Anda di halaman 1dari 9

Demokrasi Muhammad Hatta*

Airlangga Pribadi
alah satu produk pengetahuan Barat yang diadopsi oleh tokoh-tokoh pergerakan
nasional sebagai alat perlawanan terhadap kolonial pada waktu itu adalah
gagasan tentang demokrasi berbasis spirit sosialisme. Perkembangan demokrasi
Indonesia di awal abad ke-20 terbentuk oleh penyebaran gagasan sosialisme yang

muncul di Eropa dan bersemai ke masyarakat jajahan (termasuk Indonesia) melalui para
intelegensia didikan Barat serta terkondisikan secara struktural oleh sistem kolonialisme dan
penghisapan

kalangan elite tradisional dan penjajah kolonial yang menindas kaum

Bumiputera. Dalam konstruksi sosial dan pengetahuan yang spesifik dan partikular inilah
gagasan demokrasi di Indonesia terbentuk oleh semangat dan ide-ide sosialistik. Secara
umum pemikiran dari beberapa tokoh pergerakan nasional seperti Tan Malaka, Soekarno,
Muhammad Hatta merupakan tokoh-tokoh yang cukup mewakili gagasan demokrasi
berbasis sosialisme yang menjadi bagian inheren dalam tradisi pergerakan nasional di
Indonesia. Selanjutnya bagian ini akan menguraikan secara ringkas dan padat spektrum
gagasan demokrasi berbasis sosialisme yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh di atas.
Demokrasi Indonesia Bersendi Kolektivisme dan Republikanisme ala Muhammad Hatta
Salah seorang intelektual pergerakan nasional yang memberikan tiang pancang bagi
landasan sosialisme demokrasi kerakyatan di Indonesia adalah Muhammad Hatta.
Sistematika pemikirannya yang mampu menciptakan desain demokrasi perwakilan, politik
partisipatoris dan model ekonomi kerakyatan berbasis koperasi merupakan sumbangan
fundamental bagi tradisi demokrasi Indonesia yang berfihak pada kepentingan rakyat.
Kekuatan karakter Muhammad Hatta sebagai kaum demokrat republikan bukanlah pada
kemampuan orasi yang membakar dan berkobar-kobar, namun lebih pada ketekunan berfikir
dan ketajaman analisis untuk membangun jalan demokrasi dan arah sosialisme dari Republik
Indonesia.
Seperti diutarakan oleh almarhum Dr. Alfian (1972) tentang pemikiran Muhammad
Hatta. Salah satu kekuatan utama dari gagasan Muhammad Hatta yang menempatkannya
** Disampaikan dalam Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB), Angkatan II, Megawati Institute. Jakarta, 24
Mei 2012.

pada posisi istimewa pergerakan nasional adalah keyakinan akan pentingnya pendidikan
politik bagi rakyat Indonesia. Bagi Muhammad Hatta persoalan pendidikan adalah faktor
utama yang inheren dalam penguatan demokrasi di Indonesia. Seperti diutarakan oleh
Muhammad Hatta dalam tulisannya yang berjudul Pendidikan yang dimuat di Daulat Rajat
no.37 tahun 1932, bahwa menyadari prinsip Kedaulatan Rakyat merupakan landasan dari
negara yang akan diperjuangkan, maka pendidikan dalam konteks pencerdasan kehidupan
rakyat menjadi hal yang penting. Dalam prinsip kedaulatan rakyat sebagai landasan
demokrasi Indonesia, maka rakyatlah yang akan menentukan sendiri urusan-urusan politik
maupun ekonomi bagi nasib dan penghidupan mereka. Mendidik rakyat untuk memiliki
sikap merdeka bagi Bung Hatta adalah langkah penting untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia, sehingga perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi buah tangan dari
perjuangan rakyat bukan perjuangan elite maupun semata-mata perjuangan para pemimpin
politik. Meminjam pandangan dari seorang pujangga besar yaitu Thorbecke, Hatta
menggarisbawahi demokrasi sebagai pemerintahan daripada yang diperintah. Meksipun
rakyat harus menjalankan perintah yang dirumuskan dalam kebijakan perundang-undangan,
namun pemerintahan dibangun berdasarkan kehendak rakyat. Dalam sistem politik
demokrasi, rakyatlah yang bertanggungjawab untuk menentukan nasib dan mengelola
hidupnya sendiri. Ketika rakyat merasa bertanggungjawab dan berperan dalam pengelolaan
kehidupan bersama, maka hiduplah demokrasi. Saat pemerintahan berjalan dan bekerja atas
nama kepentingan privat dan tidak menjalankan mandat dari publik, maka disitulah letak
awal erosi demokrasi.
Berbeda dengan pemahaman arus utama demokrasi saat ini yang menyatukan antara
prosedur dan esensi demokrasi semata-mata sebagai soal memilih pemimpin yang
mengelola urusan publik melalui pemilihan umum yang jujur dan adil disertai jaminan
penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik, gagasan demokrasi dari Bung Hatta
mengambil titik berangkat yang berbeda. Demokrasi pertama-tama adalah terkait dengan
prinsip kedaulatan rakyat yaitu keterlibatan aktif dari rakyat Indonesia untuk mengurus
persoalan-persoalan politik dan ekonomi dalam negara Republik Indonesia baik melalui
lembaga perwakilan politik (parlemen) maupun lembaga ekonomi (koperasi). Keterlibatan
aktif rakyat untuk mengurus persoalan politik dan ekonomi menjadi landasan utama dari
demokrasi di Indonesia, agar baik proses-proses politik dan ekonomi dalam pengelolaan
negara menjadi tidak terasing dengan agenda dan aktivitas dari rakyatnya. Pembahasan
2

tentang prinsip kedaulatan rakyat dan kontestualisasinya dengan dimensi sosial budaya
Indonesia diuraikan oleh Muhammad Hatta dalam tulisannya Demokrasi Asli Indonesia dan
Kedaulatan Rakyat yang dimuat di Daulat Rajat no.12 tahun 1932.
Menurut Muhammad Hatta spirit kedaulatan rakyat, bukanlah suatu hal yang asing
dalam pergaulan hidup asli rakyat Indonesia, tiga sendi utama demokrasi Indonesia yang
sudah tertanam dalam tata-pergaulan rakyat Indonesia adalah Pertama, cita-cita rapat yang
menjadi tradisi rakyat dari dulu sampai sekarang namun terbenam oleh himpitan sosial
(seperti budaya feodalisme). Kedua, cita-cita massa-protest, hak rakyat untuk membantah
terhadap keputusan negeri yang tidak adil. Hal ini menjadi landasan bagi tuntutan
kemerdekaan bergerak dan berkumpul. Ketiga, cita-cita tolong-menolong yang dalam
konteks aktivitas ekonomi menjadi landasan bagi propaganda koperasi sebagai dasar
perekonomian Indonesia.
Berangkat dari tiga sendi utama demokrasi di Indonesia yaitu cita-cita rapat, massa
protest dan saling tolong-menolong (gotong-royong), Muhammad Hatta mengembangkan
konsep demokrasi yang kontekstual untuk keindonesiaan. Namun demikian, menerima tiga
sendi utama yang hidup dalam tata pergaulan masyarakat Indonesia sejak lama, bukan
berarti menjadikan segenap tradisi itu sebagai landasan demokrasi asli yang statis dan tidak
bergerak. Tradisi demokratik dalam tata kehidupan di Indonesia haruslah dilanjutkan dan
disesuaikan pada tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan konteks zamannya. Menurut
Muhammad Hatta berhenti dan menoleh kebelakang dalam tradisi budaya keindonesiaan
sebagai landasan pijakan demokrasi justru akan menghambat perkembangan demokrasi itu
sendiri. Semangat feodalisme dan keningratan yang hidup dalam tradisi masyarakat
Indonesia misalnya selain akan dijadikan klaim pembenar bagi praktik politik kaum
konservatif atas nama demokrasi Indonesia juga akan mengikis semangat kesetaraan dan
kerakyatan yang menjadi penopang dari demokrasi di Indonesia.
Dalam tulisannya menyangkut demokrasi asli, Muhammad Hatta secara kritis
mengulas kecenderungan pemikiran kaum pergerakan yang mencari dasar keaslian
demokrasi Indonesia yang tetap dan tidak berubah-ubah. Menurut Hatta setiap kalangan
memiliki interpretasi dan konstruksi yang beragam dalam konteks demokrasi. Kerapkali
pencarian akan keaslian hanya akan membawa pada sikap yang tertutup terhadap gagasan
yang lain. Bagi kaum kolot pencarian akan keaslian akan berujung pada pembelaan terhadap
budaya feodalisme yang bertentangan dengan demokrasi itu sendiri. Mengingat bahwa
3

pencarian akan keaslian adalah pencarian akan semboyan yang kosong dan tidak berisi,
bahkan keaslian dalam demokrasi Barat-pun tidak pernah memiliki makna yang tunggal.
Pemaknaan demokrasi liberal, demokrasi konservatif, demokrasi sosial dalam tradisi
demokrasi Barat menunjukkan pemaknaan demokrasi yang beragam dalam interpretasi
intelektual di Barat.
Menarik untuk membandingkan pemikiran Muhammad Hatta dengan pemikiran
filsuf ekonomi pemenang hadiah Nobel, Amartya Sen (2007). Seirama dengan gagasan Hatta
menurut Sen dalam pemahaman akan identitas dan kebudayaan, pencarian akan keaslian
akan berujung pada proyek intelektual yang nihilis dan memprovokasi kekerasan. Sen
memberikan ilustrasi dengan kritiknya terhadap tesis Samuel P. Huntington dalam The Clash
of Civilizations dengan menguraikan tidak ada identitas yang baku dan tetap disetiap
masyarakat. Masyarakat India dengan keragaman kulturnya yang kaya misalnya tidak
menjadikan India sebagai masyarakat dengan peradaban yang semata-mata hanya berbasis
Hindu. Tradisi pemikiran dan keyakinan yang beragam dan sumbangan dari komunitas
agama, kepercayaan maupun pemikiran yang berbhineka kesemuanya itu turut membangun
mozaik keragaman India dengan sumber tradisinya yang beraneka rupa. Sehingga
kompleksitas ini tidak dapat direduksi dengan upaya intelektual untuk mencari sesuatu yang
asli. Demikian pula dengan pemahaman kultur peradaban Barat, tidak ada yang asli dan
monolitik didalamnya. Interpretasi akan semangat pencerahan, modernitas dan demokrasi
yang beragam, disertai dengan saling silang dan hibridasi budaya antara peradaban lain
diluar peradaban Barat, turut membentuk mozaik keragaman peradaban Barat saat ini.
Kembali pada Muhammad Hatta, bahwa argumen-argumennya tentang kontekstualitas
demokrasi Indonesia, apabila ditarik lebih jauh dapat menyumbangkan pemikiran
kebhinekaan dan multikulturalisme dalam demokrasi yang eksis di Indonesia.
Sumbangan terpenting lain dari pemikiran demokrasi Muhammad Hatta adalah
prinsip Republikanisme dalam demokrasi di Indonesia. Diantara para pemimpin dan tokohtokoh pergerakan nasional, Muhammad Hatta adalah salah satu tokoh yang secara jelas dan
lugas menekankan pandangan republikanisme sebagai ibu dari arah politik Indonesia.
Fondasi republikanisme dalam pemikiran Muhammad Hatta muncul didalam tulisannya Ke
Arah Indonesia Merdeka, menurut Hatta Indonesia Merdeka haruslah suatu Republik, yang
bersendikan pemerintahan rakyat, yang dilakukan dengan perantaraan wakil-wakil rakyat
atau Badan perwakilan...dari wakil-wakil rakyat dan badan perwakilan tersebut terpilihlah
4

anggota pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara. Dan pemerintahan itu senantiasa
takluk kepada kemauan rakyat.
Dari pandangan Muhammad Hatta terlihat bahwa proyek Indonesia bertujuan untuk
memisahkan realitas Indonesia Merdeka yang sangat berbeda dan bertolak belakang dengan
kondisi keterjajahan Indonesia. Dalam formasi kolonialisme, rakyat berada pada posisi
terpinggir sebagai kaum paria diperintah oleh Tuan kolonial yang memimpin bagi
kepentingan mereka sendiri. Setelah Indonesia merdeka, adalah rakyat yang menjadi tuan
dalam arena politik dan sistem pemerintahan demokratis dengan berbagai instalasi
politiknya yaitu lembaga perwakilan, pemerintahan dan kehendak rakyat sebagai
sumbernya, dimana pemerintah maupun badan perwakilan menjadi penyelenggara yang
bekerja untuk menjalankan urusan-urusan yang menjadi kepentingan rakyat dan bekerja
untuk kesejahteraan rakyat. Imajinasi politik Hatta berusaha merealisasikan rakyat sebagai
agensi otonom yang turut berperan dalam menjalankan kekuasaan yang bekerja untuk
kepentingannya (self governing).
Komitmen terhadap jalan republik dan politik yang bekerja bagi kepentingan rakyat,
kembali ditegaskan oleh Hatta pada tahun 1946, ketika ia mengutarakan dalam karyanya
Kedaulatan Rakyat, bahwa politik dalam arti yang sebenarnya ialah perbuatan yang
menimbulkan dalam hal-hal kenegaraan kesejahteraan negara dan rakyat dalam dasar yang
diyakininya. Dari teks tersebut, kerangka republikanisme Hatta memandang politik sebagai
setiap tindakan yang dijalankan untuk pemenuhan kebaikan dan keadilan sosial bagi rakyat.
Politik adalah ibu dari setiap tindakan dalam relasi antara negara dan masyarakat sipil yang
menjadikan pemenuhan kebaikan bersama sebagai tujuannya.
Tentunya klaim tentang kebaikan publik ini adalah istilah yang amat longgar, dimana
setiap gagasan seperti liberalisme, neo-liberalisme, fundamentalisme agama bahkan fasisme
mengklaim bekerja untuk kepentingan rakyat. Namun demikian yang partikular dalam
gagasan republikanisme terkait dengan prinsip self governing citizen, publicity, dan
terjaminnya prinsip kebebasan warga negara dalam artian bebas dari dominasi (freedom as
freedom from domination). Pertama, Dalam kerangka prinsip publicity, politik merupakan
urusan publik, dimana ruang publik menjadi arena yang bersifat inklusif untuk mengajukan,
menguji, mengkritik mempertanggungjawabkan setiap urusan publik dihadapan rakyat.
Setiap warganegara Indonesia memiliki akses penuh terhadap urusan-urusan publik dalam
pandangan politik republikanisme. Setiap proses-proses politik berlangsung dan
5

mempertimbangkan kualitas argumen dan komunikasi rasional diantara warganegara untuk


memenuhi kebaikan dan kehendak bersama. Tentunya hal ini amat berbeda dengan
pandangan rational choice yang dipengaruhi gagasan neoliberalisme yang melihat politik
sebagai arena kepentingan dimana wilayah demokrasi bekerja atas dasar logika pasar yang
mempertemukan

berbagai

preferensi

dalam

pertukaran-pertukaran

politik

dan

mengkondisikan instalasi demokrasi sebagai lembaga yang memfasilitasi persaingan antara


kekuatan-kekuatan elite bagi pemenuhan hasrat dari para aktor-aktornya.
Kedua, dalam kerangka republikanisme kualitas politik sangat ditentukan oleh
keterlibatan aktif warganegara (active citizenship) dalam tindakan dan partisipasi politik
untuk mengawal proses-proses politik yang berlangsung agar tidak mengarah pada korupsi
politik dan despotisme. Keterlibatan aktif warganegara dalam arena politik dimaksudkan
agar arena politik bekerja untuk pemenuhan kebaikan dan keadilan sosial. Dalam konteks ini,
politik republikanisme mengantisipasi agar arena dan proses politik tidak hanya menjadi
arena tempat sirkulasi kepentingan dan kekuasaan politik dan menjadikan rakyat hanya
menjadi penonton dalam proses-proses politik yang tengah berlangsung.
Ketiga, kerangka republikanisme menekankan realisasi dari prinsip kebebasan nondominasi sebagai fondasi dari kebebasan yang menubuh dalam tiap-tiap warganegara.
Pemahaman akan prinsip kebebasan non dominasi, menekankan bahwa yang fundamental
adalah bukan persoalan bahwa tiap orang terbebas dari intervensi dari kekuatan diluar
dirinya, namun yang lebih penting adalah bahwa tiap-tiap orang sebagai warganegara
terbebas dari aturan-aturan hukum yang berjalan secara sewenang-wenang terhadap diri
mereka (arbitrary rules). Dalam konteks ini fondasi konstitusionalisme dimana landasan
hukum beserta perangkat-perangkat negara bekerja untuk pemenuhan kebebasan non
dominasi dari setiap warganegara.
Pandangan kebebasan dalam kerangka republikanisme, sangat berbeda dengan
kerangka kebebasan dalam tradisi liberal yang berangkat dari pengutamaan kebebasan
negatif. Dalam tradisi liberal, maka tiap tiap orang memiliki kebebasan yang tidak dapat
diintervensi kekuatan luar selama tidak mengganggu kebebasan sipil dan politik dari yang
lain. Dalam pengertian kebebasan liberal misalnya kemerdekaan dalam aktivitas ekonomi
dan kebebasan dari intervensi negara adalah bentuk dari realisasi kebebasan ekonomi yang
harus dijunjung tinggi. Sementara tradisi kebebasan dalam pengertian non-dominasi melihat
bahwa dalam relasi ekonomi misalnya, tanggung jawab negara melalui regulasi yang dapat
6

menjamin agar setiap pekerja tidak memiliki ketergantungan dan mengalami relasi Tuan dan
Budak dengan pemilik modal/majikannya adalah bagian dari pemenuhan kebebasan nondominasi (Philip Pettit; 1997).
Sinergis dengan semangat kedaulatan rakyat dan karakter republikanisme yang
diusung dalam gagasan demokrasi Muhammad Hatta, basis demokrasi di Indonesia menurut
Hatta berakar pada semangat kolektivisme rakyat bukan individualisme orang-perorang.
Untuk menjelaskan gagasan kolektivisme yang tumbuh hidup dalam tata pergaulan
masyarakat Indonesia, Muhammad Hatta dalam karyanya Ke Arah Indonesia Merdeka,
memulainya dengan ulasan panjang dan kritik terhadap semangat individualisme yang
menjadi ruh dari politik demokrasi liberal dan ekonomi kapitalisme. Dalam sejarah awalnya
semangat individualisme yang tumbuh sejalan dengan keberhasilan Revolusi Prancis dalam
menghancurkan tatanan masyarakat feodalisme memberikan kesadaran tiap orang akan
harga dirinya sebagai manusia yang lahir dan hidup merdeka. Kemerdekaan, persamaan dan
persaudaraan menghancurkan tatanan hierarkis yang dikuasai oleh kaum aristokratis dan
rohaniawan di masyarakat Barat. Sehingga pada awalnya individualisme dalam arena politik
memiliki watak progresif untuk menghancurkan tatanan otokratik yang menempatkan rakyat
sebagai kaum yang tidak memiliki hak dan kepentingan dalam dirinya sendiri. Pada ranah
filsafat, semangat individualisme juga berperan dalam mendorong kebebasan berfikir dan
terbukanya inovasi dan gagasan-gagasan ilmu pengetahuan yang mendorong revolusi
tekhnologi dan industri menuju sistem kapitalisme.
Apabila dalam ranah politik semangat individualisme memunculkan perspektif
demokrasi liberal yang menekankan kebebasan dan hak-hak otonom dari setiap individu,
maka dalam wilyah ekonomi individualisme memberi tekanan pada semangat laissez faire,
laissez passer (merdeka berbuat, merdeka berjalan) atau mengejar pemenuhan kepentingan
diri yang menjadi nafas dari sistem ekonomi kapitalisme. Seiring dengan pengejaran akan
kepentingan tiap-tiap orang dalam wilayah ekonomi proses akumulasi modal terus bergulir
dengan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka yang memiliki kapital.
Menurut Muhammad Hatta dalam pengejaran kepentingan diri dalam wilayah ekonomi
inilah terjadi proses penghisapan dan eksploitasi dari kaum pemilik modal terhadap rakyat
kebanyakan (seperti kaum buruh). Dalam arena ekonomi bukan proses demokrasi dan
keterlibatan rakyat secara penuh dan adil yang berlangsung dalam sirkulasi produksi yang
berjalan, namun proses konsentrasi kekuasaan dari segelintir elite yang memiliki modal dan
7

penghisapan terhadap tenaga kaum buruh yang bekerja untuk melayani kepentingan para
pemilik modal.
Menurut Muhammad Hatta penghormatan hak-hak individu dalam arena politik dan
pemenuhan kepentingan diri dari elite pemilik modal yang dilakukan dengan penghisapan
terhadap yang lain membuat prinsip individualisme justru menghancurkan fondasi
demokrasi sebagai pemenuhan kedaulatan rakyat. Individualisme tidak dapat digunakan
sebagai basis dari demokrasi di Indonesia, karena penerapan individualisme tidak akan
memajukan kemakmuran hidup bersama rakyat Indonesia. Kemerdekaan dan pemenuhan
hak-hak sipil dan politik dari rakyat Indonesia akan berbanding terbalik dengan penghisapan
yang berlangsung di ranah ekonomi. Menurut Istilah Muhammad Hatta dalam karyanya Ke
Arah Indonesia Merdeka dalam sistem demokrasi kapitalistik, rakyat tidak akan menjadi raja
yang berdaulat untuk menentukan nasibnya sendiri. Kritik terhadap semangat individualisme
ini membawa Hatta pada keyakinan bahwa semangat kolektivitas yang berakar dari tradisi
tatapergaulan masyarakat Indonesia yaitu cita-cita rapat, tolong-menolong dan protest maka
landasan demokrasi dapat berjalan baik dalam arena politik maupun ekonomi.
Partisipasi kolektif rakyat baik dalam arena politik untuk menentukan urusan dan
pemerintahannya maupun mengelola wilayah ekonomi berlandaskan prinsip kebaikan
bersama untuk memenuhi kepentingan rakyat bukan berlandaskan semangat persaingan
dan penindasan terhadap rakyat banyak. Bagi Hatta dengan menggerakkan demokrasi politik
dan demokrasi ekonomi berbasis kolektivisme secara bersamaan maka demokrasi dapat
menjalankan perannya untuk pemenuhan kemakmuran bersama dan kemerdekaan tiap-tiap
warga Indonesia. Ulasan panjang tentang gagasan demokrasi, republikanisme dan
kolektivisme sebagai mutiara gagasan dari

pemikiran Muhammad Hatta sekali lagi

menunjukkan spirit sosialistik dan republikan yang kritis terhadap kapitalisme merupakan
bagian inheren dari tradisi pergerakan nasional Indonesia. Dalam kata-kata yang lebih tegas,
dalam perspektif demokrasi dari Muhammad Hatta, rakyat menjadi jantung dari seluruh
proses-proses pembangunan yang berlangsung baik dalam wilayah ekonomi maupun politik.
Pentingnya pembentukan keindonesiaan yang berbasis pada kepublikan ini
ditekankan terus menerus oleh Muhammad Hatta, bahkan setelah masa kemerdekaan
Muhammad Hatta mengingatkan kembali dalam pidatonya di Universitas Indonesia pada
tahun 1957, bahwa revolusi kita menang dalam menegakkan kebenaran baru, dalam
menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita
8

sosialnya. Sampai saat ini apa yang diuraikan oleh Muhammad Hatta masih relevan dengan
kondisi bangsa kita sekarang. Pelaksanaan cita-cita kita untuk membentuk masyarakat yang
berbasis

pada

kesetaraan,

kesejahteraan

bersama

dan

penghormatan

terhadap

kemajemukan masih jauh dari berhasil. Penelaahan terhadap problem berbangsa dan
bernegara ini dapat kita mulai dari proses demokratisasi yang tengah berjalan di republik ini.
Didalam

bangunan

politik

yang

memperjuangkan

kolektivitas,

kesetaraan,

kesejahteraan dan keadilan maka tiap-tiap warga negara berperan sebagai agensi politik
dalam penentuan berbagai permasalahan komunitas mereka. Sehingga penentangan
terhadap landasan individualisme dari Muhammad Hatta tidak menghilangkan kesadaran
rakyat sebagai subyek-subyek yang merdeka dalam arena politik. Namun demikian dalam
kemerdekaan itu persoalan yang menyangkut urusan publik dalam kehendak hidup bersama
diletakkan mengatasi kepentingan-kepentingan privat yang berbasis fanatisisme kelompok
maupun tirani kekuasaan modal. Tindakan politik menjadi aktivitas yang merealisasikan
solidaritas, respek terhadap keragaman dan otonomi warga. Sementara ruang politik adalah
ruang komunikasi, negosiasi antara warga yang berjalan melalui tindak persuasi yang
mengharamkan tindak-tindak kekerasan. Sementara pada level negara, maka negara dan
segenap institusinya harus menjadi pelayan bagi pemenuhan aspirasi publik dengan tetap
tidak memihak terhadap kepentingan suatu golongan (imparsial) sekaligus menimbang suara
dan aksi politik dari warga dalam mengambil kebijakan. Negara juga menjaga dan merawat
agar ruang politik tetap menjadi tempat bagi proses negosiasi dan komunikasi dikalangan
warganegara dengan menghormati kebebasan sipil, pluralisme dan anti kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai