Anda di halaman 1dari 21

BAB I

LAPORAN KASUS
A.

IDENTIFIKASI
Nama

: Geofani Tobing

Umur

: 4 bulan

Jenis kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Kebangsaan

: Indonesia

Alamat

: Jalan Muri Raya Barat Kecamatan Sako

MRS

: 31 Oktober 2012 pukul 01.00 WIB

B. ANAMNESA
(Alloanamnesis dengan ibu penderita, 31 Oktober 2012)
Keluhan Utama

: Sesak Napas

Keluhan Tambahan

: Demam tinggi

Riwayat Perjalanan Penyakit


Tiga hari SMRS, anak mengalami demam tinggi terus menerus, tetapi tidak
disertai batuk dan pilek, anak juga mengalami BAB cair ampas 4x/hari, gelas
belimbing, tidak ada darah dan lendir. Anak dibawa ke bidan diberi 2 macam obat
tapi tidak ada perbaikan.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit, anak masih demam tinggi, sesak yang
tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, dan perubahan posisi, anak juga
mengalami kejang umum tonik klonik (1x) 5 menit, lalu dibawa ke rumah sakit
cabang charitas dirawat selama satu hari, 12 jam SMRS, anak semakin sesak lalu
dirujuk ke RSMH.

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan

: Cukup bulan

Partus

: Spontan

Ditolong oleh

: Bidan

Tanggal

: 27 Juni 2012

Berat badan lahir

: 2500 gram

Panjang badan lahir

: 48 cm

Keadaan saat lahir

: Langsung menangis

Riwayat Makan
ASI

: 0 2 minggu

Susu Formula : 2 minggu sekarang


Riwayat Perkembangan
Anak masih terlentang, belum bisa tengkurap
Riwayat Imunisasi
DPT

: 1 kali

Polio : 1 kali
C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 31 Oktober 2012
Keadaan Umum
Kesadaran

: E3M4V3

Tekanan darah

:-

Nadi

: 116 x/menit

Pernapasan

: 78 x/menit

Suhu

: 40,1 C

Berat Badan

: 5,5 kg

Tinggi Badan

: cm

Anemis

: tidak ada

Sianosis

: tidak ada

Ikterus

: tidak ada

Dispnea

: ada

Edema

: tidak ada

Status Gizi: BB/U

: 5,5/7,4 x 100% = 74,32%

TB/U

: 62/65 x 100% = 95,4%

BB/TB

: 5,5/6,4 x 100% = 85,9%

Kesan

: gizi kurang

Keadaan Spesifik

Kepala
Bentuk

: Normoensefali, simetris

Rambut

: Hitam, tidak mudah dicabut.

Mata

: Cekung (-), Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+


normal, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)

Hidung

: Sekret (-), napas cuping hidung (+).

Telinga

: Sekret (-)

Mulut

: mulut dan bibir kering (-), sianosis (-).

Tenggorokan : T1-T1 hiperemis (-)


Leher

: Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat.

Thorak
Paru-paru
Inspeksi

: Statis, dinamis simetris, retraksi (+) SC, IC

Palpasi

: Stemfremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: Vesikuler (+) meningkat, ronki basah halus nyaring


(+/+), wheezing (-/-).

Jantung
Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat, voussure cardiac tidak


terlihat.

Palpasi

: Thrill tidak teraba, iktus tidak teraba

Perkusi

: Dalam batas normal

Auskultasi

: HR: 116 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, bising


(-)

Abdomen
Inspeksi

: Datar

Palpasi

: Lemas, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Lipat paha dan genitalia: Pembesaran KGB (-)

Ekstremitas

: Akral dingin (-), sianosis (-), edema (-)

Pemeriksaan Neurologis
Fungsi motorik
Pemeriksaan
Gerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Reflek fisiologis
Reflek patologis
Fungsi sensorik

Tungkai

Tungkai

Lengan

Lengan

Kanan
Kiri
Cukup
Cukup
5
5
Eutoni
Eutoni
+ normal
+ normal
: Dalam batas normal

Kanan
Cukup
5
Eutoni

Kiri
Cukup
5
Eutoni

+ normal
-

+ normal
-

Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal


GRM
D.

: Kaku kuduk tidak ada

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Hematologi (31Oktober 2012)
Hemoglobin

: 9,1 g/dl

Eritrosit

: 3.670.000/mm3

Hematokrit

: 25 vol%

Leukosit

: 24.400/mm3

Trombosit

: 134.000/mm3

LED

: 50 mm/jam

Diff. Count

: 0/0/0/89/7/4

Pemeriksaan Kimia Klinik (31 Oktober 2012)


Uric acid

: 12,3 mg/dl

Ureum

: 62 mg/dl

Creatinin

: 0.8 mg/dl

Natrium

: 148 mmol/l

Kalium

: 2,4 mmol/l

Kalsium

: 8,3 mmol/l

Phospor

: 3,5 mg/dl

Clorid

: 114 mmol/l

Seroimunologi (31 Oktober 2012)


CRP kuantitatif: 5 mg/l
Urinalisa (31 Oktober 2012)
Protein

: (++)

Glukosa

: (-)

Keton

: (-)

Darah

: (-)

Bilirubin

: (-)

Nitrit

: (-)

SEDIMEN
Leukosit

:02

Eritrosit

:01

Silinder

: (+)

Epitel

: (-)

AGD
PH

: 7,102

PCO2

: 102,2 mmHg

PO2

: 22,2 mmHg

SO2

: 38 %

Na

: 140,1 mmol/L

: 1,54 mmol/L

HCO3-

: 32,1 mmol/L

TCO2

: 35,3 mmol/L

BEecf

: 2,3 mmol/L

Beb

: 1,7 mmol/L

A/: Asidosis respiratorik + hipokalemia


Rontgen Thorax
Soft tissue thorax tak tampak kelainan
Tulang-tulang tampak simetris, tak tampak kelainan
Aerasi kedua paru normal
Tampak lesi radioopque tak homogen di paracardial dan parahiler ka-ki
Medistinum di tengah dan tak melebar
Cor dalam batas normal
Diaphragma: Contour smooth, lengkungan diaphragma normal, dan
menempati posisi yang normal
Sudut costophrenic bersih
Kesan: BP Duplex
E. DIAGNOSIS BANDING
Bronkopneumonia
Bronkitis akut
Bronkiolitis
F. DIAGNOSIS KERJA
Bronkopneumonia
G. PENATALAKSANAAN

Oksigen sungkup 5 L/menit

IVFD D10 NS

Antibiotik: Ampicillin 3x350 mg, Kloramfenikol 2x 250 mg

Antipiretik: Paracetamol 3x 60 mg

H. RENCANA PEMERIKSAAN

Pemeriksaan darah rutin, CRP, elektrolit, fungsi ginjal, AGD, dan rontgen
thorax.
I.

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak
(patchy distribution).
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau
beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat
(Whalley and Wong, 1996).
Bronchopneumina adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk
produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi
meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).
Bronkopneumonia

adalah

peradangan

pada

paru

dimana

proses

peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi


di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal.
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paruparu yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia
Anderson, 1994).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa
lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang
disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.1
2.2. Klasifikasi Pneumonia
Klasifikasi menurut Zul Dahlan (2001) :
a. Berdasarkan ciri radiologis dan gejala klinis, dibagi atas :
Pneumonia tipikal, bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris dengan
opasitas lobus atau lobularis.

Pneumonia atipikal, ditandai gangguan respirasi yang meningkat lambat


dengan gambaran infiltrat paru bilateral yang difus.
b. Berdasarkan faktor lingkungan
Pneumonia komunitas
Pneumonia nosokomial
Pneumonia rekurens
Pneumonia aspirasi
Pneumonia pada gangguan imun
Pneumonia hipostatik
c. Berdasarkan sindrom klinis

Pneumonia bakterial berupa : pneumonia bakterial tipe tipikal yang


terutama mengenai parenkim paru dalam bentuk bronkopneumonia dan
pneumonia lobar serta pneumonia bakterial tipe campuran atipikal yaitu
perjalanan penyakit ringan dan jarang disertai konsolidasi paru.

Pneumonia non bakterial, dikenal pneumonia atipikal yang disebabkan


Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae atau Legionella.

Klasifikasi berdasarkan Reeves (2001) :


a.

Community Acquired Pneunomia dimulai sebagai penyakit pernafasan umum


dan bisa berkembang menjadi pneumonia. Pneumonia Streptococal
merupakan organisme penyebab umum. Tipe pneumonia ini biasanya
menimpa kalangan anak-anak atau kalangan orang tua.

b.

Hospital Acquired Pneumonia dikenal sebagai pneumonia nosokomial.


Organisme seperti ini

aeruginisa pseudomonas. Klibseilla atau aureus

stapilococcus, merupakan bakteri umum penyebab hospital acquired


pneumonia.
c.

Lobar dan Bronkopneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi


infeksi. Sekarang ini pneumonia diklasifikasikan menurut organisme, bukan
hanya menurut lokasi anatominya saja.

10

d.

Pneumonia viral, bakterial dan fungi dikategorikan berdasarkan pada agen


penyebabnya,

kultur

sensifitas

dilakukan

untuk

mengidentifikasikan

organisme perusak.2
2.3 Etiologi
a. Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram
posifif seperti : Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan

streptococcus

pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti Haemophilus influenza, klebsiella


pneumonia dan P. Aeruginosa.
b. Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi droplet.
Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia
virus.
c. Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui
penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada
kotoran burung, tanah serta kompos.
d. Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya
menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi. (Reeves, 2001)2
2.4. Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anakanak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada
anak di bawah umur 2 tahun.(1)
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama
dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang
sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia

11

merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor


7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di
Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi
akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk
pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12
kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat
infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di
Amerika adalah 10 %.Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia
hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan
waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal
pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.Hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati
urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP
Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 %
diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 % diantaranya kasus
nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 %
diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 %
kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan
angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat
keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.3
2.5 Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan
berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam
saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :Inhalasi langsung

12

dari udaraAspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring


Perluasan langsung dari tempat-tempat lain Penyebaran secara hematogen
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk
mencegah infeksi yang terdiri dari : Susunan anatomis rongga hidung Jaringan
limfoid di nasofaring Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus
respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. Refleks
batuk. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A. Sekresi
enzim enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai
antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka
mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan
radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme
tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium,
yaitu : A. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu
pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang
terinfeksi.
Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja
sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
B. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu

13

alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. C.
Stadium III (3 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel
darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti. D.
Stadium IV (7 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi
sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat
lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula.4
2.6 Gejala Klinik
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal
penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya
berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : Inspeksi : pernafasan cuping hidung
(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga. Palpasi : Stem fremitus
yang meningkat pada sisi yang sakit. Perkusi : Sonor memendek sampai beda
Auskultasi : Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras) disertai ronki
basah gelembung halus sampai sedang.

14

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya


daerah yang terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya
kelainan.Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus
sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin
pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi
terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa
pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.
Pemeriksaan Laboratorium

Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000


40.000/ mm3 dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak
meningkat berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma.

Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun

Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan


hiperkarbia. Pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.

Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah diambil dengan biopsi


jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi
pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab. Kultur
dahak dapat positif pada 20 50% penderita yang tidak diobati.

LED meningkat5

2.7 Diagnosis Banding

Bronkiolitis

Bronkitis akut

TB paru6

2.8 Penegakkan Diagnosis

15

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik


yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai
pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati
pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya
komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau
perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada
bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar
hemoglobin

biasanya

normal

atau

sedikit

menurun.

Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena


pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan
kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO
mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana.
Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan :

Bronkopneumonia sangat berat :


Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka
anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

Bronkopneumonia berat :
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi
antibiotika.

Bronkopneumonia :
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
>60x/menit pada anak usia <2 bulan, >50 x/menit pada anak usia
2 bulan 1 tahun, > 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.

Bukan bronkopenumonia :
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak
perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika. Diagnosis pasti
dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:
1.

Kultur sputum atau bilasan cairan lambung

16

2.

Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab),


terutama virus

3.

Deteksi antigen bakteri5

2.9. Penatalaksanaan
Sebaiknya pengobatan antibiotik diberikan berdasarkan etiologi dan uji
resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang
cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifarmasi maka yang
biasanya diberikan Ampicillin: 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis, ditambah
dengan kloramfenikol 25-50 mg/kgBB/hari (<6 bulan), 50-75 mg/kgBB/hari (> 6
bulan) atau gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis.
Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran
glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10
mEq/500 ml/botol infus.
Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat
kurang makan dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah
arteri. Pasien bronkopnemonia ringan tidak usah dirawat dirumah sakit.6
2.10. Komplikasi

Empyema toracis

Pneumothorax

Perikarditis purulenta

Meningitis purulenta7

2.11. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1%, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan

17

peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan


memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Keduaduanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi
dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor
infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.7
2.12 Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak
dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya
tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup
sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang
cukup, rajin berolahraga, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
terinfeksi antara lain:

Vaksinasi Pneumokokus

Vaksinasi H. influenza

Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan


tubuh rendah

Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.6

18

BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang anak berusia 4 bulan datang dengan keluhan utama sesak napas. Dari
anamnesis didapatkan bahwa tiga hari SMRS, anak mengalami demam tinggi terus
menerus, tetapi tidak disertai batuk dan pilek, anak juga mengalami BAB cair ampas
4x/hari, gelas belimbing, tidak ada darah dan lendir. Anak dibawa ke bidan diberi 2
macam obat tapi tidak ada perbaikan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, anak
masih demam tinggi, sesak yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas, cuaca, dan
perubahan posisi, anak juga mengalami kejang umum tonik klonik (1x) 5 menit,
lalu dibawa ke rumah sakit cabang charitas dirawat selama satu hari, 12 jam SMRS,
anak semakin sesak lalu dirujuk ke RSMH.
Hasil anamnesis terdapat gejala berupa sesak napas, demam tinggi, batuk.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya pernapasan cepat dan dangkal, napas cuping
hidung, retraksi, suara napas vesikuler meningkat, dan adanya suara napas tambahan
ronki basah halus nyaring. Pada pemeriksaan laboratorium, terjadi leukositosis, LED
meningkat. Pada pemeriksaan rontgen tampak ada lesi radioopaque tak homogen di
paracardial dan perihiler kanan kiri paru yang mengesankan bronkopneumoni duplex.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (lab dan rontgen)
pasien ini dapat didiagnosis mengalami bronkopneumonia.
Penatalaksanaan kasus pada pasien ini adalah antibiotik yang merupakan
kunci utama keberhasilan pada kasus bronkopneumonia yang diduga disebabkan oleh
infeksi bakteri. Sebaiknya pengobatan antibiotik diberikan berdasarkan etiologi dan
uji resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang
cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifarmasi maka yang
biasanya diberikan Ampicillin: 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis, ditambah dengan
kloramfenikol 25-50 mg/kgBB/hari (<6 bulan), 50-75 mg/kgBB/hari (> 6 bulan) atau
gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Pemberian oksigen dan cairan intravena,
biasanya diperlukan campuran glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1
ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol infus dapat diberikan sebagai terapi

19

suportif. Karena pasien sudah jatuh kedalam asidosis metabolik maka diberikan
koreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah arteri.
Prognosis pada kasus ini, dapat sembuh total, mortalitas kurang dari 1%,
mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi
energi-protein berat dan datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara
malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan
melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh.
Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh
terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama
dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan
dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.

20

DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2004.
2. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. EGC:
Jakarta. 2000.
3. Budiono E, Hidyam B, 2000, Berkala Ilmu Kedokteran, dalam Pola Kuman
Pneumonia pada Penderita di RSUP Dr. Sardjito 1995 1998, Vol. 32, No. 3,
Penerbit FK UGM, Yogyakarta, hal: 161-164.
4. Price SA, Wilson LM, 1995, Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease
Processes (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Prose Penyakit), Edisi 4,
Penerbit EGC, Jakarta, hal: 709-712.
5. Zul Dahlan.(2000). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
6. Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta. 2002.
7. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2000.

21

Anda mungkin juga menyukai