Anda di halaman 1dari 9

Steven-Johnson Syndrome

Cynthia Octaviani
102013326
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta 11510 Telp. 021-56942061.
cynthia.2013fk326@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Sindrom Steven Johnson (SSJ) adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikula/bula, dapat disertai purpura.
Angka kejadian sindrom steven Johnson sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per 1
juta penduduk. Sindrom steven johnson ditemukan oleh dua dookter anak di Amerika. Sindrom
steven johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan bengkak dan
kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang menyebabkan tidak dihentikan,
serta dapat timbul demam, sariawan pada mulut, mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi
luka-luka seperti koreng pada kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti
HIV dan AIDS serta lupus angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Etiologi SSJ sulit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor
penyebab timbulnya SSJ dantaranya : infeksi (Virus, jamur, bakteri, parasite), obat (salisilat,
sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik
(udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi
hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari
antigen atau metabolitnya dengan antibody IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat
(delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T
yang spesifik.1

Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan diagnose
penyakit. Anamnesis diperoleh dari hasil wawancara antara dokter dengan penderita atau
keluarga penderita yang mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Seorang dokter harus
menguasai cara melakukan anamnesis yang baik sehingga dapat mengarahkan dan menganalisis
jawaban-jawaban pasien untuk memperoleh suatu kesimpulan yang merupakan penegakkan
diagnosis dari sindrom Stevens Johnson. Anamnesis yang dilakukan meliputi keluhan utama,
riwayat penyakit yang sedang dan pernah diderita baik penyakit umum, riwayat penyakit
keluarga, riwayat menggunakan obat secara sistemik, serta riwayat timbulnya erupsi kulit.1,2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan baik ekstra oral maupun intra oral. Ada beberapa hal
penting dalam pemeriksaan klinis yang dapat dijadikan bahan acuan dalam mendiagnosis
sindrom Stevens-Johnson, yaitu : Diawali oleh penyakit peradangan akut yang disertai gejala
prodromal berupa demam, malaise, nyeri dada, diare, muntah, dan arthralgia. Tiga gejala yang
khas yaitu kelainan pada mulut berupa stomatis, kelainan pada mata berupa konjungtivitis,
kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis. Dan keadaan umum bervariasi dari
baik sampai buruk dan kesadaran penderita mulai dari spoor bahkan menurun sampai koma.
Berhubungan dengan reaksi alergi terhadap obat tertentu secara sistemik, imunologi, atau
kombinasinya. Manifestasi oral biasanya timbul setelah erupsi kulit, tetapi ada kalanya timbul
mendahului erupsi kulit. Dan pada lesi kulit terdapat macula, vesikel atau bula dapat disertai
purpura yang tersebar luas pada tubuh. Dan yang terakhir terdapat pengelupasan epidermis
seluas kurang dari 10% area permukaan tuubuh.3
Epidemiologi
Sindrom Stevens-Johnson paling sering terjadi pada anak-anak dan orang dewasa muda,
jarang terjadi di bawah usia 3 tahun. Rata-rata umur penderita adalah 20-40 tahun, walaupun
pernah dilaporkan penderita anak berumur 3 bulan.

Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan antara pria dan wanita pada penderita Sindrom
Steven-Johnson adalah 2:1.
Department Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1981-1995 menyatakan selama
periode tersebut terjadi 2646 kasus reaksi samping obat. Dari kasus 2646 kasus, sebanyak 35,6%
atau 942 kasus berupa erupsi kulit. Sindrom Steven-Johnson dilaporkan terjadi pada 8,57% dari
kasus erupsi kulit atau sebesar 81 kasus. Di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, insidensi Sindrom Steven-Johnson setiap tahun kira-kira
terdapat 10 kasus, sindrom ini makin meningkat karena salah satu penyebabnya ialah alergi obat
dan sekarang semua obat dapat diperoleh secara bebas.2
Etiologi
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Sekitar 50%
penyebab SSJ adalah obat. Peringkat tertinggi adalah obat-obat Sulfonamid, -lactam, imidazole
dan NSAID. Sedangkan peringkat menengah adalah quinolone, antikonvulsan aromatik dan
allopurinol. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya: infeksi (virus herpes simplex,
dan Mycoplasma pneumonia), makanan (coklat), dan vaksinasi. Faktor fisik (udara dingin, sinar
matahari, sinar X) rupanya berperan sebagai pencetus (trigger). Patogenesis SSJ samapi saat ini
belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Oleh
karena proses hipersensitifitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi: kegagalan fungsi
kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stres hormonal diikuti peningkatan resistensi
terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun,
infeksi.3,4
Patogenesis
Patogenesis Steven Johnson Syndrome sampai saat ini belum jelas walaupun sering
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan
oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibody IgM dan IgG dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang
dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.

Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi :
kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, kemudian stress hormonal diikuti
peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat, kegagalan termoregulasi,
kegagalan fungsi imun, dan yang terakhir adalah infeksi.
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa
didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa
mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk
trias (stomatitis, konjungtivitis, dan urethritis). Gejala prodromal tidak spesifik, dapat
berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa,
beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut
dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak
dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik.5,6
Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi
dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous
sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertas gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias
kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, kelainan berupa vesikel dan
bula, kelainan di mukosa, dan kelainan mata.
Yang pertama adalah kelainan kulit, kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.
Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga
terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kemudian yang kedua adalah
kelainan selaput lendir di orifisium, kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa
mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang
hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%). Yang ketiga adalah kelainan berupa vesikel
dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga
dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna
hitam yang tebel. Dan yang keempat adalah kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring,
traktur respiratorius bagian atas dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar

tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar
bernafas.
Dan yang terakhir adalah kelainan pada mata, konjungtivitis (radang selaput yang
melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis,
blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat
terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler
merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid,
merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang
diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari
beberapa bulan sampai 31 tahun. Dan disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat
kelainan lain, misalnya : nefritis dan onikolisis. Dan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari
berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang
sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.4-6
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang kita dapat melakukan pemeriksaan laboratorium. Tetapi
pada pemeriksaan laboratorium tidak ada pemeriksaan laboratorium yang lain selain biopsy.
Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau
leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan
kemungkinan infeksi bacterial berat. Kemudian imunofluoresensi banyak membantu
membedakan sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subdermal lainnya.
Kemudian menentukan fungsi ginjal dan mengevalusi adanya darah dalam urin. Kemudian
pemeriksaan elektrolit. Kultur darah, urin, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi,
and terakhir pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi
dapat dilakukan.
Kemudian pemeriksaan kedua adalah imaging studies, chest radiologi untuk
mengindikasikan adanya pneumonitis. Dan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia
dapat mendukung ditegakkannya diagnosis.2,3
Working Diagnosis

Sindrom Stevens Johnson adalah penyakit akut dan berat, terdiri dari erupsi kulit,
kelainan mukosa dan lesi pada mata. Sindrom Stevens-Johnson atau eritema multiformis mayor
adalah variasi eritema multiformis mukokutan yang lebih parah dengan ditandai keterlibatan
membrane mukosa.
Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala
sistemik yang dari ringan sampai berat berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur,
disertai macula, vesikel, bula dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengelupasan epidermis kurang lebih 10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan lebih
dari satu membran mukosa. Kasus dengan pengelupasan epidermis antara 10% sampai dengan
30% disebut dengan overlap Stevens-Johnson Syndrom-Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN),
sedangkan kasus dengan pengelupasan epidermis lebih dari 30% disebut Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN).
Different Diagnosis
Penyakit yang sangat mirip dengan Sindrom Stevens Johnson adalah Toxic
Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease), dan
konjungtivitis membranosa. Yang pertama adalah Toxic Epidermolysis Necroticans, sindrom
stevens johnson sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN.
Kemudian Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease), pada penyakit ini lesi kulit
ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit, biiasanya mukosa terkena. Dan yang
terakhir adalah konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan
yang menutupi konjungtivita palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila diangkat timbul
perdarahan.5,7
Penatalaksanaan
Pada Medikamentosa. Yang pertama kita bisa menggunakan kortikosteroid. Bila keadaan
umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison 30-40 mg/hari. Namun
bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.
Kortikosteroid merupakan tindakan life-saving dan digunakan deksametason intravena, dengan
dosis permulaan 4-6 x 5 mg/hari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien
steven-johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6 x 5 mg intravena.

Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya
prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg/hari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10
hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan
Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hypokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolic dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolic seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon.
Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
Kemudian yang kedua adalah pemberian antibiotik. Antibiotik untuk mencegah
terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi
antibiotik yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya
gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. Infus dan tranfusi darah. Kemudian pengaturan
keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan
akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan
infus misalnya glukosa 5% dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3
hari, maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300cc selama 2 hari berturur-turut, terutama
pada kasus yang disertai purpura yang luas. Dan pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vitamin C 500mg atau 1000mg intravena sehari dan hemostatik.
Kemudian pada Non medikamentosa. Kita memberi edukasi kepada pasien tentang
bahaya dari penyakit ini, karena penyakit ini menuar dan pasien diharapkan menggunakan
masker. Kemudian meningkatkan kebersihan perorangan dan lingkungan, setelah itu jangan
menggaruk bagian yang gatal dan diharapkan diet rendah garam dan diet tinggi protein.
Pencegahan
Sebagian besar kasus sindrom Steven-Johnson dipicu oleh penggunaan obat, karena itu
langkah pencegahan adalah dengan penggunaan obat yang rasional. Penggunaan obat yang
rasional meliputi upaya untuk menggunakan obat sesuai indikasi, dosis, jangka waktu, dan biaya
termurah bagi pasien dan lingkungan.

Obat tetaplah bahan kimia yang dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan dari yang
ringan sampai berat. Karena pemakaian obat walaupun sesuai dosis tetap dapat menimbulkan
efek yang tidak diinginkan maka harus bijaksana dalam pemakaian obat. Pastikan benar-benar
bahwa anda memerlukan obat dalam tatalaksana keadaannya, dan bila meminum obat pastikan
membaca petunjuk dalam kemasan obat, observasi tanda-tanda yang muncul setelah meminum
obat.
Jangan minum obat bila tidak sesuai indikasi. Selalu tanyakan diagnosis penyakit, periksa
kembali apakah memang obat yang dikonsumsi sudah sesuai indikasi penyakit yang diderita.
Cara-cara ini untuk menghindari dari efek yang tidak diinginkan dari obat yang diminum.
Mencegah lebih baik dari pada mengobati.3
Komplikasi
Komplikasi Sindrom steven johnson yang paling sering ditemukan yaitu sebanyak 16%
berupa bronkopneumonia yang dapat mengakibatkan kematian. Kemudian beberapa komplikasi
Steven Johnson yang lain adalah kehilangan cairan atau darah, kemudian gangguan
keseimbangan elektrolit, terjadi sepsis, syok, dam simblefaron, ektropion, kekeruhan kornea dan
kebutaan.3
Prognosis
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 23 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau
pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih
luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis.3
Kesimpulan
Hipotesis diterima, bahwa anak pada scenario tersebut menderita penyakin StevenJohnson Sindrom. Jadi sebaiknya kita lebih harus memperhatikan dalam mengonsumsi obatobatan.

Daftar Pustaka
1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3 rd edition.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2002.
2. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement
of Pharmacology. JIMPER. India: 2006.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita
Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Media Aesculapius. Jakarta: 2002.
4. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in
pediatric patients ; 2001.
5. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3 rd edition. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
6. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2 nd edition. EGC.
Jakarta: 2004.
7. Sharma, V.K : Proposed IADVL Consensus Guidelines: Management of Stevens-Johnson
Syndrome (SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) IADVL: 2006.

Anda mungkin juga menyukai