Optimalisasi Peranan BPK Dan KPK
Optimalisasi Peranan BPK Dan KPK
Ada tiga undang-undang mendasar mengenai sistem keuangan, yaitu antara lain:
UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Reformasi terhadap transparansi keuangan
pemerintah tidak berhenti sampai di situ saja. Pemerintah kemudian berusaha menertibkan
sistem akuntansi dengan menerbitkan PP No 24 Tahun 2005 yang telah disempurnakan
dengan PP No 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Dengan adanya
peraturan pemerintah ini, informasi tentang efektivitas dan efisiensi APBN/APBD harus
dilaporkan dalam bentuk laporan keuangan. Selanjutnya, diharapkan keuangan pemerintah
lebih dapat dipertanggungjawabkan sehingga masyarakat dapat berperan serta dalam
melakukan pemantauan melalui wakil-wakil yang telah dipilih di DPR dan DPRD.
melakukan
lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan UU dan memiliki tugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Badan Layanan Umum, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara. Yang dimaksud dengan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara antara lain: badan hukum milik negara, LPS, yayasan yang
mendapat fasilitas negara, komisi-komisi yang dibentuk dengan undang-undang (seperti
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan lainnya), serta
badan swasta yang menerima dan/atau mengelola uang negara. Namun demikian, sampai
saat ini masih ada lembaga pemerintahan yang tidak sepenuhnya bisa diperiksa oleh BPK,
yaitu penerimaan pajak yang dikelola oleh DJP. Hal ini terjadi karena UU Perpajakan
menutup akses BPK pada pemeriksaan penerimaan pajak. Di dalam intern Kementerian
Keuangan sendiri ada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. BPKP adalah
lembaga pemerintah yang dibentuk berdasarkan Kepres pada 1983 dan PP No 6 Tahun
2008 untuk melakukan pemeriksaan / audit internal dalam tubuh pemerintah.
Kelembagaan, Tugas dan Wewenang BPK
Keberadaan BPK pertama-tama ditetapkan oleh UUD 1945. Pasal 23 ayat (5) UUD
memuat amanat: Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang.
Semenjak tahun 2003, ada empat UU yang dapat dijadikan landasan hukum dan landasan
operasional BPK, yaitu: UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; dan UU No 15 Tahun 2006 tentang
BPK. UU No 15 Tahun 2006 ini merupakan penyempurnaan dari UU No 5 Tahun 1973
tentang BPK yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sistem
ketatanegaraan, baik pada pemerintah pusat maupun daerah. Dalam UU No 15 Tahun
2
2006, jelas dikatakan bahwa BPK harus berposisi sebagai lembaga pemeriksa yang bebas,
mandiri dan profesional. Hal ini sangat diperlukan dalam upaya menciptakan pemerintahan
yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kebebasan dan kemandirian BPK
dijabarkan dalam UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK yang meliputi:
a
BPK saat ini benar-benar berdiri secara sejajar dengan Presiden. Mengingat
tanggung jawab BPK terhadap pemeriksaan pengelolaan keuangan negara yang dijalankan
oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, apabila BPK berada di bawah
kendali Presiden, ruang gerak BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara akan terbatas. Demikian juga, BPK bukanlah lembaga yang berdiri di atas
presiden. BPK adalah lembaga yang berdiri terpisah dari pemerintah, BPK dipilih dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
BPK memeriksa seluruh keuangan negara, yang meliputi penerimaan negara baik
berupa pajak dan non pajak, seluruh aset dan utang piutang negara, penempatan kekayaan
negara-serta penggunaan pengeluaran negara. BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan
tanggungjawab tentang keuangan negara. BPK memeriksa semua asal-usul dan besarnya
penerimaan negara, dan BPK harus mengetahui tempat uang negara itu disimpan dan untuk
apa uang negara itu digunakan.
Peranan BPK jauh lebih luas daripada mencegah kebocoran korupsi. Kehadiran BPK
diharapkan dapat menjaga transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Apabila
pengelolaan keuangan negara telah terlaksana secara transparan dan bertanggungjawab,
maka Indonesia dapat memiliki perekonomian dan pembangunan nasional yang sehat dan
sejahtera. Dengan adanya transparansi, suatu negara dapat mengetahui kondisi
keuangannya sendiri setiap saat agar dapat melakukan perencanaan pendanaan
pembangunan dan memonitor pelaksanaannya dengan baik. Krisis tahun 1997-1998 terjadi,
3
antara lain karena pemerintah tidak memiliki informasi dan kontrol atas posisi keuangannya
sendiri yang tersebar di berbagai instansi dan BUMN/BUMD serta di berbagai rekening
individu pejabat negara. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas, dapat mendorong
kinerja BUMN/BUMD sehingga dapat bersaing di pasar global.
Adapun beberapa kondisi berbeda yang mencerminkan BPK menjadi lembaga yang
lebih baik daripada dahulu (jaman Orde Baru) antara lain:
a
Laporan
pemeriksaan
disampaikan
kepada
Presiden,
DPR/DPD/DPRD,
Gubernur/Bupati/Walikota.
d
Apabila ada tindak kriminal dalam pemeriksaan, BPK melaporkan langsung kepada
Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).
pemeriksaan,
menentukan
waktu
dan
metode
pemeriksaan,
oleh
pejabat
negara
UU
mengatur
tindak
lanjut
terhadap
temuan
dan
pelaksanaannya dipantau dan dilaporkan kepada BPK. Bagi mereka yang tidak
melaksanakan tindak lanjut, diancam dengan sanksi pidana maksimum 1,5 tahun
penjara dan atau denda Rp500 juta.
g
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilakukan
secara independen,obyektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. (Pasal 1 angka 1 UU No 15 Tahun 2006). Ada tiga jenis
pemeriksaan oleh BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan
dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan
pemerintah pusat dan daerah. Pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka memberikan
pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan
keuangan pemerintah. Ada empat kategori opini sebagai bentuk penilaian yang diberikan
oleh BPK, yaitu antara lain: Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP atau unqualified
opinion); opini ini menyatakan bahwa laporan keuangan pihak yang diperiksa telah disajikan
dengan wajar, penilaian telah disusun dengan memuaskan. Kedua, opini Wajar dengan
Pengecualian (WDP atau Qualified Opinion) opini bahwa pada umumnya laporan keuangan
telah disajikan secara wajar namun terdapat sejumlah bagian tertentu yang belum
memenuhi standar. Ketiga, opini Tidak Wajar (TW atau Adverse Opinion) adalah opini
bahwa laporan keuangan disusun tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan
penyusun laporan keuangan tidak mau melakukan perbaikan walaupun sudah ada koreksi
yang diajukan oleh auditor dalam pemeriksaan. Keempat, Menolak Memberikan Pendapat
(atau Tidak Memberikan Pendapat atau Disclaimer Opinion) adalah opini bahwa auditor
tidak dapat memberikan kesimpulan atau pendapat atas laporan keuangan, karena berbagai
hal, misalnya karena pihak yang diperiksa membatasi ruang lingkup pemeriksaan.
Jenis pemeriksaan kedua yang dilakukan oleh BPK adalah pemeriksaan kinerja.
Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas aspek ekonomis dan efisiensi serta
efektivitas, yang dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern
pemerintah. Pemeriksaan ini dilakukan agar kegiatan yang dibiayai oleh keuangan negara/
daerah dapat terselenggara secara ekonomis dan efisien serta memenuhi sasarannya
secara efektif. Kriteria ekonomis berarti, entitas mampu untuk meminimalisir biaya sumber
daya yang digunakan dalam suatu kegiatan dengan tetap mengindahkan mutu. Efisien
mengacu pada hubungan antara pasokan dan hasil, yaitu optimalisasi sumber daya untuk
memenuhi tujuan organisasi. Efektivitas merujuk pada penilaian tentang akibat atau dampak
kinerja pada tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
sebagai tindak lanjut pemeriksaan keuangan dan kinerja karena ada persoalan penting yang
harus diselesaikan. Misalnya, diduga ada unsur pidana dalam tindakan keuangan instansi
yang diperiksa, atau untuk memeriksa pelaksanaan rekomendasi oleh BPK oleh instansi
terperiksa. Dalam kasus-kasus tertentu, berdasarkan ketentuan, BPK dapat meminta
akuntan publik atau tenaga ahli untuk melakukan pemeriksaan yang hasilnya wajib
disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.
Laporan BPK
BPK menuangkan hasil kerjanya dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. LHP
tersebut merupakan hasil pemeriksaan terhadap LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat) dan LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah). Pemeriksaan atas LKPP dan
LKPD dilakukan setiap tahun. Di samping itu, ada juga laporan hasil pemeriksaan tiap
semester, yakni IHPS (Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester). LHP dan IHPS diserahkan
rutin kepada DPR, DPD dan DPRD setiap semester dan setiap tahun. Untuk keperluan
tindak lanjut hasil pemeriksaan, BPK menyerahkan hasil pemeriksaan secara tertulis kepada
Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Setelah diserahkan
kepada DPR, DPD dan DPRD, hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan terbuka untuk umum.
BPK dapat mengumumkannya melalui media yang diproduksi dan dikelola oleh BPK sendiri,
misalnya website, publikasi tercetak, laporan tercetak, dan dikirimkan kepada berbagai
pemangku kepentingan, melalui konferensi pers dan siaran pers, serta melalui berbagai
acara yang mempertemukan BPK dengan media dan publik.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut
kepada instansi yang berwenang, paling lama 1 bulan sejak diketahui adanya unsur pidana
tersebut. Instansi berwenang yang dimaksud adalah pihak kepolisian, kejaksaan, dan
Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan tersebut kemudian dijadikan sebagai bahan awal
untuk dasar penyelidikan atau penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang. Selain itu,
BPK juga dapat memberikan keterangan atau menjadi ahli dalam proses peradilan
mengenai kerugian negara/daerah.
6
IHPS II Tahun 2013 merupakan ikhtisar dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK
atas 662 objek pemeriksaan, sebanyak 117 merupakan objek pemeriksaan keuangan, 158
objek pemeriksaan kinerja, dan 387 objek pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).
IHPS II Tahun 2013 mengungkapkan 10.996 kasus senilai Rp13,96 triliun. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 3.452 kasus merupakan temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berdampak finansial yang mengakibatkan kerugian,
potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan senilai Rp9,24 triliun, yang meliputi kerugian
sebanyak 1.840 kasus senilai Rp1,78 triliun, potensi kerugian sebanyak 586 kasus senilai
Rp4,83 triliun, dan kekurangan penerimaan sebanyak 1.026 kasus senilai Rp2,63 triliun.
Rekomendasi BPK terhadap kasus-kasus tersebut antara lain adalah penyerahan aset
dan/atau penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan milik negara/daerah.
Pemeriksaan kinerja dalam Semester II Tahun 2013 dilakukan atas 158 objek
pemeriksaan, terdiri atas 31 objek pemeriksaan Pemerintah Pusat, 15 objek pemeriksaan
pemerintah provinsi, 107 objek pemeriksaan pemerintah kabupaten/kota, 4 objek
pemeriksaan badan usaha milik negara (BUMN), dan 1 objek pemeriksaan badan usaha
milik
daerah
(BUMD).
Hasil
pemeriksaan kinerja
tersebut
ditemukan
11
kasus
berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian serta badan-badan lain mengalami
hambatan yagn disebabkan oleh campur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Oleh
karena itu, KPK sebagai sebuah badan khusus memiliki sifat independen untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantasan korupsi. Visi KPK adalah
mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi, sedangkan misi KPK adalah sebagai
penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang anti korupsi. Berdasarkan tugasnya,
KPK terbagi menjadi 4 strategi, yaitu Strategi Pembangunan Kelembagaan, Strategi
Pencegahan, Strategi Penindakan dan Strategi Penggalangan Keikutsertaan Masyarakat.
memenuhi
kebutuhan
penyelenggara
negara,
mampu
mendorong
Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pemeluk agama hanya menganggap agama
hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja.
Anti Korupsi
Anti korupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi
berkembangnya korupsi. Peluang bagi berkembangnya korupsi dapat dihilangkan dengan
melakukan perbaikan sistem (sistem hukum, sistem kelembagaan) dan perbaikan
manusianya (moral, kesejahteraan).
Adapun langkah-langkah anti korupsi, antara lain:
1. Perbaikan sistem
a. Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku, hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi perkembangan korupsi dan menutup celah hukum yang sering
digunakan koruptor untuk melepaskan diri dari jerat hukum.
b. Memperbaiki cara kerja birokrasi menjadi lebih sederhana, tepat waktu dan efisien
(reformasi birokrasi), misalnya dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
c. Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan pribadi, memberikan aturan yang
jelas tentang
penggunaan untuk kepentingan pribadi, misalnya mobil dinas tidak boleh dipakai
untuk keperluan pribadi.
10
d. Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan pemberian sanksi secara
tegas.
e. Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi, sehingga memperkecil kesempatan pelaku
untuk melakukan korupsi dan mencegah terjadinya human error.
f.
Setiap
pejabat
penyelenggara
negara
diwajibkan
untuk
melaporkan
harta
kekayaannya.
Grafik perbandingan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara antara yang melapor dengan
yang wajib lapor (sumber: Majalah Tempo, edisi 16-22 September 2013, hal.12)
2. Perbaikan manusianya
a. Memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman. Pemuka agama berusaha
mempererat ikatan emosional agama dengan umatnya dan menyatakan dengan
tegas bahwa korupsi adalah perbuatan tercela, mengajak masyarakat untuk
menjauhkan diri dari perbuatan korupsi.
b. Memperbaiki moral bangsa, pengalihan loyalitas dari keluarga/suku kepada bangsa.
c. Meningkatkan kesadaran hukum, dengan sosialisasi dan pendidikan anti korupsi.
d. Meningkatkan kesejahteraan.
e. Memilih pemimpin yang bersih, jujur, anti korupsi
f.
Mengembalikan gaya hidup masyarakat Indonesia menjadi gaya hdup hemat dan
sederhana, yang penting cukup, bukan berlebihan.
11
Laporan PPATK
Laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyatakan bahwa
tindak korupsi tidak hanya dilakukan oleh anggota DPR tetapi juga di banyak kementerian
(Majalah Tempo, edisi 7-13 Januari 2013, hal. 26). Di bagian sektor, terbanyak adalah
sektor pekerjaan umum, Dana Alokasi Khusus, hibah dan Bantuan Operasional Sekolah.
Berdasarkan
139
instansi,
dari
ada
kementerian/
lembaga,
74
kabupaten/kota,
dari
41
dari
20
Sedangkan
Indonesia
dari
komisi.
provinsi
yang
di
terkorup
DKI
Jakarta,
Jawa
Sejak
tahun
1995,
Transparansi
Internasional
telah
menerbitkan
Indeks
Persepsi
Korupsi
(IPK)
setiap
tahun
yang
mengurutkan
negara-negara di dunia berdasarkan persepsi (anggapan) publik terhadap korupsi di jabatan
12
publik dan politis. Survei tahun 2003 mencakup 133 negara. Hasilnya menunjukan tujuh dari
setiap sepuluh negara (dan sembilan dari setiap sepuluh negara berkembang) memiliki
indeks 5 poin dari 10. Nilai dari indeks ini sedang didebatkan, karena berdasarkan survei,
hasilnya tidak bisa dihindarkan dari subyektivitas. Karena korupsi selalu bersifat
tersembunyi, mustahil untuk mengukur secara langsung, sehingga digunakan berbagai
parameter untuk mengukur tingkat korupsi. Contohnya adalah, dengan mengambil sampel
survei persepsi publik melalui berbagai pertanyaan, misalnya: "Apakah Anda percaya pada
pemerintah?" atau "Apakah korupsi masalah besar di negara Anda?". Selain itu, apa yang
didefinisikan atau dianggap sah sebagai korupsi berbeda-beda di berbagai wilayah hukum
suatu negara. Dengan demikian, hasil survei harus dimengerti secara khusus sebagai
pengukuran persepsi (anggapan) publik, bukan satu ukuran yang obyektif terhadap korupsi.
Gambar di atas
Anggaran KPK
Anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai masih sangat kecil dan jauh
dari ideal sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Negara yang berhasil memberantas
korupsi setidaknya mengalokasikan 0,5% dari total anggaran negara (Investor Daily, 2012).
Hal tersebut dapat dilihat dari masih sedikitnya sumber daya manusia dan masih minimnya
infrastruktur KPK. Pada 2012, KPK hanya memiliki 750 staf, dan gedung yang hanya dapat
menampung 350 orang. Sewaktu pengajuan anggaran pembangunan gedung baru ke DPR,
anggaran tersebut belum disetujui sehingga ada dana berupa saweran dari masyarakat
untuk pembangunan gedung KPK baru sebesar Rp403 juta yang diserahkan kepada
Menteri Keuangan. Pada akhirnya, DPR menyetujui anggaran pembangunan gedung baru
tersebut, yakni senilai Rp168miliar.
13
Alokasi anggaran untuk kejaksaan agung pada tahun 2012 sebesar Rp 14.5 miliar,
dan pada tahun 2013 mengajukan anggaran sebesar Rp 18.2 miliar. Jadi kenaikan alokasi
anggaran dari tahun 2012 ke tahun 2013 sebesar Rp 3.7 miliar. Sedangkan jumlah kasus
yang ditangani mulai dari tahap penyelidikan,penyidikan,pra penuntutan,dan penuntutan
sebanyak 12 kasus, dimana untuk satu kasus dihargai sebesar Rp 469 juta juga untuk tahun
2012. Sedangkan untuk tahun 2013 diajukan sebanyak 45 kasus dengan harga per kasus
sebesar Rp 193 juta juga perkasus. Pemberantasan korupsi pada tingkat kejaksaan agung,
kasusnya akan ditangani bertambah banyak, tapi alokasi anggaran perkasus mengalami
penurunan.
miliar.
Selanjutnya,
jumlah
kasus
yang
ditangani
mulai
dari
tahap
Sementara untuk alokasi anggaran untuk kejaksaan negeri untuk seluruh Indonesia
untuk tahun 2013 sebesar Rp 262.6 miliar, dan untuk tahun 2012 mendapat alokasi
14
anggaran sebesar Rp 99.7 miliar. Dengan demikian, alokasi anggaran untuk pemberantasan
korupsi pada level kejaksaan negeri mengalami kenaikan sebesar Rp 162.8 miliar.
Selanjutnya,
jumlah
kasus
yang
ditangani
mulai
dari
tahap
Alokasi anggaran untuk pemberantasan korupsi di KPK untuk tahun 2013 sebesar
Rp 33.3 miliar, dan pada tahun 2012 dialokasikan sebesar Rp 21.8 miliar. Jadi,alokasi
anggaran untuk pemberantasan korupsi dari tahun 2012 ke tahun 2013 mengalami kenaikan
sebesar Rp 11.5 miliar. Akan tetapi, jumlah kasus yang akan ditangani oleh KPK untuk
tahun 2013 hanya sebanyak 12 kasus, dengan jumlah total sebesar Rp. 16 miliar. Jadi
harga rata-rata perkasus sebesar Rp 1.3 miliar. Sedangkan jumlah kasus yang ditangani
pada tahun 2012 sebanyak 40 kasus dengan jumlah total anggaran sebesar Rp 19.9 miliar.
Dimana harga rata-rata perkasus sebesar Rp 491 juta per kasus. Kemudian, ada alokasi
anggaran untuk pidana badan terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
(Inkracht) pada tahun 2012 sebesar Rp 1.8 miliar, dengan jumlah kasus sebanyak 50 kasus.
Dimana, harga rata-rata perkasus sebesar Rp 36 juta untuk tahun 2012. Sedangkan untuk
tahun 2013, alokasi anggarannya sebesar Rp 17.2 miliar untuk 12 kasus saja. Jadi,harga
rata-rata untuk perkasus sebesar Rp 1.4 miliar untuk satu kasus. Dengan demikian,alokasi
anggaran untuk pemberantasan korupsi di KPK dari tahun 2012 ke tahun anggaran 2013
mengalami alokasi anggarannya naik begitu drastis,tapi jumlahnya kasus yang akan
ditangani menurun sangat tajam sekali.
Untuk alokasi anggaran Polri untuk penindakan tindakan pidana korupsi pada tahun
2012 sebesar Rp 2,1 miliar, dan pada tahun 2013, meminta anggaran sebesar Rp 17,1
miliar. Jadi dari tahun 2012 ke 2013 mengalami kenaikan yang cukup tinggi, yakni sebesar
Rp 15 miliar. Kemudian, pada tahun 2012,dengan alokasi anggaran sebesar Rp 2.1 miliar,
akan membongkar kasus sebanyak 44 kasus. Dengan demikian, untuk satu kasus, harga
rata-rata sebesar Rp 47 juta untuk satu kasus. Tapi untuk 2013, alokasi anggarannya
menjadi Rp 17.1 miliar.
terlaksana secara efisien dan tepat guna, serta perilaku korupsi dapat semakin terkikis.
Namun, kenyataan tidak seindah rencana. Walaupun BPK dan KPK telah berusaha keras,
kasus korupsi terus meningkat. Dari segi besaran korupsi, nilainya semakin naik. Bisa
dikatakan, nilai uang yang dikorupsi oleh koruptor semakin besar.
Korupsi muncul karena adanya niat dan kesempatan. Niat ada karena moral yang
buruk, kesempatan ada karena sistem yang buruk. Untuk memperbaiki moral dan sistem ini
dibutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan, memakan waktu lama,
tidak bisa instan. Membudayakan sikap jujur perlu dilakukan sejak dini, salah satunya
melalui pendidikan karakter kejujuran semenjak warga Indonesia duduk di bangku sekolah.
Latar belakang lain seseorang melakukan korupsi adalah adanya perubahan lingkungan dan
gaya hidup yang jauh melampaui pendapatannya. Apabila gaya hidup gengsi, materialistis,
narsisme, konsumerisme dan hedonisme terus menerus dipupuk, perilaku korupsi akan ada
sepanjang hayat. Oleh karena itu, untuk menghentikan mata rantai korupsi, setiap warga
negara (terutama pejabat dan penyelenggara negara) wajib untuk hidup jujur dan
sederhana.
Untuk memperbaiki sistem, pemerintah melalui BPK dan KPK telah berusaha
semaksimal mungkin untuk melakukan pengawasan ketat terhadap perencanaan,
penggunaan, dan pertangungjawaban pengelolaan keuangan negara. Namun demikian, ada
beberapa poin yang masih menjadi kekurangan. Oleh karena itu, beberapa saran penting
terkait manajemen pengawasan keuangan yang dilakukan oleh BPK dan KPK, antara lain:
a) Perlunya untuk mengubah UU Perpajakan terkait akses pemeriksa (BPK) terhadap
pendapatan setiap warganya. Apabila akses pemerintah terhadap pendapatan warga
masih tertutup, akan menyebabkan aneka permainan uang, tindakan suap dan
korupsi terselubung menjadi semakin subur.
b) Pelaporan harta kekayaan pejabat negara hendaknya diawasi secara ketat, karena
pelaporan tersebut merupakan ujung tombak dari pelacakan apabila ada
penyelewengan terhadap uang negara.
c) Mengurangi pemekaran daerah, karena selama ini usulan pemekaran daerah hanya
digunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alasan untuk mendapatkan anggaran
lebih banyak dan penyalahgunaan anggaran tersebut, padahal potensi daerahnya
belum memenuhi syarat untuk dapat secara mandiri mengelola PAD (Pendapatan
Asli Daerah). Persyaratan pemekaran daerah dilakukan secara lebih ketat lagi.
d) Menyeleksi
dengan
sungguh-sungguh
pegawai
yang
bekerja
di
bidang
e) Adanya kerjasama yang sinergis antara BPK, KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Apabila ada pegawai-pegawai dari instansi tersebut yang menjadi tersangka kasus
korupsi, hendaknya disikapi dengan bijak dan profesional, serta lapang dada, untuk
menerima kenyataan apabila memang terbukti bersalah, bukan malah semakin
memusuhi pihak yang membongkar.
f)
Peningkatan anggaran untuk BPK dan KPK agar pengawasan terhadap pengelolaan
negara semakin optimal dan kasuskasus korupsi dapat terselesaikan dengan cepat.
g) Peningkatan peranan BPK dan KPK terutama dalam memasuki kabinet dan
pemerintahan baru Presiden Jokowi. Pun demikian, anggota BPK dan KPK harus
mendapat perlindungan dari negara apabila mereka mendapat teror dan kekerasan
dari pihak-pihak yang merasa terancam dengan kehadiran mereka.
17
Daftar Pustaka
Anonim. Indeks Persepsi Korupsi.http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Persepsi_Korupsi.
(diakses 4 Agustus 2014)
Anonim. Anggaran Ideal KPK 0,5% dari APBN. Investor Daily, 9 Juli 2012.
http://kpk.go.id/id/nukpk/id/berita/berita-sub/534-anggaran-ideal-kpk-0-5-dari-apbn
(diakses 5 Agustus 2014).
Anonim.
Oktober
2012.
http://www.tribunnews.com/nasional/2012/10/15/fitraanggaran-
Armando, Ade: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Mengenal Lebih Dekat
BPK: Sebuah Panduan Populer. Jakarta: Biro Humas dan Luar Negeri Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Artika R., Putri. Terkumpul Rp403 juta, Saweran Gedung KPK Resmi Ditutup. Selasa, 16
Oktober
2012.
http://www.merdeka.com/peristiwa/terkumpul-rp-403-juta-saweran-
18
19