Anda di halaman 1dari 3

KASUS AKBAR MULYA, CERMIN UNTUK BISNIS APOTEK !

Membaca berita di salah satu harian ibukota, ada berita menarik yang membuat antene di
kepala berdenyut (bip..bip..bip..bip..!!!). Ada apa sih memangnya ? Oke, berikut ini
kutipan beritanya :
Indera pendengaran Akbar Mulya, karyawan perusahaan
swasta di bilangan Jakarta Pusat, masih belum normal meski
sudah berobat ke dokter spesialis di sebuah rumah sakit
swasta. Setidaknya ada tiga jenis obat antivirus yang harus
ditebus dengan kocek sekitar 260 ribu rupiah untuk tiga jenis.
Obat-obat tersebut memang cukup ampuh untuk meredakan
rasa nyeri di telinganya. Tapi selang tiga hari setelah semua
obat habis, rasa nyeri di telinganya kembali kambuh. Karena
masalah keuangan, dia memutuskan untuk pergi ke sebuah
rumah sakit pemerintah dengan harapan biaya pengobatan
akan lebih murah. Obat infeksi telinga yang harus ditebus di
apotek tertera keterangan obat generik, sebuah obat yang
lekat untuk golongan ekonomi menengah ke bawah. Untuk dua
jenis obat ditebus tidak sampai 50 ribu rupiah. Ternyata Akbar
merasakan khasiat yang sama ampuhnya dengan resep dokter
yang pernah diberikan di rumah sakit swasta. Saya tidak
habis pikir, harga obat untuk penyakit yang sama, tapi
perbedaannya sangat jauh, katanya.
Bloggers, pharmapreneur, pebisnis apotek dan pelanggan warung BISNIS APOTEK
sekalianitulah sekelumit kutipan dari berita salah satu koran ibukota pada hari Sabtu,
20 November 2010. Kenapa juga antene saya berdenyut bipbipbip membaca berita
ini ? Jika disimak dengan seksama, ada beberapa fenomena berikut yang layak untuk
direnungkan :
1. Pasien / customer semakin kritis
2. Pasien / customer leluasa mencari pembanding
3. Pasien / customer lebih rasional
4. Pasien / customer lebih membeli benefit (manfaat) daripada produk.
Minimal empat hal ini yang dapat disimpulkan dari fenomena seorang Akbar Mulya pada
kutipan berita tersebut.
PERILAKU KONSUMEN (PASIEN)
Fenomena Akbar Mulya ini sebenarnya tak lepas dari teori ekonomi manajemen klasik
yang membedah masalah perilaku konsumen (customer behaviour). Setidaknya ada
empat teori yang diutarakan dalam memahami perilaku konsumen (customer behaviour)
dalam hal keputusan pembelian, yakni :
a. Complex Decision Making
Pengambilan keputusan pro aktif yang didasarkan atas informasi, pertimbangan,
dan evaluasi pada suatu layanan atau produk.

b. Brand Loyalty
Pengambilan keputusan muncul akibat dari kepuasan yang diperoleh dari
penggunaan produk atau pelayanan yang didapat di masa lampau.
c. Limited Decision Making
Pengambilan keputusan yang tidak melibatkan informasi, pertimbangan dan
evaluasi secara maksimal, karena tujuannya hanya sekadar coba coba.
Keputusan model ini biasanya terjadi secara tiba tiba, dan pelanggan akan
mudah beralih ke produk / layanan lain jika ia sudah bosan.
d. Inertia
Pengambilan keputusan yang dilakukan karena dalam kondisi terburu buru
ataupun adanya hambatan untuk mencari alternatif lain.
Bloggers, pharmapreneur, pebisnis apotek dan pelanggan warung BISNIS APOTEK,
coba renungkanSeorang Akbar Mulya ini, setelah mendapatkan manfaat yang sama
(atau bahkan lebih !) dari hasil periksa di rumah sakit pemerintah dan konsumsi obat
generik yang ditebus di apotek, maka ia akan mengalami pergeseran perilaku kepada
brand loyalty terhadap obat generik dan complex decision making ketika akan
memeriksakan kesehatannya di rumah sakit swasta dan penebusan resep dokter.
FENOMENA NETIZEN
Istilah NETIZEN muncul sekitar tahun 1992, Michael Houban dialah yang
mempopulerkan istilah tersebut. NETIZEN merupakan sebutan bagi mereka, para
personality yang selama 24 jam senantiasa terkoneksi di dunia online teknologi internet
(mobile / statis). Lahapa hubungannya NETIZEN dengan kasus Akbar Mulya tadi ?
Hubungan mereka baik baik saja (he..he..he..) ! Hubungan antar keduanya adalah
adanya perubahan gaya hidup dan perilaku sosialnya. Adanya gadget (bloggers,
pharmapreneur, pebisnis apotek & pelanggan warung ada yang bingung istilah ini, coba
bajunya dibalik ! xixixi) yang mereka bawa sehari hari dan layanan media sosial yang
telah banyak muncul seperti : facebook, twitter, & web ini adalah media sihir tanpa
dukun dan tanpa mantra yang mampu mempengaruhi dan membentuk opini jutaan orang.
Netizen Indonesia 2010: Attitude and Behavior sebuah riset yang melibatkan 1500
responden dan tersebar di seluruh Indonesia menemukan sembilan tipe NETIZEN di
Indonesia, yakni : netterrorist, netpublisher, netadvocate, netstriver, networker, netjunkie,
netavoider, netcrawler dan netrookie. (Balita termasuk NETIZER bagi maminya, karena
mereka sering nettek -menyusui, red.-, hehehe..).
Nah, balik ke kasus Akbar Mulya tadiApa jadinya jika seorang Akbar Mulya ini adalah
seorang netterorist ? Bukankah si dokter yang di rumah sakit swasta tersebut akan
tercoreng moreng akibat teror media darinya. Apa jadinya juga jika ia adalah seorang
netpublisher ? Walaupun ini sudah terjadi melalui salah satu harian ibukota, namun ia
masih berbaik hati hanya dengan menyebut rumah sakit swasta, bukan rumah sakit
anu. Btw, masih ingat kan kasus Prita Mulyasari & koinnya ?. Betapa akan jatuh brand
rumah sakit swasta tersebut bila disebutkan secara eksplisit nama yang sebenarnya. Lebih
parah lagi, jika ternyata ada medication errors dan masuk campur tangan netadvocates,
aduuuuuhga kebayang deh. Pasti ujung ujungnya pengadilan, kalau masalah pajak

sih lumayanreplicate si Gayus yang didakwa cukong perkara masih agak bebas
berkeliaran (hehehewig-nya, kagak nahan cuiy!).
BISNIS APOTEK : MAU GAYA GROSIR ATAU BANK ?
Melihat fenomena si Akbar Mulya ini, maka selayaknya pharmapreneur & pebisnis
apotek perlu melakukan instropeksi terhadap bisnisnya. Apakah bisnis apoteknya akan
didorong dengan gaya ala grosir ? Yang penting jual cepat, putaran produknya kencang
dan laba gede ! Atau mungkin malah akan putar haluan 180o dengan memakai gaya ala
bank ? Berbasis pelayanan yang mengacu pada kepuasan customer jangka panjang,
dengan daya inovasi dan kreatifitas produk tingkat tinggi.
Untuk memilih gaya manakah yang akan dipilih, sejenak akan kita tinjau terlebih dulu
tentang bisnis apotek ini. Bisnis apotek merupakan bisnis yang unik, karena ia
memadukan dua unsur yang kontras, yakni unsur bisnis yang bersifat profit, dan unsur
pelayanan terapi obat yang bersifat sosial. Hakikat pembelian obat oleh customer / pasien
bukan karena produk obat tersebut akan dikonsumsi secara rutin layaknya barang
barang consumer good. Namun dengan konsumsi yang seminimal mungkin akan
memberikan dampak terhadap kesehatan pasien. Inilah harapan mendasar kenapa pasien
membeli produk produk apotek. Jika demikian, maka ukuran yang pantas bagi
kelangsungan bisnis apotek adalah bagaimana agar pasien mempercayakan masalah obat
dan kebutuhan kesehatannya pada bisnis apotek kita, bukan sekadar penjualan sebanyak
banyaknya layaknya grosir. Jika hanya mengandalkan gaya ritail, maka akar bisnis apotek
yang sedang berdiri sebenarnya masih rapuh. Karena ia tidak memiliki base customer
care yang kokoh (selain cuma faktor harga), dan base customer satisfaction (lagi lagi
selain faktor harga). Akan parah lagi jika ternyata customer / pasien ini adalah seorang
NETIZEN, wuaaaaa.!!!!

Anda mungkin juga menyukai