Oleh:
Vivi Hafizarni
0810313172
0910312050
Yui Muya
0910312053
0910312056
Preseptor:
Dr. Dolly Irfandy, Sp.THT-KL
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................
DAFTAR GAMBAR....................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................
2
5
6
6
7
7
7
9
10
10
11
11
11
12
14
15
PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
16
17
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Hidung Luar................................................................................
13
14
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian dalam.
Hidung terhubung dengan tulang frontal dan maksila melalui pangkal hidung yang
dibentuk tulang nasalis. Hidung luar berbentuk piramid, terdiri dari pangkal
hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), kolumela, dan lubang hidung
(nares anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulang terdiri dari
krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan lamina
prependikularis os etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari tulang rawan septum
dan kolumela. Sedangkan hidung bagian dalam terdiri dari konka, meatus, dan
vestibulum. Konka dibagi menjadi konka superior, media, dan inferior. Meatus
terbagi menjadi 3, yaitu meatus superior, media, dan inferior.3
bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior
lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi
atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan
dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris
interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis
superior.4
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri
sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri
sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media,
memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung. Pada bagian
anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor, ethmoidalis
anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus
Kiesselbach atau Littles area. Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir
dari konka media terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari
arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens.4
Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus
(nervus V1). Bagian hidung lain dipersarafi juga secara sensoris oleh nervus maksilaris
melalui ganglion palatina. Ganglion sfenofalatina, selain memberikan persarafan sensoris,
juga membaerikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (nervus V2), serabut parasimpatis
dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nervus petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media.3
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.3
Trauma
Trauma merupakan penyebab epistaksis tersering. Perdarahan dari
dimana pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringat ikat dan sel-selnya lebih
sedikit.1
2.4.3
Infeksi lokal
Epistaksis dapat terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis, bisa juga akibat infeksi spesifik seperti rhinitis jamur,
tuberkulosis, lupus, sifilis, atau lepra.1 Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi
menyebabkan inflamasi mukosa hidung dan dapat berakibat pada epistaksis.
Perdarahan pada kasus ini biasanya ringan.8
2.4.4
Tumor
Epistaksis dapat terjadi pada hemangioma dan karsinoma, lebih sering
Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara leukemi, trompositopenia,
hemophilia, dan anemia.1 Pada pasien leukemia kronik atau akut atau multiple
mieloma, terutama pada stadium lanjut mengalami serangan epistaksis
11
berulang baik sebagai akibat proses penyakit dasar ataupun akibat pengobatan.
Karena infeksi berat lebih mudah terjadi pada pasien ini, maka pemakaian
tampon hidung anterior dan posterior harus dihindari. Meskipun kurang dapat
diandalkan, mula-mula dapat dicoba preparat trombin atau hemostatik topikal
seperti kapan Oxycel atau Gelfoam.8 Pada pasien hemofilia tipe A, B maupun
C, terjadi perdarahan secara spontan atau akibat truma ringan sampai sedang,
kelainan terjadi karena defisiensi atau disfungsi faktor pembekuan VIII (tipe
A) atau faktor IX (tipe B) atau faktor XI (tipe C).10
2.4.7
Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
Infeksi sistemik
Epistaksis dapat terjadi pada infeksi sistemik seperti demam berdarah,
mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim
12
dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu adanya
zat kimia di tempat industri yang bersifat korosif menyebabkan keringnya
mukosa hidung sehingga pembuluh darah mudah pecah.1,8
2.4.10 Gangguan hormonal
Epistaksis dapat terjadi pada wanit ahamil atau wanita menopause
karena pengaruh perubahan hormonal.1 Mukosa pada wanita dengan defisiensi
estrogen mengalami atrofi. Wanita yang telah menerima suplemen estrogen
umumnya
memiliki
riwayat
epistaksis,
dan
sebagian
besar
wanita
2.4 Tatalaksana1
Prinsip tatalaksana epistaksis adalah:
a. Perbaiki keadaan umum: lakukan pemeriksaan keadaan umum, nadi,
pernapasan, dan tekanan darah, bila terdapat kelainan atasi terlebih
dahulu dengan memasang infus. Jalan napas yang tersumbat oleh darah
atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap.
b. Cari sumber perdarahan: diperlukan pemeriksaan untuk menentukan
sumber perdarahan anterior atau posterior.
c. Hentikan perdarahan: pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah
dibasahi dengan adrenalin 1/5000 sampai 1/10000 dan patokain atau
13
Perdarahan posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya
perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan
rinoskopi anterior. Perdarahan posterior ditanggulangi dengan
pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.
14
Tampon dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan
diameter 3 cm, pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu
sisi dan satu buah di sisi berlawanan. Untuk memasang tampon
posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan kateter karet yang
dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu
ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter diikatkan 2 benang
tampon Bellocq, kemudia kateter ditarik melalui hidung sampai
benang keluar dan dapat ditarik tampon perlu didorong dengan
bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke
nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah
tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar
dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares
anterior, agar tampon yang terletak di nasofaring tetap pada
tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara
longgar pada pipi pasien, gunanya untuk menarik tampon keluar
melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena
dapat menyebabkan laserasi mukosa. Apabila perdarahan terjadi
dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan dua
kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan
tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai
pengganti tampon Bellocq dapat digunakan kateter Foleey yang
dikembangkan. Selain itu, terdapat pula tampon buatan pabrik
dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel
hemostatik.
Semakin
dikembangkan
juga
meningkatnya
teknik
penggunaan
kauterisasi
atau
endoskop,
ligase
arteri
15
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perdarahan dari hidung atau epistaksis adalah salah satu kegawatdaruratan
pada bidang telinga hidung tenggorok yang tersering. Perdarahan dari hidung ini
kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis,
tetapi pada epistaksis yang berat, walaupun jarang merupakan masalah
kedaruratan yang dapat berakibaat fatal bila tidak segera ditangani. Epistaksis
dibagi menjadi anterior dan posterior, tergantung dari tempat asal perdarahannya.
17
Epistaksis sering terjadi spontan tanpa penyebab yang jelas, namun dapat
juga akibat kelainan lokal seperti trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh
darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan dan kelainan
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik,
perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.
Penatalaksanaan epistaksis bervariasi tergantung penyebab, lokasi, dan
keparahan perdarahan yang terjadi. Hampir seluruh penyebab epistaksis dapat
dihindari. Pengetahuan mengenai penyebab, tatalaksana, dan keberhasilan
tatalaksana penting untuk mencegah berulangnya perdarahan pada hidung. Prinsip
tatalaksana epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan,
hentikan perdarahan, dan mencari penyebab perdarahan sehingga perdarahan tidak
berulang.
DAFTAR PUSTAKA
18
dari
http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
pada
QA.
Epistaxis.
2014.
Diunduh
dari
19