Anda di halaman 1dari 26

CULTURE AND ABNORMAL PSYCHOLOGY

Defining Abnormality: Some Core Issues (Definisi Abnormalitas: Beberapa Isu Utama)
Psikolog dan ilmuwan disiplin ilmu lain sudah cukup lama tertarik pada pengaruh
budaya terhadap psikopatologi, atau yang disebut dengan perilaku abnormal. Secara historis,
ada dua sudut pandang mengenai hal ini dalam literature. Satu pandangan menyatakan bahwa
budaya dan psikopatologi saling berkaitan, dan bahwa perilaku abnormal dapat dipahami
hanya dalam kerangka budaya dimana perilaku terjadi. Perspektif ini dikenal sebagai cultural
relativism. Pandangan kontras menunjukkan bahwa meskipun budaya berperan dalam
menentukan manifestasi perilaku dan kontekstual yang tepat dari perilaku abnormal, terdapat
kesamaan lintas budaya, bahkan universalities, dalam mekanisme psikologis yang mendasari
dan pengalaman subjektif dari banyak gangguan psikologis.
Contoh scenario berikut:
Seorang wanita berada di tengah-tengah sekelompok orang, tetapi tampaknya ia tidak
menyadari akan sekelilingnya. Dia berbicara keras kepada siapa pun, menggunakan
kata-kata dan adanya suara orang-orang di sekelilingnya yang tidak ia mengerti.
Ketika ditanyai tentang perilakunya, dia melaporkan bahwa dia telah dirasuki oleh roh
binatang dan sedang berbicara dengan seorang pria yang baru saja meninggal.
Apakah perilaku wanita ini abnormal?
Dalam mendefinisikan perilaku abnormal, psikolog Amerika sering menggunakan
pendekatan statistik atau menerapkan kriteria impairment atau inefisiensi, penyimpangan,
atau subjective distress. Sebagai contoh, kita bisa mendefinisikan perilaku wanita sebagai
abnormal karena kejadian yang jarang terjadi. Berada di luar dari kebiasaan dilingkungan
Anda, memiliki delusi (keyakinan keliru) bahwa Anda adalah seekor hewan, dan berbicara
dengan orang mati bukanlah pengalaman yang umum.
Jika meneliti perilaku wanita dalam hal penyimpangan, dapat disimpulkan bahwa itu
adalah abnormal karena tampaknya bertentangan dengan norma sosial. Tetapi tidak semua
perilaku yang menyimpang secara sosial dapat dianggap abnormal atau gangguan psikologis.
Sebagai contoh, banyak orang tetap berkeyakinan bahwa homoseksualitas adalah perilaku
menyimpang, meskipun tidak lagi diklasifikasikan sebagai gangguan mental di Amerika
Serikat (APA, 1987). Meskipun beberapa orang Amerika melihat homoseksualitas sebagai
1

abnormal, dalam budaya lain dan pada berbagai periode dalam sejarah homoseksualitas telah
banyak dilakukan. Lee (2001) telah melaporkan bahwa homoseksualitas masih dianggap
patologis di Cina, sebagian karena minoritas seksual tidak terorganisir karena mereka berada
di Amerika Serikat dan dengan demikian tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh untuk
menantang norma sosial tentang masalah ini. Ia percaya bahwa dengan waktu,
bagaimanapun, homoseksualitas tidak lagi diklasifikasikan sebagai gangguan mental. Jadi,
dengan menggunakan norma-norma sosial sebagai kriteria untuk kelainan sulit tidak hanya
karena norma-norma berubah seiring waktu, tetapi karena mereka bersifat subjektif. Beberapa
anggota dari suatu masyarakat atau budaya menganggap hal ini menyimpang, yang lain
mungkin menerima sebagai suatu hal yang normal.
Ketergantungan pada laporan penderitaan subyektif untuk menentukan perilaku
abnormal juga suatu permasalahan. Apakah seseorang mengalami distress sebagai
konsekuensi dari perilaku abnormal mungkin tergantung pada bagaimana orang lain
memperlakukan dia. Misalnya, jika wanita baru saja diejek, dijauhi, dan dipandang sebagai
"sakit" karena perilakunya, dia juga mungkin akan mengalami distress. Selain itu, ada
beberapa indikasi dari kelompok budaya yang memiliki tingkatan distress yang mereka
laporkan berhubungan dengan gangguan psikologis. Kleinman (1988) menggambarkan
penelitian depresi pada warga Cina dan Amerika yang melaporkan adanya perasaan bersalah
dan cukup berbeda dengan depresi yang ditujukkan oleh peserta Amerika dan Eropa.

Penelitian Lintas Budaya Pada Perilaku Abnormal


Penelitian lintas-budaya selama bertahun-tahun telah memberikan banyak bukti yang
menunjukkan bahwa perilaku abnormal dan psikopatologi memiliki dua aspek, universal dan
ditentukan oleh budaya tertentu. Pada bagian ini, akan membahas skizofrenia, depresi,
somatisasi, attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD), dan sejumlah gangguan pada
budaya tertentu.
1. Schizophrenia
Skizofrenia dicirikan oleh "distorsi realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, dan
disorganisasi persepsi, berpikir, dan emosi" (Carson, Butcher, & Coleman, 1988, p. 322).
Tingkat prevalensi telah diperkirakan 1,1 persen pada populasi umum di AS. Beberapa
teori tentang penyebab skizofrenia berfokus pada faktor biologis. Teori lain menekankan
2

dinamika keluarga (misalnya, ekspresi permusuhan terhadap orang yang sakit). Model
diatesis-stres skizofrenia menunjukkan bahwa perkembangan skizofrenia pada individu
dengan kecenderungan biologis terhadap gangguan (diatesis) yang diikuti oleh paparan
pada stressor lingkungan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disponsori International Pilot Study of
Schizophrenia (IPSS) membandingkan prevalensi dari 1.202 pasien gangguan jiwa di
sembilan negara: Kolombia, Cekoslowakia, Denmark, Inggris, India, Nigeria, Uni Soviet,
Taiwan, dan Amerika Serikat. Setelah pelatihan ketat menggunakan alat-alat assesment
penelitian, psikiater pada setiap Negara mendapat reliabilitas yang cukup baik pada alat
dalam mendiagnosis skizofrenia pada pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini, peneliti
WHO mampu mengidentifikasi satu set gejala yang hadir di semua budaya pada subyek
dengan skizofrenia. Gejala ini meliputi kurangnya pemahaman, halusinasi pendengaran
dan verbal, dan ide-ide dari referensi (dengan asumsi satu adalah pusat perhatian) (Leff,
1977). Studi WHO secara luas dikutip untuk memperkuat argumentasi pada universalitas
skizofrenia.
Namun dalam beberapa budaya terdapat perbedaan penting yang muncul. Dalam
sebuah penemuan yang cukup mengejutkan, perjalanan skizofrenia secara positif lebih
berkembang di Negara-negara berkembang dibandingkan dengan Negara industry. Pasien
di Columbia, India, dan Nigeria pulih pada tingkat yang lebih cepat dibandingkan dengan
mereka di Inggris, Uni Soviet, dan Amerika Serikat. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor
budaya seperti banyaknya dukungan dari keluarga besar, dukungan masyarakat, dan
kecenderungan di negara-negara berkembang untuk kembali bekerja.
Penelitian ini juga mencatat perbedaan dalam ekspresi gejala antar budaya. Pasien di
Amerika Serikat menunjukkan kurangnya pemahaman dan halusinasi pendengaran
dibandingkan pasien Denmark atau Nigeria. Temuan ini mungkin berkaitan dengan
perbedaan budaya dalam nilai yang terkait dengan pemahaman dan self-awareness, yang
sangat dihormati di Amerika Serikat tetapi kurang dihormati di negara-negara lain. Juga,
budaya mungkin berbeda dalam toleransi mereka untuk gejala tertentu, pasien Nigeria
dan Denmark, bagaimanapun, lebih mungkin untuk menunjukkan catatonia (penarikan
ekstrim

atau

agitasi).

Baru-baru

ini,

Studi

Internasional

Skizofrenia

(ISOS)

menindaklanjuti pada sejumlah sampel (13-26 tahun kemudian) dari penelitian WHO.

Beberapa menunjukkan bahwa prognosis masih lebih baik bagi orang-orang dari negaranegara berkembang dibandingkan dengan negara-negara maju.
Pada lintas-budaya lain terdapat perbandingan skizofrenia yang ditemukan beragam
symptom pada setiap budaya. Contohnya, sebuah studi dari kelompok etnis yang berbeda
di Inggris menemukan bahwa orang Bangladesh tidak melihat kecurigaan atau perilaku
halusinasi sebagai gejala skizofrenia, dibandingkan dengan orang-orang Inggris berkulit
putih. Sebuah studi dari penderita skizofrenik di Jepang menunjukkan bahwa mereka
lebih mungkin dibandingkan rekan-rekan mereka di Eropa Amerika untuk withdrawal dan
pasif, sesuai dengan nilai-nilai budaya (Sue & Morishima, 1982).
Studi pasien dengan skizofrenia yang telah diuji secara teoritis adanya ekspresi emosi
karakteristik komunikasi keluarga yang ditandai dengan permusuhan, mencela, dan
overinvolvement-meningkatkan risiko kekambuhan. Kosntruk ekspresi-emosi penting
karena menunjukkan bahwa keluarga dan interaksi sosial mempengaruhi kehidupan
skizofrenia. Interaksi ini dipengaruhi, pada gilirannya, oleh nilai-nilai budaya. Penelitian
menunjukkan bahwa ekspresi-emosi memprediksi relapse pada sampel Barat. Penelitian
juga mengindikasikan emosi juga memprediksi kekambuhan pada orang Amerika
Meksiko. Namun, bertentangan dengan studi ini, sebuah studi yang dilakukan di Malaysia
menemukan bahwa tingkat tinggi emosi diungkapkan adalah juga penyebab kambuh.
Kleinman (1988) mengatakan bahwa sulit untuk menggunakan konstruk ini pada budaya
yang berbeda, terutama yang menekankan komunikasi nonverbal. Pertanyaan Kleinman
apakah tindakan pengungkapan emosi dikembangkan dalam satu konteks budaya
memiliki validitas di negara lain.
Laporan dari perbedaan budaya dalam diagnosis juga telah mengangkat pertanyaan
tentang validitas teknik penilaian yang digunakan dalam perbandingan lintas budaya
skizofrenia dan gangguan lainnya. Paniagua (2000) menyatakan bahwa variasi budaya
dalam bahasa, gaya ekspresi emosi, bahasa tubuh, dan kontak mata semua harus
dipertimbangkan ketika mendiagnosis gangguan. Dalam reanalisis dari beberapa data
awal WHO, Leff (1977) menemukan bahwa psikiater AS lebih mungkin untuk
memberikan diagnosa skizofrenia daripada yang psikiater di Inggris yang lebih mungkin
untuk memberikan diagnosis depresi.
Singkatnya, penelitian WHO memberikan bukti yang cukup dari satu set gejala inti
secara umum yang mungkin berhubungan dengan skizofrenia. Penelitian lain,
4

bagaimanapun,

membantu

untuk

menyeimbangkan

penafsiran

ini

dengan

mendokumentasikan perbedaan budaya tertentu dalam manifestasi yang tepat,


pengalaman, dan diagnosis skizofrenia dalam konteks budaya yang berbeda.

2. Depressions
Setiap orang pernah mengalami depresi, sedih, atau merasa murung dalam hidup. Setiap
orang juga memberikan respon yang berbeda ketika ada keluarganya yang meninggal
dunia, rusaknya sebuah hubungan, tidak tercapainya tujuan, dan keadaan stress atau
kekecewaan lainnya. Kehadiran gangguan depresi, melibatkan gejala Depresi seperti
"kesedihan intens, perasaan sia-sia dan tidak berharga, dan penarikan diri dari orang lain."
Sering ditandai dengan perubahan fisik (seperti gangguan tidur dan gangguan nafsu
makan), perubahan motivasi (seperti apatis dan kebosanan), serta perubahan emosi dan
perilaku (seperti perasaan sedih, putus asa, dan kehilangan energi).
Pada tahun 2020, depresi berat diproyeksikan menjadi penyebab kedua penyakit yang
berhubungan dengan disability yang mempengaruhi populasi dunia (WHO, 2006). Wanita
dua kali lebih mungkin mengalami depresi dibandingkan laki-laki, dan perbedaan gender
telah mengangkat seluruh ras, etnis, sosial ekonomi, dan budaya. Di Amerika Serikat,
depresi saat ini penyebab utama gangguan bagi orang-orang usia 15 hingga 44 tahun
(WHO, 2004). Sekitar 3,3 persen dan 6,5 persen dari penduduk AS dewasa pria dan
wanita saat ini didiagnosis dengan major depressive. Tingkat prevalensi seumur hidup
untuk depresi adalah sekitar 16 persen, atau 20 persen untuk perempuan dan 10 persen
untuk laki-laki. Ada juga beberapa bukti, yang menunjukkan bahwa kejadian depresi telah
meningkat selama beberapa dekade terakhir, terutama di kalangan remaja (Farmer, 2002).
Perkembangan, kejadian depresi meningkat secara dramatis di sekitar masa pubertas,
setidaknya di Amerika Serikat, dan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki.
Perbedaan gender ini yang menetap di sepanjang masa dewasa.
Sebuah studi oleh WHO (1983) menyelidiki gejala depresi pada empat negaraKanada, Swiss, Iran, dan Jepang dan menemukan bahwa sebagian besar pasien (76 persen
dari 573 kasus) dilaporkan adanya gejala yang menetap antar budaya, termasuk "sedih,
joylessness, kecemasan, ketegangan, kekurangan energi, kehilangan minat, kehilangan
kemampuan untuk berkonsentrasi, dan ide-ide dari insufisiensi." Lebih dari setengah dari
kelompok ini (56 persen) juga melaporkan keinginan bunuh diri. Berdasarkan temuan ini,
5

Marsella (1980; Marsella, Sartorius, Jablensky, & Fenton, 1985) mengemukakan bahwa
gejala vegetatif seperti kehilangan kenikmatan, nafsu makan, atau tidur yang menetap
antar budaya merupakan cara di mana orang mengalami depresi. Studi-untuk contoh lain,
membandingkan Hongaria dengan Amerika dan Kanada, Iran, dan anak-anak di enam
negara-hasil studi cenderung mendukung pandangan ini.
Penelitian pada budaya lain tentang depresi, mendokumentasikan variasi dalam
ekspresi gejala gangguan ini. Beberapa kelompok budaya (misalnya, Nigeria) melaporkan
gejala terkait dengan perasaan ekstrim tidak berharga dan rasa bersalah. Lain-lain
(misalnya, Cina) lebih mungkin melaporkan gejala somatik. Adat ekspresi depresi untuk
Hopi Indian termasuk khawatir, illness, dan heartbrokenness. Konsep gejala depresi di
Urganda lebih dalam hal kognitif (berpikir terlalu banyak, atau "pikiran sakit") bukan
emosional (sedih). Seperti pada skizofrenia, tingkat depresi juga bervariasi dari berbagai
budaya, dengan laporan dari 3,3 persen di Korea Selatan, 4,9 persen di Lebanon, 6,2
persen di Iran, dan 12,6 persen di Selandia Baru. Namun, penilaian yang berbeda dan
manifestasi dari gangguan membuat sulit untuk mendapatkan angka prevalensi sebanding.
Leff (1977) berpendapat bahwa variasi budaya dalam hal perbedaan dan komunikasi
pada istilah emosi, adalah cara mereka menghadapi dan mengekpresikan depresi. Juga,
pada beberapa budaya memiliki beberapa kata untuk menyampaikan emosi, seperti
sadness atau anger.
Kleinman (1978) mengatakan bahwa gangguan depresi berasal dari biologis, dimana
depresi mengacu pada keadaan personal dan pengalaman sosial seseorang. Kleinman
menuliskan depresi yang mengacu pada relativitas budaya:
Pengalaman depresi seperti nyeri pada punggung dan pengalaman depresi karena
rasa bersalah dan putus asa merupakan bentuk yang berbeda pada perilaku rasa
sakit dengan gejala yang khas, pola untuk mencari bantuan, dan respon treatment,
meskipun penyakit dalam setiap kejadian mungkin sama, rasa sakit, bukan penyakit,
menjadi faktor penentu. Dan mungkin timbul suatu pertanyaan, apakah setiap
penyakit itu sama?
Meskipun Kleinman menerima gagasan bahwa penyakit depresi bersifat universal, ia
berpendapat bahwa ekspresi dan penyebab penyakit ditentukan.secara budaya.

Singkatnya, seperti lintas-budaya pada skizofrenia, literatur pada poin depresi untuk
kedua cara, universal dan budaya tertentu di mana gangguan yang mungkin terjadi dan
dialami di seluruh budaya.

3. Somatization
Banyak ahli psikologi lintas budaya, psikoterapis, dan konselor sensitif dengan isu
menganai somatisasi (somatozation), yang pada dasarnya merupakan symptom dalam
bentuk fisik sebagai ekspresi dari adanya distress psikologis. Beberapa studi menunjukkan
bahwa anggota atau individu dari kelompok budaya tertentu, seperti Hispanic, Jepang,
Cina, dan Arab cenderung untuk lebih mengalami somatisasi daripada Eropa atau
Amerika. Faktanya, pendapat secara umum yakni bahwa laporan mengenai symptom
somatis (misalnya, sakit pada bagian punggung bawah atau masalah intestinal) hanya
sebuah kode atau kamuflase untuk symptom psikologis.
Studi lintas budaya yang terbaru, menolak gambaran ini. Kirmayer (2001), misalnya,
meninjau kembali bukti yang ada dan menyimpulkan bahwa terdapat dukungan yang
sedikit dukungan untuk pendapat bahwa tingkat dan jumlah somatisasi berbeda di berbagai
budaya. Selain itu, Kleinman (1982) menyimpulkan bahwa diagnosa Cina mengenai
neurasthenia merupakan kasus depresi yang sebenarnya, gambaran ini tidak dibagi oleh
pskiater Cina umumnya. Sesuai dengan itu, Lee (2001) berpendapat bahwa psikiater Cina
percaya bahwa masyarakat Cina tidak melakukan kamuflase, tetapi memang dengan
mudah dapat menunjukkan symptom itu, symptom psikologikal dalam konteks hubungan
kepercayaan antara dokter dan pasien dan bahwa keadaan berdampingannya simptomsimptom psikologis dengan fisikal dalam waktu yang sama sesuai dengan filosofi Cina.
Hal ini karena perkembangan kategori somatoform didasarkan pada intelektual Barat
yakni dikotomi atau membagi dua antara pikiran dan tubuh, yang berbeda dengan
pendapat Oriental mengenai keseimbangan holism. Tidak hanya Cina, psikiater Jepan juga
tidak setuju bahwa konsep ekspresi somatisasi lebih diterima dalam budaya Asia. Di sisi
lain, dilaporkan bahwa ekspresi somatis dari distress psikologis itu fenomena yang
universal dan terdapatnya sejumlah besar symptom somatis secara kuat berhubungan
dengan ekspresi tampak dari distress psikologis di budaya Eropa dan Amerika.
Jadi, penelitian yang telah dilakukan cenderung menunjukkan bahwa, meskipun
sebelumnya dianggap sebagai sebuah fenomena budaya tertentu, somatisasi mungkin
sebuah fenomena universal dengan makna/arti dan cara ekspresi pada budaya tertentu.
7

4. Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder
Sekarang yang kita fokuskan adalah salah satu gangguan yang sering didiagnosis
menyerang anak-anak yaitu attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). ADHD
pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikiater Jerman, Dr. Heinrich Hoffman pada
tahun 1845. Meskipun gangguan ini telah diperkenalkan sekitar satau abad yang lalu,
tetapi ADHD mulai dikenal secara luas baru-baru ini. Gangguan ini dikenali dan
didiagnosa di budaya yang berbeda. Beberapa bentuk utama dari ADHD yakni
inattentiveness (sulit untuk memberikan perhatian, mudah teralihkan perhatiannya),
impulsivity (menyela orang lain), dan hyperactivity (gelisah, tidak dapat duduk diam).
Yang terpenting bahwa simptom-simptom ini bertentangan dengan fungsi social dan
akademis untuk dianggap sebagai sebuah gangguan. Terdapat tiga subtipe yang bisa
diidentifikasi: ADHD dengan simptom inattention, simptom hiperaktivitas dan
impulsivitas, dan simptom dari ketiganya, inatensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas (DSM
IV-TR, 2000). Berbeda dengan kriteria yang dikemukan pada International Classification
of Diseases (ICD-10 Revised), semua dari tiga tipe symptom harus ada untuk didiangnosa
ADHD. Jadi tergantung pada kriteria yang digunakan. Satu penemuan yang konsisten
dalam perbedaan budaya yakni bahwa anak laki-laki lebih mungkin didiagnosa ADHD
daripada anak perempuan.
Sampai saat ini, belum ada studi komparatif dalam skala yang besar yang dilakukan
mengenai ADHD seperti halnya yang dilakukan dengan depresi dan schizophrenia. Butuh
dilakukan beberapa studi untuk membuktikan bahwa ADHD sebenarnya merupakan
gangguan yang dialami secara universal.
Beberapa berpendapat bahwa ADHD merupakan semata-mata suatu konstruk atau
konsep budaya. Sebagai contoh, Timimi (2004) berpendapat bahwa tekanan-tekanan pada
budaya Barat modern (tidak adanya dukungan dari extended family, kehidupan keluarga
yang sibuk dan hiperaktif) menyebabkan munculnya konsep dan laju ADHD yang lebih
tinggi akhir-akhir ini. Yang lainnya beranggpan bahwa ADHD mungkin universal tetapi
terdapat variasi budaya yang spesifik. Misalnya, Norvilitis dan Fang (2005) menemukan
adanya perbedaan dan persamaan persepsi mengenai ADHD diantara guru-guru di Cina
dan US. Kedua sampel beranggapan bahwa makna dari simptom-simptom ini sama
meliputi hiperaktivitas/impulsivitas dan inantensi. Dan perbedaan dari kedua Negara ini
terletak pada kepercayaan mereka tentang penyebab dan treatmen dari ADHD. Yakni
8

sekitar 60 persen guru Cina dan 45 persen guru US setuju dengan pernyataan bahwa
ADHD is biologically based. Kemudian, 71 persen guru Cina dan 13 persen guru US
setuju dengan pernyataan bahwa Children with ADHD are just bored and need more to
do. Matsumoto menyimpulkan bahwa karakteristik dari symptom gangguan ini mungkin
sama, tetapi penyebab dan treatmen dari gangguan ini berbeda di kedua Negara tersebut.
Sebuah ADHD Working Group yang terdiri dari para ahli klinis dan peneliti dari
berbagai Negara (Australia, Brazil, Prancis, Jerman, Korea Selatan, Meksiko, Filipina,
United Kingdom, dan US) bertemu untuk mendiskusikan ilmu, diagnosis, dan treatmen
ADHD. Hasilnya berupa sebuah pernyataan mufakat yang dipublikasikan, berpendapat
bahwa ADHD merupakan sebuah gangguan yang berlaku dalam budaya yang telah
berkembang dan masih berkembang, yang memiliki dasar neurobiologikal, dan tidak
dikenali, kurang didiagnosa, dan seterusnya, dan tidak dibahas dalam banyak Negara.
Meskipun begitu, studi mendatang membutuhkan sampel anak-anak yang lebih
representatif dari bagian-bagian dunia yang berbeda untuk memberikan bukti yang lebih
meyakinkan mengenai ADHD sebagai sebuah gangguan universal.
Culture Bound Syndrome
Temuan diferensial mengenai tingkat gangguan dan program-program lintas-budaya, dan
bentuk-bentuk budaya yang berbeda dari gangguan tersebut, menunjukkan pentingnya
budaya dalam membentuk ekspresi perilaku abnormal.
Terutama menggunakan emik (budaya secara khusus) pendekatan yang melibatkan
pemeriksaan etnografi dari perilaku dalam konteks budaya tertentu, antropolog dan psikiater
telah mengidentifikasi beberapa bentuk-bentuk unik yang tampak dari pschological disorder.
Ada beberapa kesamaan antara symptom dari disorder pada budaya khusus dan diakui dalam
skema klasifikasi Barat. Sebuah studi kasus seorang wanita Korea (P. M) yang dilaporkan
oleh seorang antropolog Korea (Harvey, 1979) menggambarkan jenis symptom-symptom
yang dihubungkan dengan sinbyong (penyakit mental), yang terjadi ketika seorang wanita
diyakini direkrut untuk menjadi dukun/cenayang.
Dia tidak hanya mendengar tetapi juga melihat dengan baik. Telinganya mendengar
banyak hal dan dia bisa mendengar suara-suara berbisik di dalamnya, dan ketika ia menyerah
dan berkeinginan untuk berbicara ia dikacaukan oleh statment stament tertentu. Ia menderita
jantung berdebar, gangguan pencernaan, dan pusing, kadang-kadang bergantian dan kadangkadang terkombinasi. Dia selalu takut ditangkap dalam berhalusinasinya oleh suami atau
9

keluarga nya. Ia bertekad untuk mengatasi symptom dan mulai membaca novel banyak
sebagai cara melawan halusinasi.
Namun, setelah beberapa periatiwa lebih synbyong, Harvey melaporkan bahwa P M
akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan sebagai dukun, ia menjadi cukup sukses,
dan kehidupannya lebih baik.
Amok, telah diidentifikasi di beberapa negara di Asia (Malaysia, Filipina, dan
Thailand). Disorder ini ditandai dengan kemarahan mendadak dan agresi membunuh. Hal ini
diduga disebabkan oleh stres, kurang tidur, dan konsumsi alkohol (Carson et al, 1988.).
Anorexia nervosa adalah gangguan yang diidentifikasi di Barat tapi tidak pertama kali
diamati di ketiga negara-negara dunia (Swartz, 1985). Disorder ini ditandai dengan body
image yang terdistorsi, takut menjadi gemuk, dan penurunan berat badan serius yang
berhubungan dengan konsumsi makanan atau obat pencahar(pembersihan) setelah makan.
Beberapa faktor kemungkinan penyebab disorder ini adalah termasuk penekanan budaya
berkaitan dengan berbadan kurus yang merupakan bentuk ideal bagi perempuan, sex role. Di
negara-negara di mana tidak ada indikasi menggambarkan sosok perempuan dan female body
yang biasanya benar-benar tertutup, seperti di Arab Saudi, eating disorder belum disebutkan
dalam literatur kejiwaan sampai saat ini (Al Subaie & Alhamad, 2000). Penelitian telah
menunjukkan bahwa anorexia nervosa tidak terbatas pada Eropa dan Amerika Utara tetapi
sekarang dapat ditemukan di banyak bagian dunia seperti Hong Kong, Korea, Singapura dan
China (misalnya, Goh, Ong, & Subramaniam, 1993; Gordon, 2001; Hoek, van Harten, van
Hoeken, & Susser, 1998; Lee, 1995). Namun, kriteria khusus untuk anorexia nervosa
mungkin sedikit berbeda antara kelompok budaya yang berbeda. Misalnya, alasan khusus di
China bukan takut akan gemuk, melainkan "kebencian yang ekstrim pada makanan" atau
"intolerably full" (Lee-Sing Leung, Wing & Chiu, 1991).
Studi yang lebih baru pada imigran juga menemukan perbedaan. Sebagai contoh,
perbandingan antara remaja wanita white British and Southeast Asian British didiagnosis
dengan anoreksia, menemukan bahwa ketakutan akan gemuk itu bukan merupakan bagian
dari profil anoreksia bagi remaja Asia Tenggara Inggris (Tareen, Hodes, & Rangel, 2005).
Ataque de nervios diobservasi pada kelompok Amerika Latin (Febo San Miguel,
Guarnaccia, Shout, Lewis-Fernandez, Canino, & Ramirez, 2006). Symptomnya antara lain
gemetar, berteriak yang tak terkendali, menangis, panas di dada yang kemudian meningkat ke
kepala, dan pusing. Disorder ini cenderung terjadi selama stress pada peristiwa keluarga,

10

seperti pemakaman, perceraian atau perpisahan, atau menyaksikan kecelakaan itu anggota
keluarga.
Zar adalah keadaan perubahan kesadaran yang diamati antara imigran Ethiopia sampai
Israel (Grisaru, Budowski, & Witztim, 1997). Umumnya di Afrika, diespresikan dengan
sengaja tidak menghadiri moment tersebut, mutism, dan bahasa yang sulit dimengerti.
Whakama adalah sebuah construk Selandia Baru Maori yang meliputi rasa malu,
penghinaan diri, perasaan inferiority, tidakmampuan, keraguan diri, rasa malu, kesopanan
yang berlebihan, dan withdrawal (Sachdev, 1990). Hal ini tidak sama persis di Eropa atau
masyarakat Amerika.
"Sinking heart" adalah kondisi distress dalam budaya Punjabi (Krause, 1989). Hal ini
dialami melalui sensasi fisik di jantung atau dada, dan diduga disebabkan oleh panas yang
berlebihan, kelelahan, kecemasan, atau gangguan sosial. Keadaan ini memiliki beberapa
karakteristik depresi, tetapi juga menyerupai gangguan kardiovaskuler.
Avanga sebenarnya merupakan konstelasi dari yang lain, disorer yang lebih spesifik,
semua ini meliputi kehidupan, persahabatan khayalan. Berasal dari budaya Tonga, kejadian
ini meningkat karena orang-orang pindah ke kota dan urbanisasi (Puloka, 1997).
Culture-bound syndromes sindrome yang lain, dikutip oleh Kiev (1972) dan Yap
(1974), termasuk latah (ditandai dengan histeria dan echolalia, diamati terutama pada
perempuan di Malaysia); koro (ketakutan ekstrim bahwa penis menyusut atau dicabut, hal ini
diamati pada pria Asia Tenggara, atau ketakutan ekstrim bahwa puting ditarik, diamati pada
wanita Asia Tenggara), dan susto (ditandai dengan depresi dan sikap apatis yang dirancang
untuk mencerminkan soul loss, diamati di India dari dataran tinggi Andes) banyak culturebound syndromes lainnya telah didokumentasikan di seluruh dunia.
Pfeiffer (1982) telah mengidentifikasi empat dimensi untuk culture bound syndromes.
Pertama, dia mengutip wilayah budaya tertentu dari stres, termasuk keluarga, struktur sosial
dan masyarakat dan kondisi ekologi. Contoh, koro dapat dipahami sebagai penekanan otoritas
orang tua pada budaya tertentu. Kemudian, bentuk-bentuk budaya tertentu dan interpretasi
perilaku perilaku bisa berarti bahwa budaya-budaya tertentu secara implisit menyetujui pola
perilaku yang luar biasa. Contohnya amok, di mana agresi terhadap orang lain untuk
mengikuti pola ekspectasi masyarakat. Akhirnya, Pfeiffer berpendapat bahwa cara
menafsirkan perilaku budaya yang luar biasa akan dikaitkan dengan intervensi budayatertentu.

11

Budaya memainkan peran penting sebagai bentuk pengalaman psychological disorder,


baik dalam menentukan symptom yang muncul pada disorder umum juga dalam memberikan
kontribusi bagi culture specific disorders. Artinya,

semua disorder dapat dihubungkan

dengan culture-bound, disorder tidak dapat keluar dari coding budaya, bentuk, dan
presentasi (Marsella, 2000).
Paniagua (1998, 2000) menawarkan empat pedoman penilaian bagi para praktisi untuk
membedakan antara psikopatologi dan culture-related condition
1. Mereka harus merupakan anggota keluarga, teman sebaya, dan penyembuh rakyat
(seperti laki-laki dan perempuan obat untuk penduduk asli Amerika).
2. Praktisi harus memeriksa bias budaya mereka sendiri dan prejudice sebelum
mencoba untuk mengevaluasi klien yang berbeda budaya.
3. Praktisi tidak boleh langsung melompat ke kesimpulan bahwa klien merupakan
bentuk culture-bound syndrome hanya karena klien memiliki budaya.
4. Praktisi harus mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan memperkenankan klien
dan anggota keluarga untuk menjelaskan faktor-faktor budaya yang memungkinkan
dapat membantu menjelaskan disorder kedalam pertimbangan.
Huarnaccia dan Rogler (1999) telah dipanggil untuk penelitian lebih lanjut tentang
culture-bound syndromes

yang berfokus pada fenomena, lokasi sociocultural pasien,

hubungan culture-bound syndromes untuk psychiatric disorders, dan sejarah sosial dan
kejiwaan pasien. Sebuah pelajaran penting yang harus dipelajari dari mempelajari studying
culture-bound syndromes bahwa perlu mempertimbangkan nilai-nilai budaya, percaya,
praktik, dan situasi sosial dalam menentukan bagaimana membantu seseorang yang dalam
kesulitan.
Budaya dan Pengukuran Perilaku Abnormal
Penilaian terhadap prilaku abnormal melibatkan identifikasi dan deskripsi symptom individu
itu sendiri dalam konteks yang lebih luas mengenai keberfungsian dirinya secara menyeluruh,
sejarah kehidupannya, dan lingkungannya (Carson et,.al 1988). Alat yang digunakan untuk
mengukur suatu prilaku abnormal harus sensitive terhadap budaya dan lingkungan. Seperti
yang telah dijelaskan banyak teori yang mengalami bias budaya.
Budaya dan Diagnose Psikiatri

12

Dalam melakukan pengukuran prilaku abnormal, para psikolog dan psikiatri menggunakan
beberapa system pengklasifkasian untuk mengkategorikannya, tetntunya dengan tetap
memperhatikan reliabilitas dan validitasnya. Sehingga dapat menggambarkan tentang
prilakau abnormal yang di ukur.
Satu sistrem pengklasifikasian yang secara luas di gunakan adalah, DSM. Sebagai
kritikan untuk meningkatkan sensitifitas terhadap budaya pada system pengklasifikasian ini
adalah ;
1. Mengabungkan informasi budaya yang mungkin akan membuat gangguan prilaku itu
bervariasi
2. Memesukkan 25 sindrom budaya dalam appendixnya
3. Menambahkan petunjuk untuk pengukuran yang mendalam terhadap latar belakang
individu
Ada system klasifikasilain seperti ICD-10 Yng mengklasifikasikan 100 besar
kesehatan mental yang diambil dari 329 klasifikasi klinias individu. Sayangnya system
pengklasifikasian ini gagal untuk menjelaskan pengaruh budaya pada tampilan gangguan
prilaku.
Kemudian ada lagi beberapa pengklasifikasian gangguan mental yang dibuat
berdasarkan budaya local sperti CCMD (chinese classification of mental disorder).
Untuk mendapatkan suatu system pengklasifikasian yang reliable dan valid secara
umum harus berdasarkan pertimbangan dari para professional. Satu cara pengembangan
kesensitifan budaya dalam jurnal cultural, medicine and psychiatry ada bagian clinical cases
section disana dijelakan untuk membuat agar lebih sensitive maka harus dimasukkan sejarah
dari kasus klinis, formulasi budaya, identitas budaya, penjelasan tentang penyakit
berdasarkan budaya, nubungan relative budaya denga lingkungan psikososial and fungsi dari
level, bagian budaya dari hubungan klinisian dan pasien, dan pengukuran budaya secara
keseluruhan.

Assessment Lintas Budaya pada Perilaku Abnormal


Tidak hanya penting memiliki sistem yang reliabel dan valid untuk klasifikasi perilaku
abnormal, melainkan juga penting untuk memiliki suatu alat yang reliabel dan valid untuk
mengukur perilaku, perasaan, dan parameter psikologis lain yang terkait dengan gangguan

13

mental. Alat tersebut termasuk questionnaires, wawancara, atau standar tasks yang diperlukan
untuk beberapa jenis perilaku pada test taker.
Banyak isu kekhawatiran terhadap pengukuran yang valid dan reliabel untuk setiap
variabel psikologis lintas-budaya dalam penelitian yang relevan untuk alat pengukuran
abnormality. Misalnya, mungkin cukup sulit untuk mentransfer dan menggunakan
assessment psikologis yang telah dikembangkan dalam satu ke budaya yang lain karena
sulitan untuk mengekspresikan culture-spesificnya. Kleinman (1995) menunjukkan bahwa
banyak item untuk

instrumen assessment menggunakan kata-kata yang sangat culture-

spesific (misalnya, "feeling blue") yang secara langsung diterjemahkan ke budaya lain akan
tidak sesuai. (Draguns (1997) mengulas sejumlah isu dalam area pengukuran psikologis,
termasuk stimulus equivalence, characteristics sampel, komparabilitas konstruksi, self-report
struktur, wawancara personal, eksperimental apparatuses, dan pengaruh dari pemeriksa. Isuisu tersebut membuat pengukuran yang valid dan reliabel untuk patologi lintas budaya
menjadi sangat sulit dan kompleks.
Pemeriksaan kritis dari bagaimana alat-alat pengukuran dalam penggunaannya untuk
lintas budaya sedikit gamblang mengenai realitas. Alat tradisional untuk assessment klinis
dalam psikologi umumnya didasarkan pada standar definisi abnormality dan menggunakan
sebuah standar klasifikasi kriteria untuk mengevaluasi perilaku bermasalah. Oleh karena itu,
alat pengukuran tersebut mungkin memiliki sedikit makna dalam mendefinisikan budaya
yang berbeda-beda, namun juga diartikan ke dalam bahasa asli, dan mereka dapat menutupi
atau gagal untuk menangkap ekspresi culture-spesific tersebut dari gangguan (Marsella,
1979). Masalah yang dihadapi assessment dalam mempelajari skizofrenia dan depresi untuk
lintas budaya, ketika menggambarkan keterbatasannya untuk metode assessment tradisional.
Studi WHO sebelumnya menjelaskan, misalnya, menggunakan Present State
Examination (PSE) untuk mendiagnosa schizophrenia. Left (1986) berkomentar untuk
prosedur bias etnosentris seperti PSE dan Cornell Medical Index. Dalam sebuah survei
kejiwaan dari Yoruba di Nigeria, penyidik harus melengkapi PSE untuk memasukkan gejala
budaya tertentu seperti perasaan expanded head and hoose flesh.
Standar instrumen diagnostic untuk mengukur gangguan depresi juga mungkin
kehilangan ekspresi budaya yang penting pada disorder di Afrika (Beiser, 1985), dan
penduduk asli Amerika (Manson et al., 1985). Dalam sebuah studi ekstensif pada depresi di
kalangan penduduk asli Amerika (Manson & Shore, 1981;. Manson et al, 1985), American
Indian Depression Schedule telah bertambah untuk dinilai dan didiagnosa penyakit depresi.
14

Para peneliti menemukan bahwa depresi di antara Hopi termasuk gejalanya tidak diukur
dengan standar pengukuran depresi seperti Diagnostic Interview Schedule dan Schedule for
Affective Disorders and Schizophrenia. Langkah-langkah ini, didasarkan pada kriteria
diagnostik yang ditemukan dalam DSM-III (American Psychiatric Association), gagal
menangkap suasana hati dysphoric akut, yang kadang-kadang dilaporkan oleh Hopi (Manson
et al., 1985).
Mengenai anak-anak, Child Behavior Checklist (CBCL, Achenbach, 2001) telah
digunakan untuk menilai masalah emosi dan perilaku anak-anak di berbagai belahan dunia,
termasuk Thailand, Kenya, dan Amerika Serikat (Weisz, Sigman, Weiss, & Mosk , 1993;
Weisz, Suwanlert, Chaiyasit, Weiss, Walter, & Anderson, 1988), China (Su, Yang, Wan, Luo
& Li, 1999), Denmark (Petersen, Bilenberg, Hoerder, & Gillberg, 2006); Israel dan Palestina
(Auerbach, Yirmiya, & Karmel, 1996), dan Australia, Jamaika, Yunani, dan sembilan negara
lainnya (Crijnen, Achenbach, & Verhulst, 1999). Secara umum, studi telah menemukan
bahwa anak-anak Amerika cenderung menunjukkan tingkat yang lebih tinggi pada perilaku
undercontrolled (perilaku eksternalisasi seperti akting berlebihan dan agresi) dan tingkat
yang lebih rendah pada perilaku overcontrolled (internalisasi perilaku seperti fearfulness
dan somaticizing) dibandingkan dengan anak-anak lainnya, terutama untuk budaya yang
kolektif. Dengan demikian, CBCL (kadang-kadang sedikit dimodifikasi) telah banyak
digunakan dalam banyak kebudayaan untuk menilai perilaku bermasalah. Namun, sebuah
studi yang merekrut orang tua American Indian (Dakota/Lakota) untuk menilai acceptability
dan kelayakan menggunakan CBCL dalam budaya mereka menemukan bahwa beberapa
pertanyaan sulit untuk dijawab orangtua karena pertanyaan tersebut tidak memperhitungkan
nilai-nilai budaya atau tradisi Dakotan/Lakotan, dan karena orang tua percaya respon mereka
akan disalahartikan oleh anggota dari budaya yang dominan, yang tidak memiliki
pemahaman yang baik tentang budaya mereka Dakotan/Lakotan (Oesterheld, 1997). Ini
pentingnya untuk kritis dalam memeriksa alat pengukuran untuk penggunaan pada lintasbudaya.
Beberapa peneliti (Higginbotham, 1979; Lonner & Ibrahim, 1989; Marsella, 1979)
telah menawarkan pedoman untuk mengembangkan pengukuran yang digunakan dalam
lintas-budaya untuk pengukuran perilaku abnormal. Mereka menyatakan bahwa metode
assessment yang sensitive itu memeriksa norma-norma sosial budaya tersebut dari
adjustment yang sehat, sesuai adat budayanya berdasarkan definisi abnormality itu sendiri.
Higginbotham juga menyatakan pentingnya memeriksa sistem indigenous healing, atau
15

sistem penyembuhan/perawatan, seperti folk healers, khususnya budaya tertentu. Pengkajian


sistem indigenous healing membutuhkan suatu perencanaan untuk meningkatkan strategistrategi treatment yang merupakan salah satu tujuan utama dari assessment tradisional
(Carson et al., 1988).
Penelitian lain telah menemukan bahwa latar belakang budaya terapis dan klien dapat
berkontribusi pada persepsi dan assessment kesehatan mental. Misalnya, Li-Ripac (1980)
melakukan penelitian untuk mengevaluasi peran budaya dalam pendekatan diagnostik pada
terapis. Dalam studi ini, klien laki-laki Cina Amerika dan Eropa Amerika diwawancarai dan
direkam, kemudian dinilai oleh terapis laki-laki Cina Amerika dan Eropa Amerika untuk level
fungsi psikologis mereka. Hasil menunjukkan bahwa pengaruh interaksi antara latar belakang
budaya terapis dan klien berdasarkan pada assessment terapis pada klien. Klien Cina Amerika
dinilai canggung, bingung, dan gugup oleh terapis Eropa Amerika, tapi klien yang sama
tersebut dinilai beradaptasi, jujur, dan ramah oleh terapis Cina Amerika. Sebaliknya, klien
dari Eropa Amerika dinilai bersungguh-sungguh dan santai oleh terapis Eropa Amerika, tapi
dinilai agresif dan memberontak oleh terapis Cina Amerika. Selain itu, klien Cina Amerika
yang dinilai lebih tertekan dan kurang mampu secara sosial oleh terapis Eropa Amerika, dan
klien Eropa Amerika yang dinilai lebih parah terganggu oleh terapis Cina Amerika. Temuan
ini menggambarkan bagaimana assessment yang sesuai, fungsi psikologis yang sehat dapat
berbeda tergantung pada latar belakang budaya dan pengertian tentang normalitas oleh orang
yang membuat assessment.
Dalam membuat assessment klinis dua jenis kesalahan yang mungkin terjadi: overpathologizing dan underpathologizing (Lopez, 1989). Over-pathologizing dapat terjadi ketika
clinician tidak mengenal (unfamiliar) dengan latar belakang budaya klien, salah menilai
perilaku klien sebagai patologis, padahal sebenarnya perilaku tersebut normal untuk budaya
individu tersebut. Misalnya, di beberapa kebudayaan, mendengar suara-suara dari seorang
kerabat yang sudah almarhum dianggap normal. Clinician yang tidak menyadari fitur budaya
dari kliennya baik laki-laki atau perempuan di budaya tersebut mungkin over-pathologize dan
keliru dalam mengatribut perilaku tersebut sebagai manifestasi dari gangguan psikotik.
Underpathologizing dapat terjadi ketika seorang clinician tanpa pandang bulu menjelaskan
perilaku klien sebagai budaya misalnya, mengatribusikan ekspresi emosional individu yang
suka menyendiri dan datar sebagai gaya normal dalam komunikasi di budayanya, padahal
sebenarnya perilaku ini mungkin merupakan gejala depresi.

16

Akhirnya, salah satu topik yang menarik adalah menyangkut masalah bahasa dalam
tes psikologi. Dalam kasus-kasus yang sampai hari ini terjadi, test takers (seperti pasien atau
klien) memiliki first language dan budaya yang berbeda dari diagnosa atau clinician itu.
Beberapa peneliti (misalnya, Oquendo, 1996a, b) telah menyarankan bahwa evaluasi pasien
bilingual tersebut benar-benar harus dilakukan dalam dua bahasa, sebaiknya oleh clinician
bilingual atau dengan bantuan seorang penerjemah terlatih untuk masalah kesehatan mental.
Alasannya, seperti yang dibahas dalam Bab 9, adalah bahwa nuansa budaya dapat dikodekan
dalam bahasa dengan cara yang tidak mudah disampaikan dalam terjemahan. Artinya,
terjemahan dari frase kunci psikologis dan konstruksi dari satu bahasa ke bahasa lain dapat
memberikan setara semantik terdekat, tapi mungkin tidak memiliki nuansa yang sama persis,
makna dikontekstualisasikan, dan asosiasi. Administrasi tes dan terapi bilingual dapat
membantu untuk menjembatani kesenjangan ini.
Pengukuran Kepribadian untuk Assessment Psikopatologi
Salah satu cara yang menarik di mana tes kepribadian yang digunakan dalam lintasbudaya tidak hanya melibatkan assessment dalam kepribadiannya, tetapi juga dari kondisi
klinis dan psikopatologi. Skala yang paling banyak digunakan sedemikiannya dalam
assessment lintas-budaya adalah Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI).
Butcher, Lim, dan Nezami (1998) mengulas penggunaan MMPI di negara-negara dan
budaya-budaya, termasuk enam budaya Asia, enam budaya berbahasa Spanyol, delapan
budaya Eropa, dan tiga budaya di Timur Tengah. Mereka melaporkan tentang prosedur
peneliti yang paling sering digunakan dalam mengadaptasi MMPI untuk digunakan dalam
lingkungan khususnya budaya mereka, termasuk terjemahan dan back-translation, evaluasi
test-retest bilingual, studi equivalency, dan sejenisnya. Mereka menyimpulkan:
Studi kasus klinis yang melibatkan assessment pasien dari budaya yang berbeda telah
menunjukkan bahwa interpretasi MMPI-2 diambil dari prespektif American yang umumnya
menghasilkan kesimpulan yang kongruen mengenai pasien klinis diuji di negara lain.....
Komputer berbasis interpretasi MMPI-2 tampaknya memiliki tingkat ketelitian yang tinggi
bila diterapkan kepada pasien dari negara lain. Komputer berbasis laporan yang diperoleh
berdasarkan strategi penafsiran yang dikembangkan untuk Amerika Serikat dinilai sangat
akurat oleh clinician ketika mereka menerapkannya di Norwegia, Australia, dan Perancis.
(Hal. 207).

17

Dengan demikian, studi klinis lintas budaya yang melibatkan skala kepribadian seperti MMPI
telah terbukti cukup reliabel dan valid dalam menilai perilaku psikopatologi dan abnormal
dalam budaya lain juga. Temuan ini sekali lagi konsisten dengan alasan struktutr kepribadian
yang universal bahwa dapat reliabel dan valid assessmentnya dengan metode-metode yang
biasanya dikembangkan dan disempurnakan di Amerika Serikat atau Eropa. Jika seperti
struktur kepribadian yang universal ada dan dapat diukur dengan beberapa cara, maka
penyimpangan struktur kepribadian dalam bentuk psikopatologi juga harus diukur dengan
menggunakan alat ukur yang sama.
Namun, yang lain berpendapat bahwa beberapa item dari MMPI tidak memiliki arti
yang sama dalam budaya lain. Misalnya, menjawab "ya" untuk hal-hal seperti terkadang roh
jahat merasuki saya tidak mungkin menjadi penanda patologi untuk individu Puerto Rico,
sebagai spiritisme yang secara luas dipraktekkan dalam budaya tersebut (Rogler, Malgady, &
Rodriguez, 1989). Untuk mengatasi masalah ini, ada upaya untuk mengembangkan langkahlangkah budaya tertentu dari kepribadian, seperti Chinese Personality Assessment Inventory
(CPAI) oleh Cheung, Kwong, dan Zhang (2003) (lihat Bab 10 untuk penjelasan lebih rinci).
Berdasarkan

gabungan pendekatan etik-emik yang mencakup konsep-konsep asli dari

budaya Cina, pengukuran kepribadian diciptakan untuk digunakan secara khusus dengan
orang Tionghoa. Pengukuran CPAI mungkin lebih valid dan berguna dalam menilai kesehatan
mental dengan populasi ini dibandingkan dengan semata-mata assessment yang diimpor.
Kesehatan Mental Etnis Minoritas dan Migran
Saat ini, kita memiliki pemahaman memadai mengenai prevalensi gangguan mental di
kalangan kelompok-kelompok etnis minoritas di Amerika Serikat. Salah satu alasannya
adalah bahwa dalam masa lalu, institutional populations, di mana kelompok-kelompok
minoritas diwakili secara tidak proporsional, yang diabaikan dalam studi nasional tentang
epidemiologi gangguan mental (U.S. Department of Health and Human Services, 1999).
Baru-baru ini, upaya telah dilakukan untuk mengatasi kesenjangan dalam pengetahuan ini.
Dalam bagian akhir dari bab ini, pertama-tama kita akan membahas tingkat psikopatologi
antara empat kelompok etnis minoritas yang telah menjadi fokus dari penelitian terbaru:
Afrika Amerika, Asia Amerika, Latino Amerika, dan Native (penduduk asli) Amerika.
Karena sebagian besar penelitian difokuskan pada sampel Amerika terutama Eropa, tingkat
prevalensi biasanya dibandingkan untuk kelompok ini. Kedua, kita akan membahas kesehatan
mental imigran dan pengungsi baik di dalam dan di luar Amerika Serikat.
18

1. Afrika Amerika
Sebuah studi oleh Regier dan rekan (1993a), yang melibatkan 18.571 orang dewasa
dari lima kota di AS, meneliti prevalensi dari berbagai macam gangguan mental (termasuk
skizofrenia, depresi, gangguan kecemasan, gangguan somatisasi, dan gangguan
kepribadian antisosial) dan menemukan bahwa prevalensi gangguan mental lebih tinggi di
Afrika Amerika daripada di Eropa Amerika. Demikian pula, penelitian lain melaporkan
bahwa Afrika Amerika lebih sering didiagnosis skizofrenia dari pada Eropa Amerika
(Lindsey & Paul, 1989; McCracken, Matthews, Tang & Kuba, 2011). Sebaliknya, survei
epidemiologi nasional lainnya telah menemukan bahwa meskipun Afrika Amerika
melaporkan lifetime lebih rendah dan tingkat prevalensi 12-bulan untuk depresi berat dan
gangguan panik dibandingkan dengan Eropa Amerika, Afrika Amerika melaporkan tingkat
prevalensi lifetime lebih tinggi untuk gangguan bipolar (Breslau, Kendler, Su , AnguilarGaxiola, & Kessler, 2005; Smith et al, 2006). Perbedaan prevalensi ini mungkin bukan
karena perbedaan budaya yang mencolok, melainkan sampai batas tertentu, karena
kesenjangan socioeconomic (SES). Misalnya, ketika Regier

mengambil faktor

socioeconomic dalam penelitiannya, perbedaan prevalensi antara Afrika Amerika dan


Eropa Amerika menjadi tiada. Regier dan rekan berpendapat bahwa kesenjangan besar
SES antara kelompok-kelompok etnis yang berbeda di Amerika Serikat dapat
menempatkan orang-orang di tingkat SES yang rendah untuk risiko tinggi gangguan
mental.
Peneliti lain berpendapat bahwa etnis minoritas mungkin juga lebih cenderung salah
untuk didiagnosis dengan gangguan seperti skizophrenia sebagai akibat dari bias dan
stereotip (Lewis, Croft-Jeffreys, & Anthony, 1990).
2. Asia Amerika
Sulit untuk melukiskan gambaran yang akurat tentang prevalensi gangguan mental di
Asia Amerika, karena sampai saat ini mereka belum dimasukkan dalam studi epidemiologi
(U.S Department of Health and Human Services, 1999). Selain itu, stereotip sebagai
model minoritas menutupi fakta bahwa Asia Amerika juga mungkin berisiko untuk
masalah kesehatan mental yang buruk (Uba, 1994). Jadi, meskipun Asia Amerika adalah
kelompok etnis yang paling cepat berkembang di Amerika Serikat, ada informasi yang
sangat terbatas pada kesehatan mental dari populasi ini.
19

Beberapa studi menunjukkan orang Asia Amerika memiliki tingkat yang lebih tinggi
untuk gangguan mental (seperti gejala depresi dan fobia sosial) daripada Eropa Amerika
(Greenberger & Chen, 1996; Okazaki, 2000). Namun, studi ini dibatasi oleh sampel kecil
mereka. Sebuah survei yang lebih baru dengan sampel perwakilan nasional menemukan
bahwa secara keseluruhan, dibandingkan dengan kelompok etnis lain, Asia Amerika
melaporkan prevalensi 12-bulan terendah untuk gangguan-gangguan termasuk depresi
berat, mania, gangguan panik, dan gangguan kecemasan (Smith et al., 2006). Salah satu
kelemahan dari penelitian besar, bagaimanapun, adalah bahwa hal itu tidak membedakan
antara berbagai kelompok etnis Asia. Ini adalah pengawasan yang kritis, karena ada variasi
yang besar dalam populasi Asia Amerika tergantung pada latar belakang etnis tertentu,
status generasi, dan imigran atau pengungsi negara. Misalnya, (1984) studi Kuo
menemukan bahwa orang Korea Amerika memiliki insiden yang lebih tinggi untuk
depresi, diikuti oleh Filipina Amerika, Jepang Amerika, dan Cina Amerika. Kuo
berargumen bahwa alasannya mungkin imigran Korea telah di Amerika Serikat untuk
jangka waktu yang lebih singkat dan memiliki status pekerjaan yang lebih rendah dan
lebih kesulitan menyesuaikan diri dengan Amerika Serikat. Di antara Asia Tenggara, etnik
Hmong lebih mungkin dilaporkan untuk depresi daripada Laos, Kamboja, Vietnam, dan
Cina Vietnam (Ying, Akutsu, Zhang & Huang, 1997). Karena Asia Tenggara memiliki
kemungkinan lebih besar untuk menjadi lebih rendah dari SES dan memiliki status sebagai
pengungsi, mereka mungkin lebih cenderung menjadi risiko untuk masalah kesehatan
mental yang buruk daripada kelompok Asia lainnya seperti Cina Amerika (Uehara,
Takeuchi, & Smukler, 1994). Jelas, variasi luas dalam sebuah kelompok etnis
menunjukkan bahwa generalisasi dalam diskusi tentang kemungkinan perbedaan
kelompok etnis dalam kesehatan mental ini tidak sepenuhnya akurat.
3. Amerika Latin
Populasi pertumbuhan Amerika Latin adalah yang tercepat di Amerika Serikat.
Beberapa penelitian epidemiologi melaporkan perbedaan antara Amerika Latin dan Eropa
Amerika di lifetime adalah gangguan psychiatric (Robins & Regier, 1991; Report of the
Surgeon General, 2001). Pada Asia Amerika, ada perbedaan yang signifikan di dalam
kelompok itu pada tingkat psychopathologies tergantung pada kelompok spesifik Latino
dan status pada umunya. Misalnya, sebuah studi menemukan bahwa Puerto Riko memiliki
tingkat yang lebih tinggi untuk depresi major daripada Amerika Kuba dan Meksiko (Cho,
20

Moscicki, Persempit, Rae, Locke & Regier, 1993). Studi lain menemukan bahwa
keturunan asing Amerika Meksiko berada pada risiko yang signifikan lebih rendah untuk
gangguan mood dan kecemasan dibandingkan yang kelahiran Meksiko Amerika (Grant,
Stinson, Hasin, Dawson, Chou & Anderson, 2004).
Studi Nasional Amerika Latin dan Asia (Alegria et al., 2004) dipimpin oleh Maria
Alegaria dan David Takeuchi, diluncurkan pada tahun 2002. Ini adalah studi nasional
pertama komprehensif di Amerika Serikat yang meneliti prevalensi gangguan psychiatric
dan penggunaan layanan di antara berbagai kelompok di Amerika Latin dan Asia. Analisis
awal mendukung temuan penelitian sebelumnya bahwa ada variasi dalam tingkat
gangguan mental di kalangan kelompok Latin yang berbeda (misalnya, Puerto Rico lebih
tinggi dibandingkan dengan Kuba, Meksiko, dan Latin lainnya). Sebuah tinjauan
kesehatan mental Latino di Amerika Serikat menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti
penerimaan imigrasi (yang bermusuhan atau mendukung), riwayat imigrasi (mengalami
kolonisasi atau tidak), berbagai SES, pengalaman dengan diskriminasi, dan kekuatan
masyarakat etnis dapat menjelaskan perbedaan tingkat antara kelompok Latin
(Guarnaccia, Martinez, & Acosta, 2005). Misalnya, dalam menjelaskan mengapa Kuba
cenderung dilaporkan untuk tekanan psikologis, para penulis menyatakan bahwa
pengalaman imigrasi mereka yang unik, seperti menerima dukungan kuat dari Amerika
Serikat (misalnya, pinjaman untuk memulai bisnis, kemudahan transfer kredensial yang
profesional untuk clinician dan pengacara), memiliki akses untuk membuat semangat
hidup para etnis di Miami dengan status politik dan budaya dan kekuasaan, dan menikmati
relative SES yang tinggi, telah mengurangi pemicu potensial tekanan hidup, dan
selanjutnya mengurangi resiko untuk gangguan psikologis mereka dibandingkan lainnya,
kurang didikung kelompok Latino. Peninjauan menyoroti bagaimana variasi dalam
konteks dan kebijakan memiliki implikasi dalam adaptasi dan satu kesehatan mental.
4. Penduduk Asli Amerika
Kehidupan sebagian penduduk asli Amerika yang ditandai dengan kesulitan sosial
ekonomi, segregasi, dan marjinalisasi, yang dapat diartikan ke dalam risiko lebih besar
untuk masalah kesehatan mental (Organista, Organista, & Kurasaki, 2003). Belakangan,
survei epidemiologi sangat sedikit untuk gangguan kesehatan jiwa dan mental pada
kelompok etnis ini. Beberapa studi yang telah menyertakan populasi ini menunjukkan
bahwa depresi adalah masalah yang signifikan di banyak masyarakat asli Amerika (Kinzie,
21

Leung, Boehnlein, Matsunaga, Johnson, Manson, et al, 1992;. Nelson, McCoy, Steterr, &
Vandewagen, 1992). Selain itu, tingkat penyalahgunaan alkohol dan bunuh diri di
kalangan penduduk asli Amerika jauh lebih tinggi daripada statistik nasional AS
(Boehnlein, Kinzie, & Leung, 1992; Indian Health Service, 2006). Sebuah studi
epidemiologi nasional menunjukkan bahwa penduduk asli Amerika melaporkan prevalensi
12 bulan tertinggi untuk gangguan mood dan kecemasan dibandingkan dengan kelompok
etnis lainnya (Afrika Amerika, Asia, Putih, dan Latino) (Smith et al., 2006). Namun,
seperti dengan kelompok etnis lainnya, variasi dalam komunitas penduduk asli Amerika
tidak boleh diabaikan. Satu studi besar epidemiologi-Pemanfaatan Layanan American
Indian, Risiko Psychiatric, dan pelindung Faktor Proyek (Beals, Novins, Whitesell, Spicer,
Mittchell, & Manson, 2005) - melibatkan dua suku asli Amerika. Penelitian ini
melaporkan bahwa suku Southwest dan suku Northern Planes berbeda secara signifikan
dalam prevalensi 12 bulan gangguan mood dan kecemasan. Dengan demikian, kita harus
peka terhadap kenyataan bahwa prevalensi dan korelasinya dengan gangguan kejiwaan
mungkin berbeda dalam kelompok etnis secara keseluruhan. Mengumpulkan informasi
yang lebih akurat untuk perbedaan etnis di tingkat Prevalensi gangguan kejiwaan
diperlukan informasi kebijakan publik dan layanan pengobatan untuk populasi ini secara
tradisional agar dapat terlayani.
5. Migran
Imigrasi (atau migrasi ke negara) telah menjadi semakin umum di seluruh dunia.
Telah ada peningkatan ketertarikan dalam masalah kesehatan mental untuk para migran
dalam beberapa tahun terakhir (Takana-Matsumi, 2001). Migran yang beradaptasi dengan
lingkungan budaya baru dihadapkan dengan banyak tantangan, seperti belajar adat istiadat
dan bahasa budaya tuan rumah sementara pada saat yang sama mempertahankan aspek
budaya tradisional mereka sendiri (Berry & Kim, 1988). Proses adaptasi yang mengadopsi
budaya lain yang berbeda dimana seseorang itu telah enculturated disebut akulturasi.
Berry dan Sam (Berry & Sam, 1997, Sam, 2000) melaporkan bahwa depresi, kecemasan,
dan masalah psikosomatik lazim di antara individu yang menjalani akulturasi. Dengan
demikian, Berry dan lain-lain telah memperkirakan bahwa yang mengalami stres terkait
dengan akulturasi dapat menyebabkan kesehatan mental yang buruk.
Menariknya, beberapa studi melaporkan bahwa imigran di Amerika Serikat (seperti
yang berasal dari Meksiko) benar-benar melaporkan lebih sedikit dalam masalah
kesehatan fisik dan mental daripada mereka yang kelahiran US (Alderete, Vega & Kolody,
22

2000, Grant, Schell, Elliot, Berthold & Chun , 2005; Vega, Koloy, Aguilar Gaxiola,
Alderete, Catalano, & Caraveo Anduaga, 1998). Sam (1994) juga melaporkan bahwa
gangguan kejiwaan akut kurang lazim pada anak-anak imigran di Norwegia. Ini disebut
sebagai imigran paradox (Berry, Phinney, Sam, & Vedder, 2006). Paradoks mengacu
pada kenyataan yang berlawanan ketika menemukan bahwa imigran memiliki kesehatan
mental dan fisik yang lebih baik dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lahir di
AS meskipun fakta bahwa imigran, pada umumnya, lebih mungkin mengalami kondisi
sosial ekonomi yang buruk, kurang pendidikan, dan tidak terbiasa dengan lingkungan
baru. Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa faktor-faktor seperti ikatan yang kuat
dengan keluarga dan akses ke komunitas etnis ternyata mendukung kesehatan fisik dan
mental yang positif di kalangan para imigran (misalnya, Eschbach, ostri, Patel, Markides,
& Goodwin, 2004).
Mengenai proses akulturasi yang berkaitan dengan imigrasi, beberapa studi telah
menemukan bahwa kesehatan mental yang buruk diperkirakan oleh asimilasi yang rendah
ke budaya lokal (Padilla, Wagatsuma, & Lindholm, 1985, Szapocznik, Scopetta, &
Tillmam, 1979), sedangkan yang lain telah menemukan masalah kesehatan mental yang
buruk diprediksi oleh asimilasi yang tinggi terhadap budaya lokal (misalnya, Oh, Koeske
& Penjualan, 2002; Sodowsky & Carey, 1987). Selain itu, sebuah studi oleh Nguyen,
Messe, dan Stollack (1999) pada remaja imigran Vietnam yang tinggal di sebuah kota
Midwestern AS menemukan bahwa remaja imigran Vietnam yang menjadi Vietnamese
dalam sikap dan perilaku mereka melaporkan memiliki tingkat gejala dan perilaku depresi
yang lebih tinggi. Singkatnya, temuan yang tidak konsisten mengenai imigran berisiko
lebih tinggi untuk masalah kesehatan mental karena akibat dari menjalani proses
akulturasi.
Untuk merekonsiliasi temuan berbeda mengenai hubungan akulturasi terhadap
kesehatan mental, seorang persepektif ekologis pada akulturasi telah menyatakan: Dengan
kata lain, memperhatikan aspek-aspek penting dari masyarakat, sosial, dan konteks budaya
seperti toleransi untuk penerimaan keragaman budaya, kebijakan yang memberi kelompok
acculturating untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas, dan adanya
jaringan dari dukungan dapat membantu menjelaskan bagaimana akulturasi berkaitan
dengan kesehatan mental para imigran dan anak-anak mereka (Berry, Kim, Minde, &
Mok, 1987;. Nguyen et al, 1999, Oppedal Roysamb, & Sam, 2004). Sebagai contoh, studi
Nguyen et al 's. menunjukkan bahwa remaja Vietnam yang tinggal di lingkungan yang
tidak mendukung budaya mereka berada pada risiko lebih besar untuk gangguan emosi
23

dan perilaku jika mereka masih sangat terlibat dalam budaya Vietnam mereka. Namun,
dalam budaya lingkungan yang beragam seperti kota San Francisco di California utara, di
mana tradisi budaya banyak didukung, didorong, dan bahkan dirayakan, remaja Vietnam
yang sangat mempertahankan sikap, nila-nilai, dan perilaku budaya tradisional mereka
mungkin kurang berisiko terhadap gangguan emosi dan perilaku.
Selain berkaitan dengan tingkat distress, tingkat individu yang akulturasi juga dapat
berkontribusi terhadap content dan ekspresi atau tekanannya, dengan implikasi untuk
assessment, diagnosis, dan pengobatan untuk individu acculaturating pada risiko
gangguan mentalnya. Jika diasumsikan bahwa individu yang sangat berakulturasi, secara
budaya mirip dengan anggota masyarakat yang dominan, maka mereka mungkin serupa
dalam cara mereka mengekspresikan tekanan psikologis. Namun, gejala psikologis antara
individu-individu yang kurang terakulturasi mungkin tidak mengikuti pola ini. Menurut
definisi, orang yang kurang terakulturasi secara budaya berbeda dari kelompok untuk
siapa skala gejala konvensional telah dikembangkan. Dengan demikian, pertanyaan
apakah ukuran standar gejala psikologis sesuai dengan realitas kelompok etnis minoritas
tetap tak terjawab (Cortes, 2003, hal. 208).
6. Pengungsi
Akulturasi, adaptasi, dan kesehatan mental para pengungsi migran yang terpaksa
melarikan diri dari negara mereka karena kekerasan politik, kerusuhan sosial, perang, atau
konflik sipil juga telah dipelajari. Sekitar 24 juta orang di seluruh dunia yang mengungsi
pada tahun 2005 (International Displacement Monitoring Centre, 2006). Tidak
mengejutkan, karena pengalaman traumatik mereka mendalam dan pergolakan, pengungsi
cenderung menunjukkan tingkat yang lebih tinggi untuk gangguan stres pasca trauma
(PTSD), depresi, dan kecemasan (Bhui, Craig & Mohamud, 2006; Kinzie & Sack, 2002;
Liebkind, 1996, van Ommeren, Sharma, Sharma, Komproe, Cardena & de Jong, 2002)
dibandingkan dengan mereka yang bermigrasi secara sukarela. Menggunakan wawancara
mendalam dan survei, sebuah studi pengungsi Kamboja menemukan efek jangka panjang
terhadap kesehatan mental mereka (Marshall, Schell, Elliott, Berthold, & Chun, 2005).
Bahkan setelah dua dekade berada di Amerika Serikat, banyak pengungsi masih
penderitaan, 51 persen memiliki depresi berat, dibandingkan dengan tingkat umum dari
9,5 persen orang dewasa AS dengan depresi besar. Selain itu, 62 persen telah mengalami
PTSD pada tahun lalu, dibandingkan dengan 3,6 persen pada populasi umum di AS. Tidak
mengherankan, semakin besar trauma yang dialami sebelum tiba di Amerika Serikat,
semakin besar pula dampak pada kesehatan mental mereka. Bekerja dengan pengungsi
24

Vietnam di Finlandia (Liebkind, 1996) dan pengungsi Bosnia yang tinggal di Chicago
(Miller, Worthington, Muzurovic, Tipping, & Goldman, 2002), menunjukkan bahwa faktor
postimigration sama pentingnya dalam memprediksi tekanan emosional seorang
pengungsi dan psikopatologi sebagai pengalaman traumatis premigration. Sebagai contoh,
berdasarkan intensif, dalam wawancara mendalam dengan narasi pada pengungsi Bosnia,
Miller et al. menemukan bahwa postimigration faktor seperti isolasi sosial dan hilangnya
community, hilangnya proyek-proyek kehidupan seperti membangun rumah atau
menjalankan bisnis, dan hilangnya peran sosial dan kegiatan yang berarti semuanya
mengakibatkan secara aktif terhadap reaksi stress posttraumatic, tekanan emosional dan
fisik para pengungsi
Morton Beiser dan rekan (Beiser, 2006; Beiser & Hou, 2001, Simich, Beiser, Stewart
& Mwakarimba, 2005) telah mengikuti adjustment pada pengungsi Cina, Vietnam, dan
Laotion di Kanada. Proyek ini adalah salah satu studi longitudinal dari beberapa adaptasi
perlindungan dan kesehatan mental. Menggunakan perspektif longitudinal yang telah
terbukti sangat akurat, sebagai prediktor kesehatan mental dapat berubah sewaktu-waktu.
Misalnya, mereka menemukan bahwa belajar bahasa negara baru tidak memiliki manfaat
langsung pada kesehatan mental tapi apakah manfaatnya dalam jangka panjang, diprediksi
depresinya sedikit. Pengungsi yang belajar bahasa budaya baru juga kurang mungkin
didiagnosis dengan depresi. Para peneliti juga menemukan bahwa memiliki dukungan
sosial yang kuat dari anggota kelompok etnis yang sama dapat membantu dalam tahuntahun awal transmigrasi mereka (bertindak sebagai batu loncatan untuk adaptasi). Namun,
dukungan sosial juga berhubungan dengan seperangkat kompleks hasil dalam jangka
panjang, seperti menjadi terisolasi dengan masyarakat yang lebih luas. Karena jumlah
pengungsi meningkat di seluruh dunia, penelitian yang dapat menginformasikan treatment
dan kebijakan untuk mencegah gangguan kejiwaan dan mempromosikan adaptasi positif
antara populasi ini sangat diperlukan.
SUMMARY
Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian etnis minoritas dan kelompok-kelompok imigran
telah mempelajari prevalensi penyakit mental di Amerika Serikat. Untuk memahami
perbedaan etnis dalam tingkat gangguan mental, faktor-faktor kontekstual seperti kemiskinan,
diskriminasi, dan tekanan stres terkait dengan berimigrasi ke negara baru perlu
diperhitungkan (Nazroo, 2003). Misalnya, orang dengan level terendah SES sekitar dua
setengah kali lebih besar daripada orang-orang di tingkat dengan level tertinggi SES yang
25

mengalami gangguan mental (Regier et al., 1993b). Karena etnis minoritas di Amerika
Serikat tidak proporsional terkena kemiskinan dan tekanan yang terkait dengan itu, mereka
mungkin lebih beresiko untuk masalah kesehatan mental yang buruk (Miranda & Green,
1999). Namun, juga harus ditekankan bahwa ada perbedaan besar antara dan di dalam
kelompok etnis dalam prevalensi gangguan mental. Ikatan kuat dengan keluarga dan
masyarakat yang menjadi ciri Afrika Amerika, Latin Amerika, Asia Amerika, dan masyarakat
asli Amerika merupakan aset yang dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan
kesehatan mental yang positif. Penelitian di masa depan tidak hanya harus terus memeriksa
Prevalensi penyakit mental pada populasi yang lebih beragam, tetapi juga harus bergerak
mengadopsi pendekatan komparatif hanya untuk mengeksplorasi faktor-faktor protektif,
seperti ikatan keluarga yang erat, etnik, dan partisipasi keagamaan dapat membantu
mencegah penyakit ini ( Mossakowski, 2003; Newberg & Lee, 2006).
CONLUSION
Diagnosis psikiatri, skema klasifikasi, dan pengukuran abnormality adalah masalah yang
kompleks dan sulit. Untuk memperluas bahwa ada aspek etik dan emik psikopatologi, sistem
klasifikasi dan metode assessment perlu mengisi kedua elemen etik dan emik. Dimana untuk
menarik garis, dan bagaimana mengukur sifat-sifat psikologis dan karakteristik yang tidak
pasti ini, dinamis, dan sistem yang selalu berubah, adalah tantangan yang dihadapi oleh area
psikologi hari ini. Meskipun di lapangan telah membuat perbaikan besar dalam beberapa
tahun terakhir, penelitian masa depan perlu untuk menguraikan lebih jauh tentang masalah
ini, sehingga klasifikasi dan pengukuran dapat lebih tepat, bermakna, dan relevan.
Pencantuman yang lebih beragam populasi di negara-negara majemuk seperti Amerika
Serikat juga dibutuhkan dalam bidang penelitian. Signifikansi hal ini tidak sepele, karena
pemahaman yang tepat, assessment, dan diagnosis gangguan mental merupakan langkah
penting untuk mengembangkan pencegahan yang efektif dan perawatan yang meningkatkan
dan menambah kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto, David. (2007). Culture and Psychology, Fourth Edition. USA, Wadsworth.
26

Anda mungkin juga menyukai