Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Trauma pada gigi dan jaringan pendukungnya sering terjadi pada pasien trauma
orofacial.Kejadian trauma gigi dapat menjadi penting dalam dunia kesehatan
masyarakat, bukan hanya karena insidensinya yang relatif tinggi, tetapi juga dapat
berimplikasi

pada

kehidupan

sehari-hari.Hal

ini

dapat

menyebabkan

ketidaknyamanan dari segi fisik maupun psikis jika tidak dirawat dengan
baik.Trauma seringkali menimbulkan permasalahan yang berhubungan dengan
kesehatan yang juga meliputi fungsi dan estetika. Penanganan yang benar dan
cepat pada kasus ini akan meningkatkan keberhasilan pengobatan. Trauma
dentoalveolar dapat mengakibatkan cedera pada gigi, jaringan pendukung,
gingiva, mukosa oral, alveolar process dari maksila dan mandibular dengan atau
tapa cedera pada adjacent jaringan lunak dan keras.cedera ini termasuk fraktur,
avulsi gigi dan fraktur procesus alveolar.
Cedera dentoalveolar sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh keadaan
sosialekonomi, kultur dan faktor lingkungan. Penyebab trauma dentoalveolar
umumnya karena jatuh, kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja, tindak
kekerasan, cedera olahraga, penganiayaan anak, epilepsi, gangguan kejiwaan dan
lain-lain. Pada anak-anak, jatuh merupakan penyebab utama dan kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab terbanyak pada orang dewasa. Dalam sebuah
penelitian di Rawalpindi (

), dari 138 pasien dengan cedera dentoalveolar

ditemukan bahwa 80,4% adalah laki-laki dan 19,6% adalah wanita, dengan ratio
4,1:1. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab terbanyak (42%) dan penyebab
kedua tersering adalah jatuh (37,7%) yang dapat mengakibatkan terjadinya cedera
jaringan lunak (29%), fraktur mahkota (22%), fraktur akar (6,1%), avulsi dan
subluksasi (16,7%), serta luksasi (9,4%). Kasus terbanyak mengenai gigi insisivus
pertama rahang atas (106 kasus) diikuti gigi insisivus kedua rahang atas (65
kasus), gigi insisivus pertama rahang bawah (40 kasus) dan gigi insisivus kedua
rahang bawah (35 kasus)Medical corps.Cedera yang terjadi dapat hanya
mengenai gigi dan struktur pendukungnya saja seperti pada seorang anak yang

terjatuh, ataupun dapat juga berhubungan dengan cedera multisistim, seperti yang
terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor.

1.2 TUJUAN
Adapun tujuan penulisan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian dari trauma dentoalveolar
2. Untuk mengetahui penyebab trauma dentoalveolar
3. Untuk mengetahui cara mendiagnosa trauma dentoalveolar
4. Untuk mengetahui bagaimana penanganan trauma dentoalveolar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Trauma dentoalveolar dapat mengakibatkan cedera jaringan keras dan
lunak.Manifestasi trauma pada jaringan keras dapat mengakibatkan fraktur
dentoalveolar.Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan
suatu bagian terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002).
Literatur lain menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
trauma (Mansjoer, 2000). Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka fraktur
dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada
stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.

2.2 ETIOLOGI
Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung.Trauma
langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada regio
anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke
rahang atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar
dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi
hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena
impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi.
(Welburry, 2005). Trauma dentoalveolar dapat mengenai semua kelompok usia,
untuk masa kanak-kanak, penyebab tersering adalah jatuh, sedangkan pada masa
remaja, penyebab utama adalah cedera olahraga. Pada usia dewasa, penyebab
trauma dentoalveolar umumnya karenajatuh, kecelakaan lalu lintas atau
kecelakaan kerja, tindak kekerasan dan cedera olahraga.

2.3 KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut WHO meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi
dan jaringan lunak rongga mulut (Tabel 2.1 dan 2.2)

Tabel 2.1 Cedera trauma pada jaringan keras

Tabel 2.2 Cedera jaringan lunak dan penyangga gigi ?


Pedoman menurut WHO yang sering dipakai dalam penanganan trauma
dentoalveolar pada gigi sulung dan gigi tetap, meliputi cedera pada jaringan
keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal dan tulang pendukung (Welbury,
2005) :
A. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (Gambar 2.1)
1. Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan
tanpa hilangnya substansi gigi.

2. Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.


3. Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan
dentin tanpa melibatkan pulpa gigi.
4. Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email
dan dentin dengan pulpa yang terpapar.
5. Fraktur mahkota-akar tidak kompleks (uncomplicated crown-root
fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa.
6. Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur
email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar.
7. Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat
disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal
(gingiva).

Gambar

2.1

Cedera

pada

Jaringan

Keras

Gigi dan Jaringan


Pulpa

(Fonseca,

2005)
B. Cedera pada
jaringan
periodontal (Gambar 2.2)
1. Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika diperkusi.
2. Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.
3. Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari soket.
4. Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket alveolar.
5. Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur soket
alveolar.
6. Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).

Gambar 2.3 Subluksasi (1) dan ektrusi (2) (Firas Mahmoud Abu Samran)
C. Cedera pada tulang pendukung (Gambar 2.3)
1. Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan
tertekannya soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral
luksasi.
2. Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang
terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket.
3. Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus
alveolar yang dapat melibatkan soket gigi.
4. Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket
Alveolar.

Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005)


2.4 MENIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda klinis traumadentoalveolar diantaranya adalah

adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen,


laserasi pada gingiva dan vermilion bibir
adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa

diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan Radiografi


adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya
adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar
mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang
pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini biasa
terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada
bibir

2.5 DIAGNOSIS
Untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam menegakkan diagnosis
serta rencana terapi yang rasional, dibutuhkan beberapa langkah pemeriksaan
yaitu anamnesa, pemeriksaan fisik, dan tes mobilitas, tes perkusi, tes sensibilitas
pulpa dan pemeriksaan penunjang.(Bakland & jens )
A. Anamnesa

Beberapa pertanyaan yang sebaiknya ditanyakan untuk mendapatkan


informasi penting mengenai kejadian trauma:
1. Kapan cedera terjadi? Faktor waktu sangat penting khususnya pada cedera
avulsi.
2. Dimana cedera terjadi?
3. Bagaimana cedera terjadi? Jawaban dari pertanyaan ini mungkin dapat
membantu dalam mengevaluasi luasnya trauma.
4. Apakah pasien sempat tidak sadarkan diri? Jika iya, penyebabnya harus
segera dicari, namun jangan sampai menghalangi tindakan penanganan
yang mendesak seperti replantasi gigi yang mengalami avulsi.
5. Apakah sebelumnya pernah mengalami cedera pada gigi? Informasi
mengenai cedera gigi sebelumnya dapat berpengaruh dalam pilihan
pengobatan.
6. Apakah ada perubahan dan gangguan dalam pengunyahan? Perubahan
oklusi akibat cedera akan mengindikasikan kemungkinan luksasi gigi,
fraktur alveolar atau kondilar.
7. Apakah ada peningkatan sensitivitas dalam perubahan suhu? Untuk
mengobservasi apakah ada gigi dengan fraktur mahkota yang mengekspos
dentin.
8. Riwayat pengobatan. Sangat penting untuk mengetahui kemungkinan
alergi obat, penyakit atau kondisi lain yang dapat mempengaruhi
pengobatan.
B. Pemeriksaan fisik
Dimulai dengan evaluasi luka jaringan lunak, termasuk pemeriksaan benda
asing yang terdapat di dalam luka.Lalu pemeriksaan untuk menentukan
apakah ada fraktur, infraksi ataupun kelainan-kelainan lainnya.Jika terdapat
fraktur mahkota, segera tentukan apakah mengenai pulpa, seberapa luas
mengenai pulpa dan status sirkulasi pulpa.
C. Tes mobilitas
Untuk menentukan apakan cedera menyebabkan mobilitas pada satu gigi
(cedera

luksasi)

atau

beberapa

grup

gigi

(kemungkinan

fraktur

alveolar).Derajat mobilitas juga harus dicatat.Tipe luksasi bisa berhubungan


dengan derajat mobilitas. 8
D. Tes perkusi
Nyeri pada saat disentuh atau diketuk dapat mengindikasikan adanya
kerusakan pada ligament periodontal.

E. Tes sensibilitas pulpa


Saat ini, untuk mengetahui suplai neurovaskuler pulpa pada gigi yang
mengalami trauma adalah dengan menggunakan Electric Pulp Tester (ELP)
(9).
F. Pemeriksaan penunjang
Macam-macam foto rontgen yang biasa digunakan dalam kasus trauma gigi
anterior adalah teknik intra oral ( foto periapikal dan foto oklusal), dan
kadang kala diperlukan teknik ekstra oral (foto panoramik, foto lateral dan
foto postero-anterior) jika dengan foto intra oral garis fraktur tidak terlihat.
Pemeriksaan ini berguna untuk memberikan informasi, misalnya
1. Untuk melihat arah garis fraktur
2. Adanya fraktur akar
3. Bagaimana tingkat keparahan dari gigi yang mengalami instrusi atau
ekstrusi
4. Adanya kelainan dari jaringan periodontal
5. Tingkat perkembangan akar
6. Ukuran kamar pulpa dan saluran akar
7. Adanya fraktur rahang
8. Melihat keadaan fragmen gigi dan jaringan lunak lain disekitar rongga
mulut, seperti dasar mulut, bibir dan pipi.

G. Pemeriksaan lanjutan
Penanganan cedera dental termasuk kontrol lanjutan untuk melengkapi atau
memastikan diagnosis, respon terhadap pengobatan, untuk mengetahui
perlunya pengobatan tambahan atau perubahan pengobatan dan mengevaluasi
hasil pengobatan atau komplikasi.
2.6 PENATALAKSANAAN
Terdapat dua kategori yang harus dipilih sebelum dilakukan penanganan
terhadap trauma dentoalveolar:
1. Closed Apex
2. Open Apex

1. Closed Apex:
Waktu kering ekstra oral < 60 menit, gigi disimpan di dalam media
khusus, susu atau salive:
a. jangan menangani permukaan akar dan soket jangan dikuret
b. pindahkan koagulum dari soket dengan salin dan lakukan
pemeriksaan pada soket alveolar
c. pasangkan kembali secara perlahan dengan tekanan yang ringan
d. stabilisasi dengan semi-rigid splint selama 7-10 hari
e. berikan antibiotik sistemik (penicillin 250 mg 4x sehari atau
doxycycline 100 mg 2x sehari selama 7 hari), sesuaikan dosis
dengan usia dan berat pasien.
f. konsultasikan dengan dokter untuk keperluan booster tetanus
g. setelah 10 hari, lakukan RCT. Jika RCT tertunda dan didapatkan
tanda resorpsi, berikan penanganan jangka panjang dengan kalsium
hidroksid sebelum melakukan RCT.
Closed Apex dengan extra oral day time> 60 menit:
a. bersihkan debris dan nekrosis ligament periodontal
b. pindahkan koagulum dari soket dengan salin dan lakukan
pemeriksaan pada soket alveolar
c. Immerse the tooth in 2.4% Sodium Fluoride -5.5 PH for 5
minutes.
d. Replant slowly with a semi-rigid splint for 7 to 10 days.
Administer systemic antibiotic as previously. Refer to
physician for tetanus booster. RCT treatment is the same for
<60 minutes.
Open apex, extra oral day time< 60 minutes, tooth reserved
in a special storage media, milk or saliva:
a. If contaminated, clean the root surface & apical foramen with
a stream of saline.
b. Remove coagulum from socket with saline and examine
alveolar socket.
c. Replant slowly with slight digital pressure.
d. Stabilize with a semi-rigid splint for 7 to 10 days.
e. Administer systemic antibiotic.
f. Tetanus booster.

g. We usually monitor this case and not do an endodontic


treatment unless a pulpal inflammation was revealed, we will
do an apexification.

2. Open Apex, extra oral day time > 60 menit:


a. biasing tidak diindikasikan replantasi
b. jika direplantasi, coba lakukan RCT diluar mulut atau apeksifikasi
didalam mulut.

Pedoman tentang tipe splints:


According to the current guidelines and within the limits of
an in vitro study, it can be stated that flexible or semi rigid
splints such as the titanium trauma splint and wirecomposite splints 1 and 2 are appropriate for splinting teeth
with dislocation injuries and root fractures, whereas rigid
splints such as wire-composite splint 3 and the titanium ring
Perawatan pada kasus fraktur dentoalveolar terbagi menjadi beberapa tahap, di
antaranya perawatan darurat dan perawatan definitif.Salah satu tahap pada
perawatan definitif yaitu reposisi dan fiksasi gigi yang terkena trauma.Tindakan
ini menggunakan alat stabilisasi yang bertujuan untuk menjaga agar retakan,
patahan, atau pergeseran gigi dapat dipertahankan pada posisi normal.
Menurut Buku Ajar Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut, penatalaksaan trauma
ialah:
1.
2.
3.
4.
5.

Kontrol infeksi
Pembersihan dan menjaga jalan napas
Menghindari atau merawat terjadinya syok
Penjahitan bila ada laserasi gingiva
Stabilisasi fragmen tulang bila terjadi fraktur
Tujuan penatalaksanaan fraktur menurut Henderson (1997)
a. Reposisi: mengembalikan atau memperbaiki bagian-bagian yang patah ke
dalam bentuk semula.
b. Imobilisasi: untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki fungsi bagian

tulang yang rusak.


6. Kontrol secara teratur
2.7 PROGNOSIS
PDF

Keberhasilan penanganan cedera traumatik bergantung pada efek trauma terhadap


pulpa dan ligamentum periodontal (termasuk sementum dan lamina dura).Respon
pulpa terhadap cedera traumatik dipengaruhi oleh derajat cedera terhadap suplai
neurovaskuler, yang mana hampir seluruh bagian masuk melalui foramen
apikal.Adanya bakteri juga merupakan faktor yang signifikan dalam keberhasilan
pengobatan.Terdapat

tiga

kemungkinan

dalam

hasil

pengobatan

yaitu

kesembuhan pulpa, nekrosis pulpa atau obliterasi kanal pulpa.

BAB III
KESIMPULAN
Trauma dentoalveolar dapat mengakibatkan cedera pada gigi, jaringan pendukung,
gingiva, mukosa oral, alveolar process dari maksila dan mandibular dengan atau tapa
cedera pada adjacent jaringan lunak dan keras.Penyebab trauma dentoalveolar
umumnya karena jatuh, kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja, tindak kekerasan
dan cedera olahraga.Pada anak-anak, jatuh merupakan penyebab utama dan
kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab terbanyak pada orang dewasa.Klasifikasi
yang sering dipakai dalam penanganan trauma dentoalveolar adalah menurut WHO
yang meliputi cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa yaitu infraksi enamel, fraktur
email, fraktur email-dentin, fraktur mahkota kompleks, fraktur mahkota-akar tidak
kompleks, fraktur mahkota-akar kompleks dan fraktur akar. Untuk jaringan
periodontal dan tulang pendukung dibagi menjadi concussion, subluksasi, luksasi
ekstrusif, luksasi lateral, luksasi intrusive dan avulsi.Langkah pemeriksaan yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah anamnesa, pemeriksaan fisik, dan tes
mobilitas, tes perkusi, tes sensibilitas pulpa dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksaan trauma dentoalveolar meliputi

kontrol infeksi, pembersihan dan

menjaga jalan napas, menghindari atau merawat terjadinya syok, penjahitan bila
terdapat laserasi gingiva, stabilisasi fragmen tulang bila terjadi fraktur dan kontrol

secara teratur. Prognosis trauma dentoalvolar dipengaruhi oleh efek trauma terhadap
pulpa dan ligamentum periodontal serta adanya bakteri.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai