ABSTRAK
saksi
disampaikan
di
pengadilan
melalui
teleconference.
A. Pendahuluan
Hal yang pokok dalam hukum acara pidana adalah sistem pembuktian,
karena dengan pembuktian dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara
pidana siapa tersangkanya. Sistem pembuktian berdasarkan KUHAP harus
dilaksanakan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah (minimal dua alat
bukti yang sah) serta keyakinan hakim (sistem pembuktian negatif/negatief
wettelijk). Oelh karenanya alat-alat bukti yang sah yang dapat dipergunakan,
menjadi penting adanya di dalam praktik. Pasal 184 KUHAP menjelaskan
mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah, sebagai berikut : (1). Keterangan saksi;
(2). Keterangan ahli; (3). Surat; (4). Petunjuk; (5). Keterangan Terdakwa.
Dikatakan sebagai alat bukti yang sah maka diluar jenis-jenis alat bukti tersebut di
atas tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Alat bukti keterangan saksi
dihibungkan dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, terjelaslah sudah bahwa
keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan. Pembentukan undangundang menetapkan demikian tentu saja memiliki maksud dan tujuan yang hendak
dicapai dalam rangka mewujudkan kebenaran yang sejati atau kebenaran yang
selengkap-lengkapnya, sebagai :
Kebenaran dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah
pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan
selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna
menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan .1)
Ahli hukum menjelaskan bahwa membuktikan berarti memberikan
kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang apakah hal yang tertentu itu
sungguh-sungguh terjadi, dan apa sebabnya demikian halnya 2)
Keharusan keterangan saksi dinyatakan di sidang pengadilan kemudian
menimbulkan persoalan baru yang kemudian menjadi perdebatan dikalangan
para ahli hukum seputar pemahaman tentang apakah keharusan keterangan
saksi dinyatakan langsung di sidang pengadilan itu harus secara fisik, atau
dapat dinyatakan secara non-fisik melalui berbagai media seperti dalam
beberapa kasus besar antara lain kasus Bulog (dengan terdakwanya Rahardi
Ramelan) dan kasus Abu Baasyir. Dalam kasus Bulog sebagaimana
diketahui telah melibatkan kesaksian B.J Habibie (mantan Presiden R.I.)
langsung dari Jerman melalui teleconference; sedangkan dalam kasus
Baasyir telah melibatkan beberapa orang saksi warga negara Singapura dan
juga Malayasia yang karena beberapa alasan maka kesaksian disampaikan ke
ruang sidang di Indonesia langsung dari Singapura dan juga Malayasia,
melalui
teleconference.
Perdebatan
yang
terjadi,
terutama
seputar
B. Pembahasan
1.
Kekuatan
Hukum
Teleconference
Menurut
Konsep
Pembuktian
) Sri Soemantri dalam Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah
Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni,
Bandung, 2003, hlm 1.
Vide : S. Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1973, hlm 8, 22, 23.
4
) Otje Salman, Penegakan Hukum Yang Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat, Materi Seminar
SESPATI, 5 Juni 2003, hlm 1.
2. Aspek hukum mengatur aspek politik dan aspek ekonomi, tidak sebaliknya;
artinya bahwa hukum dalam negara hukum harus steril dan tidak boleh
diintervensi oleh sub-sistem kemasyarakatan lainnya.
Unsur-unsur atau ciri-ciri di atas merupakan condicio sine qua non dalam
memahami suatu negara hukum. Namun demikian, diketahui bersama bahwa
tidak ada suatu difinisi yang bersifat umum tentang negara maupun hukum.
Perkembangan hukum di Indonesia khususnya hukum pidana formil yakni dengan
dibentuknya UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), adalah merupakan salah satu sikap
progresif yang telah diambil oleh para pakar hukumnya untuk segera
menghapuskan
hukum
peninggalan
kolonial
secepat-cepatnya.
Dengan
) Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Putra A. Bardin, Bandung, 1996, hlm 33.
Dalam konteks inilah kita berbicara tentang mekanisme peradilan pidana sebagai
suatu proses, atau disebut criminal justice process yang dimulai dengan proses
penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka
sidang pengadilan; serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga
pemasyarakatan.
Berdasarkan pernyataan di atas, nampak bahwa hal pokok yang memegang
peranan dalam proses pemeriksaan perkara pidana adalah pembuktian melalui alat
bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Setiap alat bukti yang disebutkan dalam pasal tersebut mempunyai nilai dan
kekuatan pembuktian yang mengikat.
Mempunyai nilai artinya mempunyai patokan-patokan yang memberi dasar bagi
hukum untuk mengeluarkan petunjuk-petunjuk sehingga tidak bersifat semenamena tentang apa yang seharusnya terjadi dan dilakukan. Sedangkan mengenai
kekuatan pembuktian, harus melihat Pasal 184 KUHAP dihubungkan dengan
Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang melakukannya.
Dalam upaya mengetahui kesalahan terdakwa dimaksud, muncul suatu fakta
seperti dalam contoh-contoh kasus yang disebutkan diatas, dimana dalam proses
pembuktiannya keterangan saksi disamapaikan melalui teleconference (kesaksian
jarak jauh) berbentuk audio visual, baik melalui by live television link atau
melalui rekaman yang berbentuk videotape record.6)
Secara normatif dan dari segi kepastian hukum; penerapan teleconference sebagai
upaya penyampaian keterangan saksi di persidangan, terkesan membingungkan
terutama perihal persoalan antara hukum yang seharusnya (das solen) dengan
hukum dalam kenyataannya (das sein); sehingga perlu segera diluruskan dan
diselaraskan.
Apabila Pasal 3 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 284 ayat (2) KUHAP, nyata
sekali bahwa peradilan harus dilakukan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini (KUHAP). Namun demikian hukum acara pidana itu tidak hanya
diatur di dalam KUHAP tetapi juga terdapat di luar KUHAP sebagai ketentuan
khusus acara pidana yang terdapat pada undang-undang tertentu.
Kontroversi yang terjadi tentang penggunaan teleconference ini, sebenarnya
disebabkan
dimana disatu sisi terdapat pendapat yang masih tetap berpedoman kepada
paradigma formalisme; sedangkan disisi lain terdapat pandangan dari para
ahli/penegak hukum tersebut tentang pencarian kebenaran materiil yang
menyatakan bahwa dalam penegakan hukum pidana jangan hanya didasarkan
pada paradigma formalisme saja tetapi juga harus didasarkan pada substansial
justice yaitu dengan menggali, menemukan, dan memahami nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat.
6
bahwa
hukum
tidak
diam
melainkan
berkembang
sesuai
2.
3.
4.
Jus
) C.F.G Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta, Bandung, 1982,
hlm 8.
10
b.
b.
c.
d.
11
e.
Keterangan saksi nampak ditetapkan sebagai alat bukti yang paling utama, karena
hampir tidak ada perkara pidana yang luput dari keterangan saksi. Dan untuk
mengukur kekuatan keterangan saksi yang disampaikan melalui teleconference
menurut hukum pembuktian berdasarkan KUHAP, perlu diketahui tentang arti
dari istilah teleconference dimaksud.
Secara harafiah, istilah teleconference dapat diartikan sebagai konperensi atau
pertemuan jarak jauh; atau dapat juga diartikan sebagai siaran langsung tatap
muka jarak jauh, yang penyelenggaraannya tidak terlepas dari penggunaan
sistem telekomunikasi sebagai dampak dari globalisasi dan perkembangan
teknologi komunikasi dewasa ini.
Adapun jenis-jenis teleconference yang pernah digunakan dalam persidangan
perkara pidana, adalah jenis teleconference dengan menggunakan sistem kawat
atau telephon (hanya didengar suaranya saja, seperti dalam kasus pelanggaran
HAM di Tim-Tim), dan teleconference dengan menggunakan sistem optik (audio
visual, seperti dalam kasus Rahardi Ramelan dan Abu Bakar Baasyir).
Di beberapa negara maju khususnya di Inggris, peradilan sistem konvensional
senantiasa diterapkan berdampingan dengan tata cara pemeriksaan persidangan
bentuk baru (modern). Bentuk-bentuk baru dimaksud, sebagaimana dijelaskan
oleh M. Yahya Harahap 8) adalah teleconference, yang bentuknya dapat berupa :
12
(a). Behind a screen atau disebut To give evidence from behind a screen; saksi
memberi keterangan (diperiksa dibelakang layar), sehingga :
i. saksi berhadapan langsung dengan terdakwa pada saat saksi memberikan
keterangan,
ii. dengan syarat, terdakwa harus mendengar sepenuhnya keterangan saksi.
Tata cara behind a screen, terutama diterapkan dalam pemeriksaan perkara
perkosaan (rape) dan penyalahgunaan seksual (sexual abuse) terhadap
anak kecil.
Tujuannya untuk menghindari saksi atau anak kecil dari trauma, serta
untuk menghindari siksaan berat bagi saksi jika berhadapan langsung
dengan terdakwa di persidangan.
(b). By live television link : keterangan saksi diberikan melalui tayangan
langsung yang disambungkan ke ruang sidang :
i. saksi tidak langsung in person hadir dan berhadapan dengan terdakwa di
ruang sidang,
ii. saksi berada di tempat lain, tetapi pada saat memberi keterangan dilakukan
dengan sistem dan teknik by live television link di ruang sidang,
iii. dengan demikian wajah dan suara saksi pada saat memberi keterangan
dapat dilihat dan didengar terdakwa di layar monitor.
13
(c). Videotape record atau kamera : keterangan saksi direkam dalam videotape
record atau kamera (the hearing may be held in videotape record or camera),
dan rekaman itulah yang dipertunjukan di ruang sidang.
Sehubungan dengan penggunaan teleconference tersebut, ketentuan yang dapat
dijadikan sebagai dasar guna mengukur kekuatan dan penilaian alat bukti, antara
lain dengan memperhatikan dan mengkaji ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal 189 KUHAP jis Pasal 3 KUHAP dan Pasal
284 ayat (2) KUHAP; Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun
2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berbicara mengenai pengaturan teleconference, maka yang dimaksud
dengan pengaturan disini adalah menunjuk kepada suatu pengaturan yang dibuat
secara tertulis, jelas, dan tegas (lex scripta, lex certa, lex stricta); sehingga secara
legitimate (sah), undang-undang dalam konteks hukum sebagai suatu sistem 9)
baik secara horizontal maupun vertikal harus merupakan produk legislatif. Artinya
perkataan hukum tertulis atau undang-undang di sini Hnya undang-undang dalam
arti formil atau undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dan atau DPR
dengan tanpa mengabaikan principles of legality.
) Hukum sebagai suatu sistem menunjukkan adanya suatu ikatan secara sistematik. Pengertianpengertian dasar yang terkandung di dalam pengertian sistem (Satjipti Rahardjo, Ilmu Hukum,
hlm 48-49) :
1). Sistem itu berorientasi kepada tujuan
2). Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya (Wholism)
3). Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yaitu lingkungannya (keterbukaan
sistem)
4). Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (Transformasi)
5). Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (Keterhubungan)
6). Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (Mekanisme kontrol)
14
15
) Sehubungan dengan alat bukti petunjuk, Pasal 26 A UU No.20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; menjelaskan : alat bukti yang sah dalam bentuk
petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP (Petunjuk dapat diperoleh dari
: keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa), khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.
Demikian juga halnya dengan tindak pidana terorisme, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 27
UU No. 15 Tahun 2003; bahwa alat bukti lainnya sebagai alat bukti elektronik.
16
dilakukan dengan cepat tapi sederhana dan biaya ringan; serta bebas, jujur, dan
tidak memihak (diskriminatif) yang dalam praktek harus diterapkan secara
konsekwen dalam seluruh tingkat peradilan.
11
17
Sebagai solusinya, guna melengkapi dan menyempurnakan maksud dari Pasal 185
ayat (1) KUHAP berdasarkan Pasal 3 KUHAP jo.Pasal 284 ayat (2) KUHAP,
perlu segera diatur tentang penggunaan teleconference dimaksud. Adapun dasar
pertimbangan yang umum, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum dimana
secara ipso facto dan ipso jure bahwa :
(1)
(2)
Asas dan kaidah hukum (pidana khususnya pidana formil) yang berlaku itu
penting dan harus diterapkan secara konsekwen, sebab asas dan kaidah itu
merupakan ruh hidupnya hukum.
(3)
(4)
(5)
Tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri yakni melaksanakan proses
hukum yang adil atau due process of law (yang unsur-unsurnya antara lain
pembuktian, dan melaksanakan pengadilan yang adil atau equal justice)
untuk mencari dan mewujudkan kebenaran materiil.
12
) Terdapat delapan (8) asas yang disebut principles of legality yang diletakkan sebagai ukuran
adanya sistem hukum. Dari ke delapan asas dimaksud, untuk memperkuat penjelasan di atas
dikhususkan kepada asas kesatu, keempat, kelima, dan kedelapan; sebagai berikut : - suatu
sistem hukum tidak boleh hanya mengandung keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. suatu sistem tidak
boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain, dan harus ada
kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
18
Adanya penetapan hakim tentang penggunaan teleconference terhadap contohcontoh kasus di atas, semata-mata harus dianggap sebagai upaya yang dapat
dilakukan oleh hakim berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No.
4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yakni sebagai terobosan dalam
sistem pembuktian perkara pidana. Oleh karenanya hal ini harus dianggap sebagai
konstruksi hukum yang dilakukan oleh quasi legislator yang disebabkan oleh
kekosongan hukum yang mengatur teknologi tersebut. Dan untuk memperkokoh
pilar-pilar hukum dalam rangka law enforcement, hendaknya produk quasi
lagislator ini dapat menjadi input bagi pembentuk (legislator) undang-undang
dimasa yang akan datang (jus constituendum).
Artinya langkah-langkah dalam hukum acara itu tidak hanya menyangkut masalah
prosedural saja, akan tetapi perlu pengaturan yang tegas dan jelas untuk
menghindari diskriminasi hukum serta salah tafsir. Apalagi pemanfaatan
teknologi teleconference ini memerlukan biaya yang besar sehingga harus
dipertimbangkan dengan hasil yang akan diperoleh dari penggunaan atau
pemanfaatan teknologi teleconference tersebut.
Nampaknya upaya mengharmonikan antara asas legalitas (baik
dalam
pemahamannya dari aspek hukum pidana materiil maupun formil) dengan Pasal
16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, perlu direalisasikan tidak hanya sekedar retoriks; sehingga
keterangan saksi yang dilaksanakan atau dilakukan melalui media teleconference
memiliki kekuatan hukum menurut sistem pembuktian perkara pidana. Sebab
19
pada dasarnya tidak baik jika suatu hukum hanya mengandung keputusankeputusan yang bersifat ad hoc.
2.
kemungkinan
sebagai
langkah
mengadopsi
ketentuan
hukum
internasional dalam prosedur berencana. Dan seiring dengan itu maka sudah
20
saatnya sistem hukum acara pidana Indonesia khususnya sistem pembuktian dan
atau
hukum
pembuktiannya
direvisi
untuk
mengantisipasi
penggunaan
Kesimpulan :
a.
sebagai
memeriksa/menyampaikan
media
keterangan
atau
sebuah
sarana
saksi,
disebabkan
karena
dalam
segala
aspek
kehidupan,
maka
penggunaan
21
b.
2.
Saran
a.
hukum,
teknologi
tersebut,
hendaknya
dilakukan
melalui
22
b.
23
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
C.F.G. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta,
Bandung, 1982.
H.R. Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 Kedudukan Dan Aspek-Aspek
Prubahannya, UNPAD Press, Bandung, 2002.
Hari Sasangka & Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Alumni, Bandung, 2003.
H. Pontang Moerad B.M.,Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan
Dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005.
Moechtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, Dan Pembinaan Hukum
Nasional, Binacipta, Bandung, 1976.
Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1977.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP
24
25
Algra NE dan Gokkel H.R.W., Kamus Istilah Hukum, Fockema Andreae, Belanda
Indonesia
(Fockema
Andreaes-Rechtsgeleerd
Handwoordenboek)
26
27