Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH


MODUL V
ANALISA MORFOLOGI DASAR LAUT MENGGUNAKAN
DATA BATHIMETRI BERBASIS RASTER

Oleh :
IRMA KUSUMADEWI
K2D 009 047
SHIFT 3/KELOMPOK 7

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Penginderaan jauh sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang baru

semakin berkembang. Hal ini akan membantu kita untuk mencapai hasil nyata
yang lebih baik lagi baik dalam teknologi maupun Informasi yang diperoleh.
Dengan demikian perlu adanya peningkatan pemanfaatan dan pengetahuan kita
tentang penginderaan jauh.
Seiring perkembangan yang ada, Citra Landsat maupun Digital Elevation
Model (DEM) dapat kita gunakan untuk mengetahui analisa batimetri pada suatu
tempat. Batimetri adalah kesamaan topografi namun untuk lokasi di bawah laut
atau air. Peta batimetri memberi informasi mengenai kedalaman kontour pasir,
bebatuan, tanah dan sejenisnya yang ada di dasar laut atau air seperti danau
dan

sungai.

Peta

batimetri

berguna

untuk

informasi

navigasi

(www.sinarharapan.com).
Survei dan pemetaan batimetri menjadi sangat penting kaitannya dengan
masalah perbatasan maritim baik melalui survey titik dasar untuk menentukan
garis pangkal, survei batimetri untuk mengetahui kondisi topografi dasar laut di
perbatasan, dan survei batimetri untuk menentukan batas landas kontinen yang
lebih dari 200 mil sesuai dengan UNCLOS (www.forek.com)

1.2. Tujuan praktikum


Setelah melaksanakan praktikum ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menganalisa morfologi dasar laut menggunakan data bathimetri berbasis
raster.
2. Melakukan teknik color dropping.
3. Melakukan ekstraksi garis bathimetri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Peta Bathimetri
Peta batimetri adalah peta kedalaman laut yang dinyatakan dalam angka

kedalaman atau kontur kedalaman yang diukur terhadap datum vertical


(www.202.78.199.61.com).
Batimetri adalah kesamaan topografi namun untuk lokasi di bawah laut
atau air. Peta batimetri memberi informasi mengenai kedalaman kontour pasir,
bebatuan, tanah dan sejenisnya yang ada di dasar laut atau air seperti danau
dan

sungai.

Peta

batimetri

berguna

untuk

informasi

navigasi

(www.sinarharapan.com).
Menurut Davis (1974), peta batimetri adalah peta kedalaman laut yang
dinyatakan dalam angka kedalaman atau kontur kedalaman yang diukur
terhadap datum vertikal. Peta batimetri disajikan dalam proyeksi Mercator,
Spheroida WGS 84 dengan klasifikasi terbatas. Informasi utama yang disajikan
berupa kedalaman laut (topografi dasar laut) juga tanda-tanda (benda-benda) di
darat, pelampung-pelampung, lampu-lampu suar sesuai dengan standar
imternasional (www.forek.com).
Survei dan pemetaan batimetri menjadi sangat penting kaitannya dengan
masalah perbatasan maritim baik melalui survey titik dasar untuk menentukan
garis pangkal, survei batimetri untuk mengetahui kondisi topografi dasar laut di
perbatasan, dan survei batimetri untuk menentukan batas landas kontinen yang
lebih dari 200 mil sesuai dengan UNCLOS (www.forek.com).
Peta batimetri disajikan dalam proyeksi Mercator, Spheroida WGS 84
bersekala 1 : 250.000 dengan klasifikasi terbatas. Informasi utama yang disajikan
berupa kedalaman laut (topografi dasar laut) juga tanda-tanda (benda-benda) di
darat, pelampung-pelampung, lampu-lampu suar sesuai dengan standar
internasional. Peta ini dapat digunakan untuk bernavigasi selain kegunaan utama
untuk kepentingan ilmiah. Peta bawah air dengan sekala 1 : 250.000 pada

hakekatnya hampir sama dengan peta batimetri dengan beberapa klasifikasi,


karena

selain

data

kedalaman

laut

juga

terdapat

data

(http://tni.mil.ad/bathymetri.php3).

2.2.

Kontur
Kontur adalah garis khayal untuk menggambarkan semua titik yang

mempunyai ketinggian yang sama di atas atau di bawah permukaan datum


tertentu yang disebut permukaan laut rata-rata. Kontur digambarkan dengan
interval vertikal yang reguler. Interval kontur adalah jarak vertikal antara 2 (dua)
garis ketinggian yang ditentukan berdasarkan skalanya. Besarnya interval kontur
sesuai dengan skala peta dan keadaan di muka bumi. Interval kontur selalu
dinyatakan secara jelas di bagian bawah tengah di atas skala grafis.

Tabel 1. Interval dan Indeks Kontur

Kontur biasanya digambar dalam bentuk garis-garis utuh yang kontinyu


(biasanya berwarna cokelat atau oranye). Setiap kontur keempat atau kelima
(tergantung pada intervalnya) dibuatlah indeks, dan digambarkan dengan garis
yang lebih tebal. Kontur indeks dimaksudkan untuk membantu pembacaan
kontur dan menghitung kontur untuk menentukan tinggi. Angka (ketinggian)
kontur diletakkan pada bagian kontur yang diputus, dan diurutkan sedemikian
rupa agar terbaca searah dengan kemiringan ke arah atas (lebih tinggi). Pada
daerah datar yang jarak horisontalnya lebih dari 40 mm sesuai skala peta dibuat
garis kontur bantu. Kontur bantu ini sangat berarti terutama jika ada gundukan
kecil pada daerah yang datar. Kontur bantu digambar pada peta berupa garis
putus-putus

untuk

membedakan

(www.membaca_peta_kontur.com).

dengan

kontur

standar

2.3.

Beda Peta Bathimetri Dan Peta Topografi


Peta topografi adalah peta yang memiliki informasi tentang ketinggian

permukaan tanah pada suatu tempat terhadap permukaan laut, yang


digambarkan dengan garis-garis kontur. Informasi topografi yang terdapat pada
peta topografi dapat digunakan untuk membuat model tiga dimensi dari
permukaan tanah pada peta tersebut. Dengan model tiga dimensi maka objek
pada peta dilihat lebih hidup seperti pada keadaan sesungguhnya di alam,
sehingga untuk menganalisa suatu peta topografi dapat lebih mudah dilakukan
(www.petra.ac.id).
2.4.

DEM ( Digital Elevasi Model )


Pemanfaatan data Citra Landsat dan Digital Elevation Model (DEM)

dipadukan dengan data lapangan, pada intinya dapat memberikan kemudahan,


efisien dan akurat dalam pembuatan peta-peta tematik baik sebagai parameter
pembatas maupun parameter penimbang dalam analisis arahan penataan lahan
usaha tambang.

Demikian pula dalam proses analisis morfometrik dapat

memasukkan analisis tiga dimensi (3D) sehingga visualisasi hasil kajian lebih
nyata.
Kajian kemampuan sensor ASTER dan SPOT-5 yang dilakukan berkaitan
dengan pembuatan informasi ketinggian DEM (Digital Elevation Model)
menggunakan data stereo satelit ASTER, selanjutnya data DEM yang diperoleh
akan digunakan untuk mengkaji proses orthorektifikasi (koreksi terhadap citra
karena perbedaan ketinggian permukaan bumi) dan juga membuat tampilan citra
3D dan animasi. Hasil dari kajian terhadap model pembuatan dan pengolahan
data DEM ini akan memberikan informasi yang sangat bermanfaat pada kegiatan
selanjutnya dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir, seperti:
informasi DEM dapat digunakan untuk penyusunan tata ruang wilayah pesisir,
dan sebagai parameter penentu untuk daerah rawan bencana (Vulnerability
Assessment) dan lain-lain. Kegiatan berikutnya adalah melakukan kajian tingkat
akurasi dari sensor ASTER dan SPOT untuk proses ekstraksi secara digital garis
batas wilayah air dan darat (garis sungai atau garis pantai), di mana pada
kegiatan ini dilakukan pembuatan data fusi (citra MS dan Pan) dan pengkajian
tingkat akurasi dan error dari hasil yang diperoleh dengan menggunakan citra
IKONOS. Pembuatan tampilan komposit natural color untuk citra SPOT dikaji

karena SPOT memiliki karakter panjang gelombang yang berbeda dengan satelit
resolusi sangat tinggi lainnya (seperti IKONOS) sehingga tidak dapat
menampilkan citra sebaik tampilan IKONOS.

Kegiatan-kegiatan tersebut

dilakukan dengan tujuan menghasilkan tingkat akurasi dari proses pemisahan


secara digital wilayah air dan darat (garis sungai dan garis pantai) yang
merupakan salah satu parameter yang penting dalam pengelolaan wilayah
pesisir. Dan diperolehnya tampilan kenampakan natural colour data SPOT yang
sangat

berguna

untuk

monitoring

tutupan

lahan

di

wilayah

pesisir

(www.lapanrs.com).

2.5.

Colour Dropping
Penajaman citra yang akan dijelaskan menggunakan citra Landsat7. Citra

Landsat7 adalah data citra penginderaan jauh yang sangat populer dalam dunia
penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial 30 meter per pixel.
Landsat7 mempunyai kanal atau kita sebut juga band sebanyak 8 kanal. Di
Landsat7 band satu sampai dengan band tujuh minus band enam kita sebut
band multispectral, karena bekerja didaerah panjang gelombang tampak.
Sedangkan band enam adalah band termal karena bekerja pada daerah
gelombang infra merah. Band delapan adalah band pankhromatik yang
mempunyai resolusi spasial dua kali lebih tinggi daripada band multispektralnya.
Sehingga dengan kombinasi multispectral dan pankhromatik maka dapat
diperoleh citra dengan resolusi spasial 15 meter per pixelnya ( Poerbandono et
al. 2005 ).
Berbicara mengenai pixel, didalam data citra penginderaan jauh, setiap
pixel mempunyai nilai yang kita sebut pixel number. Dengan adanya pixel
number ini data citra penginderaan jauh dapat mempunyai tampilan warna visual
yang berbeda-beda selain dari kombinasi bandnya ( Poerbandono et al. 2005 ).
Sebelum kita melakukan interpretasi obyek secara visual (on screen) kita
dapat melakukan penajaman warna dengan mengubah histogram citra
penginderaan jauh. Tujuan penajaman citra ini adalah membuat citra menjadi
lebih mudah diintepretasi dan dianalisis. Supaya mudah diinterpretasikan maka
hasil dari penajaman ini harus :

Kelihatan lebih berelief / tidak flat (datar)

Kelihatan lebih kontras (objek yang berbeda dapat dibedakan dengan


jelas)

Tidak boleh kabur (atau blur, bukan lari bro) dilihat dari skala
maksimalnya
Teknik penajaman citra juga bermacam-macam seperti misalnya

penggabungan

data

(data

fusion),

colordraping,

penajaman

kontras

(Transformasi), filtering, dan penerapan formula ( Poerbandono et al. 2005 ).


Colordropping adalah menempelkan satu jenis citra diatas data lain
sehingga menghasilkan kombinasi tampilan untuk memudahkan analisis.
Contohnya adalah citra Landsat7 dengan foto udara ( Poerbandono et al. 2005 ).
Penajaman kontras disebut juga transformasi adalah memperbaiki
tampilan citra dengan memaksimumkan kontras antara pencahayaan dan
penggelapan. Cara ini adalah mengubah histogram input data sehingga
diperoleh output data yang optimal. Cara ini akan saya postingkan pada tulisan
berikutnya ( Poerbandono et al. 2005 ).

2.6.

Estrasi Garis Bathimetri


Secara fisiografi wilayah laut Indonesia dapat dibagi menjadi tiga wilayah

yaitu: daerah Paparan Sunda terletak di bagian barat Indonesia, Paparan Sahul
di bagian timur Indonesia dan; [3] zona transisi. Paparan Sunda meliputi daerahdaerah perairan Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa dengan
kedalaman rata-rata mencapai 120 meter membentuk paparan sedimen yang
tebal dengan penyebaran yang cukup luas. Paparan Sahul meliputi daerahdaerah di selatan Laut Banda dan Laut Aru. Daerah ini sangat dipengaruhi oleh
sistem benua Australia, sehingga sedimen di daerah ini ditafsirkan sebagai
sedimen asal kontinen Australia. Sedangkan daerah transisi meliputi daerahdaerah perairan Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda dan Laut Flores.
Perbedaan yang menyolok antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian
timur adalah batas antara kaduanya barimpit dangan apa yang semula disebut
sebagai garis wallace (wallace line). Garis ini, yang membujur dengan arah
utara-selatan melalui Selat Makasar dan Selat Lombok (antara P. Bali dan P.
Lombok), semula adalah suatu garis yang mumbatasi fauna dan flora yang

berbeda antara bagian timur dan barat, tetapi garis ini ternyata juga
mamperlihatkan bentuk fisiografi yang berbeda ( Hardjawidjaksana dan Kristanto.
1999 ).
Dari kenampakkan fisiografi wilayah laut Indonesia maka dapat ditafsirkan
secara geologi bahwa perkembangan tektonik antara Indonesia bagian barat dan
bagian timur mempunyai perbedaan. Indonesia bagian barat

terdiri dari

beberapa pulau-pulau besar di mana antara pulau satu dengan lainnya


dipisahkan oleh laut dangkal serta mempunyai tatanan tektonik yang lebih
saderhana apabila dibandingkan dengan Indonesia bagian timur yang terdiri dari
sederetan pulau pulau berbentuk busur lengkung dengan perbedaan bentuk
relief yang sangat menonjol dan dipisahkan oleh laut dalam, yang mempunyai
palung-palung dalam dan pegunungan yang tinggi sehingga mempunyai tatanan
tektonik lebih rumit ( Hardjawidjaksana dan Kristanto. 1999 ).

2.7.

Pembuatan Profil Dasar Laut


Panorama permukaan dasar laut atau morfologi merupakan gambaran

dasar laut sebagaimana yang ada di daratan, seperti kenampakkan dari :


pegunungan, gunung api, lereng, dataran, lembah, parit dan channel. Bentuk
morfologi tersebut, umumnya berkaitan dengan proses-proses geologi dari
pembentukan dan perkembangannya baik secara sendiri-sendiri maupun secara
kelompok ( Prasetyo. 1996 ).
Berdasarkan peta batimetri Indonesia, pola batimetri yang berkembang
memperlihatkan morfologi dasar lautnya mengikuti garis pantai dan pola hasil
tektonik (Gambar 1: Peta Batimetri Indonesia). Di sekitar Paparan sunda (Selat
Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa) berkembang morfologi paparan yang
mengikuti garis pantai. Sedangkan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
memperlihatkan kedalaman yang besar, mulai 2000 meter (Timor Trough) hingga
lebih 7000 meter (Cekungan Weber). Pada umumnya cekungan di KTI yang
terbentuk sangat bervariasi dan terisi oleh sedimen laut dalam yang sangat tipis.
Daerah tinggian memperlihatkan bentuk tojolan-tojolan dan lembah sempit yang
tajam sebagai penciri utama batuan dasar (Basement Rock). Bentuk-bentuk
tersebut tidak terlepas dari pengaruh tumbukan intra mikrokontinen Australia
dengan busur Kepuluan Banda. Proses tersebut masih berlangsung hingga saat
ini sehingga sedimen-sedimen yang ada selain terdorong ikut penyusupan juga

terakresi bahkan membentuk gunung api bawah laut (Sub-marine volcano).


Posisi kawasan Indonesia yang terletak pada jalur tektonik tersebut telah
memberi pengaruh yang besar terhadap bentukan roman dan morfologi dasar
laut Indonesia. Pengaruh langsung tersebut adalah terbentuknya wilayah
paparan, tepi margin dan busur kepulauan ( Prasetyo. 1996 ).
Kondisi morfologi dasar laut Indonesia mempunyai perbedaan mencolok
antara kawasan barat dan kawasan timur. Laut Jawa yang merupakan sistem
Paparan Sunda (Sunda Shelf) mempunyai kedalaman dasar laut rata-rata 130
meter, sedangkan Laut Flores dan Laut Banda yang merupakan laut tepi
mempunyai kedalaman lebih 5000 meter. Karakteristik laut dan samudra secara
umum didasarkan pada kedalaman dasar laut yang dengan mudah dapat diamati
dari nilai garis kontur peta batimetri. Untuk sistem samudra terdapat hubungan
empiris

yang

memperlihatkan

hubungan

antara

kedalaman

dan

umur

pembentukannya. Makin tua umur samudra serta proses-proses geologi yang


berjalan, akan makin dalam dasar laut tersebut ( Prasetyo. 1996 ).
2.8.

Pemetaan Kedalaman Laut


Survai dan Pemetaan laut antara lain bertujuan untuk menentukan posisi

atau letak suatu obyek di laut. Disamping itu dapat juga menentukan kedalaman
suatu dasar laut atau perairan yang banyak dipelajari di Survai Hidrografi ( British
Petroleum Exploration Operating. 1991 ).
Pada awalnya,

hidrografi

secara sederhana

bertujuan

untuk

menggambarkan relief dasar laut, mencakup semua unsur alam dan buatan
manusia yang pada prinsipnya hampir sama dengan peta darat yang dalam hal
ini topografi ( Ingham, 1984).
Pemanfaaan bidang survai dan pemetan untuk menyongsong
kadaster laut antara lain dengan membuat kepastian letak atau posisi suatu
obyek atau daerah atau wilayah. Posisi ini dapat dilakukan dengan konvensional
maupun yang modern. Yang dimaksud dengan konvensional misalnya dengan
peralatan teodolit, sextant dan sejenisnya. Untuk peralatan modern misalnya
dengan Total Station maupun Global Positioning System (GPS). Pada daerah
yang luas hampir tidak mungkin dilakukan dengan alat konvensional , misalnya
untuk batas antar kabupaten atau kota dan juga Propinsi ( British Petroleum
Exploration Operating. 1991 ).

Banyak ruang laut yang dimanfaatkan untuk bangunan ataupun kegiatan,


misalnya saja laut dipartisi dikapling) untuk budidaya rumput laut, alur pelayaran
yang dibuat sendiri oleh rakyat / nelayan agar tidak mengganggu budidaya yang
mereka usahakan, misalnya tambak, rumput laut mutiara dan lainnya ( British
Petroleum Exploration Operating. 1991 ).
Disamping itu juga adanya bangunan yang relatip permanen, misalnya
bagan-bagan untuk keperluan pengeboran minyak di laut, persil-persil rumah di
kepulauan, misalnya di Propinsi kepulauan Riau ( British Petroleum Exploration
Operating. 1991 ).
Dari semua bangunan yang sifatnya permanen maupun semi permanen
akan menempati ruang. Untuk dapat mengidentifikasi tempat-tempat tersebut
perlu diketahui adanya posisi obyek tersebut. Tidak hanya posisi saja yang perlu
diketahui, tetapi juga batas-batas area yang ada di sekitar daerah tersebut. Dari
sini dapat dibuat peta sekitar perairan tersebut yang menyangkut posisi dan
kedalaman, bila perlu ( British Petroleum Exploration Operating. 1991 ).
Setelah diidentifikasi obyek tersebut, selanjutnya dipertanyakan adanya
hak apa yang melekat pada bidang atau persil yang ditempati bangunan itu.
Dapat juga nantinya berkembang pada pajak yang akan menjadi kewajiban di
tempat ini. Yang dimaksud pajak disini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Sangat mungkin untuk ditarik PBB pada kapling yang dimanfaatkan dan dimiliki
(dengan jenis hak tertentu), namun demikian tentu harus menunggu peraturan
yang mendukung tentang penarikan pajak tersebut. ( British Petroleum
Exploration Operating. 1991 ).

BAB III
MATERI DAN METODE

3.1.

Waktu dan Pelaksanaan


Hari

: Jumat, 15 April 2011 dan 7 Mei 2011

Waktu

: 13.20 14.00 WIB

Tempat

: Laboratorium Komputasi Kampus Ilmu Kelautan, Universitas


Diponegoro, Semarang.

3.2.

Materi
Materi yang disampaikan pada praktikum penginderaan jauh II adalah

mengenai :
1. Colour Dropping
Colour Draping digunakan untuk memperjelas warna pada citra, dan
dapat dibedakan antara daratan, laut dangkal yang berwarna hijau dan
laut dalam berwarna biru.
2. Estrasi Garis Bathimetri
Materi ini berfungsi untuk membuat kontur suatu wilayah dengan
jarak tertentu yang diinginkan.
3. Pembuatan Profil Dasar Laut
Dengan membuat profil dasar laut, dapat diketahui bagaimana
bentuk dasar laut di daerah tertentu. Dengan menggunakan menu
Polyline, praktikan membuat profil dasar laut antara kepulauan Sulawesi
dan 3 pulau lainnya.

4. Pemetaan Kedalaman
Menggunakan kedalaman sebagai obyek yang akan diamati.
Dengan 2 depth pada setiap interval kedalaman, akan terlihat perbedaan
antara kedalaman yang satu dengan yang lainnya.
5. Pemetaan 3D
Melihat bentuk profil muka bumi dengan animasi 3 Dimensi secara
Perspective.
3.3.

Metode

3.3.1. Color Dropping


Buka aplikasi ER Mapper. Klik pada icon Edit Algorithm dan buka file
Bathi_Indonesian_Timur.ers.

Klik Edit Transform Limits, lalu klik Limits dan pilih Limits To Actual

Tampilan citra berubah menjadi seperti dibawah, lalu Duplicate Pseudo


Layer menjadi 3

Klik kanan pada Pseudo Layer yang pertama, lalu klik Classification

Tampilan citra menjadi seperti dibawah ini. Kemudian klik E = mc2, lalu
masukkan rumus : If il >0 then 1 else null dan klik Apply Change

Tampilan akan seperti dibawah ini

Ubah nama Pseudo Layer yang pertama menjadi Land, kedua menjadi
Ocean Basin, dan ketiga menjadi Sun Angle Shading

Klik kanan pada Sun Angle Shading, dan klik Intensity

Tampilan citra berubah menjadi seperti dibawah ini

Klik Edit Realtime Sunshade, centang pada kotak Do Sun Shading

Zoom Pulau Sulawesi, lalu klik View dan klik Cell Values Profile

3.3.2. Estrasi Garis Bathimetri


Klik Edit lalu pilih Add Vector Layer dan klik Contour

Klik Dynamic Link Chooser, kemudian klik next

Ketik -12000 pada kotak First Contour Level, Contour Interval 200,
Primary Contour 5 dan Secondary Contour Style 7, lalu klik Next

Ubah Set Colour menjadi ungu, Font 12 dan tipe tulisan Times Roman.
Kemudian klik Finish

Tampilan citra menjadi seperti dibawah ini

Klik Dynamic Link Chooser, klik Save as. Tambahkan nama dan NIM
pada saat di save dan klik Ok. Kemudian klik Save

Muncul tampilan seperti dibawah ini

Klik Edit Add Vector Layer - Annotation/Map Composition, lalu buka


file yang sudah di save tadi. Kemudian Zoom To All Dataset citranya

3.3.3. Pembuatan Profil Dasar Laut


Zoom Daerah Bali, lalu klik View dan klik Traverse

Klik Polyline dan klik pada bagian Utara Pulau Bali dan Pada Selatan
Pulau Sulawesi

Klik Polyline dan klik pada bagian Utara Pulau NTB dan Pada Selatan
Pulau Sulawesi

Klik Polyline dan klik pada Pulau Kecil dan Pada Selatan Pulau Sulawesi

3.3.4. Pemetaan Kedalaman Laut


Buka aplikasi ER Mapper. Klik pada icon Edit Algorithm dan buka file
Bathi_Indonesian_Timur.ers.

Klik Edit Transform Limits, lalu klik Limits dan pilih Limits To Actual

Tampilan citra berubah menjadi seperti dibawah, lalu Duplicate Pseudo


Layer menjadi 3

Ubah nama Pseudo Layer yang pertama menjadi Land, kedua menjadi
Ocean Basin, dan ketiga menjadi Sun Angle Shading

Klik kanan pada Sun Angle Shading, dan klik Intensity

Tampilan citra berubah menjadi seperti dibawah ini

Tampilan citra menjadi seperti dibawah ini. Kemudian klik E = mc2, lalu
masukkan rumus : If i1>0 then i1 else null dan klik Apply Change

Klik

new,

klik

pada

icon

Bathi_Indonesian_Timur.ers.

Edit

Algorithm

dan

buka

file

Klik kanan pada Pseudo Layer, lalu klik Classification, kemudian di


copy lalu di paste pada citra sebelumnya

Tampilan citra akan seperti dibawah ini

Ubah posisi Classification layer menjadi paling atas dengan cara klik
Move Up

Klik Edit Transform Limit, pilih Limit lalu pilih Limit to Actual

Klik Edit Formula, pada kolom INPUT masukkan rumus If i1 >=depth1


and i1<depth2 then i1 else null. Lalu klik Apply Change

Clasification Layer di Duplicate menjadi enam. Ubah nama masingmasing dengan : 0-200m, 201-500m, 501-700m, 701-1000m, 10012500m, dan >2500m

Layer pertama, pada Formula Editor pilih Variable dan ubah nilai depth 1
= -200 dan depth 2 = 0.

Layer kedua, pada Formula Editor pilih Variable dan ubah nilai depth 1 =
- 500 dan depth 2 = - 200.

Layer ketiga, pada Formula Editor pilih Variable dan ubah nilai depth 1 =
- 700 dan depth 2 = - 500.

Layer keempat, pada Formula Editor pilih Variable dan ubah nilai depth
1 = - 1000 dan depth 2 = - 700.

Layer kelima, pada Formula Editor pilih Variable dan ubah nilai depth 1 =
- 2500 dan depth 2 = - 1000.

Layer keenam masukkan rumus : if i1<2500 then i1 else null. Kemudian


klik Apply Change.

3.3.5. Pemetaan 3D Dasar Laut


Buka aplikasi ER Mapper. Klik pada icon Edit Algorithm dan buka file
Bathi_Indonesian_Timur.ers.

Klik icon Edit Transform Limits

Klik Limit, kemudian klik Limits To Actual

Citra akan berubah menjadi seperti dibawah ini

Duplicate Pseudo Layer menjadi tiga. Ubah nama Pseudo Layer yang
pertama menjadi Land, kedua menjadi Ocean Basin, dan ketiga menjadi
Sun Angle Shading

Klik kanan pada Sun Angle Shading, dan klik Classification

Kemudian klik E = mc2, lalu masukkan rumus : If i1 >0 then i1 else null
dan klik Apply Change

Klik kanan pada Sun Angle Shading, lalu pilih Height

Pilih 3D Perspective pada kolom View Mode

Citra akan berubah menjadi seperti dibawah ini

Pada kolom Surface, nilai Z Scale diperbesar hingga 160577

klik 3D View, kemudian atur Terrain Detailnya hingga mencapai 636x636


dan centang pada Bounding Box

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Colour Dropping
Daratan ( Warna Kuning )

Laut Dangkal ( Warna Hijau )

Laut Dalam ( Warna Biru )

4.1.2. Estrasi Garis Bathimetri


Sebelum Di Cut

Setelah Di Cut

4.1.3. Pembuatan Profil Dasar Laut


Utara Pulau Bali Selatan Pulau Sulawesi

Utara Pulau NTB Selatan Pulau Sulawesi

Utara Pulau Kecil Selatan Pulau Sulawesi

4.1.4. Pemetaan Kedalaman Laut


0 - 200 m

201 500 m

501 700 m

701 1000 m

1001 2500 m

> 2500 m

4.1.5. Pemetaan 3D Dasar Laut

4.2. Pembahasan
4.2.1. Colour Dropping
Pada materi ini menggunakan rumus If il >0 then 1 else null. Dengan
Colour Dropping dapat diketahui perbedaan warna dari daratan, perairan dangkal
dan perairan dalam. Daratan berwarna kuning. Laut dangkal berwarna hijau dan
laut dalam berwarna biru.

4.2.2. Estrasi Garis Bathimetri


Materi ini membuat kontur dari Kepulauan Sulawesi. Interval kontur yang
digunakan adalah 200. Sebelum di cut terlihat jelas interval kontur antara titik
yang satu dengan titik yang lainnya, tetapi setelah di cut interval kontur terlihat
sangat rapat.

4.2.3. Pembuatan Profil Dasar Laut


Profil dasar laut antara Pulau Bali dan Pulau Sulawesi, Pulau NTB dan
Pulau Sulawesi, Pulau Kecil dan Pulau Sulawesi berbeda-beda namun tidak
terdapat perbedaan yang terlalu signifikan. Di ketiga profil dasar laut tersebut
terdapat palung dan pegunungan bawah laut. Palung terdalam ditemukan
diantara Pulau Kecil dan Pulau Sulawesi dan pegunungan bawah laut tertinggi
juga terdapat diantara Pulau Kecil dan Pulau Sulawesi.

4.2.4. Pemetaan Kedalaman Laut


Kedalaman laut dipetakan untuk mengetahui berapa kedalaman laut di
setiap perairan. Dengan interval 200 m dan 300 m diberikan depth masingmasing 2. Semakin dalam maka warna pada citra akan semakin pudar lalu
kemudian pada kedalaman >2500 meter menghilang. Mungkin pada kedalaman
>2500 meter sudah tidak dapat terdeteksi lagi kedalamannya.

4.2.5. Pemetaan 3D Dasar Laut


Dengan animasi 3D perspective, roman muka bumi dapat dilihat dalam
bentuk 3 dimensi nya. Dengan 3 dimensi muka bumi akan terlihat lebih jelas dan
nyata seperti bentuk aslinya. Dasar laut pun dapat terlihat bagaimana bentuk
nya, tidak hanya datar saja seperti yang terlihat pada peta biasa.

BAB V
KESIMPULAN

Pemanfaatan data Citra Landsat dan Digital Elevation Model (DEM)


dipadukan

dengan

data lapangan,

pada intinya

dapat

memberikan

kemudahan, efisien dan akurat dalam pembuatan peta-peta tematik baik


sebagai parameter pembatas maupun parameter penimbang dalam analisis
arahan penataan lahan usaha tambang.

Peta topografi adalah peta yang memiliki informasi tentang ketinggian


permukaan tanah pada suatu tempat terhadap permukaan laut, yang
digambarkan dengan garis-garis kontur.

Peta bathimetri adalah peta yang memetakan tempat-tempat di dalam/dasar


laut yang berkedalaman sama dari permukaan laut menjadi bentuk garis
kontur.

DAFTAR PUSTAKA

British Petroleum Exploration Operating Co.Ltd, 1991, Peta Fisiografi Dasar Laut
Indonesia dan Sekitarnya Gabungan Data Satelit SEASAT dan GEOSAT.
Davis. 1974. Information Technology, John Wiley and Sons. New York.
Hardjawidjaksana, K. dan Kristanto, N.A., 1999, Offshore Mineral Resources Map
of Indonesia. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung.
Poerbandono dan Djunarsyah, Eka. 2005. Survei Hidrografi. Penerbit Refika
Aditama. Bandung.
Prasetyo, H., 1996, Profil Kelautan Nasional : Menuju Kemandirian, Edisi kedua.
Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri
Maritim.
http://tni.mil.ad/bathymetri.php3. Diakses pada 1 Mei 2011 pukul 14.00
www.202.78.199.61.com. Diakses pada 1 Mei 2011 pukul 14.05
www.digilib.itb.ac.id. Diakses pada 1 Mei 2011 pukul 14.13
www.forek.com. Diakses pada 1 Mei 2011 pukul 14.22
www.gappala.or.id. Diakses pada 1 Mei 2011 pukul 14.24
www.ict@ugm.ac.id. Diakses pada 1 Mei 2011 pukul 14.29
www.lapanrs.com. Diakses pada 1 Mei 2011 pukul 14.31
www.petra.ac.id. Diakses pada 1 Mei 2011 pukul 14.34
www.sinarharapan.com. Diakses pada 1 Mei 2011 pukul 14.35

Anda mungkin juga menyukai