BAB 1.............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN..........................................................................................................................3
1.1
Latar Belakang...................................................................................................................3
1.2
Rumusan Masalah..............................................................................................................4
1.3
Tujuan Penelitian...............................................................................................................4
1.3
Manfaat Penelitian.............................................................................................................5
BAB 2.............................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................6
2.1
2.2
Perilaku............................................................................................................................40
BAB 3...........................................................................................................................................44
KERANGKA KONSEP................................................................................................................44
BAB 4...........................................................................................................................................45
METODOLOGI PENELITIAN....................................................................................................45
4.1
Desain Penelitian.............................................................................................................45
4.2
4.3
4.3.1
Populasi.................................................................................................................45
4.3.2
Sampel..................................................................................................................45
4.4
Kriteria Sampel................................................................................................................46
4.4.1
Kriteria Inklusi......................................................................................................46
4.4.2
Kriteria Ekslusi.....................................................................................................47
4.5
Instrumen Penelitian........................................................................................................47
4.6
Pengumpulan Data...........................................................................................................47
4.7
Definisi Operasional........................................................................................................47
4.8
Aspek Pengukuran...........................................................................................................48
4.9
4.9.1
Pengolahan Data....................................................................................................49
4.9.1
Analisis Data.........................................................................................................49
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Oleh karena itu, pihak Puskesmas Lempake berinisiatif untuk melakukan intervensi untuk
mengurangi angka kejadian DBD di wilayah tersebut.
Pada bulan November-Desember 2014 telah dilakukan intervensi untuk mengurangi
angka kejadian DBD pada wilayah tersebut yang dilakukan oleh pihak puskesmas dan
dokter internship di wilayah tersebut. Intervensi yang dilakukan meliputi pemasangan
spanduk sesuai dengan topik DBD, pengaktifan dasawisma, pembentukan desa siaga,
penyuluhan tentang DBD pada masyarakat melalui kader jumantik serta pengaktifan
kartu bebas jentik yang dilaporkan secara berkala ke puskesmas.
Pada bulan September terjadi kembali peningkatan kasus demam berdarah di
Kelurahan Lempake RT 37 sebanyak 9 kasus. Adanya peningkatan kasus pada RT. 37
Kelurahan Lempake membuat peneliti tertarik untuk meneliti pola prilaku pencegahan
gigitan nyamuk pada warga daerah tersebut dibandingkan dengan warga RT 20 kelurahan
Lempake yang saat ini sudah diintervensi dengan berbagai program puskesmas. Peneliti
juga ingin meneliti apakah terdapat perbedaan signifikan pada warga yang telah diberikan
intervensi dan warga yang belum mendapatkan intervensi untuk merubah prilaku.
Sehingga dari penelitian ini dapat pula dinilai apakah intervensi yang diberikan efektif
dalam meningkatkan pola prilaku warga terhadap pencegahan DBD.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan permasalahan penelitian yaitu bagaimana hubungan
tindakan promotif dan preventif yang telah dilakukan Puskesmas
Lempake dengan perilaku masyarakat terhadap pencegahan demam
berdarah.
d. Pendidikan Terakhir
2. Gambaran tingkat pengetahuan masyarakat kecamatan lempake
terhadap pencegahan demam berdarah.
3. Gambaran sikap masyarakat kecamatan
lempake
terhadap
Lempake
dengan
perilaku
masyarakat
kecamatan
Manfaat Penelitian
pengetahuan
peneliti
Hubungan
memberi
informasi
bagi
masyarakat
sehingga
dapat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 1.2 Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia
(Depkes, 2008)
2.1.3 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x10 6 (Sudoyo, 2006;
Soedarmo, 2012)
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue
atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis
dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat jenis
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Sudoyo, 2006;
Soedarmo, 2012).
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan.
Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di
dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar
rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, berbintik bintik putih, biasanya
menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini
100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air
jernih. Biasanya nyamuk ini berada di sekitar rumah dan pohon pohon, tempat
menampung air hujan yang bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk
ini menggigit pada siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter (Rampengan, 2008)
Gambar 1.4 Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus (WHO,
2011)
2.1.4
Patogenenis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi
demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan
model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis
DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagaian besar masih menganut the secondary
heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang
menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue
pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6
bulan sampai 5 tahun. (Soedarmo, 2012)
10
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel
kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru.
Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag
mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan
difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2006).
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke
11
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponenkomponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah
komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan
biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2006)
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang berfungsi
menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing antibody dan neutralizing
antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang dibedakan berdasarkan adanya
virion determinant spesificity, yaitu (Soedarmo, 2012):
1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi
memacu replikasi virus
2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus.
Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi
virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe
dengue yang berbeda cenderung menimbulkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis
adalah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis)
yang berlangsung sebagai berikut (Soedarmo, 2012):
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat
pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme
aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang
telah terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke
usus, hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen.
12
Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa syok adalah jumlah sel
yang terkena infeksi
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem
humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang
mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi.
Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD. Akibat
rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon
dan . Pada infeksi sekunder oleh virus dengue, Limfosit T CD4 berproliferasi dan
menghasilkan interferon . Interferon selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus
dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan
CD8 spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator
yang akan menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan (Soedarmo, 2012).
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan
diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke
empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas
protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada cross protectif terhadap serotip
virus yang lain (Soegijanto, 2006)
2.1.5
Manifestasi Klinis
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu (Pudjiadi, 2010):
13
Demam dengue atau disebut juga dengan demam dengue klasik lebih
sering pada anak yang lebih tua, remaja, dan dewasa. Secara umum, manifestasi
berupa demam akut, terkadang demam bifasik disertai dengan gejala nyeri kepala,
mialgia, atralgia, rash, leukopenia, dan trombositopenia. Adakalanya, secara tidak
biasa muncul perdarahan gastrointestinal, hipermenorea, dan epistaksis masif.
Pada daerah yang endemis, insidensi jarang muncul pada penduduk lokal (WHO,
2011).
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
Demam berdarah dengue lebih sering muncul pada anak usia kurang dari 15 tahun
pada daerah yang hiperendemis. Hal ini dikaitkan dengan infeksi virus dengue
berulang. Demam berdarah dengue memiliki karakteristik onset akut demam yang
sangat tinggi, disertai dengan tanda dan gejala yang sama dengan demam dengue.
Gejala perdarahan yang muncul dapat berupa tes torniquet yang positif, ptekie,
perdarahan gastrointestinal yang masif. Saat akhir dari fase demam, ada tendensi
untuk berkembang menjadi keadaan syok hipovolemik oleh karena adanya plasma
leakage (WHO, 2011).
Terdapat tanda bahaya, antara lain : muntah persisten, nyeri abdomen,
letargi, oligouria yang harus diketahui untuk mencegah syok. Kelainan hemostasis
dan adanya plasma leakage merupakan tanda utama dari demam berdarah dengue.
Trombositopenia dan peningkatan hematokrit harus segera ditemukan sebelum
muncul adanya tanda syok.
Demam berdarah dengue biasa terjadi pada infeksi sekunder virus dengue
yang mana sudah pernah terinfeksi oleh virus dengue DEN-1 dan DEN-3 (WHO,
2011)
4. Dengue Shock Syndrome (DSS)
Manifestasi yang tidak lazim melibatakn berbagai organ misalnya hepar,
ginjal, otak, dan jantung yang dikaitkan dengan infeksi dengue telah dilaporkan
meningkat pada berbagai kasus yang tidak memiliki bukti terjadinya plasma
14
2.1.6
Demam Dengue
Masa inkubasi antara 4 6
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam bersifat
bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari (WHO, 2011).
15
Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada, tubuh serta
abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama
kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari (Soedarmo, 2012).
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak nyaman
di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Gejala
klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang patognomonik
(Soedarmo, 2012).
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra demam
dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan
limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eusinofil
menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis
neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode
memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi normal
kembali dalam waktu 1 minggu (Soedarmo, 2012).
Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000
cell/mm3) dapat membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan angka
prediksi 70 80 %. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan (WHO, 2011):
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan dengan
demam yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.
Penggunaaan
analgesik,
antipiretik,
antiemetik,
dan
antibiotik
dapat
16
Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini
2.1.7
cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan pasien
tampak gelisah.
17
18
Diagnosis
2. Manifes
tasi
perdarahan, salah satu tergantung:
a. Uji torniket (+)
b. Petechie, ekhimosis ataupun purpura
c. perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis, perdarahan gusi
d. hematemesis dan melena
19
3. Hepatomegali
4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat dan
lemah, sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun sampai tidak
terukur, kulit lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20 mmHg), capillary refill
time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.
b. Kriteria Laboratoris
1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul)
2. Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20% setelah
mendapat terapi cairan).
Penegakan diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan atas 2 kriteria klinis
ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit.
Pembagian derajat Demam Berdarah Dengue menurut WHO ialah :
a. Derajat I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
b. Derajat II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
c. Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit
lembab dan penderita gelisah.
d. Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa.
Laboratorium
- Leukopenia
20
Dengue
DBD
DBD
II
DBD
(DSS)
III
DBD
(DSS)
IV
2.1.9
berikut :
- Nyeri Kepala
- Nyeri retro-orbita
- Mialgia
- Rash
- Atralgia/Nyeri tulang
- Manifestasi perdarahan
- Tanpa disertai adanya
plasma Leakage
Demam disertai
manifestasi perdarahan
(torniquet tes + ) dan
adanya plasma leakage
Grade I ditambah
perdarahan spontan
Trombositopenia
( < 100.000 sel/mm3 )
Hematokrit Meningkat
( > 20 % )
Trombositopenia
( < 100.000 sel/mm3 )
Hematokrit Meningkat
( > 20 % )
Trombositopenia
( < 100.000 sel/mm3 )
Hematokrit Meningkat
( > 20 % )
Trombositopenia
( < 100.000 sel/mm3 )
Hematokrit Meningkat
( > 20 % )
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan
pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan
21
22
kulit lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah petechiae yang timbul dalam
lingkaran berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal dari vena cubiti. Test dikatakan
positif jika terdapat lebih dari dikatakan positif 10 petechiae dalam lingkaran tadi.
d. Pemeriksaan lainnya :
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi virus
dengue yaitu (WHO, 2011):
-
Isolasi Virus
Karakteristik serotypic/genotypic
enzyme-linked
immunosorbent
assay
(MAC-ELISA),
23
M/ Ig G digunakan untuk membedakan antara infeksi primer dan infeksi sekunder virus
dengue. Disebut infeksi primer jika perbandingan Ig M / Ig G lebih dari 1,2, dan disebut
infeksi sekunder jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2 (WHO, 2011).
b.
c.
Penyakit bakterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial disease,
Scarlet Fever
d.
Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding meliputi
infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama halnya dengan diagnosis
banding dari demam dengue. Adanya trombositopenia disertai dengan hemokonsentrasi
membedakan demam berdarah dengue dengan penyakit yang lainnya. Hasil yang normal
dari ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat membedakan dengue dengan infeksi
bakteri dan syok septik (WHO, 2011).
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok,
cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti
dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera
dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl
(0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid,
tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak
diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg
25
selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu
diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat
diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi
bakteri sekunder, makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis
(kombinasi ampisilin 100 mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan
tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah)
untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
b.
Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan,
maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan
untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik,
maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman
pemberian cairan selanjutnya.
c.
Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari
ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit),
pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem
paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.
26
2.1.12 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan
fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat
mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan
plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok,
Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke
fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima.
Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan.
Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis
dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan
jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan
plasma, pengganti plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang
tepat. (Hadinegoro, 2004)
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan
biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk
dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil,
sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang
senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera
dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka
kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada
waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan
tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para
dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok) dengan baik. (Hadinegoro, 2004)
1. Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan:
27
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping
air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat
terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita
sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas
saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat
tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD
tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa
nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa
seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut
merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit.
Penerangan untuk orang tua tertera pada Lampiran 1. Pada pasien yang tidak mengalami
komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD
tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD). (Hadinegoro, 2004)
2. Demam Berdarah Dengue
Ketentuan Umum
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi
mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka
keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis
yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan
plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal
28
terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit.
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah
trombosit sampai <100.000/l atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata dihitung pada
10 lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu.
Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan merupakan
indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan
awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit.
Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan
penurunan jumlah trombosit <50.000/l. Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat
dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit
kelas B dan A.
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila
cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadangkadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi
lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat
disederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1
Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur
Umur (tahun)
<1
1-3
4-6
7-12
>12
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis,
sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam
29
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100
ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan
disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama demam.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode
kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran
plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya
terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus
diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila
sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat
dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. (Hadinegoro, 2004)
Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.(Hadinegoro,
2004)
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah
penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus
diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3
jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, dan jumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,
seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.(Hadinegoro, 2004)
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) terus menerus muntah, tidak mau minum,
demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung
meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari
derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan
30
NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB
intravena bolus perlahan-lahan. (Hadinegoro, 2004)
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan
yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan
sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan +
defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini. (Hadinegoro, 2004)
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5-8%)
Berat Badan Waktu Masuk RS
(kg)
<7
7-11
12-18
>18
Jumlah cairan
ml/kg berat badan per hari
220
165
132
88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan
berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan
ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari
tabel 3 berikut. (Hadinegoro, 2004)
Tabel 3
Kebutuhan Cairan Rumatan
Berat Badan (kg)
10
10-20
>20
Misalnya untuk berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20)
=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan
plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka
volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma,
yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang
berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi
31
cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak
dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres pernafasan(Hadinegoro, 2004)
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu
gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan
nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak dari
kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi
cairan intravena.(Hadinegoro, 2004)
Jenis Cairan (rekomendasi WHO)
Kristaloid
Dekstran 40
Plasma
Albumin
32
33
34
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah,
dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1
ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda
overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap
harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok
belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.
(Hadinegoro, 2004)
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat dibagi
dalam 3 bagian, yaitu:(Suhendro, 2006)
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD
derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit. (Bagan 4)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV. (Bagan 5)
35
Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadak
terus menerus <7 hari
tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,
badan lemah/lesu
Ada kedaruratan
Tanda syok
Muntah terus menerus
Kejang
Kesadaran menurun
Muntah darah
Berak darah
Jumlah trombosit
<100.000/l
Jumlah trombosit
>100.000/l
Tatalaksana
disesuaikan,
(Lihat bagan 3,4,5)
Rawat Jalan
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam hilang
Rawat Inap
(lihat bagan 3)
Rawat Jalan
Minum banyak 1,5 liter/hari
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam turun
periksa Hb, Ht, trombosit tiap
kali
Infus ganti RL
(tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)
Perbaikan
Tidak gelisah
Nadi kuat
Tek.darah stabil
Diuresis cukup
(12 ml/kgBB/jam)
Ht turun
(2x pemeriksaan)
Tetesan dikurangi
Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan
5 ml/kgBB/jam
Perbaikan
Sesuaikan tetesan
Distress pernafasan
3 ml/kgBB/jam
Ht turun
Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHg
Koloid
20-30 ml/kgBB
Perbaikan
38
1. Lanjutkan cairan
15-20 ml/kgBB/jam
2. Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FFP
3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Syok belum teratasi
Syok teratasi
Ht turun
Ht tetap tinggi/naik
39
2.1.13 Prognosis
Bila tidak disertai renjatan dalam 24 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi
baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan
prognosisnya menjadi buruk (Rampengan, 2008). Penyebab kematian Demam Berdarah
Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. (Soegijanto, 2001). Secara keseluruhan tidak terdapat
perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih
banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki laki. Penyebab kematian tersebut
antara lain (Rampengan, 2008) :
1. Syok lama
2. Overhidrasi
3. Perdarahan masif
4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak
syok
2.1.14 Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vector virus
dengue. Pengendalian vektor bertujuan (Purnomo, 2010) :
1. Mengurangi populasi vektor serendah rendahnya sehingga tidak berarti lagi
sebagai penular penyakit.
2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.
Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan
lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan
aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu pandangan untuk
mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia-vektor-patogen. Pengendalian
vektor dapat berupa (Purnomo, 2010):
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan
monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap
keluarga,
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
40
pada tempat
penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion) yaitu : 10 gram meter 100 liter air.
Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja
bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk (Soedarmo, 2012).
41
2.2
Perilaku
Perilaku merupakan semua aktivitas manusia yang dapat
diamati secara langsung ataupun tidak langsung oleh orang lain.
Perilaku dibedakan menjadi 2 berdasarkan bentuk respon terhadap
stimulus :
1. Perilaku tertutup (Covert Behavior)
Respon ini terselubung atau tertutup karena tidak dapat diamati
secara jelas oleh orang lain. Perilaku tertutup dapat berupa
perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap, Misalnya :
seorang ibu hamil mengetahui bahwa pemeriksaan kehamilan itu
penting, seorang pria mengetahui hubungan seks merupakan media
penularan HIV/AIDS.
2. Perilaku terbuka (Overt Behavior)
Respon ini merupakan tindakan terbuka karena dapat dengan
mudah diamati oleh orang lain. Perilaku ini berupa tindakan nyata
atau praktik. Misalnya : seorang ibu memeriksa kehamilannya atau
membawa anaknya imunisasi di Puskesmas Error: Reference source
not found.
Respon yang muncul tergantung pada karakteristik dan faktorfaktor
lain
dari
orang
yang
bersangkutan.
Hal
tersebut
ekternal
merupakan
faktor
yang
dominanError:
yang
sangat
penting
yang
42
yang
telah
43
diukur
Pengukuran
secara
secara
menanyakan
langsung
langsung
pendapat
maupun
dapat
responden
tidak
langsung.
dilakukan
dengan
terhadap
suatu
cara
objek
utuh.
Pengetahuan,
pikiran,
keyakinan
dan
emosi
memperhatikan
44
Merupakan
praktik
tingkat
pertama
dimana
orang
yang
BAB 3
KERANGKA KONSEP
45
Host
Lingkungan
Agen
Faktor-Faktor yang
mempengaruhi
Karakteristik
Responden
Jenis Kelamin
Usia
Pekerjaan
pendidikan
Perilaku Terhadap
Pencegahan DBD
Pengetahuan
Sikap
Tindakan
Keterangan :
46
4.1
Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
analitik
kategorik
tidak
berpasangan
dengan
desain
kuantitatif
menggunakan kuesioner.
4.2
4.3
4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh unit keluarga di RT 20
dan RT 37 Kelurahan Lempake.
4.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian dari seluruh unit keluarga di
RT 20 dan RT 37 Kelurahan Lempake. Setiap unit keluarga akan diwakili oleh
kepala keluarga atau pasangannya.
Rumus besar sampel yang digunakan adalah:
N1 N 2
( Z 2 PQ Z P1Q1 P2 Q 2 ) 2
( P1 P2 ) 2
= deviat baku
alfa
Q
P22
Q
P11
= 1-
= Proporsi Total =
P
Q
47
N1 N 2
N1 N 2
(Z
2 PQ Z
P1Q1 P2 Q2 ) 2
( P1 P2 ) 2
(1,64 2 0,3 0,7 1,28 0,5 0,5 0,11 0,89 ) 2
(0,3) 2
37
4.4
Kriteria Sampel
4.5
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
48
4.6
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer
yang diperoleh melalui metode angket.
4.7
Definisi Operasional
Umur
Jenis
kelamin
Pekerjaan
Pendidikan
Pengetahua
n
Sikap
Tindakan
Definisi
Operasional
Waktu lama hidup
Responden
saat
mengisi kuesioner
Fungsi
seksual/gender
siswa
yang
dituliskan
dalam
kuesioner
Kegiatan
mencari
nafkah
yang
dilakukan
kepala
keluarga
atau
pasangannya
sehari-hari
Pendidikan Terakhir
kepala
keluarga
atau pasangannya
yang
dituliskan
dalam kuesioner
Hasil
Skala
Ukur/kategori
Dalam ukuran Ordinal
tahun
Laki-laki
Perempuan
-PNS
-Swasta
-Petani
-Pedagang
-
Segala
sesuatu yang diketahui oleh kepala
keluarga atau pasangannya
tentang
demam
berdarah
dan
pencegahannya
Respon atau reaksi kepala
keluarga atau pasangannya tentang
demam
berdarah
dan
pencegahannya
Perbuatan
yang merupakan
perwujudan
dari
pengetahuan dan sikap siswa yang
diukur
melalui
Nomina
l
Nomina
l
Tidak
Sekolah
SD
SMP
SMA
Sarjana
Baik
Sedang
Kurang
Ordinal
Baik
Sedang
Kurang
Nomina
l
Pernah
Dulu
pernah
Tidak
pernah
Nomina
l
Nomina
l
49
kuesioner
4.8
Aspek Pengukuran
1. Pengetahuan
Pengetahuan responden diukur melalui 7 pertanyaan. Dengan
penilaian sebagai berikut :
Pertanyaan nomor 1,2,3,4,5,6
Jika responden menjawab benar diberi skor 1, sedangkan yang
menjawab tidak beri diberi skor 0.
Pertanyaan nomor 7
Jika responden mengisi salah satu pilihan dari diberi skor 1,
sehingga jika menjawab semua pilihan diberi skor 4, sedangkan
setiap pilihan yang tidak di isi diberi skor 0.
Skor tertinggi yang dapat dicapai oleh responden adalah 10.
Berdasarkan
jumlah
skor
yang
diperoleh
maka
pengetahuan
50
Penelitian
ini
Pengolahan
data
dilakukan
dengan
kecamatan
lempake
terhadap
pencegahan
demam
berdarah.
KODE
Desember
Januari
1 2 3 4 1 2 3 4
52
DAFTAR PUSTAKA
53
Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.
Trihadi, Djoko. 2012. Demam Berdarah Dengue. Semarang : Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang.
WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO
WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorraghic Fever. India : WHO
Wibowo, Krisnanto, dkk. 2011. Pengaruh Tranfusi Trombosit terhadap Terjadinya
Perdarahan Masif pada Demam Berdarah Dengue. Yogyakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
54
4. Menurut anda, apa yang sebaiknya dapat dilakukan dirumah jika ada salah
seorang anggota keluarga diduga terkena DBD?
a. Memberi antibiotik dan jamu
b. Mengkompres dan memberi obat penurun demam
c. Memberikan jus jambu biji merah
55
No. Pertanyaan
Benar
Salah
7. Dibawah ini yang merupakan gejala DBD adalah (jawaban boleh lebih dan
satu)
o Demam dan sakit kepala
o Nyeri otot dan bintik-bintik merah
o Perdarahan (mimisan, perdarahan gusi, BAB berdarah)
o Pembesaran hati
Sikap Responden
Jawablah pertanyaan berikut dengan memberikan tanda contreng pada jawaban
yang anda anggap benar.
No.
Pertanyaan
Setuju
Tidak Setuju
56
Tindakan Responden
Jawablah pertanyaan berikut dengan memberikan tanda contreng pada jawaban
yang anda anggap benar
No.
Pertanyaan
1.
2.
3.
4.
5.
Ya
Tidak
57