Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1 .1 Latar Belakang Masalah


Pada dasarnya pembangunan nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil
dan merata material dan spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945 untuk
mencapai pembangunan nasional yang berkesinambungan. Dengan demikian dalam
masyarakat diperlukan penggalian potensi yang ada baik potensi sosial, ekonomi
maupun budaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat daerah bersama pada
setiap daerah. Secara makro kebudayaan Bali merupakan bagian dari kebudayaan
Indonesia, struktur kebudayaan tersebut dimanfaatkan dan diaktualisasikan melalui
lembaga-lembaga tradisional ini adalah Subak yang sekaligus sebagai potensi lokal
atau lokal genius yang masih ada saat ini.
Subak sebagai Lembaga irigasi tradisional di Bali sudah ada sejak 11 abad.
Fungsi Subak adalah pengelolaan air memproduksi pangan, khususnya beras, yang
merupakan makanan pokok utama bagi orang Bali. Karena subak tidak lepas dari
kegiatan pengelolaan irigasi untuk bercocok tanam padi, maka tidak keliru jika
dikatakan bahwa subak identik dengan budidaya padi/budaya padi (rice culture).
Keunikan subak adalah dalam pelaksanaan kegiatan ritual keagamaan yang sangat
padat dan terkait erat dengan tahap pertumbuhan tanaman padi. Kegiatan ritual inilah
yang merupakan ciri khas subak dan membedakan dengan sistem irigasi tradisional
lainnya di dunia. Tepat jika dikatakan bahwa subak selama ini adalah lembaga irigasi
tradisional yang bercorak sosio agraris religius.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pada masa akan datang subak
juga perlu mengembangkan dirinya menjadi organisasi yang berorentasi ekonomi
selain melakukan fungsi pokoknya sebagai pengelola air irigasi, tanpa harus
mengorbankan corak sosio-relegiusnya (Sutawan, 2000 : 29-43). Menurut Gertz

(1967) dan Pitana (1992), subak adalah areal persawahan yang mendapatkan air dari
satu sumber, sedangkan menurut Perda Bali Nomor 9 Tahun 2012, subak adalah
organisasi tradisional dibidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha
tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis yang
secara historis terus tumbuh dan berkembang.
Selanjutnya Sutawan, dan kawan-kawan (1986) menyatakan bahwa subak
adalah organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari satu sumber
bersama, memiliki satu atau lebih Pura Bedugul, serta memiliki kebebasan di dalam
mengatur rumah tangganya sendiri maupun didalam berhubungan dengan pihak luar.
Dari berbagai batasan tersebut, maka subak dapat dipandang dari segi fisik dan dari
segi sosial. Dari segi fisik subak menyangkut hamparan sawah dengan segenap
fasilitas irigasinya, sedangkan dari segi sosial subak merupakan organisasi petani
yang otonomi yang mempunyai ciri beberapa dasar, yaitu a). organisasi Petani yang
mengelola air irigasi untuk anggotanya; b). mempunyai suatu sumber air bersama; c).
mempunyai suatu areal persawahan; dan d). mempunyai otonomi baik internal
maupun eksternal (Ardana : 2007).
Seperti halnya lembaga tradisional lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat Bali, subak didasarkan atas filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita
Karana adalah keseimbangan hubungan yang bersifat timbal balik antara manusia
dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan sesamanya (Pawongan), dan manusia
dengan alam lingkungannya (Palemahan). Jadi, penghayatan dan pengamalan yang
terpadu secara seimbang dari ketiga unsur Tri Hita Karana ini akan mengantarkan
pada keseimbangan, keselarasan, dan keserasian hidup yang memberi kebahagiaan
lahir batin (JAMNAS PKID, 2013). Kehidupan masyarakat Bali dewasa ini,
merupakan suatu kontinum dari tradisi dan pengalaman masyarakat dalam kehidupan
sosio historisnya di masa lampau. Faktor yang paling berpengaruh dalam membentuk
kebudayaan Bali selanjutnya adalah terintegrasi kebudayaan Bali yang bersifat
komunal dan agraris, ke dalam Agama Hindu. Kebudayaan Bali memperoleh roh dan
jiwa, sehingga tumbuh dan berkembang sebagai sosok kebudayaan yang religius.

Dilihat dari aspek mata pencaharian, masyarakat Bali pada jaman dahulu
mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Raja-Raja di Bali
meminta rakyat untuk membuka sawah-sawah baru dan membuatkan fasilitas dan
sarana irigasi untuk pengairan. Raja tinggal memungut pajak dari hasil panen petani
melalui Sedahan Agung. Seiring dengan perkembangan jaman saat ini, timbul
mobilitas orientasi lapangan kerja sebagai akibat dinamika yang terjadi. Maka
tumbuhlah sikap-sikap yang memandang bahwa jenis pekerjaan membedakan status
sosial seseorang. Pekerjaan petani dinilai atau dianggap lebih rendah dari sektor
pekerjaan lain. Hal ini akan berpengaruh terhadap kesadaran budaya tentang tata
ruang, seperti munculnya konsepsi bahwa ruang diartikan sebagai wadah untuk
mendapat uang. Hal ini menimbulkan suatu dorongan yang amat kuat terhadap alih
fungsi lahan pertanian.
Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia.
Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan
eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat oleh manusia, seperti
untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas
lain akan menyebabkan lahan yang tersedia semakin menyempit. Timbulnya
permasalahan

penurunan

kualitas

lingkungan

nantinya

akan

mengganggu

keseimbangan ekosistem. Hal tersebut dikarenakan penggunaan lahan yang tidak


memperhatikan kemampuan lahan, daya dukung dan bentuk peruntukannya. Lahan
selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring meningkatnya kebutuhan
manusia akan lahan. Perubahan tersebut dikarenakan memanfaatkan lahan untuk
kepentingan hidup manusia. Kebutuhan akan lahan non pertanian cenderung terus
mengalami peningkatan, seiring pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia.
Maka penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralihfungsi. Alih fungsi lahan
pertanian yang tidak terkendali apabila tidak ditanggulangi dapat mendatangkan
permasalahan yang serius, antara lain dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan
(Iqbal dan Sumaryanto, 2007). Kecenderungan terus meningkatnya kebutuhan akan
lahan ini menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit untuk dihindari.

Dilain pihak, Windia (2004) mencatat bahwa banyaknya petani yang


mengolah harga input tertinggi, pajak PBB terlalu tinggi dan tidak berdasarkan pada
jumlah/nilai produksi, harga output sering anjlok pada saat panen, dan banyak petani
mengeluh tidak mampu lagi memelihara pura-pura subak, terkait dengan iuran di
terima subak terus merosot. Selain itu, kebutuhan petani yang sangat banyak dan
tawaran investor yang membeli lahan sawah dengan harga cukup tinggi, membuat
petani menjual lahan sawahnya. Akibat dari itu, terjadinya alih fungsi lahan sawah.
Banyak kalangan yang menganggap subak sebagai pilar pendukung bagi
perekonomian Bali. Kendati demikian, pertanian Bali juga dihadapkan dengan
banyak kendala, salah satunya penyesuaian dan penggunaan lahan. Kebijakan
pemerintah dalam hal pembangunan sarana dan prasarana pendukung sektor
pariwisata yang memanfaatkan lahan pertanian. Hal ini membuat para investor dalam
maupun luar negeri banyak memburu lahan-lahan produktif di bidang pertanian.
Harga sawah yang tinggi membuat para pemilik lahan tergiur untuk menjual lahannya
yang digunakan untuk sektor pariwisata tanpa memikirkan dampak kedepan.
Hal ini hanya menguntungkan bagi pemilik tanah yang mengalihfungsikan
lahan pertanian nya ke non pertanian. Secara ekonomis lahan pertanian yang berada
pada tempat yang strategis harga jualnya sangat tinggi. Namun, bagi petani penggarap
dan buruh tani, alih fungsi lahan merugikan karena mereka tidak bisa beralih
pekerjaan. Jelas ini menimbulkan pengangguran dengan penyempitan lapangan
pekerjaan dan dapat mengurangi lahan-lahan pertanian yang produktif.
Menurut Wicaksono (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan pertanian
terutama oleh hal-hal berikut.
1. Rendahnya nilai sewa tanah (land rent)lahan sawah yang berada di sekitar pusat
pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk pemukiman dan
industri.
2. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.
3. Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yang memperbesar pendapatan asli
daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability) sumberdaya
4

alam di era otonomi.


Karena banyaknya terjadi alih fungsi lahan sawah sistem subak dan alih
fungsi lahan pasti menimbulkan hal-hal yang negatif. Maka perlu diteliti bagaimana
dampak alih fungsi lahan terhadap kehidupan petani.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang muncul bagaimana
dampak alih fungsi lahan terhadap kehidupan petani di Subak Lange, Kecamatan
Denpasar Barat?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dampak alih fungsi lahan terhadap
kehidupan petani di Subak Lange, Kecamatan Denpasar Barat.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat hasil penelitian bagi pemerintah adalah dapat mengambil kebijakan
terhadap dampak alih fungsi lahan tersebut. Sedangkan kepada peneliti selanjutnya
adalah sebagai dasar penelitian lebih lanjut dalam memahami dampak alih fungsi
lahan terhadap kehidupan petani di Subak Lange, Kecamatan Denpasar Barat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah meneliti dampak alih fungsi lahan terhadap
kehidupan petani yang nantinya dilakukan penelitian dengan menggunakan pedoman
wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada beberapa informan kunci yaitu,
petani yang menjual lahan sawahnya di Subak Lange, Kecamatan Denpasar Barat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Alih Fungsi dan Faktor-Faktor Penyebabnya


Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai
konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari
fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi
dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih
fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain
disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi

keperluan untuk

memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya


tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Menurut Agus (2004) konversi lahan sawah adalah suatu proses yang
disengaja oleh manusia (anthropogenic), bukan suatu proses alami. Kita ketahui
bahwa percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi, namun ironisnya konversi
lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah system produksi pada lahan sawah
tersebut berjalan dengan baik. Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari
peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya.
Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada
kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian
yang masih produktif.
Menurut Kustiawan (1997) dalam kolokiumkpmipb.wodrpress.com, konversi
lahan berarti alih fungsi atau mutasinya lahan secara umum menyangkut transformasi
dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.
Pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi
lahan pertanian. Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non
pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Supriyadi (2004) menyatakan bahwa

setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan
sawah sebagai berikut.
1. Faktor eksternal; merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi.
2. Faktor internal; faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial
ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor kebijakan; yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan.
Dalam penelitian ini faktor-faktor yang digunakan untuk penelitian
berdasarkan peneliti-peneliti sebelumnya adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi tingkat pendapatan rumah tangga petani, produktivitas lahan,
dan status lahan. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi keputusan petani
dalam mengkonversi lahan pertaniannya yaitu kebijakan pemerintah (pajak tanah),
kebijakan tata ruang dan harga lahan.
Menurut Wahyunto (2001), perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan
pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal,
pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu
kehidupan yang lebih baik.
Menurut Lilis Nur Fauziah (2005), menyebutkan bahwa alih fungsi lahan
yang terjadi di Indonesia bukan hanya karena peraturan perundang-undangan yang
tidak efektif, baik itu segi substansi ketentuannya yang tidak jelas dan tidak tegas,
maupun penegaknya yang tidak di dukung oleh pemerintah sendiri sebagai pejabat
yang berwenang memberikan izin pemfungsian suatu lahan. Tetapi juga tidak
didukung oleh tidak menariknya sektor pertanian itu sendiri. Langka dan mahalnya
pupuk, alat-alat produksi laiinnya, tenaga kerja pertanian yang semakin sedikit, serta
diperkuat dengan harga hasil pertanian yang fluktuatif, bahkan cenderung terus

menurun drastis mengakibatkan minat penduduk (atau pun sekedar mempertahankan


fungsinya) terhadap sektor pertanian pun menurun.

2.2 Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Kehidupan Petani


Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat berdampak
terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih
luas dimana berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial,
budaya, dan politik masyarakat. Menurut Somaji (1994), konversi lahan juga
berdampak pada menurunnya porsi dan pendapatan sektor pertanian petani pelaku
konversi dan menaikkan pendapatan dari sektor non pertanian.
Sihaloho (2004) menjelaskan konversi lahan berimplikasi atau berdampak
pada perubahan struktur agrarian. Adapun perubahan yang terjadi, yaitu :
1. Perubahan pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari
kepemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain.
Perubahan yang terjadi akibat alih konversi yaitu terjadinya perubahan jumlah
penguasaan tanah. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa petani pemilik berubah
menjadi penggarap dan petani penggarap berubah menjadi buruh tani. Implikasi
dari perubahan ini yaitu buruh tani sulit mendapatkan lahan dan terjadinya proses
maginalisasi.
2. Perubahan pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana
masyarakat dan pihak pihak lain memanfaatkan sumber daya agrarian tersebut.
Konversi lahan menyebabkan pergesaran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber
agraria, khususnya tenaga kerja wanita. Konversi lahan mempengaruhi
berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian. Selain itu, konversi lahan
menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian
yang makin tinggi. Implikasi langsung dari perubahan ini adalah dimanfaatkannya
lahan tanpa mengenal sistem bera, khususnya untuk tanah sawah.

3. Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang makin terbatas menyebabkan


memudarnya sistem bagi hasil tanah maro menjadi mertelu. Demikian juga
dengan munculnya sistem tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai.
Perubahan terjadi karena meningkatnya nilai tanah dan makin terbatasnya tanah.
4. Peruban pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata
pencaharian masyarakat dan hasil hasil produksi pertaanian dibandingkan
dengan hasil non pertanian. Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah
tangga menyebabkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian
ke sektor non pertanian.
5. Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan menyebabkan kemunduran
kemampuan ekonomi (pendapatan yang makin menurun).
Adapun alih fungsi lahan di Kecamatan Denpasar Barat dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Luas Lahan Persawahandi Kecamatan Denpasar Barat
No
Tahun
1
2009
2
2010
3
2011
4
2012
5
2013
Sumber : BPS Provinsi Bali, Tahun 2014

Luas Lahan (Ha)


269,00
256,00
256,00
256,00
256,00

Tabel 2.1. menggambarkan hanya tahun 2009 sampai tahun 2010 mengalami
penyusutan seluas 13 hektar. Sedangkan tahun 2010 sampai tahun 2013 tercatat tidak
ada alih fungsi lahan sawah.

BAB III
METODE PENELITIAN

10

3.1 Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan di wilayah Kota Denpasar yaitu di Subak Lange pada
Kecamatan Denpasar Barat dengan cara purposive, yakni pemilihan lokasi dengan
alasan tertentu. Alasan dipilihnya subak ini dipergunakan sebagai lokasi penelitian
karena peneliti tinggal di Kecamatan Denpasar Barat, dan alih fungsi pada Subak
Lange sangat drastis sebanyak 13 hektar antara tahun 2009 sampai tahun 2010. Dari
alih fungsi lahan tersebut sangat berpengaruh kepada kehidupan petani.

3.2 Jenis dan Sumber Data


3.2.1 Jenis data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data
kualitatif, yaitu data yang berupa non angka dalam hasil wawancara kepada beberapa
informan kunci yang mendeskrpisikan dengan kalimat atau kata-kata tentang
kehidupan petani yang menjual lahan sawahnya. Data kuantitatif, yaitu data berupa
angka seperti jumlah anggota Subak Lange, luas lahan sawah beberapa informan
kunci yang dijual dan harganya pada saat itu.
3.2.2 Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari
sumber aslinya yaitu pada beberapa informan kunci. Sumber data sekunder adalah
sumber data yang diperoleh secara tidak langsung yang sumbernya berasal dari
catatan-catatan yang ada di Subak Lange, dan kantor-kantor pemerintah lainnya.
3.3 Penentuan Informan Kunci
Penentuan informan kunci yaitu seseorang yang secara lengkap mengetahui

11

informasi yang akan menjadi permasalahan dalam penelitian. Informan kunci, terdiri
dari Pekaseh, anggota subak, dll. Namun sebagai informan kunci dalam penelitian ini
adalah seorang petani yang mengetahui proses penjualan sawahnya dan paham
tentang kehidupannya hingga saat ini.

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang dipergunakan
adalah observasi, wawancara mendalam, telaah pustaka (dokumentasi).
1. Observasi (pengamatan)
Observasi (pengamatan) dilakukan di Subak Lange, Kecamatan Denpasar
Barat. Observasi dilakukan, bertujuan untuk mengamati kehidupan beberapa
informan kunci yang menjual lahan sawahnya.
2. Wawancara mendalam (in-depth interviews)
Wawancara mendalam pada penelitian ini dilakukan dalam bentuk
wawancara terstruktur, dengan menggunakan pedoman wawancara yang
isinya berupa pertanyaan-pertanyaan untuk beberapa informan kunci. Tujuan
yang hendak dicapai dalam teknik wawancara mendalam ini adalah berusaha
mendapatkan berbagai informasi sebanyak-banyaknya yang dilakukan secara
mendalam pada beberapa informan kunci, baik secara formal, maupun
informal. Wawancara mendalam dilakukan pada beberapa anggota Subak
Lange yang dijadikan informan kunci.
3. Dokumen.
Dokumen-dokumen yang diperlukan sebagai sumber informasi dalam
penelitian ini dapat berupa kuitansi atau alat-alat bukti yang dilakukan pada
beberapa informan kunci saat penjualan sawah dilakukan, dll.

12

3.5 Pengukuran Variabel


Variabel dalam penelitian ini, diukur dengan menggunakan indikator dan
pengukuran, seperti terlihat dibawah ini pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Variabel, Indikator, Pertanyaan dan Pengukuran Penelitian
No.
Variabel
1. Kehidupan

Indikator
1. Pola Pikir

Pertanyaan
a. Tujuan menjual sawah
b. Alasan menjual sawah
c. Perasaan setelah

Petani

Pengukuran
Kualitatif

menjual sawah
d. Memang ada
sebelumnya
merencanakan menjual
sawah
e. Manfaat apa yang
dirasakan setelah
menjual lahan sawah
a. Kehidupan setelah

2. Sistem
Sosial

Kualitatif

menjual sawah
b. Interaksi dengan
keluarga dan
lingkungan sekitar
setelah menjual sawah

3. Artefak /

a. Pendapatan perbulan

kebendaan

sebelum dan sesudah


menjual sawah
b. Luas lahan yang
punya sebelum dijual
c. Per arenya dijual

13

Kualitatif

berapa
d. Hasil penjualan lahan
sawah dipakai untuk
apa

3.6 Definisi Operasional Variabel


Pada definisi operasional variabel menggunakan wawancara mendalam
mengenai Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Kehidupan Petani yang memakai 3
(tiga) indikator yaitu pola pikir, sistem sosial, dan artefak/ kebendaan dengan masingmasing pertanyaan pada indikator tersebut. Dari wawancara tersebut diukur dengan
pengukuran kualitatif.
Kehidupan petani adalah kehidupan seseorang yang menggantungkan
hidupnya pada lahan pertanian sebagai mata pencaharian utamanya.

3.7 Teknik Analisa Data


Teknik analisis data menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.
Bagaimana kehidupan beberapa informan kunci yang saat itu menjual sawahnya akan
dianalisis dengan metode analisis deskripitif. Demikian juga akan di analisis
kehidupan petani yang bersangkutan pada saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 2004. Konvensi dan Hilangnya Multi Fungsi Lahan Sawah. Balai
Penelitian Tanah, Bogor, dalam Tabloid Sinar Tani, 29 Januari 2004.
Ardana, I G. G. 2007. Pemberdayaan Kearifan Local Masyarakat Bali dalam Budaya
Global Denpasar : Pustaka Tarukan Agung.
BPS Provinsi Bali. 2014. Luas lahan persawahan di Kecamatan Denpasar Barat.
14

Fauziah, L N. 2005. Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Tanah Non Pertanian
(Studi Komparatif Indonesia dan Amerika). Yogyakarta : FH UGM
Geertz, C. 1967.Organisation of the Balinese Subak, in Irrigation and Agricultural
Development, E. Walter Coward (ed), Cornell University Press, London.
Iqbal, M dan Sumaryanto, 2007. Strategi Pngendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182. Bogor.
Kustiawan, I. 1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara dalam Prisma No.1.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Lestari, T. 2009. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani. IPB.
Bogor
Pitana, I G. 1992. Subak: Sistem irigasi Tradisional di Bali. Sebuah Canangsari.
Penerbit Upada Sastra, Denpasar.
Sihaloho. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. (Tesis).
Sekolah Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Somaji RP. 2004. Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya Terhadap
Masyarakat Petani di Jawa Timur. (Tesis). Sekolah Pascasarjana. Bogor :
Institut Pertanian Bogor.
Supriyadi, A. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan
Pertanian. Fakultas Pertanian. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Sutawan, N; M. Swara; N. Sujipta; W. Suteja; dan W. Windia; 1986. Struktur dan
Fungsi Subak. Makalah Seminar Peranan Berbagai Program Pembangunan
dalam Melestarikan Subak di Bali, Universitas Udayana, Denpasar.
Sutawan, N. 2000, Mengembangkan Organisasi Ekonomi Petani Berbasis Subak:
Corposotil Farming ataukah ada alternative lain. Visi No. 19 September.
Tirta, A. 2013. Pengertian Tri Hita Karana. http://www.parkourbali.com/2013/02
/jamnas-parkour-indonesia-2013.html
Wahyunto (Dalam Tinjauan Pustaka Universitas Sumatra Utara). 2001. Pengertian
Alih Fungsi Lahan. UNSU.
Wicaksono. 2007. Penyebab Alih Fungsi Lahan. http//repository.usu.ac.id.
Windia, W. 2004. Mengatasi Kemiskinan di Sekitar Pertanian, Denpasar : Makalah
yang Disampaikan dalam Seminar yang Diselenggarakan oleh PDP-IPB.

15

Anda mungkin juga menyukai