Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH KOLONIAL

KAWASAN BINTARAN
(Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Arsitektur Indonesia Dosen : Punto Wijayanto, ST.)

Kelompok :
Nama

No. Mahasiswa

Danu Kurniawan

5125211013

M. Reza

5125211001

Julfajar Muhammad Noor

5125211078

Anissa Resmawan

5125211103

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERAITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA


2012/2013

BINTARAN
SALAH SATU PENINGGALAN BELANDA
1. KOTA YOGYAKARTA SEBAGAI SALAH SATU PENINGGALAN
KOLONIAL

Karesidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam


sebuah provinsi di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia hingga
tahun
1950-an.
Sebuah
karesidenan
terdiri
atas
beberapa afdeeling (kabupaten).
Tidak
di
semua provinsi di
Indonesia
pernah
ada
karesidenan.
Hanya
di
pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Lombok dan Sulawesi saja.
Biasanya ini daerah-daerah yang penduduknya banyak.
Kata karesidenan berasal dari Bahasa Belanda Residentie. Sebuah karesidenan dikepalai
oleh residen, yang berasal dari Bahasa Belanda Resident. Di atas residen adalah gubernur
jenderal, yang memerintah atas nama Raja dan Ratu Belanda.
Semenjak krisis pada tahun 1950-an, sudah tidak ada karesidenan lagi dan yang muncul
faktor kekuasaannya adalah kabupaten. Karesidenan kemudian dikenal dengan istilah
"Pembantu Gubernur" (istilah ini sekarang tidak digunakan lagi). Namun demikian, sebutan
"eks-karesidenan" masih dipakai secara informal.
Sebuah sisa pemakaian karesidenan adalah tanda kendaraan bermotor (pelat nomor).
Pembagiannya, terutama di pulau Jawa masih banyak berdasarkan karesidenan.

Daftar Karesidenan di Hindia Belanda (urutan menurut abjad)


o

Pulau Sumatera

Pulau Jawa

Pulau Kalimantan

Pulau Sulawesi

Sunda Kecil

Maluku dan Papua

Karesidenan Yogyakarta atau bekas Karesidenan


administratif pemerintahan zaman Hindia-Belanda yang
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dengan pembagian :

yogyakarta yaitu wilayah


meliputi wilayahkasultanan

1. Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta


2. Kabupaten Kulon Progo
3. Kabupaten Bantul
4. Kabupaten Gunung Kidul
5. Kabupaten Adikarto
6. Kabupaten Kota Pakualaman
Di dalam perjalanan sejarahnya,
Yogyakarta juga diwarnai oleh unsur
pemerintahan kolonial belanda yang
berusaha menguasai dan mengawasi
gerak
para
sultan
di
kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh
karena itu mereka juga menunjukkan
keberadaannya dengan tinggal di
Yogyakarta. Hal ini tercermin dari
berbagai jenis tinggalan Belanda di
kota Yogyakarta dan sekitarnya, yang
berupa fasilitas-fasilitas utama dan
fasilitas pendukung. Fasilitas utama bagi kepentingan pengawasan oleh pemerintahan
kolonial Belanda terhadap para sultan di Yogyakarta adalah benteng Rustenburg yang
dibangun pada tahun 1756-1778, kemudian disempurnakan pada tahun 1786. benteng
tersebut kemudian diganti namanya menjadi Vredeburg. Perlu diketahui bahwa burg berarti
benteng, rust berarti beristirahat, sedang vrede berarti perdamaian. Nama yang tidak cocok
untuk sebuah benteng.
Setelah itu banyak dibangun fasilitas pendukung yang juga ditempatkan di pusat kota,
antar lain Societeit Der Vereneging Djogdjakarta (tahun 1822), Loji Kebon (kediaman dan
kantor residen), kawasan Loji Kecil, perkantoran, dan prasarana-prasarana umum baik untuk

kalangan sipil maupun militer. Menarik perhatian bahwa bangunan-bangunan untuk aktivitas
politik, militer, ekonomi Belanda disisipkan di sepanjang dan memotong poros imajiner
Kraton Tugu. Tampaknya hal itu adalah cermin sikap konfrontatif terhadap lembaga
Kasultanan.

Di kawasan antara benteng Vredeburg Alun-Alun Ler terdapat bangunan kantor


Asuransi Nill Maatschappij (Nill Mij) sekarang bangunan BNI 46. Pada masa pendudukan
Jepang, bangunan tersebut digunakan untuk kantor radio Jepang dengan nama Hoso Kyoku.
Selain itu terdapat pula kantor PTT (Post, Telephone, Telegraph) sekarang menjadi Kantor
Pos Besar. Di sebelah timurnya berdiri gedung De Javasche Bank yang sekarang menjadi
kantor Bank Indonesia.
Prasarana umum lainnya adalah gedung NV Grand Hotel de Djogdja yang kemudian
diubah menjadi NV Narba, kemudian menjadi Hotel Toegoe; dan Grand Hotel de Djogdja
sekarang Hotel Garuda. Stasiun kereta api pertama yang dibangun oleh Nedelandsch-Indie
Spoormaatschappij adalah stasiun Lempuyangan yaitu pada tanggal 2 Maret 1872, sedangkan
stasiun Tugu dibangun oleh Staat Spoorweg pada tanggal 2 Mei 1887. Pembuatan stasiunstasiun tersebut dirasa perlu karena pada abad XIX itu transportasi dengan kereta api meluas,
sehingga sultan merasa perlu membangun juga prasarana transportasi kereta api.
Komunitas Belanda di Yogyakarta berkembang pesat sejak masa pemerintahan Sultan
Hamengku Buwana VII (tahun 1877- 1921). Hal tersebut berkaitan erat dengan tumbuh dan
berkembangnya perkebunan tebu, berbagai jenis pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan dan
pendidikan. Pada waktu itu karena warga Belanda makin banyak jumlahnya dan aktivitas
mereka makin beragam, dibangunlah kantong-kantong pemukiman khusus untuk mereka,
lengkap dengan berbagai fasilitas yang diperlukan pada masa pra Perang Dunia II. Kantongkantong pemukiman itu bergeser dari seputar pusat kota ke arah timur (Bintaran), timur laut
(Kota Baru), dan utara (Jetis)

2. BINTARAN SEBAGAI SALAH SATU KAWASAN PENINGGALAN


KOLONIAL

Kawasan Bintaran merupakan perkembangan dari pemukiman Belanda awal di


Yogyakarta, yaitu di Loji Kecil dan Loji Besar (Benteng Vredeburg), karena kedua tempat
tersebut sudah tidak dapat mengakomodasi warga Belanda. Perlu diketahui bahwa menjelang
Perang Diponegoro, jumlah orang Eropa di Yogyakarta sudah mencapai 400 orang. Pada
awalnya kawasan Bintaran belum dilengkapi dengan sarana dan prasarana umum yang
diperlukan oleh penghuninya. Orang-orang Belanda yang bermukim di Bintaran masih
menggunakan fasilitas umum yang terdapat di kawasan Loji Kecil dan Loji Besar.
Dengan semakin bertambahnya orang-orang Belanda yang bermukim di Bintaran, maka
dibangunlah gereja, dan bahkan juga penjara. Orang-orang Belanda yang bermukim di
Bintaran adalah opsir-opsir, dan pemilik atau pegawai pabrik-pabrik gula di beberapa wilayah
Yogyakarta.
Bangunan rumah tinggal di kawasan Bintaran bergaya Indis dan mempunyai bentuk
arsitektur yang hampir sama dengan pemukiman Belanda di kawasan Loji Kecil, tetapi
halamannya lebih luas. Bangunan indis mempunyai karakteristik yang khas dan berbeda
dengan bangunan pribumi. Rumah-rumah tersebut mempunyai jendela-jendela besar, dan
plafond tinggi, sehingga udara dapat bersirkulasi dengan mudah. Selain itu, struktur
penyangga seperti dinding dan tiang-tiang besi dibuat kokoh. Demikian pula karakter
bangunan-bangunan di kawasan itu juga mempunyai beberapa detil khas, antara lain : tritisan
yang relatif kecil, balustrade dari teralis besi, daun pintu luar dari kayu berbentuk krepyak
dan daun pintu dalam dari kaca, serta mempunyai pilar-pilar.

Bangunan dengan bentuk arsitektur semacam itu antara lain adalah : bangunan rumah
tinggal pejabat keuangan Puro Paku Alam VII sekarang Gedung Sasmitaloka Panglima
Besar Sudirman, dan kediaman Yoseph Henry Paul Sagers sekarang rumah tinggal dan
kantor Komando Pemadam Kebakaran, bangunan pengawas militer untuk daerah Paku
Alaman sekarang Museum Biologi, dan SMP BOPKRI II.
Serupa dengan Kotabaru, Bintaran adalah alternatif tempat tinggal bagi orang-orang
Belanda yang tinggal di Indonesia. Tumbuh ketika kawasan Loji Kecil tak dapat lagi
menampung penduduk. Secara fisik, kawasan yang Anda dapat mencapai dengan berjalan ke
arah timur dari perempatan Gondomanan tidak tumbuh secepat Kotabaru. Salah satu faktor
adalah lokasi yang masih dekat dengan Loji Kecil sehingga berbagai fasilitas dapat diakses
dengan mudah.
Sebelum menjadi tempat kediaman Indische, Bintaran dikenal sebagai tempat di mana
Ndalem Mandara Giri berfungsi sebagai rumah Pangeran Haryo Bintoro, salah satu keturunan
Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pertumbuhan Bintaran sebagai tempat kediaman
Indische diperkirakan dimulai pada tahun 1930-an ditandatangani dengan pembangunan
rumah, fasilitas seperti gereja dan bahkan penjara.
Umumnya, orang Belanda yang tinggal di Bintaran adalah yang bekerja sebagai petugas
dan pekerja di pabrik gula. Serupa dengan kampung Indische lainnya, Bintaran dihiasi
dengan bangunan-bangunan khas arsitektur bergaya Eropa. Meskipun demikian, karakteristik
bangunan di wilayah Bintaran berbeda dengan karakteristik bangunan di Loji Kecil dan
Kotabaru. Halaman rumah di kawasan Bintaran lebih luas, sementara beranda lebih kecil
dengan banyak pilar; eksterior jendela rana dalam bentuk buta dan daun jendela interior
dihiasi dengan kacamata
Arsitektur eksotis, bangunan bersejarah di daerah ini tentunya Ndalem Mandara Giri.
Arsitektur rumah itu kombinasi Jawa dan Belanda. Karakteristik Jawa dapat dilihat dari
lorong yang bahan-bahannya khusus didatangkan dari Demak pada tahun 1908. Sementara
itu, ciri-ciri bangunan Belanda dapat diketahui dari luas ruang dan dinding-dinding tinggi
dengan jendela besar khas Belanda memiliki dua daun jendela.
Setelah Pangeran Haryo Bintoro meninggalkan tempat ini, keturunan lain dari kerajaan
yang berbeda tinggal di sana. Lorong yang lebar dari rumah itu telah berfungsi sebagai ruang
pameran keris, bahkan ketika rumah itu dikosongkan sejak tahun 1997. Sekarang, gedung ini
yang dapat Anda temukan dengan mudah di pertigaan setelah Anda berbelok ke kiri dari Jalan
Sultan Agung berfungsi sebagai kantor Karta Pustaka, dan lembaga Bahasa IndonesiaBelanda.
Bangunan historis lainnya dapat ditemukan di dekat Ndalem Mandara Giri. Salah satunya
adalah bangunan Sasmitaloka Jenderal Soedirman di sisi kiri jalan Bintaran. Di masa lalu,
bangunan yang didirikan pada tahun 1890 ini digunakan sebagai tempat tinggal kantor

keuangan Paku Alam VII benteng bernama Wijnschenk. Bangunan dulu digunakan sebagai
rumah resmi Jenderal Soedirman.
Sementara itu, Museum Biologi di jalan Sultan Agung digunakan untuk berfungsi sebagai
rumah Paku Alaman pengawas militer setempat. Rumah seorang Belanda bernama Henry
Paul Sagers kini berfungsi sebagai kantor Pemadam Kebakaran. Bangunan bersejarah lain
adalah penjara Belanda yang saat ini berfungsi sebagai penjara Wirogunan.
Seperti tempat tinggal Indische pada umumnya, Bintaran juga memiliki fasilitas gereja.
Menariknya, gereja Bintaran didirikan berdasarkan gagasan orang Jawa yang merasa tidak
nyaman dengan cara orang Belanda kata doa mereka. H. van Driessche. SJ, seorang Belandaorang Indonesia menjadi koordinator pembangunan gereja yang terletak di ujung selatan
Jalan Bintaran. Penamaan gereja yang dibangun pada tahun 1931 menjadi Gereja Santo Josef
yang terkait dengan doa Bapa Driessche ke Saint Josef ketika dia merasa sulit mencari lokasi
gereja.
Pada masa Kolonial Belanda, Bintaran pernah menjadi pemukiman Indische. Diperkirakan
dimulai awal abad XX. Seperti halnya kampung Indische lainnya, Bintaran dihiasi dengan
bangunan-bangunan yang berarsitektur khas Eropa yang masih dapat dijumpai hingga saat
ini.

Anda mungkin juga menyukai