberikan kepada lebih dari satu orang pada waktu yang
bersamaan. Sedangkan Prayitno (1994) menyatakan tujuan umum layanan
bimbingan kelompok adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa,
khususnya kemampuan komunikasi peserta layanan. Dalam pelaksanaannya,
bimbingan kelompok memiliki beberapa teknik. Salah satu teknik bimbingan
kelompok adalah teknik bermain. Tujuan teknik ini adalah menjadikan individu
mampu mengatasi konflik-konflik dirinya melalui proses bermain yang di dalamnya
memiliki unsur terapeutik sehingga membantu dalam proses perubahan perilaku
(Nursalim dan Suradi, 2002; Cramer, dkk dalam Delphie, 2005).
Permainan yang dipilih dalam dalam bimbingan kelompok adalah permainan
Gobak Sodor. Permainan Gobak Sodor dipilih karena di dalamnya terdapat
aspek-aspek pembelajaran yang berorientasi pada perubahan perilaku. Aspek-aspek
tersebut yaitu: (1) Dilakukan secara berkelompok, sehingga memungkinkan menjadi
sarana terbentuknya dinamika sosial, (2) Menuntut terjalinnya komunikasi dan
kerjasama yang mendukung terjadinya interaksi sosial, dan (3) Adanya reward yang
bertujuan untuk merubah dan mempertahankan perilaku yang diinginkan (Husna,
2009).
Agar lebih jelas dalam memahami kerangka berpikir penelitian ini, maka
dapat dilihat secara ringkas pada gambar 2.1 di bawah ini.
Bagan Alur Kerangka Berfikir
Konseling individu
?
Kemampuan Interaksi
Sosial Siswa Autis
Rendah
Indikator :
1. Komunikasi Verbal
2. Komunikasi Non
Verbal

Menggunakan Pendekatan Perilaku dan


memanfaatkan situasi kelompok

Permainan Gobak Sodor Dalam


Bimbingan Kelompok

Meningkatnya Kemampuan Interaksi


Sosial Siswa Autis

Terciptanya Kehidupan Sosial


Interpersonal yang Dinamis

Hipotesis penelitian adalah :


Ada peningkatan yang signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis
sesudah penggunaan permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok.
III.METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang paling sesuai dengan penelitian ini adalah preeksperiment dengan menggunakan one-group pretest-posttest design. Langkahlangkah dalam rancangan penelitian ini terdiri dari: (1) Pengukuran awal atau pretest
dengan menggunakan pedoman observasi yang disusun oleh peneliti. (2)
Memberikan perlakuan yaitu bimbingan kelompok menggunakan teknik permainan
5

Gobak Sodor selama 8 kali pertemuan. (3) Pengukuran akhir atau posttest dengan
pedoman observasi yang sama.
B. Subyek Penelitian
Di SMP Inklusif Galuh Handayani Surabaya terdapat 5 siswa autis. Namun,
hanya 2 siswa autis yang menjadi subyek dalam penelitian ini. Dalam pelaksanaan
permainan Gobak Sodor dibantu oelh 4 siswa normal yang berdasarkan
pertimbangan psikolog Sekolah Inklusif Galuh Handayani mampu untuk membantu
pelaksanaan permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok. Pengambilan
subyek penelitian dilakukan dengan purposive sample. Subyek penelitian yang
dipilih dalam penelitian ini adalah siswa autis yang memiliki kemampuan interaksi
sosial rendah. Selain itu, siswa-siswa autis tersebut tidak mengalami gangguan
kepribadian yang ditandai dengan ciri-ciri yang disebutkan Martaniah (1999) sebagai
berikut; ketergantungan yang berlebihan, ketakutan yang berlebihan dan intimitas,
kesedihan yang mendalam, tingkah laku yang eksploitatif, kemarahan yang tidak
dapat dikontrol, dan jika masalah mereka ditangani maka kehidupan mereka akan
dipenuhi ketidakpuasan.
C. Teknik dan Instrumen Pengumpul Data
Teknik pengumpul data pada penenlitian ini menggunakan observasi. Hadi
(Sugiyono, 2008) mengemukakan bahwa observasi adalah suatu proses yang
kompleks atau suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan
psikologis yang menekankan pada proses pengamatan dan ingatan.
Jenis observasi yang digunakan adalah observasi sistematis, yakni
pelaksanaan pengumpulan datanya menggunakan pedoman observasi. Pedoman
observasi berisi sebuah daftar jenis kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati.
Dalam proses observasi, pengamat tinggal memberikan tally pada kolom tempat
peristiwa muncul. Itulah sebabnya cara bekerja seperti ini disebut sistem tanda (sign
system). Dalam penelitian ini menggunakan observasi sistematis.
D. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analisis
statistik. Data statistik yang digunakan adalah statistik nonparametrik. Analisis data
statistik nonparametrik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji tanda atau
sign test. Pada hakikatnya, pengujian ini hanya memperhatikan arah perbedaan dan
bukan besarnya perbedaan itu.
Ada dua jenis prosedur pengujian Uji Tanda, yaitu Prosedur Uji Tanda
dengan sampel kecil dan Prosedur Uji Tanda dengan sampel besar. Sampel dalam
penelitian ini menggunakan sampel kecil, sehingga prosedur pengujian yang
digunakan adalah Uji Tanda dengan sampel kecil.
IV.PENYAJIAN DATA DAN PEMBAHASAN
A. Penyajian Data
1. Data Hasil Pengukuran Awal (pretest)
Tidak mudah mendapatkan data tentang perilaku siswa-siswa autis. Hal
ini disebabkan karena siswa-siswa tersebut tidak mengenal peneliti sehingga
merasa risih dengan kehadiran peneliti. Selain itu siswa-siswa autis merupakan
siswa berkebutuhan khusus yang mengalami permasalahan dalam melakukan
interaksi sosial, komunikasi, dan memiliki minat aktivitas yang terbatas, sehingga
menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian sosial
dengan adanya orang baru dikehidupannya. Permasalahan ini menyebabkan
peneliti harus melakukan pendekatan atau pengembangan rapport terlebih dahulu
sebelum melakukan penelitian kepada siswa-siswa autis SMP Inklusif Galuh
Handayani Surabaya dengan cara mengikuti kegiatan belajar mereka di sekolah
mulai jam masuk sekolah (08.00 WIB) sampai dengan jam pulang sekolah (12.00
6

WIB) selama satu minggu yaitu pada tanggal 3 sampai dengan 7 Mei 2010.
Pengembangan rapport dilakukan dengan tujuan agar terbentuk hubungan yang
kondusif dalam proses bimbingan yang akan dilakukan.
Berdasarkan hasil observasi yang diperoleh dari 5 responden, diketahui
terdapat dua siswa autis yang memiliki kemampuan interaksi sosial paling rendah
dan tidak sedang mengalami gangguan kepribadian. Adapun data pengukuran
awal (pretest) yang dihimpun melalui observasi diketahui skor kemampuan
interaksi sosial siswa autis sebagai berikut:

No.
1
2
3
4
5

Tabel 4.1
Skor Hasil Pengukuran Awal (Pretest)
Nama
Skor
GHW
27
WDC
24
AK
87
RNK
56
YNA
52

2. Perlakuan
Pada tahap ini, peneliti memberikan perlakuan berupa penggunaan
permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok sesuai dengan tujuan
penelitian yaitu untuk menguji efek permainan Gobak Sodor dalam bimbingan
kelompok dalam membantu siswa autis meningkatkan kemampuan interaksi
sosial. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 8 kali pertemuan kepada anggota
kelompok bimbingan kelompok yang terdiri dari 2 siswa autis yang merupakan
subyek penelitian dan 4 siswa normal yang membantu pelaksanaan kegiatan
bimbingan kelompok agar berjalan efektif. Alasan memilih 4 siswa normal
tersebut didasarkan pada wawancara dan pertimbangan dengan psikolog Sekolah
Inklusif Galuh Handayani yang menyatakan bahwa keempat siswa normat
tersebut mampu membantu pelaksanaan permainan Gobak Sodor dalam
bimbingan kelompok.
Konselor dalam membentuk kelompok bimbingan kelompok
mempertimbangkan jumlah anggota kelompok dan adanya homogenitas dan
heterogenitas kemampuan anggota kelompok, hal ini dimaksudkan agar kegiatan
bimbingan kelompok dapat berjalan efektif. Prayitno (2004) menyatakan bahwa
kelompok yang jumlahnya 2-3 orang akan mengurangi efektifitas bimbingan
kelompok, namun jika lebih dari 10 orang maka keefektifan kelompok akan
berkurang. Taufiq (2007) menjelaskan bahwa dalam pembentukan kelompok
kegiatan bimbingan kelompok penting memperhatikan homogenitas dan
heterogenitas kemampuan anggota kelompok dengan perbandingan 2 : 1 antara
anggota kelompok yang memiliki kemampuan lebih dan anggota kelompok yang
memiliki kemampuan kurang.
Dalam SMP Inklusif Galuh Handayani terdapat 5 siswa autis, namun
tidak semuanya dijadikan sebagai subyek penelitian. Subyek penelitian ini
berjumlah 2 siswa autis, dan 3 siswa autis lainnya tidak dijadikan subyek
penelitian karena mengalami gangguan kepribadian. Pembentukan kelompok
bimbingan kelompok efektif jika dilakukan lebih dari 2-3 orang dan kurang dari
10 orang dengan memperhatikan homogenitas dan heterogenitas kemampuan
anggota kelompok menggunakan perbandingan 2 : 1 antara anggota kelompok
yang memiliki kemampuan lebih dan anggota kelompok yang memiliki
kemampuan kurang. Dengan demikian pelaksanaan bimbingan kelompok pada
penelitian ini dijalankan oleh kelompok heterogen berjumlah 6 orang yang
meliputi 2 siswa autis atau subyek penelitian dan 4 siswa normal. Alasan
pemilihan 4 siswa normal untuk mengikuti kegiatan bimbingan kelompok adalah
berdasarkan kemampuan keempat siswa tersebut yang memiliki kemampuan
7

lebih dalam melakukan interaksi sosial yang ditandai dengan perilaku interaksi
sosial yang baik sehingga dalam bimbingan kelompok diharapkan dapat
mendukung terjadinya dinamika kelompok.
Permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok tahap-tahapnya
mengikuti tahap-tahap bimbingan kelompok pada umumnya. Tahap-tahap
bimbingan kelompok secara umum terdiri dari 4 tahap yaitu: tahap pembentukan,
tahap peralihan, tahap kegiatan, dan tahap pengakhiran.
3. Data Hasil Pengukuran Akhir (posttest)
Setelah subyek penelitian melaksanakan seluruh kegiatan bimbingan
kelompok menggunakan permainan Gobak Sodor sebanyak 8 kali, maka
selanjutnya peneliti melakukan pengukuran akhir (posttest) kepada 2 siswa autis
yang menjadi subyek penelitian ini pada tanggal 7 s.d 11 Juni 2010 atau selama
satu minggu. Berdasarkan data pengukuran akhir (posttest) menggunakan
pedoman observasi yang sama dengan pedoman observasi yang digunakan pada
pengukuran awal (pretest) diketahi skor kemampuan interaksi sosial siswa autis
sebagai berikut:
a. GHW memiliki skor 39
b. WDC memiliki skor 40
Pengambilan data akhir (posttest) yang dilakukan selama satu minggu
sudah cukup mewakili kondisi subyek penelitian selanjutnya. Hal ini dibuktikan
dengan triangulasi dengan teori perilaku. Perilaku interaksi sosial siswa autis
terbentuk ketika mengikuti kegiatan bimbinngan kelompok menggunakan
permainan Gobak Sodor. Cormier dan Cormier (Darminto, 2007) menjelaskan
bahwa perilaku terjadi dalam konteks sosial dan berhubungan secara fungsional
dengan anteceden dan konsekuensi internal maupun eksternal. Anteceden atau
stimulus yang dibuat dalam penelitian ini adalah dengan memunculkan reward
dari konselor sehingga memicu munculnya perilaku yaitu melakukan interaksi
sosial sebagai respon.
Perilaku siswa autis mengikuti teori perilaku operan. Alwisol (2008)
menjelaskan perilaku operan adalah respon yang dimunculkan organisme tanpa
adanya stimulus spesifik yang langsung memaksa terjadinya respon itu.
Pengikatan stimulus baru terjadi dengan adanya respon baru. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa perilaku siswa autis yang telah terbentuk sebelumnya akan
tetap dipertahankan dan ditingkatkan, meskipun tidak lagi diterapkan permainan
Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok.
4. Analisis Data
Berdasarkan penyajian data di atas, dapat digambarkan hasil pengukuran
awal (pretest) dan pengukuran akhir (posttest) pada masing-masing subyek
melalui histogram di bawah ini.

Histogram 4.3 Perbedaan Pengukuran Awal (Pretest)


dan Pengukuran Akhir (Posttest)
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Pengukuran
Awal (Pretest)
Pengukuran
Akhir (Posttest)

GHW WDC

Analisis data penelitian ini menggunakan uji tanda atau Sign Test
menggunakan sampel kecil. menunjukkan bahwa > atau 1 > 0.05 sehingga Ha
diterima dan Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan
peneliti diterima atau ada peningkatan yang signifikan pada skor kemampuan
interaksi sosial siswa autis sesudah penggunaan permainan Gobak Sodor dalam
bimbingan kelompok.
B. Pembahasan
Setelah dilakukan pengukuran awal (pretest), diketahui bahwa terdapat dua
siswa autis yang memiliki kemampuan interaksi sosial paling rendah. Selain itu,
siswa-siswa tersebut tidak mengalami gangguan kepribadian yang ditandai dengan
ciri-ciri seperti yang dinyatakan Martaniah (1999) sebagai berikut; ketergantungan
yang berlebihan, ketakutan yang berlebihan dan intimitas, kesedihan yang
mendalam, tingkah laku yang eksploitatif, kemarahan yang tidak dapat dikontrol, dan
jika masalah mereka ditangani maka kehidupan mereka akan dipenuhi
ketidakpuasan. Sehingga dua siswa autis ini dijadikan sebagai subyek penelitian ini.
Dua siswa tersebut adalah GWH yang memperoleh skor 27 dan WDC yang
memperoleh skor 24.
Berdasarkan hasil pengukuran akhir (postest) diketahui bahwa terjadi
peningkatan yang signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial setelah
diterapkan permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok. Kondisi ini
terjadi karena permainan Gobak Sodor dalam kegiatan bimbingan kelompok,
subyek diajak belajar untuk berkomunikasi meskipun dalam hal ini komunikasi yang
digunakan subyek sering kali tidak dimengerti konselor maupun siswa-siswa lainnya
namun yang terpenting adalah subyek mau berkomunikasi. Selain berkomunikasi,
subyek juga belajar bekerjasama dengan siswa lain dalam tim. Meskipun pada awal
kegiatan peneliti mengalami kesulitan dalam memberikan instruksi dan subyek
penelitian susah diarahkan bahkan berlari ke luar arena permainan. Melalui
pendekatan perilaku dengan mengkondisikan situasi antecedennya atau reward dan
pendekatan yang lembut, subyek-subyek penelitian ini dapat diarahkan yang pada
akhirnya mampu meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya.
Analisis data menggunakan uji tanda menunjukkan bahwa > atau
1>
0.05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak. Kesimpulannya adalah ada peningkatan
yang signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah
penggunaan permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok. Penelitian ini
memiliki keterbatasan karena tidak memiliki kelompok kontrol, sehingga tidak dapat
membandingkan skor kemampuan interaksi sosial dengan kelompok lain (kelompok
kontrol) yang tidak diterapkan permainan Gobak Sodor dalam bimbingan
kelompok.
Secara garis besar, penelitian ini menjawab pertanyaan penelitian dan
memperkuat teori yang mengemukakan keefektifan permainan Gobak Sodor dalam
bimbingan kelompok dan implementasinya dalam meningkatkan kemampuan
interaksi sosial siswa autis.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Penelitian berjudul Meningkatkan Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Autis
Melalui Permainan Gobak Sodor dalam Bimbingan Kelompok diterapkan kepada
dua subyek penelitian yang sengaja dipilih menggunakan purposive sample dan
dilaksanakan di SMP Inklusif Galuh Handayani Surabaya. Hasil analisis data
menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial
siswa autis sesudah diterapkan permainan Gobak Sodor dalam bimbingan
kelompok. Analisis data menggunakan uji tanda atau sign test menunjukkan bahwa
> atau 1 > 0.05 sehingga Ha diterima dan Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa hipotesis yang diajukan peneliti diterima atau ada peningkatan yang
9

signifikan pada skor kemampuan interaksi sosial siswa autis sesudah penggunaan
permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok.
B. Saran
Adapaun saran-saran penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini menyimpulkan bahwa permainan Gobak Sodor dalam bimbingan
kelompok dapat meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis, sehingga
permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis di SMP Inklusif Galuh
Handayani Surabaya.
2. Penggunaan permainan Gobak Sodor dalam bimbingan kelompok dapat
diterapkan menggunakan jenis permainan lain yang juga memiliki unsur-unsur
yang dapat membantu meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa autis.
3. Desain penelitian ini adalah pre-eksperimen menggunakan one-group pretestposttest design sehingga tidak memiliki kelompok kontrol. Disarankan untuk
penelitian selanjutnya menggunakan desain pre-eksperimen dengan bentuk
intact-group comparison sehingga memiliki kelompok kontrol yang berfungsi
mengontrol variabel-variabel luar yang berpengaruh pada hasil penelitian.
4. Penelitian ini dapat menggunakan penelitian single subject yang berorientasi
pada kasus yang bersifat individual.
5. Penelitian ini memungkinkan untuk meneliti varibel lain di luar variabel
penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2008. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Darminto, Eko. 2007. Teori-teori Konseling: Teori dan Praktek Konseling dari
Berbagai Orientasi Teoretik. Surabaya: Unesa University Press.
Delphie, Bandi. 2005. Bimbingan Konseling untuk Perilaku Non Adaptif. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy.
Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan. 2008.
Rambu-rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur
Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. 2007. Pedoman Tenaga Pendidik dan
Kependidikan di Sekolah Inklusif. Jakarta: Ditjen Mendikdasmen.
Kartadinata, Sunaryo. 2008. Alur Pikir Penataan Pendidikan Profesional Konselor
Dan Layanan Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal.
Makalah disajikan dalam seminar Nasional yang di selenggarakan oleh
Jurusan PPB FIP Unesa. Surabaya 15 November 2008.
Martaniah, Sri Mulyani. 1999. Handout Psikologi Abnormal. Yogyakarta.
McConnell, Scott R. 2002. Interventions to Facilitate Social Interaction for Young
Children with Autism: Review of Available Research and Recommendations
for Educational Intervention and Future Research. Journal of Autism
Developmental Disorders, Vol. 32, No. 5, 2002.
Peeters, Theo. Tanpa Tahun. Panduan Autisme Terlengkap. Terjemahan oleh Oscar
H. Simbolon dan Yayasan Suryakanti-Bandung. 2009. Jakarta: PT. Dian
Rakyat.

10

Purwanta, Edi. 2005. Modifikasi Perilaku. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan


Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi, Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Rice, Catherine. 2006. Prevalence of Autism Spectrum Disorders: Autism and
Developmental Disabilities Monitoring Network. (online). (USA.gov, diakses
pada tanggal 10 Maret 2010 pukul 20.30 WIB).
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Tinggi.
Wagino, dkk. (2006). Peningkatan Efektifitas Pembelajaran Anak Autis Melalui
Implementasi Pendekatan Individualized Education Program (IEP) di SDN
Inklusif Klampis Ngasem 1-246 Surabaya. (jurnal). Universitas Negeri
Surabaya.
William, Chris dan Wright, Barry. 2007. How to Live with Autis and Asperger
Syndrome : Strategi Praktis bagi Orang Tua dan Guru Anak Autis.
Terjemahan oleh Tim DR. Jakarta: Dian Rakyat.

11

Anda mungkin juga menyukai