PENDAHULUAN
(1967) dan Pitana (1992), subak adalah areal persawahan yang mendapatkan air dari
satu sumber, sedangkan menurut Perda Bali Nomor 9 Tahun 2012, subak adalah
organisasi tradisional dibidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha
tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis yang
secara historis terus tumbuh dan berkembang.
Selanjutnya Sutawan, dan kawan-kawan (1986) menyatakan bahwa subak
adalah organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari satu sumber
bersama, memiliki satu atau lebih Pura Bedugul, serta memiliki kebebasan di dalam
mengatur rumah tangganya sendiri maupun didalam berhubungan dengan pihak luar.
Dari berbagai batasan tersebut, maka subak dapat dipandang dari segi fisik dan dari
segi sosial. Dari segi fisik subak menyangkut hamparan sawah dengan segenap
fasilitas irigasinya, sedangkan dari segi sosial subak merupakan organisasi petani
yang otonomi yang mempunyai ciri beberapa dasar, yaitu a). organisasi Petani yang
mengelola air irigasi untuk anggotanya; b). mempunyai suatu sumber air bersama; c).
mempunyai suatu areal persawahan; dan d). mempunyai otonomi baik internal
maupun eksternal (Ardana : 2007).
Seperti halnya lembaga tradisional lainnya yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat Bali, subak didasarkan atas filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita
Karana adalah keseimbangan hubungan yang bersifat timbal balik antara manusia
dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan sesamanya (Pawongan), dan manusia
dengan alam lingkungannya (Palemahan). Jadi, penghayatan dan pengamalan yang
terpadu secara seimbang dari ketiga unsur Tri Hita Karana ini akan mengantarkan
pada keseimbangan, keselarasan, dan keserasian hidup yang memberi kebahagiaan
lahir batin (JAMNAS PKID, 2013). Kehidupan masyarakat Bali dewasa ini,
merupakan suatu kontinum dari tradisi dan pengalaman masyarakat dalam kehidupan
sosio historisnya di masa lampau. Faktor yang paling berpengaruh dalam membentuk
kebudayaan Bali selanjutnya adalah terintegrasi kebudayaan Bali yang bersifat
komunal dan agraris, ke dalam Agama Hindu. Kebudayaan Bali memperoleh roh dan
jiwa, sehingga tumbuh dan berkembang sebagai sosok kebudayaan yang religius.
Dilihat dari aspek mata pencaharian, masyarakat Bali pada jaman dahulu
mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Raja-Raja di Bali
meminta rakyat untuk membuka sawah-sawah baru dan membuatkan fasilitas dan
sarana irigasi untuk pengairan. Raja tinggal memungut pajak dari hasil panen petani
melalui Sedahan Agung. Seiring dengan perkembangan jaman saat ini, timbul
mobilitas orientasi lapangan kerja sebagai akibat dinamika yang terjadi. Maka
tumbuhlah sikap-sikap yang memandang bahwa jenis pekerjaan membedakan status
sosial seseorang. Pekerjaan petani dinilai atau dianggap lebih rendah dari sektor
pekerjaan lain. Hal ini akan berpengaruh terhadap kesadaran budaya tentang tata
ruang, seperti munculnya konsepsi bahwa ruang diartikan sebagai wadah untuk
mendapat uang. Hal ini menimbulkan suatu dorongan yang amat kuat terhadap alih
fungsi lahan pertanian.
Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia.
Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan
eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat oleh manusia, seperti
untuk tempat tinggal, tempat melakukan usaha, pemenuhan akses umum dan fasilitas
lain akan menyebabkan lahan yang tersedia semakin menyempit. Timbulnya
permasalahan
penurunan
kualitas
lingkungan
nantinya
akan
mengganggu
Ruang lingkup penelitian adalah meneliti dampak alih fungsi lahan terhadap
kehidupan petani yang nantinya dilakukan penelitian dengan menggunakan pedoman
wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada beberapa informan kunci yaitu,
petani yang menjual lahan sawahnya di Subak Lange, Kecamatan Denpasar Barat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
keperluan untuk
setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan
sawah sebagai berikut.
1. Faktor eksternal; merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi.
2. Faktor internal; faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial
ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor kebijakan; yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan.
Dalam penelitian ini faktor-faktor yang digunakan untuk penelitian
berdasarkan peneliti-peneliti sebelumnya adalah faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi tingkat pendapatan rumah tangga petani, produktivitas lahan,
dan status lahan. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi keputusan petani
dalam mengkonversi lahan pertaniannya yaitu kebijakan pemerintah (pajak tanah),
kebijakan tata ruang dan harga lahan.
Menurut Wahyunto (2001), perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan
pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal,
pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu
kehidupan yang lebih baik.
Menurut Lilis Nur Fauziah (2005), menyebutkan bahwa alih fungsi lahan
yang terjadi di Indonesia bukan hanya karena peraturan perundang-undangan yang
tidak efektif, baik itu segi substansi ketentuannya yang tidak jelas dan tidak tegas,
maupun penegaknya yang tidak di dukung oleh pemerintah sendiri sebagai pejabat
yang berwenang memberikan izin pemfungsian suatu lahan. Tetapi juga tidak
didukung oleh tidak menariknya sektor pertanian itu sendiri. Langka dan mahalnya
pupuk, alat-alat produksi laiinnya, tenaga kerja pertanian yang semakin sedikit, serta
diperkuat dengan harga hasil pertanian yang fluktuatif, bahkan cenderung terus
Tabel 2.1. menggambarkan hanya tahun 2009 sampai tahun 2010 mengalami
penyusutan seluas 13 hektar. Sedangkan tahun 2010 sampai tahun 2013 tercatat tidak
ada alih fungsi lahan sawah.
BAB III
METODE PENELITIAN
10
11
informasi yang akan menjadi permasalahan dalam penelitian. Informan kunci, terdiri
dari Pekaseh, anggota subak, dll. Namun sebagai informan kunci dalam penelitian ini
adalah seorang petani yang mengetahui proses penjualan sawahnya dan paham
tentang kehidupannya hingga saat ini.
12
Indikator
1. Pola Pikir
Pertanyaan
a. Tujuan menjual sawah
b. Alasan menjual sawah
c. Perasaan setelah
Petani
Pengukuran
Kualitatif
menjual sawah
d. Memang ada
sebelumnya
merencanakan menjual
sawah
e. Manfaat apa yang
dirasakan setelah
menjual lahan sawah
a. Kehidupan setelah
2. Sistem
Sosial
Kualitatif
menjual sawah
b. Interaksi dengan
keluarga dan
lingkungan sekitar
setelah menjual sawah
3. Artefak /
a. Pendapatan perbulan
kebendaan
13
Kualitatif
berapa
d. Hasil penjualan lahan
sawah dipakai untuk
apa
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 2004. Konvensi dan Hilangnya Multi Fungsi Lahan Sawah. Balai
Penelitian Tanah, Bogor, dalam Tabloid Sinar Tani, 29 Januari 2004.
Ardana, I G. G. 2007. Pemberdayaan Kearifan Local Masyarakat Bali dalam Budaya
Global Denpasar : Pustaka Tarukan Agung.
BPS Provinsi Bali. 2014. Luas lahan persawahan di Kecamatan Denpasar Barat.
14
Fauziah, L N. 2005. Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Tanah Non Pertanian
(Studi Komparatif Indonesia dan Amerika). Yogyakarta : FH UGM
Geertz, C. 1967.Organisation of the Balinese Subak, in Irrigation and Agricultural
Development, E. Walter Coward (ed), Cornell University Press, London.
Iqbal, M dan Sumaryanto, 2007. Strategi Pngendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182. Bogor.
Kustiawan, I. 1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara dalam Prisma No.1.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Lestari, T. 2009. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani. IPB.
Bogor
Pitana, I G. 1992. Subak: Sistem irigasi Tradisional di Bali. Sebuah Canangsari.
Penerbit Upada Sastra, Denpasar.
Sihaloho. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. (Tesis).
Sekolah Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Somaji RP. 2004. Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya Terhadap
Masyarakat Petani di Jawa Timur. (Tesis). Sekolah Pascasarjana. Bogor :
Institut Pertanian Bogor.
Supriyadi, A. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan
Pertanian. Fakultas Pertanian. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Sutawan, N; M. Swara; N. Sujipta; W. Suteja; dan W. Windia; 1986. Struktur dan
Fungsi Subak. Makalah Seminar Peranan Berbagai Program Pembangunan
dalam Melestarikan Subak di Bali, Universitas Udayana, Denpasar.
Sutawan, N. 2000, Mengembangkan Organisasi Ekonomi Petani Berbasis Subak:
Corposotil Farming ataukah ada alternative lain. Visi No. 19 September.
Tirta, A. 2013. Pengertian Tri Hita Karana. http://www.parkourbali.com/2013/02
/jamnas-parkour-indonesia-2013.html
Wahyunto (Dalam Tinjauan Pustaka Universitas Sumatra Utara). 2001. Pengertian
Alih Fungsi Lahan. UNSU.
Wicaksono. 2007. Penyebab Alih Fungsi Lahan. http//repository.usu.ac.id.
Windia, W. 2004. Mengatasi Kemiskinan di Sekitar Pertanian, Denpasar : Makalah
yang Disampaikan dalam Seminar yang Diselenggarakan oleh PDP-IPB.
15