Anda di halaman 1dari 33

Nilai

LAPORAN PRAKTIKUM
MESIN PERALATAN PENGOLAHAN PANGAN
(Kinetika Penggorengan Produk Ppangan dengan Deep Fat Fryer)
Oleh

Nama

: Yosua Andreas

NPM

: 240110120062

Hari, Tanggal Praktikum

: Rabu, 18 Maret 2015

Waktu

: 15.00-16.00 WIB

Asisten

: Gallerie Tjandra
Dwi Rahayu
Chyntia L.S

LABORATORIUM PASCA PANEN DAN TEKNOLOGI PROSES


DEPARTMEN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Penggorengan merupakan suatu cara untuk mengolah bahan pangan

menggunakan media minyak goreng agar dapat dikonsumsi. Penggorengan


dengan minyak atau lemak lebih banyak dipilih sebagai cara pengolahan makanan
karena mampu meningkatkan citarasa dan tekstur bahan pangan yang spesifik
sehingga bahan pangan menjadi kenyal dan renyah dengan warna yang
diinginkan. Hal tersebut membuat produk pangan yang diolah dengan cara
digoreng sangat digemari, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia.
Penggorengan dilakukan dengan memasukkan makanan dalam minyak
panas dengan kontak antara minyak, udara, dan makanan pada suhu 150 C
hingga 190 C. Minyak goreng bertindak sebagai media perpindahan panas dan
berkontribusi terhadap tekstur dan rasa makanan yang digoreng. Terjadinya
perpindahan panas dan massa minyak, makanan, dan udara selama penggorengan
menghasilkan kualitas yang diinginkan dari makanan yang digoreng. Biasanya
bahan pangan yang digoreng akan mengeras dan akan lebih renyah saat dikunyah.
Dibandingkan cara pengolahan yang lain, penggorengan biasanya bersifat
cepat karena perubahan pada bahan pangan memerlukan waktu yang lebih singkat
pada suhu tinggi. Sifat produk hasil penggorengan juga khas. Timbul flavor khas
gorengan yang tidak ditemui pada cara pengolahan bahan pangan yang lain. Oleh
sebab itu, pada praktikum ini akan dipelajari bagaimana uji sensori pada bahan
setelah digoreng pada waktu tertentu.
1.2

Tujuan Instruksional

1.2.1

Tujuan Instruksional Umum


Mahasiswa dapat mengetahui peralatan deep fat fryer untuk proses

penggorengan.
1.2.2

Tujuan Instruksional Kkhusus


Mahasiswa dapat menganalisis dan mempelajari perubahan kekerasan,

kematangan, serta cita rasa bahan pangan selama penggorengan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Penggorengan
Penggorengan merupakan pengolahan pangan yang umum dilakukan

untuk mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam pan


yang berisi minyak. Proses ini bertujuan untuk menghasilkan produk yang
mengembang dan renyah, selain itu untuk meningkatkan citarasa, warna, gizi dan
daya awet produk akhir. Penggorengan dapat mengubah eating quality suatu
makanan

dan

memberikan

efek

preservasi

akibat

dekstruksi

termal

mikroorganisme dan enzim serta mengurangi kadar air sehingga daya simpan
menjadi lebih baik (Ketaren, 1986). Weiss (1983) melaporkan bahwa sebagian air
akan menguap dan ruang kosong yang semula diisi air akan diisi minyak.
Menurut Fellows (1990) penggorengan adalah suatu operasi mengubah
eating quality suatu makanan, memberikan efek preservasi akibat destruksi termal
pada mikroorganisme dan enzim, serta mengurangi aktivitas air (aw). Shelf life
makanan goreng hampir semuanya ditentukan oleh kadar air setelah
penggorengan. Proses utama yang terjadi selama penggorengan adalah
perpindahan panas dan masa, dengan minyak yang berfungsi sebagai media
penghantar panas. Panas yang diterima bahan dipergunakan untuk berbagi proses
dalam bahan, antara lain untuk penguapan air, gelatinisasi pati, denaturasi protein,
reaksi pencoklatan dan karamelisasi. Proses yang beragam ini harus dikendalikan
sedemikian

rupa

sehingga

tidak

merusak

mutu

produk.

Salah

satu

pengendaliannya adalah dengan mengatur waktu dan suhu penggorengan


(Suyitno, 1991).
Proses penggorengan suatu produk pada umumnya terdiri dari empat
tahap, yaitu:
1. Tahap pemanasan awal (initial heating)
Selama tahap ini bahan terendam dalam minyak panas hingga suhunya
sama dengan titik didih minyak. Perpindahan panas yang terjadi antara minyak
dengan bahan selama penggorengan ini merupakan perpindahan panas konveksi
dan tidak terjadi penguapan air dalam bahan.

2. Tahap pendidihan permukaan (surface boilling)


Tahap ini dimulai dengan proses penguapan air permukaan. Perpindahan
panas konveksi alami berubah menjadi konveksi paksa karena adanya turbulensi
minyak di sekitar bahan. Selama proses ini mulai terbentuk lapisancrustdi
permukaan.
3. Tahap laju menurun (falling rate)
Tahap laju menurun ditandai dengan adanya penguapan lebih lanjut dan
kenaikan suhu pusat sehingga mendekati titik didih minyak. Pada tahap ini terjadi
perubahan fisika kimia seperti gelatinisasi pati dan pemasakan. Lapisan crust yang
terbentuk menjadi lebih tebal dan penguapan air permukaan semakin menurun.
4. Titik akhir gelembung (bubble end point)
Apabila bahan digoreng dalam waktu yang relatif lama, maka laju
pengurangan kadar air akan semakin menurun dan tidak ada lagi gelembung udara
di permukaan bahan.
Menurut Ketaren (1986), metode penggorengan yang umum digunakan
adalah penggorengan gangsa (pan frying) dan penggorengan rendam (deep
frying). Sistem menggoreng deep fat frying adalah yaitu bahan terendam
seluruhnya dalam minyak sehingga penetrasi panas dari minyak dapat masuk
secara bersamaan pada seluruh permukaan bahan yang digoreng sehingga
kematangan bahan yang digoreng dapat merata. Deep fat frying merupakan
metode penggorengan yang penting karena prosesnya cepat, tepat dan
menghasilkan makanan dengan tekstur dan flavor yang disukai. Deep fat frying
juga hanya memerlukan unit peralatan yang sederhana serta menghasilkan limbah
gas yang jumlahnya kecil (Lawson, 1994).
Morreira (1999), metode penggorengan deep fat frying merupakan proses
pemasakan makanan dengan menggunakan kontak langsung dengan minyak
panas, dalam cara ini terjadi perpindahan panas dan massa. Perpindahan panas
selama penggorengan berjalan cepat karena seluruh permukaan bahan berinteraksi
langsung dengan minyak goreng sehingga akan menghasilkan warna dan
penampakan

produk

yang

seragam.

Menurut

Fellows

(1990),

metode

penggorengan ini cocok untuk semua bentuk makanan, tetapi bahan makanan

dengan bentuk yang tidak teratur cenderung mengangkat minyak dalam volume
besar ketika diangkat dari alat penggoreng.
Makanan gorengan hendaknya memiliki warna coklat yang baik dan
absorbsi minyak yang minimal. Faktor paling penting yang mempengaruhi sifatsifat ini adalah temperatur minyak goreng. Penggunaan temperatur minyak yang
terlalu tinggi menyebabkan pembentukan warna coklat dan crustpada permukaan
bahan makanan tidak sempurna. Apabila temperatur yang digunakan terlalu
rendah, bahan makanan perlu waktu lebih lama untuk mencapai warna coklat
yang dikehendaki dan semakin lama bahan dalam minyak goreng maka semakin
banyak minyak yang terabsorbsi. Kisaran suhu yang dianggap secara ekonomis
masih layak adalah antara 163-199 C (Djatmiko dan Erni, 1985 dalam
Tursilawati, 1999).
2.2

Proses Penggorengan
Proses menggoreng adalah salah satu cara memasak bahan makanan

mentah

(raw food) menjadi makanan matang menggunakan minyak goreng

(Sartika, 2009). Sedangkan menurut Muchtadi (2008) penggorengan

adalah

suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng


sebagai penghantar panas. Minyak berfungsi sebagai medium penghantar
panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan
pangan (Ketaren, 1986). Sedangkan menggoreng hampa adalah menggoreng
berbagai macam produk dengan kondisi hampa udara.
Pada umumnya proses penggorengan dibedakan menjadi dua macam
yaitu pan frying dan deep frying. Ciri dari pan frying adalah bahan pangan
yang digoreng tidak sampai terendam di dalam minyak, sedangkan pada sistem
deep frying dibutuhkan banyak minyak karena bahan pangan yang digoreng
harus terendam seluruhnya. Deep fat frying didefinisikan sebagai proses
dimana makanan dimasak dengan cara direndam dalam minyak nabati atau
lemak dipanaskan di atas titik didih air. Proses ini dilakukan secara
tradisional

dalam

kondisi

atmosfer

dan

suhu

penggorengan

biasanya

mendekati 180C. (Dobraszczyk, Ainsworth, Ibanoglu, & Bouchon, 2006 dalam


Mariscal M 2008).

Menurut

Djatmiko

(1985)

penggorengan

adalah

proses

untuk

mempersiapkan makanan dengan jalan memanaskan makanan dalam ketel


yang berisi minyak. Selama proses penggorengan minyak akan mengalami
pemanasan pada suhu tinggi. Pemanasan akan mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan alam sifat fisiko kimia minyak sehingga akan berpengaruh
terhadap mutu bahan makanan yang digoreng. Prinsip penggorengan menurut
Robertson (1967) dalam Djatmiko (1985) dapat dilihat pada Gambar 1. Di sini
yang menjadi input dari ketel penggorengan adalah minyak, bahan makanan yang
digoreng dan panas, sedangkan yang menjadi output adalah makan yang
telah digoreng, uap panas, minyak by-products berminyak dan potonganpotongan bahan makanan yang dapat disaring.

Gambar 1. Proses penggorengan secara deep-fat frying (Robertson, 1967)


Selama penggorengan bahan pangan dapat terjadi perubahan-perubahan
fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang digoreng, maupun minyak
gorengnya. Apabila suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168196C) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng berlangsung
dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap minyak goreng
tergantung pada kadar gliserol bebas. Titik asap adalah saat terbentuknya
akrolein yang

tidak

diinginkan

dan dapat menimbulkan rasa gatal pada

tenggorokan.
Penggorengan dengan suhu tinggi sehingga makanan menjadi sangat
matang memicu terjadinya reaksi browning (pencoklatan) dan akhirnya
muncul

senyawa

amina-amina

heterosiklis

penyebab kanker. Selain itu

penggorengan juga mengakibatkan penurunan kandungan zat-zat gizi karena


rusak. Kesalahan teknik menggoreng juga bisa berdampak buruk lainnya. Apabila
minyak belum siap untuk menggoreng, kadang-kadang bahan makanan akan
menyerap minyak lebih banyak. Penting diketahui bahwa meski sebagian zat
gizi akan rusak selama penggorengan, makanan yang digoreng rasanya lebih
gurih dan mengandung kalori lebih banyak. Cita rasa makanan gorengan ini
sering lebih enak dibandingkan dengan makanan rebusan.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penggorengan adalah
ketel

penggorengan

dan minyak goreng. Syarat ketel penggorengan ialah

maempunyai konstruksi yang baik, coeficient of oil renewal besar, peralatan


ketel harus terbuat dari metal yang tahan oksidasi dan ketel harus sering
dibersihkan. Sedangkan minyak yang dipakai harus baik mutunya dimana
kandungan asam lemak bebasnya rendah, ketidak jenuhannya tinggi, smoke
point tinggi dan titik cair rendah. Dalam proses penggorengan suhu tidak
boleh terlalu tinggi, kontak minyak dengan udara harus kecil dan minyak
harus sering dibersihkan dari kotoran-kotoran. Minyak yang telah dipakai dapat
dimurnikan kembali, akan tetapi kemurniannya tidak akan seperti semula.
Pemakaian minyak ini harus dicampur dengan minyak segar (Djatmiko 1985).
Menurut Muchtadi (2008), Pada penggorengan deep frying (Gambar
2) saat bahan makanan dimasukkan ke dalam minyak suhu permukaan
bahan akan segera meningkat dan air menguap, permukaan bahan pangan
akan mengering, terjadi penguapan lebih lanjut dan berbentuk kerak (crust). Suhu
permukaan bahan akan meningkat hingga suhu minyak panas, sedangkan
suhu bagian dalam bahan pangan akan meningkat secara perlahan hingga
suhu 100C. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer terjadi pada
suhu titik didih minyak sekitar 180C-200C.
Pada saat bahan pangan digoreng, akan terjadi pindah panas dari
sumber panas penggoreng ke bahan pangan, melalui media pindah panas
minyak goreng. Akibat proses pemanasan tersebut, bahan pangan akan
melepaskan uap air yang dikandungnya. Permukaan bahan pangan memiliki
struktur yang porous, yang memiliki kapiler-kapiler dengan berbagai ukuran.
Selama penggorengan, air dan uap air akan dikeluarkan melalui kapiler-

kapiler yang lebih besar dahulu, dan digantikan oleh minyak panas. Uap air
yang keluar dari bahan pangan pada saat penggorengan akan dilepaskan ke
udara bebas.
Penguapan air menyebabkan kadar air pada permukaan bahan pangan
yang digoreng menjadi rendah, yang menyebabkan tekstur yang renyah.
Minyak juga akan melepaskan hasil degradasi minyak yang bersifat volatil ke
udara. Bahan pangan sendiri akan melepaskan remah-remah hasil penggorengan
ke dalam minyak, demikian juga berbagai komponen yang terlarut minyak
akan berada pada minyak goreng. Suhu tinggi akan menyebabkan waktu
penggorengan lebih singkat. Namun suhu tinggi juga dapat mempercepat
terjadinya kerusakan minyak akibat pembentukan asam lemak bebas, yang
mengakibatkan perubahan kekentalan, flavor, dan warna minyak goreng.
Pemanasan yang berlebihan pada bahan pangan mengakibatkan minyak
lebih banyak terperangkap dalam produk gorengan. Produk yang diibginkan
memiliki kerak yang kering dengan bagian dalam basah , harus digoreng pada
suhu tinggi. Terbentuknya kerak pada permukaan bahan pangan akan
menghambat laju pindah panas ke bagian dalam bahan pangan. Pemanasan pada
tekanan atmosfer memungkinkan terjadinya kontak antara minyak goreng dengan
udara yang memungkinkan terjadinya oksidasi pada minyak.

Gambar 2. Skema penggorengan deep frying pada tekanan atmosfer


Menurut
penggorengan

Muchtadi
juga

dapat

(2008)

berdasarkan

dilakukan pada

kondisi

kondisi

prosesnya,

tekanan

atmosferik,

bertekanan lebih tingggi dari tekanan atmosfer, dan pada kondisi vakum.
Penggorengan pada kondisi tekanan atmosfer terjadi pada penggorengan

konvensional dimana proses penggorengan dilakukan secara terbuka pada


tekanan normal atmosfer. Suhu proses penggorengan pada tekanan atmosfer
terjadi pada suhu titik didih minyak yaitu sekitar 180-200C.
Uap air yang keluar dari bahan pangan akan dilepaskan ke udara
bebas. Proses penggorengan pada kondisi bertekanan, dilakukan pada tekanan
yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan
peralatan

penggorengan

khusus

dengan

sistem

tertutup

yang

mampu

menahan tekanan tinggi. Wajan penggorengan berupa wadah tertutup yang


diberi tekanan tinggi yang akan mengakibatkan proses penggorengan terjadi
pada suhu yang juga lebih tinggi.
Proses penggorengan pada kondisi vakum adalah proses yang terjadi
pada tekanan lebih rendah dari tekanan atmosfer, hingga tekanan lebih kecil
dari 0 atau kondisi hampa udara. Proses penggorengan pada tekanan yang lebih
rendah akan menyebabkan titik didih minyak goreng juga lebih rendah,
misalnya dapat mencapai 90C. Proses penggorengan yang terjadi pada suhu
yang rendah ini menyebabkan proses ini sangat sesuai digunakan untuk
menggoreng bahan pangan yang tidak tahan suhu tinggi.
Bahan pangan seperti sayuran dan buah segar, apabila digoreng pada
tekanan atmosfer akan segera mengalami kecoklatan dan gosong, teksturnya
juga

lembek

dikandungnya.

dan

liat

Sedangkan

karena
bila

tidak

banyak

digoreng dengan

melepaskan

air

yang

kondisi vakum,

suhu

penggorengan akan lebih rendah sehingga dapat dihasilkan warna hasil gorengan
yang baik, serta tekstur yang renyah.
2.3

Teknik Penggorengan Bahan Pangan


Penggorengan adalah proses perpindahan panas dan uap air secara

simultan yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air bahan
yang dipindahkan dari permukaan bahan yang digoreng dengan minyak sebagai
media panghantar panas. Tujuan penggorengan adalah mengurangi kadar air
bahan akibat dari penguapan karena pemanasan.
Sedangkan menurut Azkenazi et al (1984), menyatakan bahwa
penggorengan adalah suatu teknik pemasakan dan pengeringan melalui kontak

dengan minyak atau lemak panas yang melibatkan pindah panas dan massa secara
simultan. Pada proses penggorengan pemanasan bahan berlangsung secara cepat
dengan penetrasi jauh kedalam, sehingga penurunan nilai gizi dan kualitas
sensorisnya lebih kecil.
Menurut Lawson (1995), proses penggorengan dapat dibedakan menjadi 3
metode yaitu: griddling, pan frying, dan deep fat frying. Metode griddling dan
pan frying banyak digunakan dalam pengolahan pangan skala rumah tangga.
Metoda griddling adalah proses penggorengan dengan menggunakan griddle
(alat penggoreng dengan permukaan datar) dan minyak goreng yang sangat
sedikit, sehingga membentuk lapisan film minyak pada permukaan griddle.
Sedangkan goreng gangsa (pan frying/contact frying) adalah teknik
menggoreng dimana bahan bersentuhan langsung dengan pemanas dan hanya
dibatasi oleh selapis tipis minyak/lemak. Secara tradisional umumnya proses ini
hanya berlangsung pada satu permukaan dari bahan yang digoreng, sehingga
bahan perlu dibolak- balik agar matang secara merata. Sedangkan metode deep
fat frying

yaitu proses menggoreng dengan menggunakan pindah panas yang

langsung dari minyak yang panas kemakanan yang dingin (Lawson, 1995).
Dimana metode ini biasa digunakan dalam industri-industri makanan.
Pengertian menggoreng cenderung mengarah ke pengertian deep fat
frying, dimana seluruh bagian bahan pangan terendam dalam banyak minyak dan
seluruh bagian permukaannya mendapat perlakuan panas yang sama sehingga
berwarna seragam. Proses penggorengan ini terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama
disebut tahap pemanasan awal. Pada tahap ini pindah panas yang terjadi antara
minyak dan bahan adalah konveksi dan belum terjadi penguapan air dari bahan.
Sedangkan pada tahap kedua lapisan luar bahan pangan mulai mendidih, dan
penguapan air bahan mulai terjadi sehingga terbentuk renyahan.
Tahap ketiga (falling rate) ditandai dengan banyaknya keluar air dari
bahan pangan dengan suhu permukaan bahan diatas 100C, temperatur lapisan
core mulai mencapai titik didih dan lapisan renyahan terus terbentuk. Sedangkan
pada tahap keempat yang disebut dengan bubble end point, proses yang terjadi
yaitu laju penguapan air berkurang dan tidak ada gelembung terlihat dilapisan
permukaan bahan.

Perpindahan massa yang terjadi dalam proses penggorengan ada dua, yaitu
penguapan air dan penyerapan minyak. Bahan makanan mengalami penurunan
kadar air selama proses penggorengan dalam dua cara, pertama transfer massa air
terjadi dari dalam ke permukaan bahan kemudian menguap kelingkungan, dan
kedua perubahan massa air menjadi uap terjadi di dalam bahan.
2.4

Jenis-Jenis Penggoreng (Fryer)


Jenis-jenis penggoreng menurut FSTC (2002) antara lain :
1. Open Deep-Fat Fryer adalah jenis penggoreng yang paling umum
digunakan.
2. Pressure Dee-Fat Fryer adalah penggorengan yang berlangsung pada
tekanan lebih dari 1atm. Penggunaan tekanan dimaksudkan untuk
mengurangi resapan minyak ke dalam produk dan mengurangi kehilangan
air dari produk.
3. Vacuum Deep-Fat Fryer adalah penggorengan yang berlangsung pada
tekanan di bawah 1atm. Jenis ini digunakan untuk produk yang tidak tahan
pada suhu tinggi.
Teknologi pemanasan minyak goreng khususnya pada penggoreng

komersial pada dasarnya menggunakan pipa panas (heat pipe). Sumber panas
yang digunakan untuk memanaskan pipa pemanas antara lain :
1. Panas listrik melalui kawat pemanas
2. Panas uap yang dibangkitan lewat boiler
3. Panas gas lewat pembakaran bahan bakar gas atau minyak.
Posisi atau letak pipa panas dalam wada h penggoreng pada umumnya
terletak di dasar sehingga minyak goreng menerima panas dari bawah.
Perpindahan panas dari pipa panas ke minyak goreng berlangsung secara konveksi
natural akibat bouyancy force. Kapasitas wadah penggorengan berkisar antara 7
kg sampai 90 kg minyak goreng dengan daya listrik berkisar antara (2 27) kVA
untuk penggorengan komersial (FSTC, 2002).
2.5

Deep fat frying


Prinsip penggorengan deep fat frying, minyak, bahan pangan dan panas

adalah input proses sedangkan out putnya berupa makanan gorengan, uap air, uap
minyak, minyak jelantah dan remah- remah bahan pangan (Robertson, 1967).
Metode ini sangat penting karena prosesnya cepat, mudah dan produknya
mempunyai tekstur dan aroma yang lebih disukai.

Gambar 3. Kesetimbangan masa dan panas pada proses penggorengan secara


deep

fat frying (modifikasi Robertson, 1967)


Akibat proses penggorengan terjadi perubahan- perubahan fisik yang

bersifat spesifik yaitu (1) kenaikan suhu produk ke level yang dikehendaki, (2)
evaporasi air, (3) kenaikan suhu permukaan hingga terjadi pencoklatan dan
terbentuknya kerak, (4) perubahan di mensional bahan pangan, (5) terserapnya
minyak kedalam bahan, dan (6) perubahan densitas produk gorengan yang
menyebabkan produk timbul tenggelam selama proses berjalan (Block, 1955).
2.6

Pengaruh Penggorengan Terhadap Kerusakan Nutrisi


Oksidasi

pada

lemak

dapat

menyebabkan

terjadinya

ketengikan

(Autooksidasi). Menurut Ketaren (1986) faktor-faktor yang mempercepat oksidasi


adalah (1) radiasi oleh panas dan cahaya; (2) bahan pengoksidasi (oxidizing
agent); (3) katalis metal khususnya garam dari logam berat; (4) system oksidasi
yang diakibatkan adanya katalis organik yang labil terhadap panas. Kerusakan
akibat oksidasi pada bahan pangan yang berlemak terdiri atas dua tahap, tahapan
pertama disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen, tahapan kedua yang
merupakan kelanjutan dari tahapan pertama, yang prosesnya dapat merupakan
proses oksidasi maupun non oksidasi. Pada oksidasi ini umumnya terjadi pada
setiap jenis lemak seperti minyak goreng.

Oksidasi lemak akan bereaksi dengan komponen bukan berasal dari lemak
yaitu dengan protein. Perubahan oksidatif dari fraksi lemak adalah kecil
tergantung dari kadar asam lemak tidak jenuh pada makanan yang digoreng.
Senyawa peroksida yang mengalami dekomposisi oleh panas dalam waktu yang
lama akan mengakibatkan destruksi beberapa vitamin dalam bahan pangan yang
berlemak. Peroksida ini juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan
flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlahnya lebih besar
daro 100 maka dia bersifat racun dan tidak dapat dimakan (Ketaren, 1986).
Menurut Ketaren (1986), autooksidasi acyl -lipid ini dapat dihambat
dengan tiga cara yaitu (1) dengan meminimalkan kontak dengan oksigen, (2)
penyimpanan pada suhu rendah bebas cahaya, dan (3) dengan penggunaan
kemasan vakum atau dengan pemberian oksidasi glukosa.
2.7

Penetrometer
Penetrometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur konsistensi

suatu bahan dalam industri makanan, misalnya mentega, yogurt, jaringan sapi dan
lain-lain. Pada penelitian ini alat penetrometer digunakan untuk mengukur
konsistensi bahan. Bahan yang dipilih adalah hidrogel polyvinylalcohol (PVA).
Selain itu nilai ADC dari MRI akan dihitung dan dicari korelasi 2 antara hasil
penetrometerdengan nilai ADC dari MRI untuk mengetahui hubungan keduanya.

BAB III
METODOLOGI PENGAMATAN DAN PENGUKURAN
3.1

Alat dan Bahan

3.1.1

Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:
1. Deep fat fryer atau panci penggorengan rendam untuk menggoreng
bahan praktikum.
2. Thermokopel untuk memonitor suhu selama penggorengan deep frying.
3. Penetrometer kerucut sebagai alat untuk mengukur kekerasan kentang
goreng dan nugget.
4. Kertas tisu sebagai alas untuk bahan praktikum.
5. Pisau digunakan untuk memotong bahan praktikum.
6. Piring sterofoam sebagai wadah untuk kentang goreng dan nugget.

3.1.2

Bahan
Bahan yang dipakai dalam praktikum ini adalah:
1. Kentang French Fries
2. Nugget
3. Minyakgoreng

3.2

Prosedur Percobaan
Prosedur percobaan kali ini adalah:

1.

Pengukuran perubahan kekerasan sampel selama penggorengan.


a. Menyiapkan sampel bahan pangan berupa kentang dan nugget mentah
sebanyak 2 (ulangan suhu) x 6 (waktu) = 12 (sampel tiap menggoreng),
10 sampel digoreng dan 2 sampel tidak digoreng sebagai tawal sama dengan
nol untuk setiap sampel bahan pangan.
b. Menyiapkan

penggorengan

berisi

minyak

goreng

kemudian

memanaskannya hingga mencapai suhu konstan (180oC). Suhu panas


diukur dengan thermokopel.

c. Menyiapkan dua belas sampel dalam saringan kawat kemudian


mencelupkan dalam minyak yang telah panas secukupnya dengan variasi
lama pemanasan 0,1,2,3,4,5,6,7 menit.
d. Mengukur kekerasan dengan penetrometer kerucut untuk 6 buah sampel
dengan lama waktu penggorengan yang berbeda-beda.
2.

Pengukuran pengaruh suhu pada laju perubahan kekerasan.


a. Melakukan hal yang sama seperti langkah nomor 1 dengan minyak pada
suhu 180oC dan 160oC.
b. Melakukan pengamatan yang sama seperti langkah nomor 1 dengan lama
penggorengan yang sama.
c. Membandingkan hasil pengamatan bahan pangan antara kentang dan
nugget pada suhu 180oC dan 160oC.

3.

Uji sensori kematangan sampel


a. Menyiapkan sampel hasil penggorengan dari setiap lama penggorengan.
Mengambil satu sampel oleh salah satu praktikan dari setiap perlakuan,
kemudian mencicipi sampel tersebut dengan cara mencicipi untuk
menentukan

tingkat

kematangannya,

cukup

mengunyah

tidak

menelannya. Menghubungkan tingkat skor kematangan dan kekerasan


hasil cicip dengan hasil pengukuran penetrometer kerucut.

BAB IV
HASIL PERCOBAAN

Tabel 1.Uji Tekan Penggorengan Nugget pada Suhu 160o C


Uji Tekan
(kg.f)

No

t (menit)

T (oC)

0,35

0,5

0,425

144,4

0,45

0,4

0,425

146,6

0,45

0,45

0,45

150,6

0,4

0,4

0,4

157,9

0,45

0,5

0,475

Rata-rata

Gambar

162,3

0,5

0,45

0,475

159,6

0,55

0,95

0,75

163,7

0,8

0,9

Tabel 2.Uji Sensori Penggorengan Nugget pada Suhu 160o C

No

Sampe
l

Perubahan
Warna

Tingkat
Kematangan

Tingkat
Kekerasan

Ratarata

Ket.

Skor

Ket.

Skor

Ket.

Skor

PAK

L7

2,67

PAK

2,67

PAK

2,67

PAK

AMe

AL

2,67

PAK

AMe

AL

2,67

PAK

AMe

AL

2,67

CM

AK

3,67

CM

AM

AK

3,67

CM

AK

3,67

CM

AK

3,67

CM

AK

3,67

CM

AK

3,67

CT

3,67

CT

3,67

CT

3,67

CT

3,67

CT

3,67

CT

3,67

Keterangan:
Perubahan Warna:

Tingkat Kematangan:

1. Putih (P)

1. Mentah (M)

2. Putih Agak Kuning


(PAK)
3. Kuning (K)

2. Agak Mentah
(AMe)
3. Sedang (S)
4. Agak Matang
(AMa)
5. Matang (M)

4. Coklat Muda (CM)


5. Coklat Tua (CT)

Tingkat Kekerasan:
1.Sangat Keras
(SK)
2.Agak Keras
(AK)
3.Sedang (S)
4.Agak Lunak
(AL)
5. Lunak ( L)

1
0.9

3.5

0.8

0.7

2.5

0.6

Rata-rata Uji Sensori

0.5 Rata-rata uji Tekan


0.4
Rata-rata
uji Tekan

Rata-rata Uji1.5
Sensori

0.3

0.2

0.5

0.1

0
0
0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu (t)

Gambar 1. Grafik Penggorengan Nugget Suhu 160oC

Tabel 3. Hasil Pengamatan Uji Tekan Nugget 180oC


No. t (menit)
ToC
Uji Tekan (kgf)
1

25

Rata-rata
Uji Tekan

1. 0,5
0,5
2. 0,5

172

1. 0,2
0,25
2. 0,3

155

1. 0,3
0,35
2. 0,4

147,9

1. 0,5
0,6
2. 0,7

143,6

1. 0,7

Gambar
(foto)

0,6

2. 0,5

151,7

1. 1
0,75
2. 0,5

155,5

1. 0,5
0,65
2. 0,8

154,5

1. 1
0,6
2. 0,8

Tabel 4. Hasil Pengamatan Uji Sensori pada Nugget T = 160oC


No

Sampe
l

Perubahan Warna

Tingkat

Tingkat

Rerat

kekerasan
Ket.
Skor

Ket.

Kematangan
Ket.
Skor
Mentah

Lunak

Putih

Sko
r
1

Putih

Mentah

Lunak

Putih

Mentah

Lunak

Putih
kekuningan

Sedang

Sedang

Putih
kekuningan

Sedang

Sedang

Putih
kekuningan

Sedang

Sedang

2.667

Putih
kekuningan

Agak

Sedang

2.556

Putih
kekuningan

mentah
Agak

Agak

Putih

mentah
Agak

lunak
Sedang

2
3

2.333

kekuningan
4

Putih
kekuningan

Agak

Sedang

lunak
Sedang

Kuning

Kuning

Sedang

Sedang

Kuning

Sedang

Agak

Kuning

Sedang

lunak
Sedang

Kuning

Agak

Agak

matang
Agak

lunak
Sedang

matang
Sedang

Agak

2
2

1
2

Kuning

Kuning

Sedang

Coklat muda

Agak

keras
Agak

matang
Agak

keras
Sedang

matang
Agak

Agak

lunak
Agak

lunak
Agak

keras
Sedang

3
8

Kuning

Sedang

keras
Agak

mentah

Coklat muda
Coklat muda

Kuning

matang
Agak

Kuning

matang
Matang

Kuning

Matang

Rata
Rata-rata
- rata Uji Sensori

Uji
Sens
ori

Waktu (t)

Gambar 2. Grafik Penggorengan Nugget suhu 160C

3.000

3.333

2.889

3.778

3.556

Tabel 5. Data Hasil Pengamatan Uji Tekan Kentang Suhu 180oC


t

Uji Tekan (kg

Rata-Rata Uji

(menit)

(oC)

F)

Tekan

1. 0.1

0.1

2. 0.1
1. 0.1
1

181.6

2. 0.1

0.2

1. 0.1
2

164.8

2. 0.1

0.2

1. 0.1
3

159.1

2. 0.1

0.3

1. 0.1
4

154.8

2. 0.1

0.4

1. 0.1
5

158.6

2. 0.1

0.4

1. 0.1
6

168.1

167.1

2. 0.1
1. 0.1
2. 0.1

0.35
0.35

Gambar

Tabel 6. Hasil Pengamatan Uji Sensori Kentang Suhu 180oC


Meni

Sampe

Perubahan

Tingkat

Tingkat

Rata

Warna

Kematangan

Kekerasan

Rata-

Sko

Rata

Rata

Skor

Ket

Sko
r

Ket

Sko
r

Agak
0

Putih

menta

h
Agak
1

Putih

menta

h
Agak
1

Putih

menta

h
Agak
3

Putih

menta

h
1

Putih
kuning
Putih
kuning

Sedan
g

Agak
2

menta

h
Agak

Putih

menta

h
3

Kunin

Sedan

Ket

Agak
keras

Agak
keras

Agak
keras

Agak
keras
Agak
keras
Agak
keras

Agak
keras
Sedan

1.66
7

1.66
7

1.667

1.66
7
2.33
3

1.66
7
3

2.776

g
2

3
7

1
2

Kunin
g
Putih
kuning
Coklat
muda

Kunin
g
Kunin
g
Coklat
muda
Coklat
muda
Kunin
g
Coklat
tua
Coklat
tua
Coklat
muda
Coklat
muda
Coklat

g
3

Sedan
g
Sedan
g

g
3

Agak
4

matan

g
Agak
3

matan

g
3

Sedan
g
Matan
g
Matan
g

Agak
3

matan

g
5

4
4

Matan
g
Matan
g
Matan
g
Matan
g
Matan

Sedan
g
Agak
keras
Agak
keras

Agak
lunak
Agak
lunak
Agak
lunak
Agak
lunak
Agak
lunak

3
2.33
3
3.33
3

3.66
7

3
4.33
3
4.33
3

Lunak

Lunak

lunak
Agak

4
4

4.111

3.66

Lunak

Agak

3.33

3.444

4.889

4.66
7
4.33
3
4.33

4.444

muda
Coklat

muda

lunak

Matan

Lunak

3
5

4.66
7

0.45

0.4

0.35

0.3
0.25

Rata-rata Uji Sensori 3

0.2

Rata-rata Uji Sensori

Rata-rata uji Tekan

Rata-rata uji Tekan

0.15
0.1

0.05

0
0
0 1 2 3 4 5 6 7
Waktu (t)

Gambar 3. Grafik Penggorengan Kentang suhu 180C

Tabel 7. Hasil Pengamatan Uji Tekan Kentang Suhu 160 C


N
o

t
(menit
)

T
(C)

160
0

Uji Tekan
kg.f
0,1

0,15

0,2

0,2
158
1

Rata-rata uji
tekan

0,25
0,3

156

0,3

0,35

Gambar

0,4

0,2
150
3

0,125
0,15

0,15
147,
4
4

0,3

0,15

0,15
142,
9
5

0,3
0,15

0,2
140
6

0,125
0,15

0,05
138
7

0,1
0,15

Tabel 8. Hasil Pengamatan Uji Sensori Kentang Suhu 160 C

N
o

Samp
el

Perubahan
Warna

Tingkat
kematangan

Tingkat
Kekerasan

Keteranga
n

Sko
r

Keteranga
n

Sko
r

Keteranga
n

Sko
r

Putih

Mentah

Lunak

Ratarata
Skor
2,3

Putih

Mentah

Lunak

2,3

Putih

Mentah

Lunak

2,3

Putih

Agak
mentah

Agak
lunak

2,3

Putih

Agak
mentah

Agak
lunak

2,3

Putih

Agak
mentah

Agak
lunak

2,3

Putih agak
kuning

Agak
mentah

Agak
lunak

2,67

Putih agak
kuning

Agak
mentah

Agak
lunak

2,67

Putih agak
kuning

Agak
mentah

Agak
lunak

2,67

Kuning

Sedang

Sedang

Kuning

Sedang

Sedang

Kuning

Sedang

Sedang

Kuning

Sedang

Sedang

Kuning

Sedang

Sedang

Kuning

Sedang

Sedang

Coklat
muda

Agak
matang

Agak keras

Coklat
muda

Agak
matang

Agak keras

Coklat
muda

Agak
matang

Agak keras

Coklat
muda

Matang

Agak keras

Coklat
muda

Matang

Agak keras

Coklat

Matang

Agak keras

muda
8

Coklat tua

Matang

Agak keras

Coklat tua

Matang

Agak keras

Coklat tua

Matang

Agak keras

Grafik Uji Tekan dan Uji Sensoris Kentang Suhu 160C


Waktu
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
Uji Tekan
0.15
0.1
0.05
0

3.5
3
2.5

Uji Sensoris

Uji Tekan

1.5 Uji Sensoris


1
0.5
0
01234567

Gambar 4. Grafik Penggorengan Kentang Suhu 160oC

BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum yang dilaksanakan saat ini, praktikan melakukan
penggorengan pada suatu produk dengan menggunakan alat penggoreng berupa
deep fat fryer. Deep fat fryer menggunakan minyak goreng yang banyak dalam
penggorengannya. Bahan yang digoreng yaitu nugget dan kentang pada suhu
180C dan suhu 160C. Bahan yang digoreng ini dapat diketahui tingkat
kekerasannya saat mencapai waktu dan suhu tertentu. Selain kekerasan, bahan

yang digoreng ini umumnya mengalami perubahan warna karena adanya reaksi
kimia dan panas pada bahan tersebut.
Dari pengamatan kelompok praktikum, diperoleh empat buah data yaitu
penggorengan pada nugget dengan suhu masing-masing 160C dan 180C dan
penggorengan pada kentang dengan suhu 160C dan 180C. Pada data
penggorengan nugget dengan suhu 160C diperoleh 35 buah sampel dengan
masing-masing dibagi menjadi tujuh menit pengukuran. Dari data kelompok ini,
pada nugget yang belum digoreng, warnanya yaitu putih agak kuning dengan
tingkat kekerasan lunak dan tingkat kematangannya masih mentah. Lalu, nugget
yang sudah digoreng 1 menit memiliki warna yang sama, namun tingkat
kematangannya masih agak mentah dan tingkat kekerasannya agak lunak. Pada
penggorengan pada 1 menit pertama ini tingkat kekerasannya meningkat diikuti
tingkat kematangan yang meningkat juga. Pada menit ke-2 dan ke-3 memiliki
warna yang sama yaitu kuning dengan tingkat kematangan dan tingkat kekerasan
sedang. Sedangkan menit ke-4 hingga ke-5 warna nugget menjadi coklat muda
dengan tingkat kekerasan agak keras dan tingkat kematangannya sudah matang.
Pada menit ke-6 dan ke -7 warna nugget menjadi lebih pekat, yaitu coklat tua
dengan tingkat kematangan matang dan kekerasannya sudah keras. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin lama bahan digoreng, tingkat kematangan, dan
tingkat kekerasan semakin tinggi ,dan warna bahan semakin pekat.
Menurut data yang lain, sebagai contoh data penggorengan kentang pada
suhu 160C. Pada kentang yang belum digoreng, warnanya masih putih dengan
tingkat kematangan mentah dan tingkat kekerasannya agak lunak. Pada
penggorengan menit 1 dan ke-2 , tingkat kekerasannya agak lunak dan tingkat
kematangan kentang agak mentah. Namun dari segi warna, kentang yang digoreng
di menit pertama masih berwarna putih, sedangkan kentang yang digoreng di
menit ke-2 berwarna putih agak kuning. Pada penggorengan menit ke-3 dan ke-4
sama, yaitu warna kentang yang sudah kuning dan tingkat kekerasan maupun
tingkat kematangannya sedang. Pada menit ke-5 dan ke-6 warna kentang menjadi
coklat muda dan tingkat kematangan agak matang dan matang, tingkat
kekerasannya agak keras. Sedangkan pada menit ke-7 , warna kentang menjadi
coklat tua dengan tingkat kekerasan agak keras dan tingkat kematangan sudah

mencapai matang. Dari kedua perbandingan ini, dimana penggorengan pada suhu
yang berbeda dan bahan yang berbeda diperoleh hasil penggorengan yang berbeda
juga, dimana selama 7 menit penggorengan nugget pada suhu 180C mencapai
matang dan keras, sedangkan kentang yang digoreng 7 menit pada suhu 160 C
tingkat kekerasannya masih agak keras. Dengan demikian, besar kecilnya suhu
juga berpengaruh pada cepat matang tidaknya suatu bahan.
Pada proses penggorengan, diharapkan suatu produk memiliki tingkat
kematangan yang matang dan tingkat kekerasan yang tidak terlalu keras serta
warna yang tidak terlalu pekat. Oleh sebab itu dilakukan uji tekan dan uji sensori.
Pada uji tekan produk nugget dan kentang yang digoreng pada suhu masingmasing 180C dan 160C ini umumnya meningkat seiring dengan lamanya
penggorengan. Adapun menurut data, uji tekan nugget pada suhu 180C di menit
ke-5 dan ke-6 menurun dari 0.75 kg.f menjadi 0.65 kg.f, hal ini disebabkan karena
kesalahan atau ketidaktelitian dalam pengukuran. Pada data penggorengan nugget
ini, diperoleh uji tekan rata-rata 0.5 kg.f, 0.25 kg.f, 0.35 kg.f, 0.6 kg.f, 0.6 kg.f,
0.75 kg.f, 0.65 kg.f, dan 0.6 kg.f. Melalui pengamatan yang dilakukan praktikan,
waktu dan suhu sangat berpengaruh pada proses penggorengan. Semakin besar
suhu dalam penggorengan, maka waktu yang dibutuhkan agar produk menjadi
matang semakin lebih cepat. Apabila penggorengan dilakukan pada suhu rendah,
maka waktu yang dibutuhkan haruslah lebih lama agar produk tersebut mencapai
tingkat kematangan yang baik.
Penggorengan menggunakan metode deep fat frying ini memiliki beberapa
kelebihan dan kekurangan. Keuntungan dari penggunaan deep fat frying antara
lain metode pemasakan yang cepat, mudah, menghasilkan tekstur ynag menarik
dan renyah serta menghasilkan warna yang bagus. Sedangkan kekurangan dari
metode deep fat frying adalah lebih berbahaya dari metode penggorengan lainnya
jika tidak ditangani secara benar, minyak yang digunakan dalam jumlah besar
sehingga biayanya lebih tinggi.
Dalam penggorengan menggunakan metode deep fat frying, minyak yang
digunakan berupa minyak padat atau semi cair. Minyak goreng padat ini biasanya
dipakai pada restoran atau makanan cepat saji. Pengaruh penggunaan minyak
goreng padat ini dapat dilihat dari hasil gorengan yang lebih kering, tidak

berminyak dan lebih gurih, tidak ada endapan atau jelantah, titik didih lebih tinggi
220 C dibandingkan minyak biasa yang titik didihnya hanya 180 C, itu berarti
minyak goreng biasa yang dipakai dalam jangka waktuyang lama lebih mudah
menguap.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari praktikum ini adalah :
1. Waktu dan suhu berpengaruh pada lama dan matangnya suatu
penggorengan.
2. Semakin lama waktu yang digunakan dalam menggoreng, maka produk
akan dapat mencapai tingkat kematangannya.

3. Semakin besar suhu yang dipakai untuk menggoreng, kematangan produk


dan tingkat kekerasan akan semakin tinggi.
4. Suatu produk yang digoreng akan mengalami perubahan warna menjadi
lebih pekat.
5. Metode penggorengan deep fat frying menggunakan minyak padat dalam
proses penggorengannya.
6. Pengaruh penggunaan minyak goreng padat idapat dilihat dari hasil
gorengan yang lebih kering, tidak berminyak dan lebih gurih, tidak ada
endapan atau jelantah, titik didih lebih tinggi 220 C.
6.2

Saran
Saran-saran yang dapat diberikan pada praktikum ini adalah :
1. Praktikan sebaiknya memahami materi yang akan dipraktikumkan terlebih
dahulu.
2. Praktikan sebaiknya teliti dalam mengukur uji tekan dan uji sensori agar
data yang diperoleh lebih akurat.
3. Sebaiknya dalam kelompok dibagi tugas tiap individu dalam praktikum
agar berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Apriyanto, Mulono. 2003. Chemistry of Frying Oils. Tesis. Program Studi Teknik
Pertanian. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada: Jogjakarta
Ayu Dewi Sartika, Ratu. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep
Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Makara, Sains, Vol.
13, No. 1, April 2009: 23-28
Blumenthal, M.M. and Stier, R.F. 1991. Optimization of deep fat frying
operations. Trend Food Sci.

Fellows, P. 1990. Food Processing Technology: Principles and Practise. New


York: Ellis Horwood Limited.

Krokida, M.K., Oreopoulou,V., Maroulis, Z.B., and Marinos-Kouris, D.


2001. Colour changes during deep fat frying. Journal of Food
Engineering, 48, 219-225.
Lastriyanto, A. 1998. Sistem peng-gorengan hampa dengan water jet. Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Perkins, E.G. Lipid oxidation of deep fat frying, in Food Lipids and
Health,McDonald, R.E. andMin, D.B.,Eds., Dekker, New York, 1996, p.
139.

Rossell, J. B. 2001. Frying. Woodhead Publishing Limited, Abington Hall,


Abington, Cambridge, England.

Anda mungkin juga menyukai