Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas
yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat
penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran
pernapasan kronik. Asma mempunyai tingkat fatalitas yang rendah namun
jumlah kasusnya cukup banyak ditemukan dalam masyarakat. Badan
kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
menderita asma, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah sebesar
180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma
sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama
20 tahun belakangan ini. Apabila tidak di cegah dan ditangani dengan baik,
maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi
pada masa yang akan datang serta mengganggu proses tumbuh kembang anak
dan kualitas hidup pasien (KepMenkes, 2008).
Peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma dalam tiga puluh
tahun terakhir terjadi terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi
asma di Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga
mencolok. Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih
dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma
meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, peningkatan
biaya kesehatan, risiko \perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10
penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
1

penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 % (Depkes, 2007).


Untuk itu, sebagai farmasis yang memiliki tugas dan tanggungjawab di
bidang obat-obatan tentunya harus mengetahui cara penanganan atau
pengobatan penyakit asma.
B. Tujuan
1. Memahami definisi penyakit asma.
2. Memahami etiologi dan patogenesis penyakit asma.
3. Memahami patofisiologi penyakit asma.
4. Memahami faktor risiko penyakit asma.
5. Memahami gejala penyakit asma.
6. Memahami klasifikasi penyakit asma.
7. Memahami terapi penyakit asma.
C. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penyusunan makalah ini yaitu meningkatnya
pemahaman farmasis tentang penyakit asma secara umum dan penanganan
atau pengobatan penyakit tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit Asma


Asma didefenisikan sebagai gangguan inflamasi kronik jalan udara yang
melibatkan peran banyak sel dan komponennya (The National Asthma
Education and Prevention Program, NAEP). Pada individu yang rentan,
inflamasi menyebabkan episode berulang dari bengek, sesak nafas, sempit
dada, dan batuk. Episode ini biasanya terkait dengan obstruksi jalan udara
yang sering reversible baik secara spontan maupun setelah pemberian
penanganan. Inflamasi juga menyebabkan peningkatan hiperresponsifitas
bronkus (bronchus hyperresponsiveness, BHR) terhadap berbagai stimulus
(Anonim, 2008).
Asma atau bengek adalah suatu penyakit alergi yang bercirikan
peradangan steril kronis yang disertai serangan sesak napas akut secara
berkala, mudah sengal-sengal dan batuk (dengan bunyi khas). Ciri lain adalah
hipersekresi dahak yang biasanya lebih parah pada malam hari dan
meningkatnya

ambang

rangsang

(hiperreaktivitas)

bronchi

terhadap

rangsangan alergis maupun non-alergis. Faktor-faktor genetis bersama faktor


lingkungan berperan pada timbulnya gejala-gejala tersebut (Tan Hoan Tjay
dan Kirana Rahardja, 2007).
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik
saluran napas yang menyebabkan hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi,
batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini
hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan
(Menkes RI, 2008).

B. Etiologi dan Patogenesis Penyakit Asma


Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan
3

sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai
penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi
terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma
persisten.

Inflamasi

kronik

menyebabkan

peningkatan

hiperesponsif

(hipereaktifitas) jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang


berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada
malam dan/atau dini hari. Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan
saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan
atau tanpa pengobatan.

Mekanisme Asma (Menkes, 2008).


C. Patofisiologi Penyakit Asma
Karakterisasi utama asma termasuk obstruksi jalan udara dalam berbagai
tingkatan (terkait dengan bronkospasmus, edema dan hipersekresi), BHR, dan
inflamasi jalan udara). Serangan asma mendadak disebabkan oleh faktor yang
tidak diketahui maupun yang diketahui seperti paparan terhadap alergen,
virus, atau polutan dalam maupun luar rumah, dan masing-masing faktor ini
dapat menginduksi respon inflamasi.
Alergen yang terhirup menyebabkan reaksi alergi fase awal ditandai
dengan aktivitas sel yang menghasilkan antibodi IgE yang spesifik alergen.
Terdapat aktivasi yang cepat dari sel mast dan makrofag pada jalan udara,
yang membebaskan mediator proinflamasi seperti histamin dan eikosanoid
yang menginduksi kontraksi otot polos jalan udara, sekresi mukus,
vasodilatasi, dan eksudasi plasma pada jalan udara. Kebocoran plasma protein
menginduksi penebalan dan pembengkakan dinding jalan udara serta
penyempitan lumennya disertai dengan sulitnya pengeluaran mukus.

Reaksi inflamasi fase akhir terjadi 6 sampai 9 jam setelah serangan


alergen dan melibatkan aktivasi eosinofil, limfosit T, basofil, neutrofil dan
makrofag. Eosinofil bermigrasi ke dalam jalan udara dan membebaskan
mediator inflamasi (leukotrien dan protein granul), mediator sitotoksik, dan
sitokin. Aktivasi limfosit T menyebabkan pembebasan sitokin dari sel Thelper tipe 2 (TH2) yang memperantarai inflamasi alergik (interleukin (IL)-4,
IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-13). Sebaliknya sel T-helper tipe 1 (TH 1)
menghasilkan IL-2 dan interferon gamma yang penting untuk mekanisme
pertahanan seluler. Inflamasi asmatik alergik dapat ditimbulkan oleh
ketidakseimbangan antara sel TH1 dan TH2.
Sel epitel bronkial juga berpatisipasi dalam inflamasi dengan
membebaskan eikosanoid, peptidase, protein matiks, sitokin dan nitrit oksida.
Pengikisan epitel mengakibatkan peningkatan responsifitas dan perubahan
permeabilitas mukosa jalan udara, pengurangan faktor relaksan yang berasal
dari mukosa, dan kehilangan enzim yang bertanggung jawab untuk
penguraian neuropeptida inflamasi.
Jalan udara dipersyarafi oleh saraf parasimpatik, simpatik, dan syaraf
inhibisi nonadrenergik. Tonus istirahat normal otot polos jalan udara
diperlihara oleh aktivitas eferen vagal, bronkokonstriksi dapat diperantarai
oleh stimulasi vagal pada bronchi berukuran kecil. Semua otot polos jalan
udara mengandung reseptor beta adrenergik yang tidak dipersyarafi yang
menyebaban bronkodilatasi. Pentingnya reseptor alfa adrenergik dalam asma
tidak diketahui. Sistem syaraf nonadrenergik, nonkolinergik pada trachea dan
bronchi dapat memperkuat inflamasi pada asma dengan melepaskan nitrit
oksida.

Saluran Napas Keadaan Normal

Saluran Napas Pada Asma

D. Faktor Risiko Penyakit Asma

Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi dua kelompok faktor
genetik dan faktor lingkungan.
Faktor genetik tersebut adalah:
1. Hiperreaktivitas.
2. Atopi/ Alergi bronkus.
3. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik.
4. Jenis kelamin.
5. Ras/etnik.
Faktor lingkungan, terdiri dari :
1. Alergen di dalam ruangan (Tungau, debu rumah, kucing, alternaria/ jamu,
dll).
2. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari bunga).
3. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur).
4. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker, dll).
5. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dll).
6. Ekspresi emosi berlebih.
7. Asap rokok.
8. Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan .

9. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika


melakukan aktifitas tertentu.
10. Perubahan cuaca (Menkes RI, 2008).
E. Gejala Penyakit Asma
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa
pengobatan.
Gejala awal berupa :
1. Batuk terutama pada malam atau dini hari
2. Sesak napas
3. Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya
4. Rasa berat di dada
5. Dahak sulit keluar.
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa.
Yang termasuk gejala yang berat adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Serangan batuk yang hebat


Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
Kesadaran menurun (Depkes, 2007).

F. Klasifikasi Penyakit Asma


Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan
pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit
penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang,
semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan (Depkes, 2007).
Derajat Asma
1. Intermiten

2. Persisten ringan

Gejala
Siang hari 2 kali per minggu
Malam hari 2 kali per bulan
Serangan singkat
Tidak ada gejala antar serangan
Intensitas serangan bervariasi
Siang hari > 2 kali per minggu,
tetapi < 1 kali per hari

Fungsi Paru
Variabilitas APE < 20%
VEP1 >80%
nilaiprediksi
APE >80% nilai terbaik
Variabilitas APE 20-30%
VEP1 >80% nilai

3. Persisten sedang

4. Persisten berat

Malam hari > 2 kali per bulan


Serangan dapat mempengaruhi
aktifitas
Siang hari ada gejala
Malam hari > 1 kali per minggu
Serangan mempengaruhi
aktifitas
Serangan > 2 kali per minggu
Serangan berlangsung berharihari
Sehari-hari menggunakan
inhalasi 2-agonis short acting
Siang hari terus menerus ada
gejala
Setiap malam hari sering timbul
gejala
Aktifitas fisik terbatas
Sering timbul serangan

prediksi
APE >80% nilai terbaik
Variabilitas APE > 30%
VEP1 60-80% nilai
prediksi
APE 60-80% nilai
terbaik

Variabilitas APE > 30%


VEP1 <60% nilai
prediksi
APE <60% nilai terbaik

Keterangan :
APE : Arus Puncak Ekspirasi; VEP1 : volume ekspirasi paksa dalam 1 hari
G. Manifestasi Klinik
1. Asma Kronik
Asma klasik ditandai dengan episode dispnea yang disertai dengan
bengek, tapi gambaran klinik asma beragam. Pasien dapat mengeluhkan
sempit dada, batuk (terutama pada malam hari), atau bunyi saat bernafas.
Hal ini sering terjadi saat latihan fisik tapi dapat terjadi secara spontan
atau berhubungan dengan alergen tertentu. Tanda-tandanya termasuk
bunyi saat ekspirasi dengan pemeriksaan auskultasi, batuk kering yang
berulang atau tanda atopi.
Asma dapat bervariasi dari gejala harian kronik sampai gejala yang
berselang. Terdapat keparahan dan remisi berulang, dan interval antar
gejala dapat mingguan, bulanan, atau tahunan. Keparahan ditentukan oleh
fungsi paru-paru dan gejala sebelum terapi disamping jumlah obat yang
diperlukan untuk mengontrol gejala. Pasien dapat menunjukkan gejala
berselang ringan yang tidak memerlukan pengobatan atau hanya
penggunaan sewaktu-waktu agonis beta inhalasi kerja cepat, pasien dapat
juga menunjukkan gejala asma kronik walau sedang menjalani
pengobatan berganda.
8

2. Asma Parah Akut


Asma yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi akut dimana
inflamasi, edema jalan udara, akumulasi mukus berlebihan, dan
bronkospasmus parah menyebabkan penyempitan jalan udara yang serius
yang tidak responsif terhadap terapi bronkodilator biasa.
Pasien mungkin mengalami kecemasan dan mengeluhkan dispnea
parah, nafas pendek, sempit dada, atau rasa terbakar, mereka mungkin
hanya dapat mengatakan beberapa kata dalam satu nafas. Gejala tidak
responsif terhadap penanganan yang biasa. Tanda termasuk bunyi yang
terdengar dengan auskultasi saat inspirasi dan ekspirasi, batuk kering
yang berulang, takhipnea, kulit pucat atau kebiruan dan dada yang
mengembang disertai dengan retraksi interkostal dan supraklavilar. Bunyi
nafas dapat hilang bila obstruksi sangat parah.
H. Terapi Penyakit Asma
Tujuan terapi atau penanganan asma kronik, yaitu :
1) Mempertahankan tingkat aktivitas normal (termasuk latihan fisik).
2) Mempertahankan fungsi paru-paru (mendekati) normal.
3) Mencegah gejala kronis dan yang mengganggu (cth. Batuk atau kesulitan
bernafas pada malam hari, pada pagi hari, atau setelah latihan berat).
4) Mencegah memburuknya asma secara berulang dan meminimalisasi
kebutuhan untuk masuk ICU atau rawat inap.
5) Menyediakan farmakoterapi optimum dengan tidak ada atau sedikit efek
samping.
6) Memenuhi keinginan pelayanan terhadap pasien dan keluarga.
Tujuan terapi atau penanganan asma parah akut, yaitu :
1) Perbaikan hipoksemia signifikan.
2) Pembalikan cepat penutupan jalan udara (dalam hitungan menit).
3) Pengurangan kecenderungan penutupan aliran udara yang parah timbul
kembali.
4) Pengembangan rencana aksi tertulis jika keadaan memburuk.
(Anonim, 2008).
1. Terapi Non Farmakologi
a. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam
penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan
untuk :
9

1) meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara


umum dan pola penyakit asma sendiri)
2) meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan
3)
4)
5)
6)

asma sendiri/asma mandiri)


meningkatkan kepuasan
meningkatkan rasa percaya diri
meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan
mengontrol asma
Bentuk pemberian edukasi :

1) Komunikasi/nasehat saat berobat


2) Ceramah
3) Latihan/training
4) Supervisi
5) Diskusi
6) Tukar menukar informasi (sharing of information group)
7) Film/video presentasi
8) Leaflet, brosur, buku bacaan
9) dll
b. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat.
Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter
ini dianjurkan pada :
1) Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter
dan oleh pasien di rumah.
2) Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
3) Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma
persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah
perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal
perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat
serangan yang mengancam jiwa.

10

Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk


membantu pengobatan seperti :
1) Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
2) Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan
berjalan baik
3) Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan

c.
d.
e.
f.
g.

penambahan atau penghentian obat


4) Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Pemberian oksigen
Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
Kontrol secara teratur
Pola hidup sehat, dapat dilakukan dengan : (1)Penghentian merokok;
(2)Menghindari kegemukan; (3)Kegiatan fisik misalnya senam asma.

2. Terapi Farmakologi
a. Simpatomimetik
1) Mekanisme Kerja
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah
sebagai berikut :
a) Stimulasi reseptor adrenergik yang mengakibatkan
terjadinya vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan
tekanan darah.
b) Stimulasi reseptor 1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan
kontraktilitas dan irama jantung.
c) Stimulasi reseptor 2 yang menyebabkan bronkodilatasi,
peningkatan klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan
menstimulasi otot skelet.
d) Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor
penentu utama penggunaan secara klinik dan untuk
memprediksi

efek

samping

yang

umum.

Obat

simpatomimetik selektif 2 memiliki manfaat yang besar dan


bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang
minimal pada terapi asma. Penggunaan langsung melalui
inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan
efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan
11

yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen,


latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila
diberikan secara sistemik.
2) Indikasi
Agonis 2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol)
digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol
jangka panjang terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat
golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus
yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis 2 kerja singkat (seperti
albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan
untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang
diinduksi oleh latihan fisik.
3) Efek Samping
Efek samping umumnya berlangsung dalam waktu singkat dan
tidak ada efek kumulatif yang dilaporkan. Akan tetapi, tidak berarti
pengobatan dihentikan, pada beberapa kasus, perlu dilakukan
penurunan dosis untuk sementara waktu.
4) Contoh Obat
Albuterol, bitolterol, efedrin sulfat,

epinefrin,

formoterol,

pirbuterol, salmeterol, terbutalin.


b. Xantin
1) Mekanisme Kerja
Metilxantin (teofilin,

garamnya

yang

mudah

larut

dan

turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki


dan pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi
diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan
tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi
uterus. Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan.
Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma
pada orang sehat dan dengan demikian mampu menurunkan
kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan
penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik.
2) Indikasi

12

Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan


bronkospasma reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik
dan emfisema.
3) Efek Samping
Reaksi efek samping jarang terjadi pada level serum teofilin yang
< 20 mcg/mL. Pada level lebih dari 20 mcg/mL : mual, muntah,
diare, sakit kepala, insomnia, iritabilitas. Pada level yang lebih
dari 35 mcg/mL : hiperglisemia, hipotensi, aritmia jantung,
takikardia (lebih besar dari 10 mcg/mL pada bayi prematur),
seizure, kerusakan otak dan kematian.
Lain lain : demam, wajah kemerah-merahan, hiperglikemia,
sindrom ketidaksesuaian dengan hormon antiduretik, ruam,
kerontokan pada rambut. Etildiamin pada aminofilin dapat
menyebabkan reaksi sensitivitas termasuk dermatitis eksfoliatif
dan urtikaria.
Kardiovaskular : palpitasi, takikardia, hipotensi, kegagalan
sirkulasi, aritmia ventrikular.
Susunan Saraf Pusat : iritabilitas, tidak bisa instirahat, sakit
kepala, insomnia, kedutan dan kejang
Saluran Pencernaan : mual, muntah,

sakit

epigastrik,

hematemesis, diare, iritasi rektum atau pendarahan (karena


penggunaan supositoria aminofilin). Dosis terapetik teofilin dapat
menginduksi refluks esofageal selama tidur atau berbaring,
meningkatkan

potensi

terjadinya

aspirasi

yang

dapat

memperparah bronkospasmus.
Ginjal : proteinuria, potensiasi diuresis.
Respiratori: takhipnea, henti nafas.
4) Contoh obat
Aminofilin, teofilin, difilin, oktrifilin.
c. Antikolinergik
Ipratropium Bromida
1) Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik
(parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan
13

cara

mengantagonis

kerja

asetilkolin.

Bronkodilasi

yang

dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat


sistemik.
Ipratropium

bromida

(semprot

hidung)

mempunyai

sifat

antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi


kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung.
2) Indikasi
Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan
bronkodilator

lain

bronkodilator

dalam

(terutama

beta

pengobatan

adrenergik)

sebagai

bronkospasmus

yang

berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik,


termasuk bronkhitis kronik dan emfisema.
3) Efek Samping
Sakit punggung, sakit dada, bronkhitis, batuk, penyakit paru
obstruksi kronik yang semakin parah, rasa lelah berlebihan, mulut
kering, dispepsia, dipsnea, epistaksis, gangguan pada saluran
pencernaan, sakit kepala, gejala seperti influenza, mual, cemas,
faringitis, rinitis, sinusitis, infeksi saluran pernapasan atas dan
infeksi saluran urin.
Tiotropium Bromida
1) Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya
digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan,
tiotropium

menunjukkan

efek

farmakologi

dengan

cara

menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi


bronkodilasi.

Bronkodilasi

yang

timbul

setelah

inhalasi

tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu.


2) Indikasi
Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk
bronkitis kronis dan emfisema.
3) Efek Samping
Efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih, terdiri dari sakit
perut, nyeri dada (tidak spesifik), konstipasi, mulut kering,
dispepsia, edema, epistaksis, infeksi, moniliasis, myalgia,
14

faringitis, ruam, rhinitis, sinusitis, infeksi pada saluran pernapasan


atas, infeksi saluran urin dan muntah.
d. Kromolin Sodium dan Nedokromil
Kromolin Natrium
1) Mekanisme Kerja
Kromolin merupakan obat antiinflamasi.

Kromolin

tidak

mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik,


vasokonstriktor atau aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini
menghambat pelepasan mediator, histamin dan SRS-A (Slow
Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
2) Indikasi
Asma bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai
pengobatan profilaksis pada asma bronkial. Kromolin diberikan
teratur, harian pada pasien dengan gejala berulang yang
memerlukan

pengobatan

secara

reguler.

Pencegahan

bronkospasma (inhalasi, larutan dan aerosol) : untuk mencegah


bronkospasma akut yang diinduksi oleh latihan fisik, toluen
diisosinat, polutan dari lingkungan dan antigen yang diketahui.
3) Efek Samping
Efek samping yang paling sering terjadi berhubungan dengan
penggunaan kromolin (pada penggunaan berulang) meliputi
saluran pernapasan: bronkospasme (biasanya bronkospasma parah
yang berhubungan dengan penurunan fungsi paru-paru/FEV1),
batuk, edema laringeal (jarang), iritasi faringeal dan napas
berbunyi. Efek samping yang berhubungan dengan penggunaan
aerosol adalah iritasi tenggorokan atau tenggorokan kering, rasa
tidak enak pada mulut, batuk, napas berbunyi dan mual.
Nedokromil Natrium
1) Mekanisme Kerja Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi
untuk pencegahan asma. Obat ini akan menghambat aktivasi
secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai tipe sel
berhubungan
makrofag,

dengan

sel

mast,

asma

termasuk

monosit

dan

eosinofil,
platelet.

neutrofil,

Nedokromil
15

menghambat perkembangan respon bronko konstriksi baik awal


dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.
2) Indikasi

Nedokromil diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi


pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau
lebih pada asma ringan sampai sedang.
3) Efek Samping
Efek samping yang terjadi pada penggunaan nedokromil bisa
berupa batuk, faringitis, rinitis, infeksi saluran pernapasan atas,
bronkospasma, mual, sakit kepala, nyeri pada dada dan
pengecapan tidak enak.

e. Kortikosteroid
1) Mekanisme Kerja
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik
dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid.
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel
yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik
dengan

memproduksi

AMP

siklik,

inhibisi

mekanisme

bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung.


Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara
efektif dengan efek sistemik minimal.
2) Indikasi
Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang
memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan
keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan
asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8
tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma yang dapat
diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain, pasien
yang kadang-kadang menggunakan kortikosteroid sistemik atau
terapi bronkhitis non asma.
3) Efek Samping
Lokal : iritasi tenggorokan, suara serak, batuk, mulut kering,
ruam, pernafasan berbunyi, edema wajah dan sindrom flu.
16

Sistemik : depresi fungsi Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA).


Terjadinya kematian yang disebabkan oleh insufisiensi adrenal
dan setelah terjadinya peralihan dari kortikosteroid sistemik ke
aerosol.
Beclomethason: efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih,
seperti sakit kepala, kongesti nasal, dismenorea, dispepsia,
rhinitis, faringitis, batuk, infeksi saluran pernapasan atas, infeksi
virus dan sinusitis.
Budesonid : efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih,
seperti nyeri, sakit punggung, infeksi saluran pernapasan atas,
sinusitis, faringitis, batuk, konjungtivitis, sakit kepala, rhinitis,
epistaksis, otitis media, infeksi telinga, infeksi virus, gejala flu,
perubahan suara.
Flunisolid : efek samping terjadi pada 3 % atau lebih pasien
seperti palpitasi, nyeri dada, pusing, iritabilitas, nervous, limbung,
mual, muntah, anoreksia, nyeri dada, infeksi saluran pernapasan
atas, kongesti hidung dan sinus, pengecapan tidak enak,
kehilangan indra penciuman dan pengecapan, edema, demam,
gangguan menstruasi, eksim, gatal-gatal/pruritus, ruam, sakit
tenggorokan, diare, lambung sakit, flu, kandidiasis oral, sakit
kepala, rhinitis, sinusitis, gejala demam, hidung berair, sinusitis,
infeksi/kerusakan pada sinus, suara serak, timbul sputum,
pernafasan berbunyi, batuk, bersin dan infeksi telinga.
Flutikason : efek samping terjadi pada 3% atau lebih pasien
seperti sakit kepala, faringitis, kongesti hidung, sinusitis, rhinitis,
infeksi saluran pernapasan atas, influenza, kandidiasis oral, diare,
disfonia, gangguan menstruasi, hidung berair, rhinitis alergi dan
demam.
Triamsinolon : reaksi efek samping terjadi pada 3% atau lebih
pasien seperti faringitis, sinusitis, sindrom flu, sakit kepala dan
sakit punggung.
4) Contoh Obat

17

Deksametason, metil prednisolon, prednison, triamsinolon,


beklometason, budesonid, flutikason, flunisolid, mometason.

f. Antagonis Reseptor Leukotrien


Zafirlukast
1) Mekanisme Kerja
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang
selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat
(SRSA - slow-reacting substances of anaphylaxis). Produksi
leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan edema
saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas
selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.
2) Indikasi

Profilaksis dan perawatan asma kronik pada dewasa dan anak di


atas 5 tahun.
3) Efek Samping

Efek samping terjadi pada 3% pasien seperti sakit kepala, mual


dan infeksi.
Montelukast Sodium
1) Mekanisme Kerja
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan
aktif pada penggunaan oral, yang menghambat reseptor
leukotrien

sisteinil

(CysLT1).

Leukotrien

adalah

produk

metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan dari sel mast dan


eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan
dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses
inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma.
2) Indikasi
Profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak-anak >
12 bulan.

18

3) Efek Samping
Asma : efek samping terjadi lebih pada 3% pasien seperti
influenza. Pada anak 6-12 tahun, efek samping yang terjadi
dengan frekuensi 2 % adalah diare, laringitis, faringitis, mual,
otitis, sinusitis, infeksi virus. Pada anak 2-5 tahun, efek samping
yang terjadi dengan frekuensi 2% adalah rinorea, otitis, sakit
telinga, bronkhitis, sakit lengan, rasa haus, bersin-bersin, ruam
dan urtikaria.
Zilueton
1) Mekanisme Kerja

Zilueton

adalah

inhibitor

spesifik

5-

lipoksigenase dan selanjutnya menghambat pembentukan (LTB1,


LTC1, LTD1, Lte1).
2) Indikasi Profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak
> 12 tahun.
3) Efek Samping Efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih

seperti sakit kepala, nyeri, sakit perut, rasa lelah, dispepsia, mual,
myalgia.
g. Obat-Obat Penunjang
Ketotifen Fumarat
1) Mekanisme Kerja
Ketotifen adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara
nonkompetitif dan relatif selektif reseptor H1, menstabilkan sel
mast dan menghambat penglepasan mediator dari sel-sel yang
berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas.
2) Indikasi

Manajemen

profilaksis

asma.

Untuk

mendapatkan

efek

maksimum dibutuhkan waktu beberapa minggu. Ketotifen tidak


dapat digunakan untuk mengobati serangan asma akut.
3) Efek Samping

Mulut kering, mengantuk dan rasa malas, meningkatkan nafsu


makan, menaikkan berat badan, stimulasi susunan saraf pusat dan
reaksi kulit parah.
B. N-Asetilsistein
1) Mekanisme Kerja
19

Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok


sulfhidril

pada

memecahkan

molekul,

ikatan

yang

disulfida

bekerja
antara

langsung
ikatan

untuk

molekular

mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan


viskositas

mukus.

Aktivitas

mukolitik

pada

asetilsistein

meningkat seiring dengan peningkatan pH.


2) Indikasi
Asetilsistein merupakan terapi tambahan untuk sekresi mukus
yang tidak normal, kental pada penyakit bronkopulmonari kronik
(emfisema kronik, emfisema pada bronkhitis, bronkhitis asma
kronik,

tuberkulosis,

amiloidosis

paru-paru);dan

penyakit

bronkopulmonari akut (pneumonia, bronkhitis, trakeobronkhitis).


3) Efek Samping
Stomatitis, mual, muntah, demam, rhinorea, mengantuk,
berkeringat, rasa sesak di dada, bronkokonstriksi, bronkospasma,
iritasi trakea dan bronkial (Depkes, 2007).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas.
2. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit
T, makrofag, netrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor
20

lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas


pada pasien asma.
3. Bersifat episodik, dan dapat hilang spontan atau dengan pengobatan.
4. Faktor risiko asma dibedakan menjadi dua kelompok faktor genetik dan
faktor lingkungan.
5. Gejala awal berupa batuk terutama pada malam atau dini hari, sesak
napas,

napas

berbunyi

(mengi)

yang

terdengar

jika

pasien

menghembuskan napasnya, rasa berat di dada, dahak sulit keluar.


6. Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara (intermiten, persisten ringan, persisten sedang,
persisten berat).
7. Terapi penyakit asma dapat dilakukan melalui terapi non famakologi dan
terapi farmakologi dengan menggunakan obat golongan simpatomimetik,
xantin, antikolinergik, kromolin sodium dan nedokromil, kortikosteroid,
antagonis reseptor leukotrien, serta obat-obat penunjang lainnya.
B. Saran
Adapun saran yang dapat saya sampaikan yaitu untuk pembaca yang
berisiko menderita penyakit asma agar sedini mungkin menghindari faktor
risiko penyebab penyakit asma, dan sebagai seorang farmasis agar lebih
memahami cara penanganan atau pengobatan penyakit asma yang efektif dan
efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.


Menkes RI. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1023/ Menkes/ SK/ XI/ 2008 Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Jakarta.
Depkes (2007). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma. Jakarta: Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan.
21

Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting: Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: Gramedia.

22

Anda mungkin juga menyukai