sekularisme, mulai berguguran menunggu lahirnya pelaku baru. Kondisi mereka telah
disinyalir oleh QS. Al Nahl:26 "Maka Allah Swt hancurkan sendi-sendi dan fondasi
bangunan mereka dan runtuhlah atap bangunannya serta hancurlah apa yang mereka
bangun, kemudian datanglah adzab kepada mereka tanpa mereka rasakan."
Sebagai reformasi orientasi pendidikan sains, khusus untuk dunia Islam, maka Ismail
Roji al Faruqi beserta kawan-kawannya di IIIT mencoba mencipta kilas balik dalam
bentuk Proyek Islamisasi Pengetahuan yang dimulai dari pembenahaan dan penataan
kembali pola berfikir ummat Islam. Reorientasi pendidikan sains dirasa sangat perlu
mengingat sains merupakan salah satu perangkat terpenting untuk maju dan bangkit.
merupakan sebuah konfigurasi dari berbagai spesialisasi dan dari rahimnya akan terlahir
produk pendidikan. Tanpa adanya faktor-faktor ini tidak mungkin akan terjadi sebuah
kelahiran, karena 'rahim' pendidikan saat itu sudah masuk fase 'monophause'.(1) Kita juga
terhenyak ketika Amerika, sebagai policy tunggal dunia dan mendahului Uni Soviet
berlayar ke angkasa luar, menemukan sebuah tantangan besar yaitu rusaknya UU
pendidikan dan pengajaran serta mengalami defisit sumber daya manusia (para inovator)
yang kapabel. Maka dibentuklah sebuah komite yang spesifik menangani fenomena
bahaya ini yang mereka sebut dengan "Ummat yang dilanda Krisis." Karena rusaknya
UU yang mengatur pendidikan dan pengajaran. Bahkan Presiden George Bush (dahulu)
dalam setiap kampanye selalu mengatakan bahwa ia akan menjadi tokoh pendidikan dan
pengajaran. Bahkan Robert D Hormats, ahli dan penanggung jawab bidang ekonomi AS,
ketika ditanya tentang problem ekonomi AS yang paling urgen mengatakan: "Bahwa UU
pengajaran belum mendapat perhatian yang cukup," (koran Al Bayan 10/11/1990).
Lebih lagi Prof. Alan Slome, dosen pengajar di Chicago, membeberkan secara gamblang
dalam salah satu bahasan dibukunya yang banyak tersebar dengan tema "Intelektualitas
Bangsa Amerika yang Tumpul," yang pada tahun 1988 banyak meributkan kalangan
civitas akademika AS tentang tertutupnya 'kebebasan' bagi kalangan pendidikan tingkat
tinggi dan gagalnya sekolah serta perguruan tinggi dalam menanamkan pengetahuan
dasar kepada peserta didik, beliau mengatakan:"Lembaga-lembaga pendidikan saat ini
sedang ditimpa penyakit kelesuan berfikir, sehingga akibatnya hanya melahirkan generasi
yang jauh dari karakter sense of civilization (rasa peradaban)."(2)
pembangunan itu sendiri menempatkan dirinya secara profesional sebagai mana yang
diharapkan Islam dalam memandang sarana tersebut. Yang perlu ditekankan lagi dalam
proses pendidikan Islam bahwa hubungan antara ilmu dan iman adalah hubungan yang
dibina secara dinamis dan bukan dua kutub yang paradoksal. Visi yang keliru tentang
hubungan antara ilmu dan iman memang pernah merebak luas di benua Eropa pada abadabad pertengahan. Ketika itu lembaga spiritual gerejani mandul dalam memegang
perannya, berbalik mendukung pemahaman khurafat dan memerangi ilmu pengetahuan.
Selain itu juga menciptakan kondisi yang jumud (ortodox) dan taklid, memborgol
kebebasan berpikir dan berkarya. Mereka bahu-membahu dengan para tuan tanah dan
penguasa menciptakan jurang pemisah antara mereka dan masyarakat marginal.
Semboyan yang mereka agung-agungkan adalah: "Iman dahulu baru ilmu
(berpengetahuan)," atau "Berkeyakinan dengan apa adanya (dalam kondisi buta)," dan
semboyan yang disambung lewat lidah pastur:"Pejamkanlah matamu kemudian ikutilah
aku." (5)
Adagium-adagium seperti ini sangat tidak sejalan dengan semangat Islam yang
mempunyai konsep ilmiah dalam segala aksi-aksi menolak keyakinan (aqidah)
berdasarkan taklid buta, seperti yang telah disitir dalam QS Al Maidah:104. "Cukuplah
untuk kami apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami mengerjakannya," dan QS Al
Ahzab:67:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin dan pembesar
kami," atau perkataan: " Sesungguhnya diriku ini tergantung pada manusia." (6) Dan
masih banyak lagi bantahan-bantahan Al Qur'an tentang hal serupa sebagaimana ia
menolak bahwa tidak cukup bagi seorang muslim hanya berakidah belaka tanpa 'Al Ilmu
& al Yakin,'(lihat QS al Nisa:157). Al Qur'an menempatkan 'al Ilmu al Haq' sebagai
penyeru dan petunjuk ke kawasan iman (lihat QS. Al Hajj:54). Ilmu yang benar akan
diikuti proses selanjutnya dengan iman, kemudian ia akan diikuti gerak hati (wujdan)
dengan tunduk dan khusyuk kepada Dzat Yang Maha Tinggi. Ilmu merupakan dalil amal,
sebagaimana ia juga dalil iman. Imam Bukhari juga turut meletakkan konsep dasar
keilmuan dalam bukunya "Al Jami al Shohih" beliau mengatakan,"Ilmu ibarat pintu,
sebelum berucap dan beramal." (7) Dalam arti kecepatan kata dan tindakan seyogyanya
tidak melebihi kualitas dan kuantitas keilmuan seseorang, sehingga tidak terbentuk profil
split personality (kepribadian yang terpecah-pecah). Bahkan menurut Ibnu al Munir jika
muatan kata dan tindakan lebih berat ketimbang muatan ilmu maka ia dianggap sebagai
kepribadian yang tak bernilai. Dalam konsep Imam Bukhari dapat ditarik kesan bahwa
kekuatan ilmu apapun tidak akan memberikan keuntungan yang berarti pada jajaran
kemanusiaan jika tidak menyeberangi jembatan amal dan ini merupakan Islam
mainstream, sekaligus sebagai warning bagi mereka yang mengabaikan urgensinya posisi
ilmu dan menganggap remeh dalam proses pencariannya. (8)
Dan kondisi ummat akan lebih terpuruk jika kawasan rasionalitas atau intelektualitasnya
di bawah kendali ideologi-ideologi yang bertolak belakang dengan proyek rekonstruksi
'Insaniyatul-insan. Apalagi daerah-daerah yang menyentuh lapisan aqidah. Sebab daerah
tersebutlah yang menuntun manusia dalam memandang wujud, kehidupan, tindakan
manusia, situasi dan kondisi sekitar, nilai/norma, etika, adat-istiadat dan dan semua
substansi yang ada korelasinya dengan kejiwaan manusia dan pola hidupnya. (9)
Maka dengan demikian pendidikan masyarakat (makro) tidak akan berhasil jika tidak
diperhatikan sarana efektif dan intensif pendidikan mikronya (keluarga dan individu).
Dan proses kematangan sosial akan lebih terhambat jika muncul, berkembang dan
dipelihara sikap otoritas pendidikan sosial oleh penguasa yang diktator. Dan benar apa
yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw; "Pemimpin kalian adalah cerminan dari
kepribadian kalian." Jadi, penguasa dan pemimpin tidak lain hanyalah barang warisan
sebuah masyarakat (komunitas): pola pikirnya, iklim pendidikannya dan pengetahuannya.
Dengan demikian, berarti hubungan antara individu dan jama 'ah (masyarakat) dalam
proses pendidikan dan pengajaran dimungkinkan sekali keduanya dalam satu waktu
menjadi premis dan outcome. Sebab kenabian, misalnya, tidak lain hanyalah gerakan
individu-individu yang merubah wajah masyarakat dan lingkungan. Akan tetapi yang
menjadi catatan penting bahwa gerakan pembaha ruan tidak mungkin berhasil tanpa
adanya pembinaan group (educational group). Maka semakin solid perkataan yang
berbunyi "Manusia tergantung kepada ideologi penguasanya." Betapa banyak tindakan
tirani seorang penguasa menular kepada rakyatnya, mematikan ruh rakyat disebabkan
bercokolnya faham Fir'aunisme pada diri penguasa. (11)
Penguasa juga, dilain faktor, yang menentukan jarak imaginasi pada kepribadian rakyat
antara dunia dan akhirat. Sebab siapa yang mengerahkan suatu negara beraliran sekuler,
atheis, kapitalis, sosialis atau gado-gado, siapa lagi kalau bukan penguasa?
samawi' dengan 'dalil ardhi', atau kekuatan 'al fikru' dengan sumber 'al dzikru' (Allah
Swt). Hal tersebut sangat urgen dikarenakan beberapa alasan (12):
1. Agar tidak terjerumus kepada substansi-substansi yang lemah dan mengancam
tegaknya nilai-nilai 'insaniyatul-insan', dikarenakan keterbatasan pemahaman kita.
Rasulullah Saw mengingatkan agar kita: "Tidak menghancurkan Ka'bah kemudian
membangunnya." Padahal kaum Quraisy saat itu menginginkan agar ka'bah dihancurkan
kemudian dibangun oleh mereka, agar mereka bisa berkata bahwa hanya mereka yang
membangun ka'bah. Menurut Imam Bukhari hadits-hadits menerjemahkan hadits ini
dengan suatu bab yaitu "Bab orang yang meninggalkan sebagian pilihan karena khawatir
akan terbatasnya pemahaman sebagian manusia tentang hal itu, sehingga mereka akan
terjerumus pada realita yang lebih membahayakan."
2. Agar tidak terjadi fenomena pemubadziran ilmu. Karena setiap disiplin suatu ilmu ada
pintu masuknya (ujungnya) dan ada pintu keluarnya ( ekornya). Ini sejalan dengan
konsep Imam Mawardi yang mengatakan: "Ketahuilah bahwa setiap ilmu ada
permulaannya (preambule) yang mengantrakan ke hulu suatu ilmu dan pengantarnya
yang menunjukkan pada hakekatnya. Maka hendaklah mereka yang mencari ilmu
memulai studinya dari permulaan agar sampai pada akhir. Dan mulai dari pengantar suatu
ilmu agar sampai pada hakikatnya. Janganlah mencari 'akhir' sebelum 'permulaan.' Begitu
juga mencari hakikat sebelum pengantarnya, sehingga 'akhir' tidak tercapai begitu juga
hakikatnya. Karena sesungguhnya bangunan tanpa fondasi tidak akan tegak berdiri. Dan
mengharapkan buah tanpa menanam tidak akan menuainya.
3. Agar ilmu tersebut tidak membuat peserta didik semakin menjauh dan menjaga jarak
dengannya, dikarenakan kita tidak menimbang kekuatan rasio mereka.(14) Karena si
pencari ilmu jika menjumpai suatu masalah yang tidak ia kuasai akan mengakibatkan
kerusakan keseimbangan (equibilirium), atau bahkan membuatnya tersesat di tengah
hutan belantara tidak mengetahui dimana ada jalan selamat.
4. Tidak terjebak pada gaya berpikir 'wah'. Karena jika para pemula yang telah menyerap
beberapa informasi ilmu pengetahuan kemudian tidak divisualisasikan dalam amal, akan
membuatnya terjebak menjadi tukang menjual teori. Mungkin seperti filosof yang
menolak konsekuensi iman.
5. Agar kita selamat dari tindak kesalahan. Karena, "Jika setiap orang menceritakan
segala hal yang ia dengar maka akan ditemukan banyak salahnya, sehingga ia kaan
ditinggalkan oleh manusia dan tidak dijadikan sandaran perkataannya." (15)
6. Untuk menghindari adanya tindakan mengada-ada dalam agama (al Ibtida' fi al din).
Seperti berbicara kepada kaum awam yang tidak bisa dipahami dan tidak rasional. Hal itu
sering disebabkan karena seseorang tidak menapaki tangga-tangga ilmiah di masa
pencariannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syatibi dalam bukunya Al
I'tisham, sehingga orang tersebut dijauhkan pribadinya dari kata-kata hikmah, bahkan
kemungkinan besar menjadi fitnah.
7. Menjaga agar para penuntut ilmu tidak mencapai titik jenuh sehingga mereka lari
meninggalkan sumber ilmu, sekaligus hal tersebut akan mengurangi kharisma seseorang.
Luqman al Hakim mengabstraksikan kondisi ini dengan berkata,"Sesungguhnya orang
yang alim dan bijak ia akan mengajak manusia kepada ilmunya dengan diam dan
merendah diri, sedang orang yang alim tapi pandir ia akan menjauhkan manusia dari
ilmunya dengan memperbanyak igauan dan pembicaraan yang tidak jelas arahnya."
8. Menghindari ketidak-seimbangan antara aktivitas ilmu dan aktivitas amal (praktek).
Pengalaman para alim yang bijak menunjukkan ketidak-senangan (makruh) mereka jika
terjadi ketidakseimbangan antara logika (manthiq) dan rasio (akal). Sebagaimana yang
dituturkan oleh Sulaiman Ibnu Abdul Malik,"Kelebihan bobot logika atas rasio adalah
penipuan. Dan kelebihan bobot rasio atas logika adalah aib." Bahkan Ahnaf bin Qais
mengatakan, "Kematian seseorang tersembunyi di bawah lidahnya."
Sudah sejauh itu Islam telah mengantisipasi 'fitnah' yang akan terjadi jika muncul
fenomena yang tidak sejalan dengan semangat Islam. Langkah-langkah antisipasi itu
merupakan bingkisan Islam terhadap dunia pendidikan sehingga usaha menciptakan
pendidikan yang 'Rabbani-Oriented' (Rabbaniyat al Taklim). Hal tersebut bertujuan
mengembalikan posisi ilmu pengetahuan secara proporsional dengan menyatukan unsurunsur dalam (fitrah) manusia ; ruh, akal dan jiwa. Al Qur'an telah memberikan sinyalsinyal positif bagi para cendekiawan yang berjuang dalam pengembaraan ilmu agar tidak
masuk dalam kategori ilmuwan (experts) yang hanya tahu dan peduli terhadap fenomena
keduniaan dengan mendeskreditkan permasalahan metafisik (akhirat/ghaib). (lih. QS al
Rum:7). Diharapkan juga mampu menempatkan diri pada posisi yang ideal yang mampu
menyatukan antara kekuatan fikir dan dzikir. Atau menyatukan proses natural (ilmi)
dengan supernatural (metafisik). Imam Syafi'i sendiri dalam kisah perjalanan ilmiahnya
membagi kehidupannya sehari-hari menjadi tiga bagian ; sepertiga untuk aktivitas
keilmuwan, sepertiga untuk ibadah (dengan cakupannya yang universal) dan sepertiga
untuk istirahat. Bahkan Al Rabi' menuturkan bahwa Imam Syafi'i sendiri --rahimullah-menamatkan bacaan Al Qur'annya pada bulan ramadhan sebanyak 60 kali, semuanya
pada waktu shalat (16), padahal begitu deras dan tajam ujung pena beliau dalam
menghasilkan karya-karya yang monumental dan dijadikan pedoman dalam rujukan oleh
semua ulama di dunia Islam.
kejayaan kita saat itu. Akan tetapi yang kita inginkan adalah metode pemikiran Islam
yang orisinil. Tujuannya untuk menghindari pola pikir yang tunggal material-oriented
dalam menyikapi gejolak sains dan teknologi. Konsekuensinya, menuntut
dicantumkannya materi ilmu-ilmu alam, hitung dan teknologi menurut visi Islam dalam
kurikulum pendidikan Islam konvensional, baik disekolah-sekolah pemula atau perguruan
tinggi dengan menanamkan persepsi bahwa semua adalah ilmu Islam.
Sebaliknya, dalam kurikulum pendidikan ketrampilan praktis (bidang ilmu dan teknologi)
juga tidak bisa menganaktirikan pendidikan ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial visi Islam.
Tujuannya tidak lain untuk menghindari adanya split antara dua metode pengajaran ;
yang bersifat kontemporer (ilmi) dan syar'i.
2. Perlu adanya dukungan dari siyasah syar'iyah (al Daulah). Karena pada hakekatnya
ialah motor utama menuju kebangkitan. Institusi Syariah dan hukum-hukumnya
merupakan syarat yang sangat vital dalam menyongsong kebangkitan ilmu dan teknologi
Islam modern. Dipihak lain menunjukkan bahkan instabilitas politik, chauvisme sosial
dan segala tindakan diktator dan otoriter pen guasa mengakibatkan fenomena 'brain-drain'
(pemerasan kekuatan intelektualitas), disamping juga atau menghancurkan asas-asas dan
basis-basis teknologi dan pemikiran suatu bangsa. Diantara syarat-syarat yang sangat
mendukung ke arah pencapaian kemajuan dan kebangkitan ilmu dan teknologi adalah
memberantas rasa iri dan dengki, menegakkan prinsip egaliter atau prinsip insaniyatul
insan, menciptakan keadilan (termasuk adil di depan hukum) dan membuka kran-kran
kebebasan berpikir dan mengungkapkan pendapat (dalam bidang sosial, politik dan
pemikiran Islam). Kecemerlangan karya Ibnu Rusyd tidak menutup kemungkinan karena
didukung oleh kondisi sosial dan politik saat itu.
3. Perlu adanya kerjasama regional dan internasional diantara kaum muslimin, baik
instansi pemerintah atau non-pemerintah. Ini berarti memberi kesempatan semua
kalangan, pemerintah dan sipil, untuk turut berkiprah dalam pengembangan sains dan
teknologi. Akan tetapi semua itu masih tetap dalam bingkai etika Iptek Islam.
4. Perhatian terhadap pengembangan dan penguasaan bahasa Arab juga sangat urgen
untuk mencapai sains dan teknologi Islam. Ia bertujuan agar kaum muslim mampu
menguasai dasar-dasar Islam dengan baik dan benar. Selain itu juga sangat diperlukan
penguasaan bahasa dunia lainnya demi menjalin hubungan internasional.
5. Perlu adanya perhatian khusus untuk mendirikan pusat-pusat penelitian dan penemuan
ilmiah di dunia Islam yang didalamnya terdapat para ilmuwan muslim yang profesional.
Adanya para pakar muslim dalam pusat-pusat kegiatan tersebut sangat penting karena
merekalah yang akan mengontrol,mengarahkan dan meletakkan petunjuk pelaksanaan
kerjanya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang universal dan sesuai dengan prioritas
kerja yang dibutuhkan. Begitu juga diperlukan adanya tunjangan khusus bagi mereka
yang berbakat dan berprestasi. Semua ini membutuhkan sebuah kepercayaan diri yang
dalam bahwa dunia Islam saat ini sangat membutuhkan Tatanan Dunia Ilmu dan
Peradaban Islam yang baru.
6. Mengharuskan adanya usaha dari pihak khusus untuk mengembalikan para petualang
intelektual dan profesionalis yang lari ke negara-negara industri, baik mereka itu menjadi
penduduk setempat atau sekedar imigran. Baik itu muslim atau bukan. Demi memenuhi
kebutuhan keperluan proyek pembangunan, kemajuan dan kebangkitan. Mungkin dengan
menempatkan mereka pada posisi atau jabatan penting dalam negara, atau memberikan
gaji yang sesuai dengan status ilmiahnya.
7. Adanya tanggung jawab khusus yang dipikul diatas pundak ilmuwan dan profesionalis
muslim di dunia Islam manapun. Apalagi dalam kondisi ummat Islam ini yang minim
para ahli sains dan teknologi. Mereka seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk
mengadakan kontak dan tukar pikiran lintas disiplin ilmu. Sejarah Islam mencatat betapa
pentingnya peran para utusan Rasulullah Saw dan khalifah ke seluruh negeri Islam saat
itu.
Catatan kaki
1. Umar Abid Hasanah, Murajaat fi al fikri wa al da'wah wa al hadharah, IIIT,Cet I 1991,
hal.53-54.
2. Ibid, Cet I, hal 56
3. Ibid
4. Ibid, Cet I, hal 57
5. Dr. Yusuf Qardhawi, Al Rasul wa al Ilm, Cairo, Dar al Shahwah, hal 13.
DAFTAR PUSTAKA
Nama kelompok:
Ach.syarif hidayatullah
(02)
(03)
( )
Sofiya sari
(35)
Yuliandasari
(38)