Anda di halaman 1dari 33

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam

pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas


SISTEM PENGELOLAAN KAWASAN BATAM
PADA ERA OTONOMI DAERAH DAN PERDAGANGAN BEBAS
Tim Peneliti The Habibie Center 1

A. PENDAHULUAN.

Makalah

ini

menyumbangkan

disusun
policy

dalam
advice

kerangka
kepada

segala

stakeholders dalam pembangunan Pulau Batam,


nyata

memilliki

nilai

strategis

dalam

yang

berisi

pihak

spirit

yang

untuk

merupakan

sebagai kawasan yang nyata-

pembangunan

ekonomi

regional

dan

nasional. Tim The Habibie Center sadar sepenuhnya bahwa akan sulit untuk
memahami apa yang terjadi di Pulau Batam tanpa mengkaji secara akurat

visi

dan misi yang original pada saat pemerintah menetapkan Pulau Batam sebagai
front

line

menghadapi

globalisasi

pada

umumnya

dan

Singapura

pada

khususnya sampai dengan tahap perkembangan mutakhir yang penuh dengan


dinamika sekaligus kompleksitas.
Uraian di bawah ini sekaligus bermakna untuk memahami dan memprediksi
peran Lembaga Otorita Pemerintah Pusat dan misi strategis, nasional dan
keterkaitan dalam konteks regional dan lokal.
Batam merupakan fenomena yang menarik karena merupakan kawasan
yang mengalami pertumbuhan tercepat di Indonesia, baik dari ukuran penduduk,
perkotaan maupun perekonomian khususnya dalam empat dekade terakhir. Dari
sisi

ini,

Batam

hanya

dapat

disejajarkan

dengan

Jabotabek,

dengan

pengecualian dari segi jumlah penduduk.


Dari kawasan yang pada tahun 1970-an masih dihuni oleh kurang dari
10.000 jiwa, kini kawasan tersebut telah dihuni oleh hampir 600.000 penduduk.
Sebagai suatu kawasan perekonomian, Batam kini merupakan salah satu dari
sedikit penyangga perekonomian. Di luar kawasan-kawasan sentral di Pantura
Jawa yang membentang dari Cilegon Banten, hingga Sidoarjo, Jawa Timur,
1

Terdiri dari Muladi, Andrinof A Chaniago, Taftazani, Abdul Gafur dan John D. Pattihahuan

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Kawasan Batam bersama Bali berfungsi sebagai kawasan yang menyangga
perekonomian nasional dari Luar Jawa.
Sekalipun demikian latar belakang pertumbuhan Batam yang demikian jelas
berbeda

dibandingkan

dengan

kawasan-kawasan

lainnya.

Bali

misalnya,

semata-mata digerakkan oleh modal alamiah berupa lingkungan alam dan


budaya lokalnya yang sangat kompetitif, Tetapi Batam tumbuh sepenuhnya
karena

factor intervensi yang sangat terencana dilakukan oleh Pemerintah

Alasan-alasan Pemerintah Pusat melakukan intervensi dapat ditelusuri

Pusat.

dari perjalanan sejarah Batam selama 40 tahun terakhir. Tanpa tindakantindakan intervensi Pemerintah Pusat -- dengan segala dampak positif dan
negatifnya --

Batam tentu tidak mungkin tumbuh dengan akselerasi yang

demikian tinggi. Persoalannya

saat ini adalah bagaimana memanfaatkan potensi

atau peluang yang diberikan oleh posisi Batam saat ini ditinjau dari berbagai
aspek,

untuk kemajuan masyarakatnya dan Negara Republik Indonesia, sambil

mengendalikan dan mengatasi sejumlah ekses negatif yang umum terjadi di


setiap kawasan yang tumbuh cepat, khususnya dengan lingkungan sosial politis
yang sudah dan terus berubah.
Persoalan pembangunan Batam menjadi semakin

kompleks dan menarik

karena terjadinya proses reformasi, yang pada dasarnya merupakan evolusi


yang dipercepat (accelerated evolution) dari Pemerintahan Orde Baru yang tidak
demokratis ke arah masyarakat madani yang demokratis.3
Pemerintahan
ekonomi

dan

sentralistik
kurang

Orde

Baru

yang

mendewakan

memperhatikan relaxation

sosial

dan

cenderung tidak demokratis sehingga menciptakan kesenjangan


dan politik yang tajam di antara
ditinggalkan menuju ke sistem

pembangunan
politik

serta

sosial, ekonomi

warga masyarakat secara sistematis harus

pemerintahan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip

dasar demokrasi. Usaha sistematik untuk merealisasikan prinsip-prinsip dasar


2

Kata intervensi di sini lebih bermakna sebagai tindakan rekayasa yang disengaja atau
direncanakan melalui instrumen undang-undang, kebijakan, dan peraturan serta pengalokasian
sumberdaya
3
BJ Habibie, Revitalizing the Administration for Economic Recovery and the Promotion of
Democracy, Governance Reform during Critical Years, Chungbuk, March, 13, 2001, Korea, hal.
4 dan BJ Habibie, Human Rights, Human Responsibility, and Human Security, Berlin, May,
2002, hal.7

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
tersebut yang

pada hakikatnya

merupakan langkah transisional yang rawan

konflik, antara lain dilakukan dengan penerapan sistem desentralisasi kekuasaan


melalui Otonomi Daerah, dengan paradigma yang sama sekali berbeda dengan
pemerintahan sentralistik. Dan sangat kita sadari bahwa sesungguhnya Proyek
Otorita Batam sepenuhnya merupakan produk pemerintahan yang sentralistik,
sekalipun ide dasar (basic idea ) yang melatarbelakanginya sangat menjanjikan.
Di

samping

persoalan-persoalan

pelik

yang

bersifat

rangka implementasi Otonomi Daerah tersebut, pelbagai


lain

muncul

sehingga

menambah

kompleksitas

transisional

dalam

independent variables

masalah

yang

sudah

ada.

Pelbagai variable tersebut antara lain berupa: kurang diperhatikannya asumsiasumsi transisional dalam mengeluarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah
No.

22

Tahun

pembentukan

1999

beberapa

dan

Undang-undang

kabupaten

baru

No.

dan

53

Kota

Tahun
Batam;

1999

tentang

belum

adanya

Peraturan Pemerintah yang sebenarnya diharapkan berfungsi sebagai sistem


kendali komprehensif (comprehensive guidelines) dari Otonomi Daerah; belum
adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur hubungan kerja antara
Otorita Batam dengan Pemerintah Kota Batam yang otonom; dan terbentuknya
Provinsi Riau Kepulauan.
Di tengah kompleksitas masalah tersebut,
pemikiran

akhir-akhir ini

muncul

yang sudah dilembagakan dalam bentuk RUU tentang penetapan

Batam sebagai Free Trade Zone. Munculnya RUU ini tentu saja menarik
perhatian erbagai pihak yang berkepentingan ataupun yang merasa berhak
ambil bagian dalam pengelolaan kawasan Batam sebagai kawasan Free Trade
Zone.
Tarik-menarik
sesederhana

yang

antar

berbagai

diperkirakan

variable

yang

kompeks

sejumlah

pihak

akhir-akhir

tadi
ini.

jelas

tidak

Disamping

dampak dari apa yang dinamakan accelerated evolution di atas bisa bersifat
sistemik, ia juga berimplikasi pada jangka panjang dan extraordinary. Implikasi
sistemik itu terjadi
nuansa-nuansa

karena di dalam era evolusi yang dipercepat itu terdapat

substantif

dalam

bentuk

norma-norma

hukum

yang

masih

sangat tidak memuaskan. Alih-alih sebagai mekanisme pengintegrasi (law as an

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
integrative mechanism), kesimpangsiuran norma hukum cenderung menciptakan
disintegrasi dan
kadang

menimbulkan kerugian serta korban (viktimogin). Kadang-

bahkan

bisa

mencetuskan

perbuatan-perbuatan

menyimpang

(kriminogin).
Implikasi yang berjangka panjang dan extraordinary bisa bernilai positif
dan bisa bernilai negatif. Nilai positif bisa kita raih apabila kita berhasil
mengambil langkah-langkah strategis yang tepat berdasarkan kecenderungan
global dan berpijak pada potensi kekuatan internal yang dimiliki. Sementara nilai
negatif bisa menimpa kita hanya karena kita melewatkan, atau kehilangan,
peluang yang pernah singgah di depan mata. Untuk kasus Batam, kita masih
beruntung

belum

ditinggalkan

kawasan

Batam

sebagai

sekaligus

menjanjikan

oleh

kawasan

terwujudnya

kesempatan
yang

emas

menjanjikan

masyarakat

lokal

untuk

keuntungan
yang

menjadikan
ekonomis

demokratis
4

pemerintahan daerah yang menjunjung prinsip-prinsip Good Governance.

dan
Untuk

merebut kesempatan emas tersebut, berbagai masalah dan variable tadi tentu
perlu dikaji secara cermat.
Atas dasar pertimbangan tadi, bagian berikut dari tulisan ini memandang
penting menganalis aspek-aspek penting berikut :
a. Aspek historis keberadaan Batam saat ini;
b. Aspek ekonomi kawasan Batam;
c. Aspek hukum dan demokrasi;
d. Konsekuensi Otonomi Daerah dan Free Trade Zone (FTZ) terhadap Tata
Kelola Pemeritahan;
e. Kesimpulan dan rekomendasi;
f.

Penutup.

JIka kita menggunakan definisi yang dikeluarkan oleh UNDP, prinsip-prinsip Good Governance itu
terdiri atas: Partisipasi, Pemerintahan berdasarkan Hukum, Transparansi, Daya tanggap,
Berorientasi pada consensus, Persamaan, Efisiensi dan efektifitas, Pertanggungjawaban, dan
Visi strategis.

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
B. ASPEK HISTORIS

Kesadaran Pemerintah dalam melihat prospek yang dijanjikan Batam sudah


muncul sejak empat dekade lalu. Sejak awal masa Pemerintahan Orde Baru
hingga saat ini jelas terlihat bahwa kesadaran yang melihat arti penting Batam
sebagai salah satu pilar ekonomi nasional tidak pernah putus. Pemerintah pusat
melihat dari aspek geopolitik dan geostrategis, pulau Batam (dengan luas kurang
lebih 415 km2)

yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia di sebelah

utaranya mempunyai lokasi yang sangat ideal dan strategis, yaitu berada di Selat
Singapura yang dilewati oleh jalur pelayaran internasional yang sangat ramai,
sekaligus

merupakan

jalur

perdagangan

internasional

yang

menghubungkan

Asia Timur, Amerika Bagian Barat, Timur Tengah dan Eropa.


Sangat beralasan jika pada tahun 1968 PN Pertamina menjadikan Pulau
Batam sebagai pangkalan logistik dan operasional yang berhubungan dengan
eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai. Mengingat lokasinya yang tepat
untuk menjamin efisiensi dan efektivitas suplai minyak dan gas serta secara
geografis pulau ini sangat berdekatan dengan Singapura (kurang lebih hanya
berjarak 20 km), maka dikeluarkanlah Keppres 65/70 pada tgl. 19 Oktober 1970,
disusul pengangkatan Direktur Pertamina, Ibnu Sutowo sebagai penanggung
jawab pengelolaan Pulau tersebut.
Alasan mendasar mengapa menjadikan Batam sebagai sentral logistik,
karena hingga dasawarsa 1960-an Pertamina masih berpangkalan di Singapura.
Pertamina pada saat itu tidak hanya menerima hasil yang 85 % akan tetapi juga
harus menanggung biaya 85 % kontraktor bersangkutan. Dengan kehadiran
Batam inilah diharapkan Pertamina dapat menghemat biaya secara signifikan, di
samping menghemat devisa dan menghidupkan perekonomian negeri karena
biaya Pangkalan Batam akan dapat diserap oleh pasar dalam negeri.5
Pemerintah kemudian menjadikan Batu Ampar sebagai wilayah entreport
partikulir

berdasarkan Keppres No. 74 tahun 1971

atas dasar Reglement A

Heri Muliono, Merajut Batam Masa Depan Menyongsong Status Free Trade Zone, 2001,
LP3ES, hal 143

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Ordonansi Bea (S. 1931 No. 471). Sejak saat itu mulai berdatanganlah investor
asing. Mereka mulai merelokasikan kegiatannya ke Batu Ampar,
industri yang berkaitan dengan

khususnya

peralatan pengeboran minyak lepas pantai. Di

samping itu, dengan adanya legalitas tersebut, perusahaan

yang terlibat dalam

kegiatan operasi dan logistik minyak mulai memiliki keleluasaan operasi karena
banyak

membutuhkan

pengintegrasian
Badan

kegiatan

Pimpinan

bertugas

(1)

barang

import.

pembangunan

Industri

Pulau

Perencanaan,

Sebagai
proyek

Batam

langkah

daerah

sebagai

pengembangan,

dan

koordinasi

industri,

lembaga

dan

dibentuklah

penguasa

pembangunan

yang

industri

dan

prasarananya; (2) Menampung dan meneliti izin usaha untuk diajukan pada
instansi terkait ; dan (3) Mengawasi pelaksanaan proyek industri.
Dalam perkembangannya, Batu Ampar kemudian tumbuh menjadi kawasan
industri yang menunjang eksplorasi dan eksploitasi minyak. Selanjutnya dengan
Keppres No. 41 tahun 1973, seluruh wilayah Pulau Batam dikembangkan
sebagai Daerah Industri yang dikelola oleh dua lembaga. Lembaga pertama
adalah

Perusahaan

(Persero

Batam)

Perseroan
dengan

Pengusahaan

fungsi

Daerah

menyelenggarakan

Industri

Pulau

pengusahaan

Batam
daerah

industri. Kedua adalah Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam


(Otorita Batam) yang bertanggungjawab atas

Pengembangan dan Pertumbuhan

Daerah Industri Pulau Batam, dengan tugas:


-

Mengembangkan

dan

mengendalikan

pembangunan

pulau

Batam

sebagai daerah industri dan kegiatan pengalihkapalan (Transhipment) di


Pulau Batam;
-

Merencanakan

kebutuhan

prasarana

dan

pengusahaan

instalasi

prasarana dan fasilitas lainnya;


-

Menampung dan meneliti permohonan izin usaha untuk diajukan ke


instansi terkait;

Menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara perizinan dan pemberian


jasa agar menumbuhkan minat penanaman modal swasta di Pulau
Batam.

Heri Muliono, op.cit., hal.144

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Kemudian berdasarkan Keppres No. 33 tahun 1974 tgl. 29 Juni 1974 dan
berdasarkan PP 20/72, tiga kawasan di Pulau Batam (Batuampar, Sekupang dan
Kabil) memperoleh status

bonded warehouse, yang mestinya memiliki fungsi

sebagai sarana penyimpanan barang impor dan tidak dikenai pungutan bea
masuk dan cukai.
Pengaturan Kepabeanan umum diberlakukan terhadap barang impor akan
diterapkan jika barang tersebut keluar dari bonded warehouse dan dimasukkan
ke dalam daerah pabean Negara bersangkutan. Biasanya dekat bandara atau
pelabuhan. Di dalam bonded warehouse

hanya dapat dilakukan kegiatan

komersial

tidak

(konsolidasi-dekonsilidasi),

namun

dapat

dilakukan

kegiatan

industrial (pengolahan atau processing).


Namun pada kenyataannya, sebelum diberlakukan bonded warehouse

ini,

status entreport partikulir menjadikan Batam bukan hanya sebagai tempat yang
memiliki kegiatan industri dan pergudangan saja, melainkan

juga telah adanya

perumahan

pengaturan

dan

memindahkannya
kawasan

ini

perdagangan
dari

telah

serta

tidak

kawasan

industri

bercampur

baur

pernah

dan

ada

pergudangan.

antara

kawasan

Sejak

untuk

saat

perumahan

itu,
dan

perdagangan.
Akibat adanya krisis Pertamina, maka pada 23 Juni 1976 kepemimpinan
Pulau

Batam

untuk

sementara

dialihkan

ke

Menteri

Penertiban

Aparatur

Pembangunan yang dijabat oleh JB Sumarlin berdasarkan Keppres 60/M/76.


Pembangunan Batam saat itu berjalan di tempat dan minyak yang pada tahun
1970-an sempat menjadi primadona pasar dunia dan andalan Indonesia, namun
sekitar tahun 1976-an merosot dan menjadi salah satu penyebab kemerosotan
ekonomi dunia. Akibatnya sekitar tahun 1977 minyak dan gas tidak lagi

menjadi

andalan ekonomi Indonesia.


Pada tahun 1978, tiga bulan sebelum menjabat sebagai Menteri Riset dan
Teknologi, Presiden Suharto menugaskan BJ Habibie memimpin perencanaan
dan pengelolaan Batam. Berdasarkan mandat yang diterimanya itu, BJ Habibie
melakukan langkah strategis yakni meminta kesempatan untuk dapat bertemu
dengan PM Singapura Lee Kwan Yew. Dalam pembicaraannya dengan PM

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Singapura ini, BJ Habibie mengemukakan suatu teori yang dikenal dengan Teori
Balon. Dalam pandangannya, BJ Habibie melihat jika balon terus menerus ditiup
maka tekanannya akan semakin

besar hingga pada suatu titik balon tersebut

akan meledak karena keterbatasan kapasitas ruang yang dimiliki. Demikian pula
halnya dengan Singapura yang memiliki keterbatasan wilayah,

pada suatu saat

akan mengalami nasib yang sama dengan balon tersebut. Untuk itu diperlukan
adanya balon-balon kecil lain yang dapat menampung kelebihan kapasitas
tersebut.
akselerasi

Inilah

kiranya

pertumbuhan

salah

satu

Batam

titik

selama

tolak
tiga

yang
dekade

mendorong
7

terakhir.

terjadinya
Seandainya

Singapura diaanggap Balon I, maka Balon II adalah Batam, sedangkan Balon III
adalah Pulau Galang dan Rempang, sedangkan Balon IV adalah Bintan. Balon I
diharapkan akan bersinergi positif dengan Balon II-IV, tanpa harus mengurangi
kualitas Balon I.
Program pengembangan yang berjangka pendek, jangka

menengah dan

jangka panjang dirancang selama 25 tahun mulai tahun 1981 dan diharapkan
akan berakhir pada tahun 2006 dengan target akan menjadikan Barelang
menjadi semacam Daerah Istimewa
area,

sangat

kompetitif,

sekaligus

perdagangan, finansial dan


tercapai,

Proyek

Otorita

dengan otonomi khusus, sebagai bonded


diharapkan

sebagai

pusat

keunggulan

hi-tech. Menurut BJ Habibie, setelah target 2006


harus

ditiadakan

(non-existence)

dan

pengurusan

selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah.


Menyusul Informal MoU antara BJ Habibie dan PM Lee Kwan Yew di atas,
beberapa wilayah di Batam selanjutnya ditetapkan sebagai Kawasan Berikat
(Bonded Area), guna menarik para investor untuk menanamkan modalnya di
Pulau Batam dan pada akhirnya seluruh wilayah pulau Batam ditentukan sebagai
Kawasan Berikat (Keppres No. 41 Tahun 1978). Menurut PP 31/77 definisi
bonded

warehouse

perekonomian

dan

adalah

suatu

perdagangan

sarana

dalam

institusional

daerah

pabean

dalam
Indonesia

bidang
yang

Sejauh ini kami belum tahu, apakah Teori Balon ini yang dkemukakan BJ Habibie ini merupakan
pemikiran spontan ataukah pemikiran yang merujuk kepada literatur-literatur mengenai ekonomi regional.
Jika kita merujuk kepada literature-literatur ekonom regional, sebetulnya Teori Balon dari BJ Habibie ini
sama dengan Teori Aglomerasi yang menjelaskan proses pemekaran suatu kawasan ekonomi yang
digerakkan oleh pertumbuhan kawasan inti.

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
mempunyai wilayah pengusahaan tertentu dan ketentuan-ketentuan khusus di
bidang pabean, impor, ekspor, lalu lintas devisa/barang, dan penanaman modal,
sebagai suatu tempat untuk menyimpan, menimbun, meletakkan, mengemas
dan atau mengolah barang-barang yang berasal dari :
a. luar daerah pabean Indonesia, tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan
bea, cukai, pajak dan atau pungutan Negara lainnya sampai barangbarang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor;
b. luar daerah pabean Indonesia, dengan tidak dikenakan pungutan bea,
cukai, pajak, dan atau pungutan Negara jika sampai barang-barang
tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor atau re-ekspor;
c. dalam

daerah

pabean

Indonesia,

tanpa

terlebih

dahulu

dikenakan

pungutan bea, cukai, pajak dan atau pungutan Negara lainnya sampai
barang-barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan ekspor.
Selanjutnya

disebutkan

wilayah dalam

bahwa wilayah usaha bonded warehouse

bonded warehouse

ialah suatu

dimana terdapat usaha dan kegiatan

penyimpanan, penimbunan, peletakan, alih kapal (transshipment), pengemasan


dan atau pengolahan barang. Dengan demikian definisi tadi berbeda dengan
bonded warehouse

yang dikenal dalam dunia internasional sebagai tempat

penyimpanan sementara bukan sebagai tempat pengolahan.


Sebagaimana halnya dengan peraturan perundangan sebelumnya yakni
UU No. 3 tahun 1970 dan PP 20/72
Pelabuhan Bebas.

tentang kawasan Perdagangan Bebas dan

Substansi kekhususan UU No. 3/70 sama dengan PP 20/72

yaitu tidak ada pengenaan terlebih dahulu berupa pungutan bea, cukai, pajak
dan atau pungutan Negara terhadap barang yang disimpan, ditimbun, diletakkan,
dialihkapalkan,

dikemas

dan

atau

diolah.

Dengan

demikian

kawasan

perdagangan bebas terpisah dari daerah pabean Indonesia, sementara bonded


warehouse berada di dalam daerah pabean Indonesia. Bonded warehouse
sebagai bentuk usaha di antara kawasan perdagangan bebas yang di luar
daerah pabean dengan entreport

partikulir yang berada di dalam daerah

pabean.8
8

Op. cit.,, hal. 155

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Sebagai langkah lanjut, untuk pertama kalinya kemudian disusun Rencana
Induk Pembangunan Komprehensif Pulau Batam yang tidak lagi berorientasi
pada industri minyak. Dalam Rencana Induk yang dibuat oleh Departemen
Pekerjaan Umum tahun 1979 Pulau Batam direncanakan menjadi kawasan
Industri, Free Trade Zone dan pusat alih kapal dengan tempat penimbunan
barang

ekspor,

impor,

pariwisata

serta

berbagai

sarana

dan

prasarana

pendukung.9
Memasuki dasawarsa 80-an, Batam mulai memasuki babak baru dengan
pertumbuhan

industri

manufaktur

terutama

elektronika.

Selain

itu,

melewati

dasawarsa 1980-an prasarana infrastruktur jalan, dam, pembangkit tenaga listrik,


dan telekomunikasi telah dibangun. Industri petroleum sudah menancap kuat
dan memberikan sumbangan yang fundamental
strategi

yang

tepat,

perusahaan

penunjang

bagi ekonomi Batam. Dengan


migas

dapat

diharapkan terus

berkembang dan berdaya saing lebih kuat untuk memasuki pasar internasional.
Keberadaan perusahaan yang pasti akan memasarkan produksinya ke luar
Batam dan akan mendukung kegiatan pelabuhan Batam. Batam membutuhkan
orientasi

strategis

untuk

mendukung

perkembangan

perusahaan

penunjang

minyak di Batam.
Mengantisipasi

perkembangan

ke

depan

sebagai

konsekuensi

dari

dijadikannya Batam sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi, maka pada tahun


1981 dibuatlah Masterplan Rencana Jangka Panjang Pengembangan Batam
1981-2006 yang kemudian dilakukan dua kali revisi oleh Lembaga Teknologi
Universitas Indonesia yakni pada tahun 1985 dan tahun 1991. Dalam dua kali
revisi,

masterplan

substansial.

Batam

ini
tetap

fungsi

Batam

diarahkan

tetap

menjadi

tidak

mengalami

kawasan

industri,

perubahan
pariwisata,

perdagangan, dan alih kapal (transshipment). Berdasarkan masterplan ini pula


diambil kesimpulan bahwa pembangunan Pulau Batam tidak cukup hanya
direncanakan

sebagai

daerah

industri

semata-mata

tetapi

juga

diarahkan

sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh sektor industri,


perdagangan dan pariwisata.
9

ibid.

10

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Mengingat potensi ekonominya dari berbagai sektor tadi, maka pemerintah
melalui Keppres No. 56/84 tgl. 18 September 1984 memperluas kawasan
ekonomi Batam

mencakup lima pulau di sekitanya,r yakni Pulau Kasem, Pulau

Moi-moi, Pulau Ngenang, Pulau Tanjung Sauh dan Pulau Janda Berias, dan
kepada

wilayah

ini

diberi

status

bonded

warehouse.

Artinya,

kawasan

pertumbuhan ekonomi Batam bukan lagi berarti kawasan Pulau Batam, tetapi
juga diperluas ke beberapa pulau di sekitarnya.
Dari perjalanan di atas dapat dilihat bahwa perkembangan Batam sangat
ditentukan oleh rencana-rencana ekonomi yang berbasis industri. Sementara
perkembangan

di

bidang-bidang

lainnya

lebih

mengambil

posisi

mengikuti

pekembangan ekonomi berbasiskan sektor industri. Di sinilah letak perbedaan


Batam dan Bali.
Sejalan

dengan

perkembangan

penduduk Batampun secara perlahan

pembangunan

Batam,

pertumbuhan

tapi pasti meningkat dan menumbuhkan

adanya jasa perkotaan. Karena itu, di awal tahun 1980-an dipandang perlu
adanya pengaturan khusus dalam hal penyelenggaraan pemerintahan. Dengan
kata lain, perlu ada lembaga di luar Otorita Batam yang berperan untuk mengatur
fungsi pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna. Atas pertimbangan
ini, Pemerintah Pusat kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 34/83
mengenai Pembentukan Kota Administratif Batam di wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I Riau sebagai perangkat dekonsentrasi. Sejak saat itu pula, pengelolaan
kawasan Batam melibatkan dua lembaga, yakni Otorita Batam dan Pemerintah
Kota Administratif.
Meski pengelolaan kawasan Batam sejak tahun 1983 telah melibatkan
Pemerintah Kota Administratif, Otorita Batam memiliki kewenangan yang sangat
luas untuk mengelola Pulau Batam dalam rangka menarik investor dalam
menanamkan

modalnya

penyelenggaraan

dual

di

Pulau

functions,

Batam.
yaitu

(a)

Kewenangan
sebagian

tersebut

fungsi

meliputi

pemerintahan,

berupa pemberian izin, pelayanan masyarakat, pertanahan dan sebagainya,


atas

dasar

pendelegasian

pelbagai

kewenangan

Pemerintah

Departemen tehnis terkait; (b) fungsi pembangunan, dimana

Pusat

cq.

Otorita Batam

11

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
mengelola sarana dan prasarana seperti bandara, pelabuhan laut, listrik, air
minum, rumah sakit dan lain-lain dalam rangka mempertahankan daya saing
sebagai kawasan industri, kegiatan alih kapal, perdagangan dan pariwisata.
Dengan

demikian

terjadi

pemisahan

antara

fungsi

pemerintahan

dan

kemasyarakatan yang diemban oleh Kotatip dan fungsi pembangunan yang


dijalankan oleh Badan Otorita Batam.

Karena itu wilayah administratif ini tidak

dilengkapi dengan DPRD tingkat II dan Walikota Administratif Batam langsung


bertanggungjawab kepada Gubernur/KDH tingkat I Riau.
Kewenangan

Otoritas

Batam

yang

sudah

cukup

luas

tadi,

mendapat

tambahan wilayah kerja lagi pada tahun 1992 dengan diperluasnya wilayah kerja
Otoritas Batam berdasarkan Keppres No. 28 tahun 1992 yang memasukkan
pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru dan pulau-pulau kecil di
sekitarnya sekaligus menetapkan statusnya sebagai Kawasan Berikat (bonded
zone).

Perluasan

wilayah

kerja

tersebut

sebagai

wilayah

Batam-Rempang-

Galang (Barelang) dihubungkan dengan 6 (enam) buah jembatan antar pulau


yang pertama dibangun di Indonesia menjadikan penambahan luas menjadi 715
km2. Batam telah berfungsi sebagai kawasan FTZ

dan mendapat fasilitas

pembebasan pajak, sehingga fasilitas bebas PPN, PpnBM dan BM berlaku


bukan saja untuk kegiatan industri, tetapi juga untuk kegiatan lainnya seperti
komersial,

jasa

pendukung

industri

termasuk

kebutuhan

konsumsi.

Bahkan

seluruh lokasi kegiatan industri bersatu dengan kegiatan-kegiatan lain seperti


pemukiman, komersial termasuk jasa pendukung industri.
Perubahan besar terjadi setelah dikeluarkan dan diberlakukannya UU No. 22
Tahun 1999 dan UU No. 53 Tahun 1999, yang menjadikan Batam sebagai
daerah pemerintahan kota otonom yang sama kedudukannya dengan kabupaten
dan

kota-kota lainnya di Indonesia. Salah satu bentuk perubahan itu adalah,

munculnya

kewenangan

Pemerintah

Kota

Batam

dalam

mengelola

urusan

industri dan investasi. Perubahan ini jelas berdampak pada masalah kepastian
hokum karena adanya dualisme kelembagaan untuk urusan yang sama.

12

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
C. ASPEK EKONOMI KEBERADAAN BATAM.

Salah satu yang membuat Batam menjadi perhatian khusus sejak dahulu
hingga

sekarang

kemampuan

aktual

adalah
untuk

karena
memberi

kawasan

ini

kontribusi

memiliki

terhadap

potensi

maupun

kemajuan

ekonomi

nasional maupun daerah Batam dan sekitarnya. Posisinya yang sangat dekat
dengan negara industri baru Singapura, membuat kawasan ini sangat berpotensi
untuk

menampung luapan ekonomi dari Negara pulau yang sudah tergolong

maju tersebut.
Nilai ekonomis kawasan ini sudah tak terbantahkan sejak ia dikembangkan
secara terencana oleh pemerintah. Saat ini, nilai ekspor nonmigas Batam
memberi kontribusi sekitar 14% dari nilai ekspor nonmigas nasional dan
menyumbang sektiar 11% dari nilai total PMA yang masuk ke Indonesia.
Perkembangan investasi swasta asing mengalami peningkatan selama 10 tahun
terakhir dimana tahun 1993 foreign private investment (dalam jutaan US $)
sejumlah 1.648 meningkat menjadi 3.620 pada tahun 2002.10
Selain itu, juga telah tercatat fungsi kawasan ini dalam menciptakan
lapangan kerja bagi sekitar 170 ribu tenaga kerja dan menciptakan lapangan
usaha bagi sekitar 9000 UKM. Sementara untuk ekspor dan pemasukan devisa
dalam 10 tahun terakhir terjadi flaktuasi dimana pada tahun 1992 sejumlah US$
564,5 juta meningkat hingga tahun 1997 senilai US$ 4.885,1 juta, namun
mengalami penurunan pada tahun 1998 menjadi US$ 4.726,2 juta dan mulai
merangkak naik menjadi US$ 4.807,3 juta

setahun kemudian (1999) dimana

puncaknya pada tahun 2000 senilai US$ 6.770 juta sebelum kembali jatuh pada
tahun 2001 senilai US$ 5.710 juta dan pada tahun 2002 sebesar US$ 5.000
juta.11
Batam juga tercatat ke dalam kelompok tiga besar daerah tujuan wisatawan
mancanegara ke Indonesia, sehingga Batam juga menjadi penting sebagai
penariknya masuknya devisa melalui sektor pariwisata. Untuk pemasukan devisa

10
11

Investment Guidelines Batam Indonesia, (BIDA, Tanpa tahun terbit).


Ibid.

13

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
dari sisi pariwisata pada tahun 1992 sejumlah US$ 238 juta , meningkat terus
hingga tahun 1997 berjumlah US$ 405,6 juta dan tahun 1998 senilai US$
421,58. juta Meski pada tahun 2000 menurun

menjadi US$ US$ 413,45 juta dari

tahun 1999 yang berjumlah US$ 478,44 juta, penerimaan devisa dari pariwisata
ini meningkat kembali pada tahun 2001 menjadi US$ 428 juta. Pada tahun 2002
sedikit menurun menjadi senilai US$ 417 juta.
Untuk perbandingan nilai ekspor nonmigas antara Indonesia, Provinsi Riau
dan

Batam

digambarkan

sebagai

berikut:

untuk

tahun

1993

nilai

ekspor

Indonesia sejumlah US$ 27.078 juta sementara Riau sejumlah US$ 615 juta dan
untuk Batam sendiri US$ 930 juta. Kondisi ini tetap bertahan hingga tahun 1997
dimana untuk Indonesia sebesar US$ 4.1821 juta, untuk Riau US$ 2.312 juta
dan untuk Batam sebesar US$ 4800 juta. Namun pada tahun 1998 terjadi
penurunan dimana Indonesia sebesar US$ 40.975 juta, untuk Riau US$ 1.658
juta dan untuk Batam US$ 4.700 juta. Pada tahun 1998 ketika Nilai Ekspor non
Migas

Indonesia

mengalami

penurunan

justru

Batam

dan

Riau

terjadi

peningkatan dari tahun sebelumnya dimana Riau dengan nominal US$ 5.216
juta dan Batam US$ 4.800 juta. Untuk tahun 2000 Indonesia kembali meningkat
menjadi US$ 47.779 juta, demikian pula Riau dan Batam, yang mana Riau
memperoleh nominal sejumlah US$ 7.439 juta dan Batam US$ 6.700 juta. Posisi
Tahun 2001 untuk Indonesia menurun menjadi US$ 43.406 juta, untuk Riau US$
6.718 juta dan untuk Batam US$ 5.710 juta. Pada akhir tahun 2002 (Desember)
ketika

nilai

ekspor

non

Migas

Indonesia

berada

pada

posisi

mengalami

peningkatan menjadi US$ 44.880 juta dan Riau juga mengalami peningkatan dari
tahun sebelumnya menjadi US$ 7.142 juta, Batam mengalami penurunan dari
tahun sebelumnya, dimana Nilai Ekspor Non Migasnya tahun 2002 sebesar US$
5.000 juta.
Sering dengan peningkatan berbagai kegiatan produksi tadi, penerimaan
pajak Pemerintah Pusat dari Batam selama 10 tahun terakhir ikut meningkat
cukup drastis dari Rp 35,8 milyar pada tahun 91/92 menjadi Rp 945,74 milyar
pada tahun 1991/1992, dan hanya turun sedikit pada tahun 2002 menjadi Rp 907
milyar. Sementara untuk penerimaan pajak kota Batam sendiri juga meningkat

14

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
drastis dari Rp 5,81 milyar pada tahun 91/92 hingga menjadi Rp 73,01 milyar
pada tahun 2000 hingga melonjak drastis ke Rp 358,833 milyar pada tahun 2001
dan menjadi Rp 358,633 milyar pada akhir tahun 2002 (Desember).
Dari data-data ekonomi di atas jelas tidak bisa diingkari bahwa Batam
adalah kawasan ekonomi yang sangat menguntungkan bagi banyak pihak,
termasuk Pemerintaha Kota Batam.

D. ASPEK HUKUM DAN DEMOKRASI.


Dari

sisi hokum dan demokrasi keberadaan Otorita Batam dengan segala

kompleksitasnya juga tidak kalah menariknya. Dari sejarah perkembangan status


pemerintahan di Pulau Batam sebelum Era Otonomi Daerah, terlihat bahwa
Pemerintah telah menetapkan adanya perangkat untuk mengembangkan Pulau
Batam sebagai kawasan industri, pusat kegiatan alih kapal (transshipment),
kawasan

perdagangan

dan

kawasan

pariwisata

serta

penyelenggaraan

pemerintahan yang bersifat dekonsentrasi.


Dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah,

telah

terjadi

perubahan

paradigma

penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sistem

yang

siknifikan

terhadap

sentralisasi menjadi sistem

desentralisasi, yang ditandai dengan penyerahan seluruh kewenangan dari pusat


ke daerah kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain
sebagaimana yang tercantum pada Pasal

7 UU tersebut. Pembentukan Kota

Batam dan 6 Kabupaten lain dilakukan atas dasar UU No. 22 Tahun 1999.
ini

Hal

semua pararel dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (amandemen kedua

tahun
otonomi

2000)

yang

menegaskan

seluas-luasnya,

kecuali

bahwa Pemerintahan
urusan

Pemerintahan

Daerah
yang

menjalankan

oleh

Undang-

Undang ditentukan sebagai Urusan Pemerintah Pusat.


Dengan demikian berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999 Kota Administratif
Batam

sebagai

perangkat

dekonsentrasi

telah

ditetapkan

sebagai

daerah

15

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
otonom Pemerintah Kota Batam

sebagai perangkat desentralisasi dengan

11

kewenangan wajibnya, yaitu : pekerjaan umum, kesehatan, pariwisata dan


kebudayaan,

pertanian,

perhubungan,

industri

dan

perdagangan,

penanaman

modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. (Pasal 11 UU


No. 22 Tahun 1999 dan Pasal 17 ayat (2) UU No. 53 Tahun 1999).
Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Pasal 21 ayat (1)
UU No. 53 Tahun 1999 menyatakan bahwa Dengan terbentuknya Kota Batam
sebagai

Daerah

Otonom,

Pemerintah

Kota

Batam

dalam

penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan didaerahnya mengikutsertakan Badan Otorita


Batam.
Merujuk pada basic idea Badan Otorita Batam sebagaimana digambarkan
di atas (lihat Teori Balon BJ Habibie), dalam perkembangannya nampak telah
terjadi semacam goal displacement. Sebab proses non-eksistensi yang melekat
pada basic idea Badan Otorita Batam tidak disinggung dalam
tersebut,

bahkan

memperoleh

sebagai

permanent

pengakuan

body sekalipun

kedua UU

terselubung (implied recognition)

dalam

status

yang

berbeda.

Apabila

sebelum Era Otonomi Daerah status Kota Batam sebagai Kotatip justru
merupakan penunjang
Otorita

Batam

(proponent) Otorita Batam, maka di Era Otonomi Badan

berstatus

sebagai

participant

dalam

penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan Pemerintah Kota Batam.


Dengan demikian akan timbul pertanyaan apakah institusi Badan Otorita
Batam

akan

tetap

permanent institution

bersifat
atau

temporary
harus

ataukah

dicari jalan

dipertimbangkan

tengah

mengingat

menjadi
telah

berubahnya lingkungan politik, sosial dan ekonomi serta lingkungan regional dan
global yang terjadi secara cepat dan mendasar,
Berdasarkan

UU

No.

53

Tahun

1999,

pembagian

kewenangan antara

Pemerintah Daerah dengan Otorita Batam diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Sampai hari ini PP yang menggantikan Keppres No. 7 Tahun 1984 yang
mengatur Hubungan Kerja Antara Walikota Administratif Batam dengan Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam belum rampung (sekalipun Konsep
PP

sudah

disepakati

baik

oleh

Pemkot

Batam

maupun

Otorita

Batam).

16

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Sementara

itu

telah

pula

muncul

intervening

variables

baru

berupa

perkembangan Riau Kepulauan sebagai Provinsi baru, dan pemikiran atas dasar
RUU untuk mengembangkan status Batam sebagai Kawasan Perdagangan
Bebas (Free

Trade

Zone) dalam rangka mengantisipasi persaingan global

dimana di dalamnya diatur pula tentang kelembagaan dalam pengelolaannya


yang melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pembahasan RUU Free
Trade Zone inipun masih mengalami hambatan akibat tarik menarik kepentingan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam kelembagaan

apa yang

dinamakan Dewan Kawasan.


Kekosongan hukum (legal
memicu

emptiness)

ini

sangat

berisiko karena akan

terjadinya pelbagai diskresi (misalnya munculnya pelbagai Perda dan

kebijakan Badan Otorita),

tidak adanya

suasana anomis, berkembangnya


sosial dan politis (social
kepemimpinan,
pembangunan,

rasa

kepastian hukum (legal uncertainty),

faktor kriminogin, berkembangnya

and political unrest), munculnya issue dualisme

ketidaktenteraman,

kekaburan

kewenangan

Pemerintah Kota Batam di lain pihak


bagi investor, iklim bisnis

keresahan

gangguan

Badan

terhadap

Otorita

di

satu

kelancaran
pihak

dan

dan sebagainya yang sangat tidak kondusif

dan pelayanan sosial yang luas. Semuanya ini jelas-

jelas kontra poduktif.


Dalam hal ini yang perlu dipikirkan adalah di satu pihak sampai seberapa
jauh basic idea terbetuknya
kemudian

mengalami

Badan Otorita Batam yang sangat positif dan

goal displacement tetap bisa dilanjutkan realisasinya,

tetapi di lain pihak Otonomi Daerah sebagai bagian dari agenda reformasi dalam
kerangka

demokratisasi

effisiensi

tetapi

demi

tidak

terganggu.

Demokrasi

pertanggungjawaban.

tidak

Otonomi

dirancang

dan

demi

desentralisasi

merupakan salah satu dari sekian banyak prinsip dasar demokrasi. Semakin jauh
suatu pemerintahan dari rakyatnya, maka ia semakin kurang efektif dan semakin
kurang mendapat kepercayaan.12
Dengan otonomi daerah rakyat didekatkan pada para pejabatnya yang
memiliki
12

decisive power. Bagi Negara yang besar,

dengan luas wilayah dan

Urofsky, Melvin I, Basic Principles of Democracy, 2003, hal. 27

17

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
heterogen seperti Indonesia, otonomi daerah dalam kerangka
bisa menjadi penjaga keamanan yang penting
ketidakpuasan
penting

di

daerah

sini

dan

adalah

mencegah

jalan

tengah

gerakan
apa

desentralisasi

terutama untuk meredam


separatis.

yang

perlu

Persoalan

yang

dirumuskan

untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan di atas ?


Di Era Orde Baru telah terbukti bahwa kekuasaan eksekutif yang terpusat
dan tertutup di bawah kontrol lembaga kepresidenan yang feodalistik telah
mengakibatkan krisis sistemik (struktural, substantif dan kultural), sehingga tidak
mendukung berkembangnya fungsi pelbagai lembaga kenegaraan, politik, dan
sosial secara proporsional dan optimal. Mekanisme hubungan pusat-daerah
cenderung tidak adil dan pengambilan keputusan kurang sesuai dengan kondisi
politis, sosiologis, filosofis, geografis dan demografis di pelbagai daerah.
Dari segi
organization)

konsep tipe hukum dan organisasi formal (type of law and formal
telah

terjadi

signifikan dari Tipe Hukum

pergeseran

dan

perkembangan

nilai-nilai

yang

Repressive yang menitik beratkan pada order,

pendekatan ad hoc, sifat opportunistic yang penuh diskresi, law subordinated to


power politic, criticism as disloyalty, penekanan pada moralitas komunal, menjadi
Tipe Hukum

Autonomous sekaligus Responsive yang menekankan legitimasi

dan kompetensi, keadilan prosedural dan substantif, legalistic dan purposive,


subordinated to principle, accountable to rules and purpose, institutional and civil
morality, legal and political aspirations

powers integrated

and blending of

powers, integration of legal and social advocacy.


Birokrasi yang semula partikularistik, kharismatik, ad hoc, unstable tumbuh
menjadi

birokrasi yang mission oriented, substantive rationality, subordinated to

purpose, participatory, broad delegation, experts have autonomus professional


base.13
Pergeseran nilai dari masyarakat yang tidak demokratis ke arah masyarakat
demokratis dalam kerangka reformasi beserta hukum yang autonomous dan
responsive disertai nilai-nilai

post-bureaucratic di atas nampaknya kurang

13

Nonet, Philippe and Selznick Philip, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law,
Harper & Row Publ., New York, 1998, hal. 16 dst.nya

18

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
disadari

dan

tidak

dipahami

secara

mendasar.

Sehingga,

dengan

dalih

transisional justru memunculkan kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan


dengan nilai-nilai di atas.
Ketidakberhasilan

menciptakan

produk

hukum

yang

kondusif

untuk

pembangunan Batam sampai saat ini, sebenarnya merupakan indikator belum


mantapnya

beberapa

nilai

dasar

ketatanegaraan. Kunci dan

demokrasi

di

atas

dalam

kehidupan

kualitas produk hukum yang demokratis tidak

terletak pada tata cara atau bahkan forum di mana peraturan itu dihasilkan,
melainkan pada sifat keterbukaan prosesnya bagi

masyarakat dan perlunya

pemahaman terhadap harapan rakyat sebagai norm addresse.


Kesadaran dan penghayatan terhadap nilai-nilai dasar demokrasi dengan
segala aspeknya akan sangat penting untuk menciptakan unity of command and
aspirations
mata.

Hal

dalam rangka menghadai proses globalisasi yang sudah didepan


ini

penting

untuk

dihayati

karena

Globalization,

growth

and

regionalization are helpful to develop or rejuvenate economies. Indeed, over the


long term, increasing global integration

through trade and investment will vastly

improved the wellbeing of developing and industrial countries alike- helping to


mitigate hostilities, built confidence, and peacefully channel competition. But this
process also

entails difficult adjustments

developed countries. Not

in both developed countries and less

everyone is finding a niche in the world economy-

many have fallen between the cracks, if not into chasm of chaos 14

E. TATA KELOLA PEMERINTAHAN PASKA OTONOMI DAERAH

Sumber persoalan pembagian kewenangan dan tata kelola Batam yang


mencuat saat ini pertama-tama berkaitan dengan perkembangan cepat kawasan
Batam semenjak adanya kebijakan-kebijakan rekayasa pengembangan kawasan
14

Lodge, George C, Managing Globalization in the Age of Interdependence, (Pfeiffer and Co,
Toronto, 1995), hal 45

19

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
ekonomi

oleh

pemerintah.

Semula,

rencana

pengembangan

kawasan

ini

didasarkan pada sektor industri. Sementara perkembangan di bidang-bidang


lainnya

lebih

mengambil

posisi

defensive dan bersifat sebagai followers

mengikuti perkembangan ekonomi berbasiskan sektor industri tersebut.

Namun

Social Policy semacam ini ternyata juga menimbulkan persoalan karena social
policy yang diambil tersebut kurang memperhatikan dua dimensi yang mestinya
selalu ada, yaitu social welfare policy dan social defence policy. Dimensi ini
sejak

awal

seharusnya

dirumuskan

secara

simultan

dan

komplementer;

Sehingga, salah satu tantangan pembangunan Batam saat ini adalah bagaimana
menghindari kondisi yang bersifat fragmented ini.
Perlu dingat kembali, kelemahan UU No. 22/99 maupun UU No. 53/99
yang

menyebabkan

ekonomi

dan

munculnya

tatakelola

sejumlah

pemerintahan

masalah
Batam

dalam
jelas

pengembangan

bersumber

pada

ketidakcukupan asumsi-asumsi dalam melihat kecenderungan masalah-masalah


pembangunan di Batam. Dalam merumuskan kedua UU tersebut tampaknya
para arsiteknya telah mengasumsikan kondisi Batam sama dengan Kabupaten
atau Kota-Kota lain di Indonesia. Padahal, karena sejarah perkembangannya
yang berbeda dan posisinya yang

strategis Batam menjadi memiliki dimensi

tertentu yang bersifat khusus, selain dimensi yang bersifat umum yang juga
ditemukan di daerah lain di Indonesia. Karena itu untuk urusan tatakelola
pemerintahan, setiap masalah yang muncul harus dilihat dari pelbagai dimensi,
dengan menggunakan sebanyak mungkin asumsi. Artinya, pelbagai asumsi dari
pelbagai

aspek

pembangunan

harus

merumuskan suatu peraturan yang

dikemukakan

pada

saat

hendak

menyangkut tatakelola pemerintahan di

Batam.
Sebagai contoh, perumus UU No. 22/99 dan UU No. 53/99 mungkin tidak
memperhitungkan
memperhatikan

asumsi
timbangan

manajemen
antara

beban

pemerintahan
kewenangan

karena
dan

kurang
kapasitas

kelembagaan ketika mendesentralisasikan kewenangan di bidang industri dan


investasi kepada Pemerintah Kota Batam sebagai daerah otonom. Seandainya
kewenangan industri dan investasi yang dilimpahkan tersebut dipersepsikan

20

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
sebagai semua urusan industri dan investasi, jelas untuk kasus Batam
urusan yang dilimpahkan

beban

demikian besar, sementara kapasitas kelembagaan

Pemerintah Kota sebagai pemerintahan baru masih relatif kecil.


Maka, paling tidak, mestinya asumsi yang dipakai di sini adalah asumsi
transisional

jika Pemerintah Pusat tetap ingin menyamakan daerah otonom

Batam dengan daerah otonom lainnya. Itupun akan tergantung apakah Otorita
Batam masih dilihat keberadaannya yang bersifat temporer atau merupakan
permanent body.
Selain

menggunakan

asumsi

transisional

di

atas,

pemerintahan Batam tentunya juga harus memasukkan

kebijakan

tatakelola

asumsi-asumsi lainnya

yang mungkin tidak terlalu perlu untuk daerah-daerah kabupaten atau kota-kota
lain. Asumsi-asumsi tersebut, misalnya bisa mencakup masalah kecenderungan
regionalisasi

ASEAN,

perubahan

geopolitik

internasional,

ketahanan

ekonomi

nasional, stabilitas sosial yang dinamis, pelestarian lingkungan ekologis, dan


sebagainya.
Ditinjau dari pelbagai kondisi sekarang dan kecenderungan pelbagai bidang
pembangunan

yang

sedang

bergerak

di

Batam,

sebetulnya

tipe

tatakelola

pemerintahan Batam lebih tepat menggunakan Tipe Transisional Menuju Daerah


Otonomi Khusus untuk waktu sekitar 5 hingga 10 tahun. Diusahakan, setelah
masa transisi berakhir, dualisme kelembagaan dalam tata kelola pemerintahan di
Batam juga harus diakhiri dengan mengintegrasikan Otorita Batam ke dalam
sebuah

sistem

pemerintahan

yang

kurang

lebih

berbentuk

Pemerintahan

Kawasan Khusus Batam.


Pada masa transisi tadi, bisa dilakukan pembagian kewenangan antara
Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam berdasarkan pertimbangan historis,
kondisi

obyektif

saat

ini,

dan

kecenderungan-kecenderungan

lungkungan

strategis jangka panjang. Secara sektoral, pembangunan kewenangan tersebut


semestinya tidak sulit, karena kita bisa merujuk kepada pembagian kewenangan
yang

lumrah

antara

urusan

pemerintahan

(pelayanan

publik)

dan

urusan

mekanisme pasar. Dalam rangka memberikan iklim yang kondusif kepada pelaku
pasar, misalnya, kita perlu menegaskan lewat Undang-undang bahwa lembaga

21

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Otorita

Batam

pelabuhan

tetap

dan

harus

bandara,

diberi

kewenangan

kawasan-kawasan

mengurus

industri,

dan

industri
pengadaan

besar,
dan

pengelolaan infrastruktur industri. Sementara itu, Pemerintah Kota Batam sendiri


memperoleh

kewenangan-kewenangan

lain,

kecuali

kewenangan-kewenangan

yang disebutkan untuk Otoritas Batam tadi.


Tetapi untuk masa transisi menuju satu otoritas pemerintahan, kita juga
harus melihat secara realistis adanya sektor-sektor yang terpaksa berada di
wilayah abu-abu (grey sector). Urusan-urusan yang bisa masuk ke dalam
wilayah abu-abu ini misalnya, pelayanan kesehatan, pertanahan, pengadaan air
bersih dan beberapa lainnya. Adanya wilayah abu-abu ini sekaligus menuntut
pemikiran yang arif ketika hendak mendistribusikan kewenangan kepada para
stakeholders pengelola kawasan. Di sini persoalan yang agak rumit mungkin
adalah masalah membagi kewenangan diantara Pemerintah Pusat, Gubernur,
Walikota Batam dan Otorita Batam.

F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.

a. Saat ini berkembang dua pemikiran yang berbeda mengenai pilihan


bentuk

free

trade

zone (FTZ) Kawasan Batam ke depan dengan

sejumlah alasan yang digunakan oleh masing-masing pihak. Pertama,


adalah pemikiran yang

menginginkan

bentuk FTZ yang menyeluruh di

kawasan Batam. Kedua, pemikiran yang mengusulkan agar FTZ Batam


berbentuk beberapa enclaves di dalam Wilayah Batam (FTZ Enclave,
FTZ kawasan industri saja). Dengan bentuk pilihan yang disebut pertama,
bentuk FTZ Batam berarti seluruh wilayah Batam adalah kawasan bebas
keluar-masuk barang dari dan ke luar negeri. Pendekatan ini sering
dituduh sebagai usaha untuk mengkerdilkan kewenangan daerah dan
lebih jauh lagi dianggap tidak konsisten terhadap Konsep Otonomi Daerah
sebagai salah satu agenda reformasi serta ingin menghidupkan kembali
budaya sentralistik. Sedangkan dengan bentuk pilihan kedua, kawasan

22

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
bebas keluar-masuk tadi hanya pada enclave-enclave yang ditetapkan
sebagai FTZ di dalam daerah Batam,

dianggap merupakan usaha

dengan

peran

sengaja

Perkembangan

ingin

terakhir

menghilangkan

memperlihatkan

bahwa

pemerintah
para

pusat.15

stakeholders

pembangunan Batam seperti terbagi ke dalam dua cara pandang tadi dan
cenderung

terlibat

ke

dalam

situasi

tarik-menarik

karena

meyakini

kebenaran perspektif masing-masing.


b. Masalah

utama dalam pengelolaan kawasan Batam saat ini berkaitan

dengan masalah legal uncertainty dan dualisme kelembagaan dalam


mengelola urusan pelayanan kepada publik maupun kepada investor;
Masalah ini jelas bersumber dari ketidaksempurnaan Undang-undang No.
22 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 dan tidak adanya
Peraturan

Pemerintah

yang

menindaklanjuti

kedua

undang-undang

tersebut.
c. Dari aspirasi yang berkembang, sebenarnya baik Badan Otorita Batam,
Pemerintah Kota Batam dan para pengusaha serta masyarakat Batam
sendiri tidak lagi mempersoalkan produk hukum yang akan mengatur
pembangunan Batam, misalnya apakah free trade zone yang akan
berlaku berbentuk enclave ataukah berbentuk FTZ seluruh Batam atau
bentuk

kombinasi

keduanya.

Yang

dibutuhkan

segera

adalah

legal

certainty dalam bentuk produk UU dari Pemerintah Pusat, atas dasar


pelbagai aspirasi yang telah disampaikan kepada Pemerintah Pusat oleh
para

stakeholders

kepentingan

yang

pembangunan
terjadi,

Batam.

Pemerintah

memberikan solusi yang obyektif

Dalam

Pusat

suasana

konflik

diharapkan

dapat

berdasarkan cost and benefit analysis

dan swot analysis terhadap pelbagai permasalahan di atas.

d. Harus diakui, terdapat kecenderungan pada Otorita Batam mengalami


goal displacement yakni

tumbuh menjadi permanent body sehubungan

15

Octarevia, David, Tinjauan Suatu Model FTZ di Indonesia, FTZ Khas Batam, Berpenduduk dan
Berpemerintah Kota, UI-Press, 2003 hal. 47

23

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
dengan implied recognition, baik dalam UU Otonomi Daerah maupun
dalam Konsep RUU FTZ.
dapat

dibenarkan

Implied recognition

karena

akan

menimbulkan

dalam

politik hukum tidak

multi-interpretation

dan

ketidakpastian. Dalam hal ini harus ada penegasan apakah keberadaan


Otorita Batam bersifat permanen ataukah temporer, dan apakah Otorita
Batam

akan tetap berdiri sendiri di luar Pemerintahan Kota Batam atau

pada suatu saat akan diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan


kawasan khusus Batam.
e. Konsep OTDA mengalami permasalahan karena penekanan lebih banyak
diletakkan pada aspek struktural dan substantif (yang

secara empiris juga

jauh dari memadai), dan kurang memperhatikan aspek kultural. Segala


pihak harus sadar bahwa sikap kurang
accelerated evolution tidak hanya

konsisten dalam melaksanakan

menimbulkan akibat dalam kaitannya

dengan efisiensi dan efektivitas, tetapi akan mencederai proses reformasi


yang tidak lain merupakan usaha sistematis untuk melakukan proses
demokratisasi.
f.

Dramatisasi terhadap kontroversi tentang dualisme kepemimpinan yang


muncul

antara

Otorita

Batam

dan

Pemerintah

Kota

Batam

sejak

diberlakukannya UU No. 22/99 dan UU No. 53/99, telah menjadi bahan


perdebatan yang berlarut-larut dan cenderung

mengalami kompleksitas

baru berupa suasana quasi rivalry antara kedua institusi tersebut. Jika
keadaan yang demikian terus berlanjut dan tidak segera menemukan
solusinya yang tepat, seperti dikhawatirkan banyak kalangan selama ini,
pasti akan menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi pertumbuhan Kota
Batam sebagai kawasan yang sejak semula disiapkan

sebagai lokomotif

pertumbuhan industri nasional.


g. Para pembuat keputusan-keputusan strategis yang berhubungan dengan
masa depan pengelolaan kawasan Batam, seperti DPR dan Pemerintah

24

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Pusat, hendaknya menjajaki terlebih dahulu berbagai asumsi yang bisa
membuat suatu produk hukum kaya dengan perhitungan dampak positif
dan negatif terhadap berbagai bidang dan urusan pembangunan. Untuk
pengelolaan
strategis

kawasan

hendaknya

Batam

khususnya,

memasukkan

para

asumsi-asumsi

pembuat

keputusan

ekonomi,

ekologis,

sosial-budaya, manajemen pemerintahan dan perubahan politik sehingga


memudahkan merancang konsep tata kelola pemerintahan yang baik
(Good Governance) untuk kawasan Batam.
h. Para stakeholders sebaiknya menghindari tarik-menarik yang tidak perlu
dalam mencari alternative bentuk sistem pengelolaan kawasan Batam
dalam

rangka

mengimplementasikan

otonomi

daerah

sekaligus

mengambil peluang emas dari era perdagangan bebas. Tarik-menarik


yang

membuang

mempersiapkan
tahap
dengan

sumberdaya

ini

bisa

dihindarkan

dengan

cara

dua tahapan sistem pengelolaan kawasan Batam. Pada

pertama,

sistem

pengelolaan

cara

melakukan

pembagian

kawasan

Batam

dibuat

kewenangan-kewenangan

dengan
antara

Pemerintah Kota Batam dan Otoritas Batam yang bisa dibuat dengan
tegas dan jelas, dan menentukan sistem koordinasi untuk kewenangankewenangan yang berada di wilayah grey area. Tahap ini bisa kita sebut
sebagi tahap transisi menuju pengintegrasian kedua lembaga tadi. Tahap
kedua,

adalah

terintegrasi
peluang

di
emas

tahap
dalam
dari

memasuki
spirit
posisi

sistem

otonomi

pengelolaan

daerah

strategis

kawasan

sekaligus

Batam

untuk

yang

memanfaatkan
kepentingan

pembangunan nasional. (Lihat Bagan pada lampiran).

i.

Dalam rancangan sistem pada tahap kedua tahap integrasi memang


perlu dipertimbangkan perlunya Dewan Kawasan Batam dalam kerangka
mengelola free trade zone sekaligus mempertahankan spirit otonomi
daerah (desentralisasi). Namun dalam rancangan sistem untuk tahap
transisi menuju pengintegrasian, Dewan Kawasan tidak mutlak harus ada.

25

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Untuk mengatasi

masalah-masalah yang mencuat saat ini, kiranya cukup

dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur urusan-urusan atau


kewenangan-kewenangan
dikoordinasikan

yang

harus

pengelolaannya

dikelola

antara

secara

Pemerintah

bersama

atau

Batam

dan

Kota

Otoritas Batam.

j.

Jika Dewan Kawasan dibentuk bersamaan dengan dimulainya tahap


pengintegrasian

penelolaan

kawasan

Batam,

Dewan

tersebut

harus

benar-benar merupakan dispute settlement body yang aspiratif, obyektif


dan

demokratis, baik dalam kerangka permasalahan internal Badan

Otorita

Pengusahaan

Kawasan

Perdagangan

dan

Pelabuhan

Bebas

(kebijaksanaan umum, pembinaan, pengawasan dan sinergi positif serta


pengusulan pengangkatan dan pemberhentian Pimpinan Otorita) maupun
permasalahan

eksternal

dalam

kaitannya

dengan

koordinasi

dengan

Pemerintah Kota Batam. Sebagai dispute settlement body yang obyektif,


Dewan Kawasan yang diketuai oleh Gubernur
unsur yang komprehensif yang selalu
mechanism.

Keanggotaan

sebaiknya

harus terdiri atas unsur-

menerapkan prinsip integrative


mencakup

Unsur

Pemerintah

Pusat, Unsur Pemda (Gubernur/Walikota), Wakil Investor, Pakar (untuk


menjaga

konsistensi

principles)

dan

Pemimpin/Tokoh

Masyarakat;

Dalam hal ini Undang-undang harus tegas untuk menyatakan apakah


keberadaan

Otorita merupakan Temporary Body

sebagaimana ide

dasarnya ataukah merupakan Permanent Body, masing-masing dengan


didukung alasan yang kuat.
k. Sistem pengelolaan Kawasan Batam pada tahap integrasi yang terdiri
atas unsur-unsur, Dewan Kawasan, Eksekutif Pemerintahan Kawasan
Khusus

Batam

yang

sekaligus

membawahi

Badan

Pengelolan

Kawasan Industri dan Investasi, dan Pengusaha, harus bebas dari


persoalan-persoalan

masa

lalu.

Untuk

itu

pelaku-pelaku

utama

yang

terkait saat ini harus benar-benar menerapkan prinsip demokrasi berupa

26

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
transparansi,

akuntabilitas

dan

responsive,

ketika

membentuk

dan

menjalankan sistem pengelolaan kawasan yang terintegrasi itu nanti.


Badan

Pengelola

Kawasan

Industri/Investasi

dan

Perdagangan

Batam, atas nama Eksekutif Pemerintahan Kawasan Khusus Batam,


harus menyampaikan laporannya kepada masyarakat atau DPRD, baik
yang

berkaitan

dengan

pertanggungjawaban

aspek

sampai

finansial

seberapa

maupun

konseptual

visi

misi

jauh

dan

yakni

dasarnya

tercapai Sedangkan Eksekutif Pemerintahan Kawasan Khusus Batam


bersama DPRD harus bisa menjelaskan urgensi dari setiap Perda yang
tdikeluarkan
peraturan

beserta
yang

sinkronisasinya

lebih

tinggi

baik

maupun

secara

sinkronisasi

vertikal

terhadap

horizontal

antar

Untuk mencari alternatif penyelesaian terhadap benturan antara

kedua

peraturan yang sederajat.


l.

pilihan bentuk FTZ, pertama-tama


terhadap

masalah-masalah

harus dilakukan inventarisasi kembali

yang

dikemukakan

oleh

masing-masing

pihak. Tahap berikutnya, harus ditinjau kembali asumsi-asumsi yang


digunakan dalam melihat setiap masalah tersebut, dan melihat apakah
asumsi-asumsi yang dipakai selama ini sudah mencukupi atau belum.
Misalnya, bisa saja asumsi suatu masalah benar dilihat dari aspek
ekonomi, tetapi asumsi seperti itu tidak cukup (insufficient) karena asumsi
ekologis atau asumsi dari aspek lain justru menghasilkan dampak negatif.
Kami menyarankan agar para stakeholders perencanaan dan pengelolaa
Batam duduk bersama dengan kepala dingin, hati yang lapang dan pikiran
yang jernih untuk

menentukan pelbagai kebijakan pengelolaan kawasan

Batam di masa depan.


m. Diperlukan

sesegera

mungkin

mengakhiri

overlapping

fungsi

yang

terlanjur muncul akibat keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 53


Tahun 1999 agar kesempatan emas untuk melanjutkan pembangunan
Batam

tidak

kewenangan

hilang.
pada

Untuk
beberapa

itu,

mungkin

urusan

yang

perlu
masih

dibuat

pembagian

overlapping

tadi

berdasarkan cluster, kemampuan dan kompetensi penerima wewenang,

27

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
dan

sebagainya.

Misalnya,

dibuat

pembagian

kewenangan

di

sektor

industri dan investasi berdasarkan skala ekonomi, dimana pihak Otorita


Batam

memiliki

industri

dan

menengah

investasi

dan

Pemerintah

kewenangan
kecil

Kota.

skala

merencanakan
besar,

sementara

kewenangannya

Disamping

itu,

dan

mengelola
untuk

langsung

tentu

saja

kegiatan

yang

berskala

diserahkan
masih

kepada

dimungkinkan

kerjasama atau sinergi positif di lingkungan kewenangan yang masuk


kategori

grey areas selama masa transisi berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan yang realistis da masuk akal. Yang jelas, dalam mencari


alternative-alternatif kebijakan jangka pendek (masa transisi) dan jangka
panjang itu, semua pihak perlu juga

untuk melakukan introspeksi

terhadap beberapa kebutuhan, seperti antara lain :


a.

Menjaga wibawa Pemerintah Pusat dalam kerangka NKRI;

b. Menjaga wibawa Pemerintah Kota saat ini karena keberadaan merupakan


refleksi dari spirit Otonomi Daerah yang merupakan salah satu agenda
reformasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat;
c. Memperhatikan konsistensi pola pengembangan Pulau Batam sesuai ide
dasarnya;
d. Menjadikan efisiensi prosedur dan proses kepabeanan sebagai salah satu
prioritas dalam kebijakan industri, perdagangan dan investasi;
e. Mendorong agar birokrasi pemerintahan benar-benar menerapkan prinsip
transparant, accountable and responsive governance;

F. P E N U T U P.
Carut - marut masalah Batam dengan segala kompleksitasnya yang kita
rasakan sekarang harus diyakini sebagai gejala sementara yang mampu kita
atasi. Kelemahan-kelemahan substantif, struktural maupun kultural yang terdapat
di dalam beberapa kebijakan saat ini kami yakni bisa dihilangkan apabila dalam
melakukan

koreksi,

penyempurnaan

ataupun

perubahan

atas

kebijakan-

28

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
kebijakan tersebut kita mengerahkan kemampuan berpikir kita untuk menjajaki
sebanyak

mungkin

asumsi-asumsi

dari

penegakan

hukum,

keberlanjutan

pertumbuhan

ekonomi,

perlindungan

berbagai

bidang

kemajuan

kehidupan

demokrasi,

dan

pelestarian

Batam

sebagai

seperti

keberlanjutan

ekologis,

pencegahan

dehumanisasi dan sebagainya.


Cita-cita

untuk

menjadikan

salah

satu

kawasan

pertumbuhan sekaligus penyeimbang hubungan antarwilayah di Indonesia tidak


mungkin akan pudar, siapapun yang naik menduduki kursi pemerintahan di
tingkat nasional mupun lokal. Sungguh sulit membayangkan akan ada pihak
yang

berpikir

melakukan

diskontinuitas

sejarah dalam pengelolaan kawasan

Batam. Batam Adalah asset nyata yang telah menampakkan dirinya sejak
beberapa puluh tahun lalu. Aset ini masih bisa dioptimalkan fungsinya untuk
berbagai tujuan pembangunan. Karena itu pelbagai ekses yang timbul solusinya
sepenuhnya harus diletakkan dalam konteks yang lebih empiris berdasarkan
sejarah

dan

kenyataan-kenyataan

lokal

masing-masing

daerah.

demikian tidak terjadi generalisasi yang tidak relevan dan solusi yang

Dengan
disepakati

tetap harus mempertimbangkan kekhasan masing-masing daerah dengan tujuan


untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya baik bagi masyarakat Batam
maupun

kepentingan

nasional

yang

lebih

luas.

Dalam

kepemimpinan di segala lapisan masyarakat, di segala


dapat

menerapkan

asas-asas

umum

pemerintahan

hal

lini
yang

ini

kualitas

dan sektor yang


baik

(algemeene

beginselen van behoorlijke bestuur) akan diuji.


Menyadari bahwa akar segala masalah yang timbul di Batam bersumber dari
ketiadaan dan ketidakharmonisan

produk legal dari Pusat Pemerintahan, yang

pada dasarnya di luar kewenangan Otorita Batam

dan Pemerintah Kota Batam

untuk menyelesaikannya, maka sebenarnya yang dituntut adalah kearifan pada


kedua lembaga tersebut untuk menempuh langkah kompromi, menyongsong
aspirasi yang bersifat permanen dalam bentuk produk legislatif dari Pemerintah
Pusat dan DPR (misalnya dalam melahirkan UU tentang FTZ Batam).
Apabila
disepakati,

rencana
maka

Tatakelola

dalam

transisi

Batam

melalui

menuju

tahap

sistem

transisional

terintegrasi

yang

tadi

bisa

mungkin

29

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
memerlukan waktu antara 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) tahun itu Pemerintah
Pusat, Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam bisa secara bersama-sama
mempersiapkan
mampu

sumberdaya

menerapkan

manusia

prinsip-prinsip

pemerintahan
Good

yang

Governance

menghayati
dalam

dan

sistem

pemerintahan paska transisi. Waktu antara lima hingga sepuluh tahun tadi
mestinya cukup untuk melalui proses pembelajaran dan sosialisasi jika hal itu
dilakukan juga dengan terencana.
Dari aspirasi yang dapat diserap, hal-hal di atas

sangat dimungkinkan

tercapai apabila masing-masing sangat menyadari keterbatasannya, baik dari


sisi implementasi
yang

paradigma baru pemerintahan reformasi beserta ide-dasar

melatarbelakanginya,

kekmampuan

sumberdaya

manusia

dan

kelembagaan yang dimilki, maupun mengingat pengalaman masing-masing.


Jakarta, 26 Agustus 2003

30

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Lampiran 1
Usulan Sistem Pemerintahan Daerah Batam
pada Masa Transisi Menuju Pemberlakukan
Sistem Pemerintahan Kawasan Khusus Batam

Pemerintah
Pusat

PEMKOT

DPRD

OTORITA
BATAM

Fiskal
&Moneter
Hankam
Hub LN
Peradilan
Agama

MASYARAKAT BATAM

= Kewenangan Langsung

= Desentralisasi

= Koordinasi
= Pengawasan Politik oleh DPRD

31

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Lampiran 2
Usulan Sistem Pemerintahan Kawasan Khusus Batam
Paska Sistem Transisi

Pemerintah
Pusat

DPRD

EKSEKUTIF
KAWASAN
KHUSUS BATAM

Dewan
Kawasan

Fiskal
&Moneter
Hankam
Hub LN
Peradilan
Agama

BPKIP
Batam

Dinas-dinas &
Perangkat Daerah

MASYARAKAT BATAM

= Kewenangan Langsung
= Desentralisasi
= Pengawasan Politik oleh DPRD
= Koordinasi
= Perencanaan Strategis & Pengendalian
BPKIP Batam= Badan Pengelola Kawasan Industri dan Perdagangan Batam

32

Tim Peneliti The Habibie Center, Sistem Pengelolaan Kawasan Batam


pada Era Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas
Lampiran 3

Usulan Pembagian Kewenangan Selama Masa Transisi


Menuju Pemerintahan Kawasan Khusus Batam
Kewenangan

Grey Areas

Kewenangan

Pemerintah Kota Batam

yang harus

Otoritas Batam

No.

dikoordinasikan

1.

Pendidikan

Kesehatan

Industri Besar

2.

Kesehatan

Pertanahan

Pelabuhan dan Bandara

3.

Pemukiman

Pengadaan

Ekspor-Impor

4.

Pertanian dan Kelautan

air bersih

Kawasan Industri

5.

Perhubungan Darat

Lainnya

Infrastruktur Industri (air, listrik,

6.

Industri Kecil, Menengah

dll).

dan Koperasi
7.

Lingkungan Hidup

8.

Pertanahan

di

luar

Kawasan Industri.
9.

Penataan Ruang

10.

Fasilitas

Umum

dan

Fasilitas Sosial.
11.

Pariwisata
Seni Budaya dan Olah
Raga

12

Kependudukan

dan

Tenaga Kerja
13.

Keamanan dan Ketertiban

33

Anda mungkin juga menyukai