Anamnesis
Untuk menilai tingkat keparahan dan keluhan pada saluran kemih bawah,
beberapa ahli atau organisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif
dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO
adalah International prostate symptom score (IPSS). Pertanyaan yang diajukan terdiri
atas tujuh pertanyaan terkait keluhan miksi, dan satu pertanyaan terkait kualitas hidup
pasien. Berikut ini pertanyaan-pertanyaan yang diajukan:
Dari skor IPSS diatas, selanjutnya total skor dapat diinterpretasikan sebagai:
Pemeriksaan Fisik
o Colok Dubur
Dari colok dubur dapat dibedakan karakteristik BPH dengan Ca. Prostat.
Diantaranya adalah:
BPH
Konsistensi kenyal
Lobus sinistra dan dextra teraba
Ca. Prostat
Konsistensi keras dan padat
Kemungkinan dapat dijumpai asimetris
simetris
pada lobus prostat
Tidak terdapat nodul
Nodul teraba
Mengukur volume prostat dengan colok dubur cenderung underestimate daripada
pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar. Hampir pasti
bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada
pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada
pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya
karsinoma prostat sebesar 33%.
o Pemeriksaan region Suprapubik
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui batas buli-buli. Pada keadaan
obstruksi yang misalnya disebabkan oleh BPH, terjadi peninggian batas atas bulibuli, bahkan bisa mencapai umbilicus. Selain itu, buli-buli juga teraba penuh.
-
Pemeriksaan Penunjang
o Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu
buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya:
karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis
menunjuk-kan adanya kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran
kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat 3 kecurigaan
adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine.
Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai
kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah
ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter.
o Faal Ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH
terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan
resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan
dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih
banyak.
Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem
pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika
terdapat kelainan kadar kreatinin serum. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal
ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan
pada saluran kemih bagian atas.
o Pemeriksaan Kadar PSA
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan
penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek
(c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan
kadar PSA. Makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju
pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl
laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1
mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada
retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Sesuai
Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:
besar
guidelines
yang
disusun
di
berbagai
negara
90% BOO
67% BOO
30% BOO
gangguan
pancaran
urine
atau
beratnya
obstruksi.
Namun,
hematuria
infeksi saluran kemih
insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG)
riwayat urolitiasis
riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia.
inhibitor 5- reduktase
termoterapi
pemasangan stent
TUIP atau
prostatektomi terbuka.
berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume
residual urine>300 mL
Qmax>10 ml/detik
setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis
setelah gagal dengan terapi invasif, atau
kecurigaan adanya buli-buli neurogenik.
o Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika
dan buli-buli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher bulibuli, batu buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel buli-buli. Selain itu
sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi.
Sayangnya pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan
komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak
dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH.
Uretrosistoskopi
dikerjakan
pada
saat
akan
dilakukan
tindakan
TATALAKSANA
Tujuan terapi pada pasien hyperplasia prostat adalah:
(1) memperbaiki keluhan miksi
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan atau tindakan
endourologi yang kurang invasive, seperti terlihat pada tabel di bawah ini:
Watchfull waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktovitas sehari-hari. Pasien tidak dapat
menterapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya:
(1) jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam
(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli( kopi
atau cokelat)
(3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin
(4) kurangi makanan pedasss dan asin
(5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodic pasien diminta untuk dating control dengan ditanya keluhannya
aoakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan
pemeriksaan laboratorium, residu urine, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah
jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk:
(1)
(2)
sebagai
salah
satu
terapi
BPH.
Pada
saat
itu
dipakai
Pembedahan
Mungkin sampai saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah mengganggu adalah
pembedahan, yakni mengangkat bagian kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi.
Cara ini memberikan perbaikan skor IPSS dan secara obyektif meningkatkan laju
pancaran urine. Hanya saja pembedahan ini dapat menimbulkan berbagai macam penyulit
pada saat operasi maupun pasca bedah.
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
diantaranya adalah:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar
prostat13. TUNA dapat memperbaiki gejala hingga 50-60% dan
meningkatkan Qmax hingga 40-50% Pasien sering kali masih
mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urine,
dan
epididimo-orkitis.
(3) HIFU (high intensity focused ultrasound)
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis prostat pada
HIFU
berasal
dari
gelombang
ultrasonografi
dari
transduser
diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan
dilepas kembali secara endoskopi. Stent yang telah terpasang bisa mengalami
enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan disuria.
KOMPLIKASI
Komplikasi pada BPH sangat berkaitan erat dengan patofisiologi yang mendasari kondisi
penyakit tersebut. Dengan meningkatnya tekanan intravesika, maka terjadi obstruksi yang akan
menghambat aliran urine dari saluran yang lebih atas. Diawali dengan refluks vesiko-ureter
akibat stasis urine yang terjadi, selanjutnya terjadi peningkatan tekanan di ureter dan ginjal yang
mengakibatkan hidroureter dan hidronefrosis. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadiny
apionefrosis maupun pielonefritis. Lambat laun, kondisi BPH yang telah disertai berbagai
penyulit dan komplikasi akan merembet hingga terjadinya gagal ginjal.
PROGNOSIS
Setiap pasien BPH yang telah mendapatkan pengobatan perlu control secara teratur untuk
mengethaui perkembangan penyakitnya. Jadwal control tergantung pada tindakan apa yang
sudah dijalaninya.
Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchfull waiting) dianjurkan control
setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis.
Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor I-PSS, uroflometri, dan residu urine pascamiksi.
Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5-alpha-reduktase harus dikontrol pada
minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai respon terhadap terapi. Kemudian setiap tahun untuk
menilai perubahan gejala miksi.
Pasien yang menjalani pengobatan alpha-adrenergik bloker harus dinilai respon terhadap
pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan pemeriksaan I-PSS, uroflometri, dan residu
urine pascamiksi. Jika terjadi perbaikan gejala tanpa menunjukkan penyulit yang berarti,
pengobatan dapat diteruskan. Selanjutnya control dilakukan setelah 6 bulan dan kemudian setiap
tahun. Pasien setelah menerima pengobatan secara medikamentosa dan tidak menunjukkan
tanda-tanda perbaikan perlu dipikirkan tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani control paling lambat 6 minggu
pascaoperasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3
bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.
Pasien yang mendapat terapi invasive minimal harus menjalani kontrol secara teratur
dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada
pasien yang mendapat terapi invasive minimal, selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi,
dilakukan pula pemeriksaan kultur urine.
SUMBER
-
Dasar-dasar Urologi
IAUI, 2003. Pedoman
Penatalaksanaan
http://iaui.or.id/ast/file/bph.pdf
BPH
di
Indonesia. Available
at: