KAWASAN BINTARAN
(Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Arsitektur Indonesia Dosen : Punto Wijayanto, ST.)
Kelompok :
Nama
No. Mahasiswa
Danu Kurniawan
5125211013
M. Reza
5125211001
5125211078
Anissa Resmawan
5125211103
BINTARAN
SALAH SATU PENINGGALAN BELANDA
1. KOTA YOGYAKARTA SEBAGAI SALAH SATU PENINGGALAN
KOLONIAL
Pulau Sumatera
Pulau Jawa
Pulau Kalimantan
Pulau Sulawesi
Sunda Kecil
kalangan sipil maupun militer. Menarik perhatian bahwa bangunan-bangunan untuk aktivitas
politik, militer, ekonomi Belanda disisipkan di sepanjang dan memotong poros imajiner
Kraton Tugu. Tampaknya hal itu adalah cermin sikap konfrontatif terhadap lembaga
Kasultanan.
Bangunan dengan bentuk arsitektur semacam itu antara lain adalah : bangunan rumah
tinggal pejabat keuangan Puro Paku Alam VII sekarang Gedung Sasmitaloka Panglima
Besar Sudirman, dan kediaman Yoseph Henry Paul Sagers sekarang rumah tinggal dan
kantor Komando Pemadam Kebakaran, bangunan pengawas militer untuk daerah Paku
Alaman sekarang Museum Biologi, dan SMP BOPKRI II.
Serupa dengan Kotabaru, Bintaran adalah alternatif tempat tinggal bagi orang-orang
Belanda yang tinggal di Indonesia. Tumbuh ketika kawasan Loji Kecil tak dapat lagi
menampung penduduk. Secara fisik, kawasan yang Anda dapat mencapai dengan berjalan ke
arah timur dari perempatan Gondomanan tidak tumbuh secepat Kotabaru. Salah satu faktor
adalah lokasi yang masih dekat dengan Loji Kecil sehingga berbagai fasilitas dapat diakses
dengan mudah.
Sebelum menjadi tempat kediaman Indische, Bintaran dikenal sebagai tempat di mana
Ndalem Mandara Giri berfungsi sebagai rumah Pangeran Haryo Bintoro, salah satu keturunan
Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pertumbuhan Bintaran sebagai tempat kediaman
Indische diperkirakan dimulai pada tahun 1930-an ditandatangani dengan pembangunan
rumah, fasilitas seperti gereja dan bahkan penjara.
Umumnya, orang Belanda yang tinggal di Bintaran adalah yang bekerja sebagai petugas
dan pekerja di pabrik gula. Serupa dengan kampung Indische lainnya, Bintaran dihiasi
dengan bangunan-bangunan khas arsitektur bergaya Eropa. Meskipun demikian, karakteristik
bangunan di wilayah Bintaran berbeda dengan karakteristik bangunan di Loji Kecil dan
Kotabaru. Halaman rumah di kawasan Bintaran lebih luas, sementara beranda lebih kecil
dengan banyak pilar; eksterior jendela rana dalam bentuk buta dan daun jendela interior
dihiasi dengan kacamata
Arsitektur eksotis, bangunan bersejarah di daerah ini tentunya Ndalem Mandara Giri.
Arsitektur rumah itu kombinasi Jawa dan Belanda. Karakteristik Jawa dapat dilihat dari
lorong yang bahan-bahannya khusus didatangkan dari Demak pada tahun 1908. Sementara
itu, ciri-ciri bangunan Belanda dapat diketahui dari luas ruang dan dinding-dinding tinggi
dengan jendela besar khas Belanda memiliki dua daun jendela.
Setelah Pangeran Haryo Bintoro meninggalkan tempat ini, keturunan lain dari kerajaan
yang berbeda tinggal di sana. Lorong yang lebar dari rumah itu telah berfungsi sebagai ruang
pameran keris, bahkan ketika rumah itu dikosongkan sejak tahun 1997. Sekarang, gedung ini
yang dapat Anda temukan dengan mudah di pertigaan setelah Anda berbelok ke kiri dari Jalan
Sultan Agung berfungsi sebagai kantor Karta Pustaka, dan lembaga Bahasa IndonesiaBelanda.
Bangunan historis lainnya dapat ditemukan di dekat Ndalem Mandara Giri. Salah satunya
adalah bangunan Sasmitaloka Jenderal Soedirman di sisi kiri jalan Bintaran. Di masa lalu,
bangunan yang didirikan pada tahun 1890 ini digunakan sebagai tempat tinggal kantor
keuangan Paku Alam VII benteng bernama Wijnschenk. Bangunan dulu digunakan sebagai
rumah resmi Jenderal Soedirman.
Sementara itu, Museum Biologi di jalan Sultan Agung digunakan untuk berfungsi sebagai
rumah Paku Alaman pengawas militer setempat. Rumah seorang Belanda bernama Henry
Paul Sagers kini berfungsi sebagai kantor Pemadam Kebakaran. Bangunan bersejarah lain
adalah penjara Belanda yang saat ini berfungsi sebagai penjara Wirogunan.
Seperti tempat tinggal Indische pada umumnya, Bintaran juga memiliki fasilitas gereja.
Menariknya, gereja Bintaran didirikan berdasarkan gagasan orang Jawa yang merasa tidak
nyaman dengan cara orang Belanda kata doa mereka. H. van Driessche. SJ, seorang Belandaorang Indonesia menjadi koordinator pembangunan gereja yang terletak di ujung selatan
Jalan Bintaran. Penamaan gereja yang dibangun pada tahun 1931 menjadi Gereja Santo Josef
yang terkait dengan doa Bapa Driessche ke Saint Josef ketika dia merasa sulit mencari lokasi
gereja.
Pada masa Kolonial Belanda, Bintaran pernah menjadi pemukiman Indische. Diperkirakan
dimulai awal abad XX. Seperti halnya kampung Indische lainnya, Bintaran dihiasi dengan
bangunan-bangunan yang berarsitektur khas Eropa yang masih dapat dijumpai hingga saat
ini.