Anda di halaman 1dari 7

2.1.

Infeksi Menular Seksual


2.1.1. Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual
Penyakit kelamin (veneral diseases) sudah lama dikenal dan beberapa di antaranya
sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonore. Dengan semakin majunya ilmu
pengetahuan, seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat, banyak ditemukan
penyakit-penyakit baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi
sexually transmitted disease (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS).
Perubahan istilah tersebut memberi dampak terhadap spektrum PMS yang semakin luas
karena selain penyakit-penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit kelamin (VD) yaitu
sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venerum dan granuloma inguinale juga termasuk
uretritis non gonore (UNG), kondiloma akuminata, herpes genitalis, kandidosis,
trikomoniasis, bakterial vaginosis, hepatitis, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis,
dan lain-lain. Sejak tahun 1998, istilah STD mulai berubah menjadi STI (Sexually
Transmitted Infection), agar dapat menjangkau penderita asimtomatik.
Peningkatan insidens IMS dan penyebarannya di seluruh dunia tidak dapat diperkirakan
secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa pelaksanaan program penyuluhan yang
intensif akan menurunkan insiden IMS atau paling tidak insidennya relatif tetap. Namun
demikian, di sebagian besar negara, insiden IMS relatif masih tinggi dan setiap tahun
beberapa juta kasus baru beserta komplikasi medisnya antara lain kemandulan, kecacatan,
gangguan kehamilan, gangguan pertumbuhan, kanker bahkan juga kematian memerlukan
penanggulangan, sehingga hal ini akan meningkatkan biaya kesehatan. Selain itu pola infeksi
juga mengalami perubahan, misalnya infeksi klamidia, herpes genital, dan kondiloma
akuminata di beberapa negara cenderung meningkat dibanding uretritis gonore dan sifilis.
Beberapa penyakit infeksi sudah resisten terhadap antibiotik, misalnya munculnya galur
multiresisten Neisseria gonorrhoeae, Haemophylus ducreyi dan Trichomonas vaginalis yang
resisten terhadap metronidazole. Perubahan pola infeksi maupun resistensi tidak terlepas dari
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Menurut Hakim (2009) dalam Daili (2009), perubahan pola distribusi maupun pola
perilaku penyakit tersebut di atas tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya,
yaitu:
1. Faktor dasar
a) Adanya penularan penyakit

b) Berganti-ganti pasangan seksual


2. Faktor medis
a) Gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis
b) Pengobatan modern
c) Pengobatan yang mudah, murah, cepat dan efektif, sehingga risiko resistensi tinggi,
dan bila disalahgunakan akan meningkatkan risiko penyebaran infeksi.
3. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan pil KB hanya bermanfaat bagi pencegahan
kehamilan saja, berbeda dengan kondom yang juga dapat digunakan sebagai alat
pencegahan terhadap penularan IMS.
4. Faktor sosial
a) Mobilitas penduduk
b) Prostitusi
c) Waktu yang santai
d) Kebebasan individu
e) Ketidaktahuan
Peningkatan insidens tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku risiko tinggi.
Penelitian menunjukkan bahwa penderita sifilis melakukan hubungan seks rata-rata sebanyak
5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya, sedangkan penderita gonore
melakukan hubungan seksual dengan rata-rata 4 pasangan seksual.
Menurut Hakim (2009) dalam Daili (2009), yang tergolong kelompok risiko tinggi
adalah:
1. Usia
a) 20-34 tahun pada laki-laki
b) 16-24 tahun pada wanita
c) 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin
2. Pelancong
3. Pekerja seksual komersial atau wanita tuna susila
4. Pecandu narkotik
5. Homoseksual

2.1.2. Penyebab Infeksi Menular Seksual


Menurut Handsfield (2001), infeksi menular seksual dapat diklasifikasikan menurut
agen penyebabnya, yakni:
a. Dari golongan bakteri, yakni Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum,
Chlamydia

trachomatis,

Haemophilus

ducreyi,

Calymmatobacterium

granulomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella


vaginalis, Salmonella sp., Shigella sp., Campylobacter sp., Streptococcus grup B.,
Mobiluncus sp.
b. Dari golongan protozoa, yakni Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica,
Giardia lamblia, dan protozoa enterik lainnya.
c. Dari golongan virus, yakni Human Immunodeficiency Virus (tipe 1 dan 2), Herpes
Simplex Virus (tipe 1 dan 2), Human Papiloma Virus (banyak tipe),
Cytomegalovirus, Epstein-Barr Virus, Molluscum contagiosum virus, dan virus-virus
enterik lainnya.
d. Dari golongan ekoparasit, yakni Pthirus pubis, Sarcoptes scabei.
Sedangkan menurut Daili (2009), selain disebabkan oleh agen-agen diatas, infeksi
menular seksual juga dapat disebabkan oleh jamur, yakni jamur Candida albicans
2.1.3. Cara Penularan Infeksi Menular Seksual
Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan eksudat
infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual dengan
pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas.
Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan seksual (vaginal, oral, anal).
Penularan IMS juga dapat terjadi dengan cara lain, yaitu melalui darah, dengan cara :
1. Transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV.
2. Saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba.
3. Tertusuk jarum suntik yang tidak steril secara sengaja/ tidak sengaja.
4. Menindik telinga atau tato dengan jarum yang tidak steril.
5. Penggunaan alat pisau cukur secara bersama-sama (khususnya jika terluka dan
menyisakan darah pada alat).
6. Dari ibu kepada bayi: saat hamil, saat melahirkan, dan saat menyusui.

Menurut Depkes RI (2006), penularan infeksi menular seksual dapat melalui beberapa
cara, yakni bisa melalui hubungan seksual, berkaitan dengan prosedur medis (iatrogenik), dan
bisa juga berasal dari infeksi endogen. Infeksi endogen adalah infeksi yang berasal dari
pertumbuhan organisme yang berlebihan secara normal hidup di vagina dan juga ditularkan
melalui hubungan seksual. Sedangkan infeksi menular seksual akibat iatrogenik disebabkan
oleh prosedur-prosedur medis seperti pemasangan IUD (Intra Uterine Device), aborsi dan
proses kelahiran bayi.
2.1.4. Gejala Klinis dan Diagnosa Infeksi Menular Seksual
Terkadang infeksi menular seksual tidak memberikan gejala, baik pria maupun wanita.
Beberapa infeksi menular seksual baru menunjukkan gejalanya berminggu-minggu, berbulanbulan, maupun bertahun-tahun setelah terinfeksi (Lestari, 2008). Mayoritas infeksi menular
seksual tidak memberikan gejala (asimtomatik) pada perempuan (60-70% dari infeksi gonore
dan klamidia). Pada perempuan, konsekuensi infeksi menular seksual sangat serius dan
kadang-kadang bersifat fatal (misalnya kanker serviks, kehamilan ektopik, dan sepsis).
Konsekuensi juga terjadi pada bayi yang dikandungnya, jika perempuan tersebut terinfeksi pada
saat hamil (bayi lahir mati, kebutaan).
Gejala infeksi menular seksual bisa berupa gatal dan adanya sekret di sekitar alat kelamin,
benjolan atau lecet disekitar alat kelamin, bengkak disekitar alat kelamin, buang air kecil yang
lebih sering dari biasanya, demam, lemah, kulit menguning dan rasa nyeri disekujur tubuh,
kehilangan berat badan, diare, keringat malam, pada wanita bisa keluar darah diluar masa
menstruasi, rasa panas seperti terbakar atau sakit saat buang air kecil, kemerahan disekitar alat
kelamin, rasa sakit pada perut bagian bawah pada wanita diluar masa menstruasi, dan adanya
bercak darah setelah berhubungan seksual.
Diagnosis infeksi menular seksual dilakukan melalui proses anamnesa, diikuti pemeriksaan
fisik, dan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium.
2.1.5. Komplikasi Infeksi Menular Seksual
Infeksi menular seksual yang tidak ditangani dapat menyebabkan kemandulan, merusak
penglihatan, otak dan hati, menyebabkan kanker leher rahim, menular pada bayi, rentan terhadap
HIV, dan beberapa infeksi menular seksual dapat menyebabkan kematian.

2.1.6. Pencegahan Infeksi Menular Seksual


Menurut WHO (2006), pencegahan infeksi menular seksual terdiri dari dua bagian, yakni
pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer terdiri dari penerapan perilaku
seksual yang aman dan penggunaan kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan
menyediakan pengobatan dan perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh infeksi menular
seksual. Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan untuk
infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan
dan konseling tentang infeksi menular seksual dan HIV.

Menurut Depkes RI (2006), langkah terbaik untuk mencegah infeksi menular seksual
adalah menghindari kontak langsung dengan cara berikut:
a. Menunda kegiatan seks bagi remaja (abstinensia).
b. Menghindari bergonta-ganti pasangan seksual.
c. Memakai kondom dengan benar dan konsisten.
Selain pencegahan diatas, pencegahan infeksi menular seksual juga dapat dilakukan
dengan mencegah masuknya transfusi darah yang belum diperiksa kebersihannya dari
mikroorganisme penyebab infeksi menular seksual, berhati-hati dalam menangani segala
sesuatu yang berhubungan dengan darah segar, mencegah pemakaian alat-alat yang tembus
kulit (jarum suntik, alat tindik) yang tidak steril, dan menjaga kebersihan alat reproduksi
sehingga meminimalisir penularan.
2.2. Bahaya dan Dampak Sosial Terhadap Penderita Infeksi Menular Seksual
Sepuluh tahun terakhir, IMS (terutama HIV/ AIDS) meningkat jumlahnya dan sangat
mempengaruhi kehidupan berjuta-juta orang di seluruh dunia. Pada beberapa orang dan
rumah tangga, efek dari HIV/ AIDS menjadi berlipat ganda. Selain meningkatkan
ketidaknormalan dan kematian, juga mengakibatkan kelumpuhan total yang dapat
mengancam produktivitas di sektor ekonomi keluarga maupun secara makro.
Secara garis besar, dampak sosial terhadap penderita IMS (Infeksi Menular Seksual)
terutama HIV/ AIDS terbagi beberapa kategori, yaitu: Ekonomi dan Demografi, produktivitas
pembangunan dan produksi pertanian, penekanan pada sektor kesehatan, rumah tangga dan
keluarga, anak-anak, wanita, diskriminasi HIV/AIDS serta dampak HIV/AIDS terhadap
seseorang.

1. Ekonomi dan demografi


Dampak ekonomi dari IMS dan HIV/ AIDS dapat memberikan kerugian, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara langsung melalui kegiatan pencegahan,
pengobatan, dan penelitian. Sedangkan kerugian secara tidak langsung antara lain kehilangan
harapan hidup yang diakibatkan oleh IMS/ AIDS itu sendiri.
Upaya untuk menilai kerugian yang ditimbulkan oleh IMS serta HIV/ AIDS sangat luar
biasa, dimana hal ini perlu dilakukan seiring dengan kebutuhan akan pengukuran value of
persons life terhadap pendapatan seseorang. Jadi dapat dikatakan bahwa dampak dari IMS
serta HIV/ AIDS adalah kehilangan pendapatan.
2. Produktivitas
Dampak dari IMS, HIV/ AIDS terhadap tingkat produktivitas tidak hanya
meningkatkan ketidaknormalan dan kematian, tetapi juga meningkatkan ketidakhadiran
pekerja karena kesakitan. Pada beberapa kasus AIDS mengakibatkan meningkatnya
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan dan otomatis menjadi member atau
langganan dari pusat pelayanan kesehatan tersebut.
Selain itu IMS/ AIDS dapat menurunkan produktivitas. Adanya pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja yang terinfeksi HIV, tidak hanya akan meniadakan pendapatan pekerja
tersebut, tetapi juga kesempatan berkontribusi di sektor ekonomi, diskriminasi di tempat
kerja. Hal ini dilaporkan hampir terjadi di semua bagian.
3. Pembangunan dan produksi pertanian
Seperti juga di sektor-sektor lain diatas, perusahaan dan sumber mata pencaharian di
bidang pertanian juga terkena dampak dari terjadinya penyakit menular seksual seperti HIV/
AIDS, antara lain dapat mengakibatkan kemiskinan seseorang maupun masyarakat pertanian
di seluruh sistem ekologi yang ada serta kerugian sosial yang tidak terukur dengan nilai.
2.3. Upaya Pengendalian IMS
IMS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting untuk dikendalikan secara
cepat dan tepat, karena mempunyai dampak selain pada aspek kesehatan juga politik dan
sosial ekonomi. Kegagalan diagnosa dan terapi pada tahap dini mengakibatkan terjadinya
komplikasi serius seperti infertilitas, kehamilan ektopik, disfungsi seksual, kematian janin,
infeksi neonatus, bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), kecacatan bahkan kematian.

Prinsip umum pengendalian IMS adalah bertujuan untuk memutus rantai penularan
infeksi IMS dan mencegah berkembangnya IMS dan komplikasinya. Tujuan tersebut dapat
dicapai bila ada penyatuan semua sumber daya dan dana untuk kegiatan pengendalian IMS,
termasuk HIV/ AIDS.
Upaya tersebut meliputi:
1. Upaya promotif
a. Pendidikan seks yang tepat untuk mengikis ketidaktahuan tentang seksualitas dan
IMS.
b. Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama untuk tidak berhubungan
seks selain pasangannya.
c. Menjaga

keharmonisan

hubungan

suami

istri

tidak

menyeleweng

untuk

meningkatkan ketahanan keluarga.


2. Upaya preventif
a. Hindari hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan atau dengan pekerja seks
komersial (WTS).
b. Bila merasa terkena IMS, hindari melakukan hubungan seksual.
c. Bila tidak terhindarkan, untuk mencegah penularan pergunakan kondom.
d. Memberikan penyuluhan dan pemeriksaan rutin pada kelompok risiko tinggi.
e. Penyuluhan dan pemeriksaan terhadap partner seksual penderita IMS.
3. Upaya kuratif
a. Peningkatan kemampuan diagnosis dan pengobatan IMS yang tepat.
b. Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif baik
simtomatik maupun asimtomatik.
4. Upaya rehabilitatif
a. Memberikan perlakuan yang wajar terhadap penderita IMS, tidak mengucilkannya,
terutama oleh keluarga dan partnernya, untuk mendukung kesembuhannya.

Anda mungkin juga menyukai