Anda di halaman 1dari 19

Menuju Indonesia Lebih Baik:

Optimalisasi Peranan BPK dan KPK dalam


Pengawasan Pengelolaan Keuangan dan
Pemberantasan Korupsi di Sektor Publik
Manajemen Keuangan Pemerintah, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Intan Wijayanti NPM 144060005981
Email : iwijayanti59@gmail.com
Pendahuluan

Semenjak berakhirnya pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden


Soeharto, Indonesia memasuki babak Orde Reformasi yang dipimpin oleh Presiden B.J.
Habibie, dilanjutkan Presiden Abdurrahman Wachid, kemudian Presiden Megawati
Soekarnopoetri hingga kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Semenjak
Orde Reformasi inilah, Indonesia berusaha melakukan perbaikan secara bertahap dan
berkelanjutan di berbagai bidang, terutama terkait transparansi keuangan. Setelah
menempuh perjuangan panjang untuk mereformasi sistem keuangan negara, Indonesia
mulai memasuki era baru reformasi keuangan. Transparansi dan akuntabilitas keuangan
negara adalah prasyarat utama untuk menegakkan good governance bagi terciptanya
demokrasi politik yang sesungguhnya. Tuntutan reformasi menghendaki terwujudnya
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
menuju tata pemerintahan yang baik.

Ada tiga undang-undang mendasar mengenai sistem keuangan, yaitu antara lain:
UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Reformasi terhadap transparansi keuangan
pemerintah tidak berhenti sampai di situ saja. Pemerintah kemudian berusaha menertibkan
sistem akuntansi dengan menerbitkan PP No 24 Tahun 2005 yang telah disempurnakan
dengan PP No 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Dengan adanya
peraturan pemerintah ini, informasi tentang efektivitas dan efisiensi APBN/APBD harus
dilaporkan dalam bentuk laporan keuangan. Selanjutnya, diharapkan keuangan pemerintah
lebih dapat dipertanggungjawabkan sehingga masyarakat dapat berperan serta dalam
melakukan pemantauan melalui wakil-wakil yang telah dipilih di DPR dan DPRD.

A. Peranan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Selain menerbitkan UU dalam mengatur mengenai pertanggungjawaban keuangan,


pemerintah juga melakukan reformasi kelembagaan khususnya bagi lembaga-lembaga yang
bertanggungjawab

melakukan

pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara.

Pengelolaan keuangan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan


negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban. Lembaga tinggi yang bertugas
melakukan pengawasan

adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK merupakan

lembaga negara independen yang dibentuk berdasarkan UU dan memiliki tugas memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, Badan Layanan Umum, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara. Yang dimaksud dengan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara antara lain: badan hukum milik negara, LPS, yayasan yang
mendapat fasilitas negara, komisi-komisi yang dibentuk dengan undang-undang (seperti
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan lainnya), serta
badan swasta yang menerima dan/atau mengelola uang negara. Namun demikian, sampai
saat ini masih ada lembaga pemerintahan yang tidak sepenuhnya bisa diperiksa oleh BPK,
yaitu penerimaan pajak yang dikelola oleh DJP. Hal ini terjadi karena UU Perpajakan
menutup akses BPK pada pemeriksaan penerimaan pajak. Di dalam intern Kementerian
Keuangan sendiri ada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. BPKP adalah
lembaga pemerintah yang dibentuk berdasarkan Kepres pada 1983 dan PP No 6 Tahun
2008 untuk melakukan pemeriksaan / audit internal dalam tubuh pemerintah.
Kelembagaan, Tugas dan Wewenang BPK

Keberadaan BPK pertama-tama ditetapkan oleh UUD 1945. Pasal 23 ayat (5) UUD
memuat amanat: Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang.
Semenjak tahun 2003, ada empat UU yang dapat dijadikan landasan hukum dan landasan
operasional BPK, yaitu: UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; dan UU No 15 Tahun 2006 tentang
BPK. UU No 15 Tahun 2006 ini merupakan penyempurnaan dari UU No 5 Tahun 1973
tentang BPK yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sistem
ketatanegaraan, baik pada pemerintah pusat maupun daerah. Dalam UU No 15 Tahun
2

2006, jelas dikatakan bahwa BPK harus berposisi sebagai lembaga pemeriksa yang bebas,
mandiri dan profesional. Hal ini sangat diperlukan dalam upaya menciptakan pemerintahan
yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kebebasan dan kemandirian BPK
dijabarkan dalam UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK yang meliputi:
a

Kebebasan dan kemandirian di bidang pemeriksaan (pasal 6 UU No 15/2004 dan


pasal 9 ayat (1) huruf a UU No 15 Tahun 2006) yaitu bahwa: Penentuan objek
pemeriksaan, perencanaan, dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan
metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan
dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK.

Kebebasan dan kemandirian di bidang Organisasi dan Sumber Daya Manusia,


tercermin melalui kewenangan BPK untuk menetapkan tata kerja pelaksanaan BPK
dan jabatan fungsional pemeriksa (pasal 34 UU No 15/2006) yaitu bahwa: Tata
kerja pelaksana BPK serta jabatan fungsional ditetapkan oleh BPK setelah
berkonsultasi dengan pemerintah.

BPK saat ini benar-benar berdiri secara sejajar dengan Presiden. Mengingat
tanggung jawab BPK terhadap pemeriksaan pengelolaan keuangan negara yang dijalankan
oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, apabila BPK berada di bawah
kendali Presiden, ruang gerak BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara akan terbatas. Demikian juga, BPK bukanlah lembaga yang berdiri di atas
presiden. BPK adalah lembaga yang berdiri terpisah dari pemerintah, BPK dipilih dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
BPK memeriksa seluruh keuangan negara, yang meliputi penerimaan negara baik
berupa pajak dan non pajak, seluruh aset dan utang piutang negara, penempatan kekayaan
negara-serta penggunaan pengeluaran negara. BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan
tanggungjawab tentang keuangan negara. BPK memeriksa semua asal-usul dan besarnya
penerimaan negara, dan BPK harus mengetahui tempat uang negara itu disimpan dan untuk
apa uang negara itu digunakan.

Peranan BPK jauh lebih luas daripada mencegah kebocoran korupsi. Kehadiran BPK
diharapkan dapat menjaga transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Apabila
pengelolaan keuangan negara telah terlaksana secara transparan dan bertanggungjawab,
maka Indonesia dapat memiliki perekonomian dan pembangunan nasional yang sehat dan
sejahtera. Dengan adanya transparansi, suatu negara dapat mengetahui kondisi
keuangannya sendiri setiap saat agar dapat melakukan perencanaan pendanaan
pembangunan dan memonitor pelaksanaannya dengan baik. Krisis tahun 1997-1998 terjadi,
3

antara lain karena pemerintah tidak memiliki informasi dan kontrol atas posisi keuangannya
sendiri yang tersebar di berbagai instansi dan BUMN/BUMD serta di berbagai rekening
individu pejabat negara. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas, dapat mendorong
kinerja BUMN/BUMD sehingga dapat bersaing di pasar global.

Adapun beberapa kondisi berbeda yang mencerminkan BPK menjadi lembaga yang
lebih baik daripada dahulu (jaman Orde Baru) antara lain:
a

Pengangkatan pimpinan BPK dari dan oleh anggota BPK sendiri.

Laporan pemeriksaan BPK disampaikan langsung kepada DPR/DPD/DPRD tanpa


perlu konsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah.

Laporan

pemeriksaan

disampaikan

kepada

Presiden,

DPR/DPD/DPRD,

Gubernur/Bupati/Walikota.
d

Apabila ada tindak kriminal dalam pemeriksaan, BPK melaporkan langsung kepada
Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).

Kewenangan BPK untuk menentukan obyek pemeriksaan, merencanakan dan


melaksanakan

pemeriksaan,

menentukan

waktu

dan

metode

pemeriksaan,

oleh

pejabat

negara

menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan.


f

UU

mengatur

tindak

lanjut

terhadap

temuan

dan

pelaksanaannya dipantau dan dilaporkan kepada BPK. Bagi mereka yang tidak
melaksanakan tindak lanjut, diancam dengan sanksi pidana maksimum 1,5 tahun
penjara dan atau denda Rp500 juta.
g

Kewenangan cakupan pemeriksaan BPK lebih luas, yaitu antara lain:


1) BPK melakukan pemeriksaan terhadap penerimaan negara, misalnya
melakukan pemeriksaan kontrak pertambangan, termasuk migas dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun, untuk sektor perpajakan,
BPK tidak dapat melakukan pemeriksaan karena UU Perpajakan menutup
akses BPK pada pemeriksaan penerimaan pajak.
2) BPK juga melakukan pemeriksaan terhadap penyimpanan uang negara.
Pada 2005, BPK menemukan ribuan rekening pribadi pejabat negara yang
menyimpan uang negara.
3) Pengeluaran negara yang diperiksa BPK tidak terbatas pada pemerintah
pusat dan dari APBN serta beberapa pemda yang dapat dijangkau kantor
perwakilan BPK daerah, melainkan menjangkau seluruh tingkat pemerintahan
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota termasuk dari anggaran non budgeter.
4) BPK kini dapat memeriksa seluruh pengelolaan dan tanggungjawab
keuangan BI, Pertamina dan BUMN lainnya tanpa intervensi dari pemerintah
pusat.
4

Pemeriksaan oleh BPK

Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilakukan
secara independen,obyektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. (Pasal 1 angka 1 UU No 15 Tahun 2006). Ada tiga jenis
pemeriksaan oleh BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan
dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan
pemerintah pusat dan daerah. Pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka memberikan
pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan
keuangan pemerintah. Ada empat kategori opini sebagai bentuk penilaian yang diberikan
oleh BPK, yaitu antara lain: Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP atau unqualified
opinion); opini ini menyatakan bahwa laporan keuangan pihak yang diperiksa telah disajikan
dengan wajar, penilaian telah disusun dengan memuaskan. Kedua, opini Wajar dengan
Pengecualian (WDP atau Qualified Opinion) opini bahwa pada umumnya laporan keuangan
telah disajikan secara wajar namun terdapat sejumlah bagian tertentu yang belum
memenuhi standar. Ketiga, opini Tidak Wajar (TW atau Adverse Opinion) adalah opini
bahwa laporan keuangan disusun tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan
penyusun laporan keuangan tidak mau melakukan perbaikan walaupun sudah ada koreksi
yang diajukan oleh auditor dalam pemeriksaan. Keempat, Menolak Memberikan Pendapat
(atau Tidak Memberikan Pendapat atau Disclaimer Opinion) adalah opini bahwa auditor
tidak dapat memberikan kesimpulan atau pendapat atas laporan keuangan, karena berbagai
hal, misalnya karena pihak yang diperiksa membatasi ruang lingkup pemeriksaan.

Jenis pemeriksaan kedua yang dilakukan oleh BPK adalah pemeriksaan kinerja.
Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas aspek ekonomis dan efisiensi serta
efektivitas, yang dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern
pemerintah. Pemeriksaan ini dilakukan agar kegiatan yang dibiayai oleh keuangan negara/
daerah dapat terselenggara secara ekonomis dan efisien serta memenuhi sasarannya
secara efektif. Kriteria ekonomis berarti, entitas mampu untuk meminimalisir biaya sumber
daya yang digunakan dalam suatu kegiatan dengan tetap mengindahkan mutu. Efisien
mengacu pada hubungan antara pasokan dan hasil, yaitu optimalisasi sumber daya untuk
memenuhi tujuan organisasi. Efektivitas merujuk pada penilaian tentang akibat atau dampak
kinerja pada tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan di luar pemeriksaan


keuangan dan kinerja yang dilakukan untuk tujuan khusus tertentu dan dapat juga dilakukan
5

sebagai tindak lanjut pemeriksaan keuangan dan kinerja karena ada persoalan penting yang
harus diselesaikan. Misalnya, diduga ada unsur pidana dalam tindakan keuangan instansi
yang diperiksa, atau untuk memeriksa pelaksanaan rekomendasi oleh BPK oleh instansi
terperiksa. Dalam kasus-kasus tertentu, berdasarkan ketentuan, BPK dapat meminta
akuntan publik atau tenaga ahli untuk melakukan pemeriksaan yang hasilnya wajib
disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan.
Laporan BPK
BPK menuangkan hasil kerjanya dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. LHP
tersebut merupakan hasil pemeriksaan terhadap LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat) dan LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah). Pemeriksaan atas LKPP dan
LKPD dilakukan setiap tahun. Di samping itu, ada juga laporan hasil pemeriksaan tiap
semester, yakni IHPS (Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester). LHP dan IHPS diserahkan
rutin kepada DPR, DPD dan DPRD setiap semester dan setiap tahun. Untuk keperluan
tindak lanjut hasil pemeriksaan, BPK menyerahkan hasil pemeriksaan secara tertulis kepada
Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Setelah diserahkan
kepada DPR, DPD dan DPRD, hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan terbuka untuk umum.
BPK dapat mengumumkannya melalui media yang diproduksi dan dikelola oleh BPK sendiri,
misalnya website, publikasi tercetak, laporan tercetak, dan dikirimkan kepada berbagai
pemangku kepentingan, melalui konferensi pers dan siaran pers, serta melalui berbagai
acara yang mempertemukan BPK dengan media dan publik.

Dalam rangka membangun kredibilitas BPK, dilakukan juga pemeriksaan pengelolaan


dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh DPR
atas usul BPK dan Menteri Keuangan. Akuntan publik yang dipilih tersebut harus memenuhi
syarat bahwa mereka tidak melakukan tugas untuk dan atas nama BPK atau memberikan
jasa kepada BPK dalam dua tahun terakhir. Sistem pengendalian mutu BPK dikaji oleh
badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa
keuangan sedunia.

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut
kepada instansi yang berwenang, paling lama 1 bulan sejak diketahui adanya unsur pidana
tersebut. Instansi berwenang yang dimaksud adalah pihak kepolisian, kejaksaan, dan
Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan tersebut kemudian dijadikan sebagai bahan awal
untuk dasar penyelidikan atau penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang. Selain itu,
BPK juga dapat memberikan keterangan atau menjadi ahli dalam proses peradilan
mengenai kerugian negara/daerah.
6

Hasil Pemeriksaan BPK Semester II Tahun 2013

IHPS II Tahun 2013 merupakan ikhtisar dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK
atas 662 objek pemeriksaan, sebanyak 117 merupakan objek pemeriksaan keuangan, 158
objek pemeriksaan kinerja, dan 387 objek pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT).
IHPS II Tahun 2013 mengungkapkan 10.996 kasus senilai Rp13,96 triliun. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 3.452 kasus merupakan temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berdampak finansial yang mengakibatkan kerugian,
potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan senilai Rp9,24 triliun, yang meliputi kerugian
sebanyak 1.840 kasus senilai Rp1,78 triliun, potensi kerugian sebanyak 586 kasus senilai
Rp4,83 triliun, dan kekurangan penerimaan sebanyak 1.026 kasus senilai Rp2,63 triliun.
Rekomendasi BPK terhadap kasus-kasus tersebut antara lain adalah penyerahan aset
dan/atau penyetoran ke kas negara/daerah/perusahaan milik negara/daerah.

Kasus lainnya adalah sebanyak 3.505 kasus merupakan kelemahan sistem


pengendalian intern (SPI), 1.782 kasus merupakan kelemahan administrasi, serta sebanyak
2.257 kasus senilai Rp4,72 triliun merupakan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan
ketidakefektifan. Rekomendasi BPK atas kasus tersebut adalah perbaikan SPI dan/atau
tindakan administratif dan/atau tindakan korektif lainnya. Selama proses pemeriksaan,
entitas telah menindaklanjuti temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi
kerugian, dan kekurangan penerimaan dengan penyerahan aset atau penyetoran ke kas
negara/daerah/perusahaan senilai Rp173,55 miliar.

Pemeriksaan Keuangan pada Semester II Tahun 2013 dilakukan atas Laporan


Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2012 pada 108 Pemerintah Daerah meliputi 7
LK Pemerintah Provinsi, 88 LK Pemerintah Kabupaten, dan 13 LK pemerintah Kota. Selain
itu, BPK juga melakukan pemeriksaan atas 9 LK Badan lainnya. Terhadap 108 LKPD Tahun
2012, BPK memberikan opini WTP atas 7 LKPD, opini WDP atas 52 LKPD, opini TW atas 2
LKPD, dan opini TMP atas 47 LKPD. Sedangkan pada badan lainnya, BPK memberikan
opini WTP atas 2 LK, WDP atas 1 LK, dan TMP atas 6 LK.

Adapun permasalahan-permasalahan atas LKPD Tahun 2012 yang tidak memperoleh


opini WTP antara lain adalah adanya pembatasan lingkup pemeriksaan, aset tetap yang
belum dilakukan inventarisasi dan penilaian, penatausahaan kas yang tidak sesuai dengan
ketentuan, kelemahan pengelolaan yang material pada akun aset tetap, kas, piutang,
persediaan, investasi permanen dan non permanen, aset lainnya, belanja pegawai, belanja
barang dan jasa, serta belanja modal.
7

Pemeriksaan kinerja dalam Semester II Tahun 2013 dilakukan atas 158 objek
pemeriksaan, terdiri atas 31 objek pemeriksaan Pemerintah Pusat, 15 objek pemeriksaan
pemerintah provinsi, 107 objek pemeriksaan pemerintah kabupaten/kota, 4 objek
pemeriksaan badan usaha milik negara (BUMN), dan 1 objek pemeriksaan badan usaha
milik

daerah

(BUMD).

Hasil

pemeriksaan kinerja

tersebut

ditemukan

11

kasus

ketidakhematan/ketidakekonomisan senilai Rp49,40 miliar, 23 kasus ketidakefisienan senilai


Rp959,67 miliar, dan 1.622 kasus ketidakefektifan senilai Rp2,06 triliun.
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) dalam Semester II Tahun 2013
dilakukan atas 387 objek pemeriksaan yang meliputi 47 objek pemeriksaan pemerintah
pusat, 27 objek pemeriksaan pemerintah provinsi, 173 objek pemeriksaan pemerintah
kabupaten/kota, 29 objek pemeriksaan BUMN, 8 objek pemeriksaan KKKS Minyak dan Gas
Bumi, 92 objek pemeriksaan BUMD, 2 objek pemeriksaan Badan Layanan Usaha (BLU), 8
objek pemeriksaan BLU Daerah (BLUD) dan 1 objek pemeriksaan badan lainnya. Hasil
PDTT tersebut mengungkapkan adanya 1.548 kasus kelemahan SPI dan 3.576 kasus
ketidakpatuhan terhadap ketetuan perundang-undangan senilai Rp6.97 triliun. Dari total
kasus temuan PDTT tersebut, sebanyak 2.178 kasus senilai Rp5.79 triliun merupakan
temuan yang berdampak finansial yaitu temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan
penerimaan.
B. Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Berdasarkan pemahaman pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 sebaimana yang telah


diubah dengan UU No 20 Tahun 2001, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum
dengan maksud memperkaya diri sendiri/ orang lain (perseorangan atau korporasi) yang
dapat merugikan keuangan/ perekonomian negara. Ciri-ciri korupsi antara lain: dilakukan
lebih dari satu orang, merahasiakan motif; ada keuntungan yang ingin diraih, berhubungan
dengan kekuasaan/ kewenangan tertentu, berlindung di balik pembenaran hukum,
melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum, dan mengkhianati kepercayaan. Kasus
korupsi yang terungkap hingga Juli 2013 diperkirakan telah merugikan negara sebesar
Rp3,3 triliun (Majalah Tempo, edisi 16-22 September 2013 hal. 12).

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai sebuah badan khusus yang


memiliki kewenangan luas (penyelidikan, penyidikan, penuntutan) dan independen (mandiri,
bebas dari kekuasaan manapun) merupakan bukti nyata komitmen pemerintah terhadap
pemberantasan korupsi. Selama ini, pemberantasan korupsi yang dilaksanakan oleh
8

berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian serta badan-badan lain mengalami
hambatan yagn disebabkan oleh campur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Oleh
karena itu, KPK sebagai sebuah badan khusus memiliki sifat independen untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantasan korupsi. Visi KPK adalah
mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi, sedangkan misi KPK adalah sebagai
penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang anti korupsi. Berdasarkan tugasnya,
KPK terbagi menjadi 4 strategi, yaitu Strategi Pembangunan Kelembagaan, Strategi
Pencegahan, Strategi Penindakan dan Strategi Penggalangan Keikutsertaan Masyarakat.

Selama 2003-2013 pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami keberhasilan,


akan tetapi keberhasilan tersebut tidak lebih baik dari kemajuan yang dicapai oleh negara
lain. Keberhasilan ini belumlah cukup, jauh dari sempurna, karenanya, perjuangan
memberantas korupsi harus dilanjutkan lebih dahsyat lagi. Upaya apapun yang dilakukan
pemerintah untuk memberantas korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa peran serta
masyarakat. Bahkan, bukan hanya antara pemerintah dan rakyat saja yang harus berjuang
bersama, antara negara satu dengan yang lain pun juga harus bahu membahu melawan
korupsi. Pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko, Perserikatan Bangsa-Bangsa
menyetujui sebuah Konvensi Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption).
Konvensi tersebut membutuhkan ratifikasi dari 30 negara agar diberlakukan. Ini adalah
peluang yang baik bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan upaya-upaya
pemberantasan korupsi.
Penyebab Korupsi
Kasus korupsi yang kian menjadi, yang menjerat pejabat baik di lingkup
Kementerian, DPR, kepolisian, kejaksaan maupun para pejabat daerah membuat publik
semakin heran dengan moral para pelaku korupsi yang seolah tidak pernah takut dengan
ancaman hukuman penjara. Tentunya ada beberapa faktor yang menyebabkan tindakan
korupsi kian merajalela, hingga sulit diberantas. Padahal pemerintah telah mengeluarkan
dana sangat besar dalam upaya menghapus korupsi di negara ini. Beberapa faktor
penyebab korupsi, antara lain:
a. Penegakan hukum yang tidak konsisten, bersifat sementara, selalu berubah setiap
berganti pemerintahan.
b. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang; takut dianggap bodoh kalau tidak bisa
memanfaatkan kesempatan.
c. Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya
dilakukan sebatas formalitas.

d. Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan yang diperoleh harus


mampu

memenuhi

kebutuhan

penyelenggara

negara,

mampu

mendorong

penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik untuk


masyarakat.
e. Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena
kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi
karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan keuntungan, semakin merebaknya gaya hidup konsumerisme,
hedonisme, suka pamer dan narsisme sehingga seseorang cenderung memiliki
biaya hidup yang jauh melampaui pendapatannya.
f.

Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.

g. Konsekuensi bila ditangkap, biayanya (denda) lebih rendah daripada keuntungan


korupsi; saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum, sehingga dibebaskan atau
setidaknya diringankan hukumannya.
Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
h. Budaya permisif/ serba membolehkan; tidak mau tahu; menganggap biasa bila ada
korupsi karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri
terlindungi.
i.

Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pemeluk agama hanya menganggap agama
hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja.

Anti Korupsi
Anti korupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi
berkembangnya korupsi. Peluang bagi berkembangnya korupsi dapat dihilangkan dengan
melakukan perbaikan sistem (sistem hukum, sistem kelembagaan) dan perbaikan
manusianya (moral, kesejahteraan).
Adapun langkah-langkah anti korupsi, antara lain:
1. Perbaikan sistem
a. Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku, hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi perkembangan korupsi dan menutup celah hukum yang sering
digunakan koruptor untuk melepaskan diri dari jerat hukum.
b. Memperbaiki cara kerja birokrasi menjadi lebih sederhana, tepat waktu dan efisien
(reformasi birokrasi), misalnya dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
c. Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan pribadi, memberikan aturan yang
jelas tentang

penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan umum dan

penggunaan untuk kepentingan pribadi, misalnya mobil dinas tidak boleh dipakai
untuk keperluan pribadi.
10

d. Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan pemberian sanksi secara
tegas.
e. Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi, sehingga memperkecil kesempatan pelaku
untuk melakukan korupsi dan mencegah terjadinya human error.
f.

Setiap

pejabat

penyelenggara

negara

diwajibkan

untuk

melaporkan

harta

kekayaannya.
Grafik perbandingan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara antara yang melapor dengan
yang wajib lapor (sumber: Majalah Tempo, edisi 16-22 September 2013, hal.12)

2. Perbaikan manusianya
a. Memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman. Pemuka agama berusaha
mempererat ikatan emosional agama dengan umatnya dan menyatakan dengan
tegas bahwa korupsi adalah perbuatan tercela, mengajak masyarakat untuk
menjauhkan diri dari perbuatan korupsi.
b. Memperbaiki moral bangsa, pengalihan loyalitas dari keluarga/suku kepada bangsa.
c. Meningkatkan kesadaran hukum, dengan sosialisasi dan pendidikan anti korupsi.
d. Meningkatkan kesejahteraan.
e. Memilih pemimpin yang bersih, jujur, anti korupsi
f.

Mengembalikan gaya hidup masyarakat Indonesia menjadi gaya hdup hemat dan
sederhana, yang penting cukup, bukan berlebihan.

11

Laporan PPATK

Laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyatakan bahwa
tindak korupsi tidak hanya dilakukan oleh anggota DPR tetapi juga di banyak kementerian
(Majalah Tempo, edisi 7-13 Januari 2013, hal. 26). Di bagian sektor, terbanyak adalah
sektor pekerjaan umum, Dana Alokasi Khusus, hibah dan Bantuan Operasional Sekolah.
Berdasarkan
139

instansi,

dari

ada

kementerian/

lembaga,

74

kabupaten/kota,

dari
41

dari

pemerintah provinsi, 34 dari


DPR, 22 dari BUMN/BUMD
dan

20

Sedangkan
Indonesia

dari

komisi.

provinsi
yang

di

terkorup

antara lain: Sumatera Utara,


Riau,

DKI

Jakarta,

Jawa

Timur dan Kalimantan Timur.


Pelaku dari perorangan 95% (anggota staf pemerintah 19,2%, bendahara pemerintah
9,08%, kepala daerah 7,5%) dan perusahaan 5%. Sedangkan untuk korupsi di DPR, pelaku
terbanyak adalah anggota DPR yaitu sebanyak 69,7%, ketua komisi 10,4% dan lain-lain
19,9%. Indeks persepsi korupsi di Indonesia sejak tahun 2001 hingga yang dikeluarkan oleh
Lembaga Transparency International termuat dalam gambar di atas.

Sejak
tahun

1995,

Transparansi
Internasional
telah
menerbitkan
Indeks
Persepsi
Korupsi

(IPK)

setiap

tahun

yang
mengurutkan
negara-negara di dunia berdasarkan persepsi (anggapan) publik terhadap korupsi di jabatan
12

publik dan politis. Survei tahun 2003 mencakup 133 negara. Hasilnya menunjukan tujuh dari
setiap sepuluh negara (dan sembilan dari setiap sepuluh negara berkembang) memiliki
indeks 5 poin dari 10. Nilai dari indeks ini sedang didebatkan, karena berdasarkan survei,
hasilnya tidak bisa dihindarkan dari subyektivitas. Karena korupsi selalu bersifat
tersembunyi, mustahil untuk mengukur secara langsung, sehingga digunakan berbagai
parameter untuk mengukur tingkat korupsi. Contohnya adalah, dengan mengambil sampel
survei persepsi publik melalui berbagai pertanyaan, misalnya: "Apakah Anda percaya pada
pemerintah?" atau "Apakah korupsi masalah besar di negara Anda?". Selain itu, apa yang
didefinisikan atau dianggap sah sebagai korupsi berbeda-beda di berbagai wilayah hukum
suatu negara. Dengan demikian, hasil survei harus dimengerti secara khusus sebagai
pengukuran persepsi (anggapan) publik, bukan satu ukuran yang obyektif terhadap korupsi.
Gambar di atas

adalah grafik kasus korupsi laporan

sejak tahun 2004 hingga 2012.

(sumber: Majalah Tempo, edisi 16-22 September 2013).

Anggaran KPK
Anggaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai masih sangat kecil dan jauh
dari ideal sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Negara yang berhasil memberantas
korupsi setidaknya mengalokasikan 0,5% dari total anggaran negara (Investor Daily, 2012).
Hal tersebut dapat dilihat dari masih sedikitnya sumber daya manusia dan masih minimnya
infrastruktur KPK. Pada 2012, KPK hanya memiliki 750 staf, dan gedung yang hanya dapat
menampung 350 orang. Sewaktu pengajuan anggaran pembangunan gedung baru ke DPR,
anggaran tersebut belum disetujui sehingga ada dana berupa saweran dari masyarakat
untuk pembangunan gedung KPK baru sebesar Rp403 juta yang diserahkan kepada
Menteri Keuangan. Pada akhirnya, DPR menyetujui anggaran pembangunan gedung baru
tersebut, yakni senilai Rp168miliar.

Apabila dibandingkan dengan lembaga serupa di Hong Kong, dengan populasi


penduduk Hong Kong sekitar 7 juta jiwa, negara tersebut memiliki 1.200 pegawai
antikorupsi. Bahkan 900 orangnya khusus untuk menangani masalah investigasi.
Masyarakat Indonesia harus berinvestasi lagi untuk SDM dan keuangan apabila ingin
permasalahan korupsi benar-benar tuntas. Anggaran yang cukup untuk KPK dipastikan juga
dapat membantu KPK untuk menginvestigasi semua laporan yang masuk, yaitu dengan
membuka cabang KPK di seluruh provinsi di Indonesia. Investigasi juga harus dilakukan
terkait peningkatan kekayaan penyenggara negara yang tidak wajar dan tidak bisa
dipertanggungjawabkan.

13

Biaya per Kasus

Dalam himpunan RKA-KL (Rencana Kerja Anggaran Kementerian/ Lembaga)


mengalokasi anggaran untuk pemberantasan tiga lembaga seperti KPK, Kejaksaan,
kepolisan hanya sebesar Rp 346 miliar untuk tahun anggaran 2013. Anggaran
pemberantasan korupsi untuk tahun 2012 ke tahun anggaran 2013 mengalami kenaikan
sebesar Rp.176.7 miliar. Dimana alokasi anggaran untuk pemberantasan korupsi pada
tahun 2012 sebesar Rp.169 miliar. Dari tiga lembaga penegak hukum, Kejaksaan Agung
memiliki anggaran terbesar pemberantasan korupsi.

Alokasi anggaran untuk kejaksaan agung pada tahun 2012 sebesar Rp 14.5 miliar,
dan pada tahun 2013 mengajukan anggaran sebesar Rp 18.2 miliar. Jadi kenaikan alokasi
anggaran dari tahun 2012 ke tahun 2013 sebesar Rp 3.7 miliar. Sedangkan jumlah kasus
yang ditangani mulai dari tahap penyelidikan,penyidikan,pra penuntutan,dan penuntutan
sebanyak 12 kasus, dimana untuk satu kasus dihargai sebesar Rp 469 juta juga untuk tahun
2012. Sedangkan untuk tahun 2013 diajukan sebanyak 45 kasus dengan harga per kasus
sebesar Rp 193 juta juga perkasus. Pemberantasan korupsi pada tingkat kejaksaan agung,
kasusnya akan ditangani bertambah banyak, tapi alokasi anggaran perkasus mengalami
penurunan.

Kemudian, ada juga 'Program Peningkatan Upaya Hukum,Eksekusi dan Eksaminasi'


untuk tahun 2013 sebesar Rp 3.4 miliar untuk 208 kasus, dimana rata -rata akan
mendapatkan harga perkasus sebesar Rp 16 juta. Sedangkan untuk tahun 2012,alokasi
anggarannya sebesar Rp.3.2 miliar untuk 273 kasus, dimana rata-rata perkasus sebesar
Rp.11 juta. Alokasi anggaran untuk kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia untuk tahun 2013
sebesar Rp 14.9 miliar, dan untuk tahun 2012 sebesar Rp 31.4 miliar. Jadi alokasi anggaran
untuk tingkat kejaksaan Tinggi mengalami penurunan yang amat drastis sekali,sebesar
Rp.16.4

miliar.

Selanjutnya,

jumlah

kasus

yang

ditangani

mulai

dari

tahap

penyelidikan,penyidikan,pra penuntutan,dan penuntutan sebanyak 127 kasus, dengan harga


perkasus sebesar Rp 79 juta untuk tahun 2013. Sedangkan untuk tahun 2012, kasus yang
ditangani sebanyak 267 buah, dimana rata-rata harga perkasus sebesar Rp 115 juta
perkasus. Jadi bila dibandingkan dari tahun 2012 ke 2013, kemungkinan kasus korupsi pada
tingkat kejaksaan tinggi mengalami penurunan baik dari segi jumlah kasus maupun dari segi
harga rata-rata perkasus.

Sementara untuk alokasi anggaran untuk kejaksaan negeri untuk seluruh Indonesia
untuk tahun 2013 sebesar Rp 262.6 miliar, dan untuk tahun 2012 mendapat alokasi
14

anggaran sebesar Rp 99.7 miliar. Dengan demikian, alokasi anggaran untuk pemberantasan
korupsi pada level kejaksaan negeri mengalami kenaikan sebesar Rp 162.8 miliar.
Selanjutnya,

jumlah

kasus

yang

ditangani

mulai

dari

tahap

penyelidikan,penyidikan,prapenuntutan,dan penuntutan sebanyak 1179 kasus, dengan total


anggaran sebesar Rp 262.6 miliar, untuk satu kasus dihargai rata-rata sebesar Rp 225 juta
saja. Sedangkan pada tahun 2012, jumlah kasus yang akan sampai pada penuntutan
sebanyak 1048 kasus, dimana harga rata-rata perkasus sebesar Rp 98 juta perkasus.

Alokasi anggaran untuk pemberantasan korupsi di KPK untuk tahun 2013 sebesar
Rp 33.3 miliar, dan pada tahun 2012 dialokasikan sebesar Rp 21.8 miliar. Jadi,alokasi
anggaran untuk pemberantasan korupsi dari tahun 2012 ke tahun 2013 mengalami kenaikan
sebesar Rp 11.5 miliar. Akan tetapi, jumlah kasus yang akan ditangani oleh KPK untuk
tahun 2013 hanya sebanyak 12 kasus, dengan jumlah total sebesar Rp. 16 miliar. Jadi
harga rata-rata perkasus sebesar Rp 1.3 miliar. Sedangkan jumlah kasus yang ditangani
pada tahun 2012 sebanyak 40 kasus dengan jumlah total anggaran sebesar Rp 19.9 miliar.
Dimana harga rata-rata perkasus sebesar Rp 491 juta per kasus. Kemudian, ada alokasi
anggaran untuk pidana badan terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
(Inkracht) pada tahun 2012 sebesar Rp 1.8 miliar, dengan jumlah kasus sebanyak 50 kasus.
Dimana, harga rata-rata perkasus sebesar Rp 36 juta untuk tahun 2012. Sedangkan untuk
tahun 2013, alokasi anggarannya sebesar Rp 17.2 miliar untuk 12 kasus saja. Jadi,harga
rata-rata untuk perkasus sebesar Rp 1.4 miliar untuk satu kasus. Dengan demikian,alokasi
anggaran untuk pemberantasan korupsi di KPK dari tahun 2012 ke tahun anggaran 2013
mengalami alokasi anggarannya naik begitu drastis,tapi jumlahnya kasus yang akan
ditangani menurun sangat tajam sekali.

Untuk alokasi anggaran Polri untuk penindakan tindakan pidana korupsi pada tahun
2012 sebesar Rp 2,1 miliar, dan pada tahun 2013, meminta anggaran sebesar Rp 17,1
miliar. Jadi dari tahun 2012 ke 2013 mengalami kenaikan yang cukup tinggi, yakni sebesar
Rp 15 miliar. Kemudian, pada tahun 2012,dengan alokasi anggaran sebesar Rp 2.1 miliar,
akan membongkar kasus sebanyak 44 kasus. Dengan demikian, untuk satu kasus, harga
rata-rata sebesar Rp 47 juta untuk satu kasus. Tapi untuk 2013, alokasi anggarannya
menjadi Rp 17.1 miliar.

Kesimpulan dan Saran

Sejak pemerintah mendengungkan reformasi keuangan pada 2003 dan pengaktifan


KPK pada 2004, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diharapkan bisa
15

terlaksana secara efisien dan tepat guna, serta perilaku korupsi dapat semakin terkikis.
Namun, kenyataan tidak seindah rencana. Walaupun BPK dan KPK telah berusaha keras,
kasus korupsi terus meningkat. Dari segi besaran korupsi, nilainya semakin naik. Bisa
dikatakan, nilai uang yang dikorupsi oleh koruptor semakin besar.

Korupsi muncul karena adanya niat dan kesempatan. Niat ada karena moral yang
buruk, kesempatan ada karena sistem yang buruk. Untuk memperbaiki moral dan sistem ini
dibutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan, memakan waktu lama,
tidak bisa instan. Membudayakan sikap jujur perlu dilakukan sejak dini, salah satunya
melalui pendidikan karakter kejujuran semenjak warga Indonesia duduk di bangku sekolah.
Latar belakang lain seseorang melakukan korupsi adalah adanya perubahan lingkungan dan
gaya hidup yang jauh melampaui pendapatannya. Apabila gaya hidup gengsi, materialistis,
narsisme, konsumerisme dan hedonisme terus menerus dipupuk, perilaku korupsi akan ada
sepanjang hayat. Oleh karena itu, untuk menghentikan mata rantai korupsi, setiap warga
negara (terutama pejabat dan penyelenggara negara) wajib untuk hidup jujur dan
sederhana.

Untuk memperbaiki sistem, pemerintah melalui BPK dan KPK telah berusaha
semaksimal mungkin untuk melakukan pengawasan ketat terhadap perencanaan,
penggunaan, dan pertangungjawaban pengelolaan keuangan negara. Namun demikian, ada
beberapa poin yang masih menjadi kekurangan. Oleh karena itu, beberapa saran penting
terkait manajemen pengawasan keuangan yang dilakukan oleh BPK dan KPK, antara lain:
a) Perlunya untuk mengubah UU Perpajakan terkait akses pemeriksa (BPK) terhadap
pendapatan setiap warganya. Apabila akses pemerintah terhadap pendapatan warga
masih tertutup, akan menyebabkan aneka permainan uang, tindakan suap dan
korupsi terselubung menjadi semakin subur.
b) Pelaporan harta kekayaan pejabat negara hendaknya diawasi secara ketat, karena
pelaporan tersebut merupakan ujung tombak dari pelacakan apabila ada
penyelewengan terhadap uang negara.
c) Mengurangi pemekaran daerah, karena selama ini usulan pemekaran daerah hanya
digunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alasan untuk mendapatkan anggaran
lebih banyak dan penyalahgunaan anggaran tersebut, padahal potensi daerahnya
belum memenuhi syarat untuk dapat secara mandiri mengelola PAD (Pendapatan
Asli Daerah). Persyaratan pemekaran daerah dilakukan secara lebih ketat lagi.
d) Menyeleksi

dengan

sungguh-sungguh

pegawai

yang

bekerja

di

bidang

pemberantasan korupsi, agar mereka benar-benar merupakan pegawai yang jujur


dan bersih dari korupsi.
16

e) Adanya kerjasama yang sinergis antara BPK, KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan.
Apabila ada pegawai-pegawai dari instansi tersebut yang menjadi tersangka kasus
korupsi, hendaknya disikapi dengan bijak dan profesional, serta lapang dada, untuk
menerima kenyataan apabila memang terbukti bersalah, bukan malah semakin
memusuhi pihak yang membongkar.
f)

Peningkatan anggaran untuk BPK dan KPK agar pengawasan terhadap pengelolaan
negara semakin optimal dan kasuskasus korupsi dapat terselesaikan dengan cepat.

g) Peningkatan peranan BPK dan KPK terutama dalam memasuki kabinet dan
pemerintahan baru Presiden Jokowi. Pun demikian, anggota BPK dan KPK harus
mendapat perlindungan dari negara apabila mereka mendapat teror dan kekerasan
dari pihak-pihak yang merasa terancam dengan kehadiran mereka.

17

Daftar Pustaka
Anonim. Indeks Persepsi Korupsi.http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Persepsi_Korupsi.
(diakses 4 Agustus 2014)
Anonim. Anggaran Ideal KPK 0,5% dari APBN. Investor Daily, 9 Juli 2012.
http://kpk.go.id/id/nukpk/id/berita/berita-sub/534-anggaran-ideal-kpk-0-5-dari-apbn
(diakses 5 Agustus 2014).

Anonim.

FITRA: Anggaran Pemberantasan Korupsi hanya Rp346 miliar. Senin, 15

Oktober

2012.

http://www.tribunnews.com/nasional/2012/10/15/fitraanggaran-

pemberantasan-korupsi-hanya-rp-346-miliar (diakses 5 Agustus 2014)

Armando, Ade: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Mengenal Lebih Dekat
BPK: Sebuah Panduan Populer. Jakarta: Biro Humas dan Luar Negeri Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Artika R., Putri. Terkumpul Rp403 juta, Saweran Gedung KPK Resmi Ditutup. Selasa, 16
Oktober

2012.

http://www.merdeka.com/peristiwa/terkumpul-rp-403-juta-saweran-

gedung-baru-kpk-resmi-ditutup.html (diakses 5 Agustus 2014).


Biro Humas dan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan. 16 April 2014. Hasil
Pemeriksaan BPK Semester II Tahun 2013. http://www.bpk.go.id/news/hasilpemeriksaan-bpk-semester-ii-tahun-2013. (diakses 4 Agustus 2014).
Infografis korupsi. Seperti Kuman Bandel. Majalah TEMPO, edisi 16-22 September 2013.
Maheka, Arya: Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengenali dan Memberantas Korupsi.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
Nino. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) IndonesiaTak Kunjung Membaik.
http://ninohistiraludin.blogspot.com/2011/11/indeks-persepsi-korupsi-ipkindonesia.html (diakses 4 Agustus 2014).
Ringkasan (sumber: diolah dari data PPATK). Rekening Gendut DPR. Majalah TEMPO,
edisi 7-13 Januari 2013.

18

19

Anda mungkin juga menyukai