Anda di halaman 1dari 11

EMBRIOLOGI TUMBUHAN

Megasporogenesis dan Megagametogenesis pada Angisoperma

Disusun Oleh:
Rizki Karunia H

12030244217

Lucky Noviansyah

12030244222

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
2015

Megasporogenesis dan Megagametogenesis pada Angisoperma

A. Megasporogenesis
Megasporogenesis merupakan proses pembentukan kandung lembaga di dalam bakal
biji (ovum) yang terjadi dalam ovarium. Di dalam bakal biji terdapat sebuah sel induk
megaspora yang bersifat diploid, sel induk tersebut disebut dengan megasporosit. Sel induk
megaspora mengalami meiosis sehingga menghasilkan empat megaspora yang masingmasing haploid. Megasporogenesis pada angios dimulai dengan pembelahan meiosis pada sel
induk megaspora yang menghasilkan 4 sel megaspora haploid. Tiga sel megaspore yang
letaknya dekat dengan mikrofil mengalami degenerasi, sedangkan satu sel megaspora tetap
hidup dan akan mengalami pembelahan lebih lanjut. Selanjutnya, satu sel tersebut mengalami
pematangan melalui megagametogenesis.
Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai proses megasporogenesis :
Sebelum proses megasporogenesis diawali dengan stadium ontogeni ovulum, sel
hipodermal tunggal yang terletak pada aspek nuselus tampak menonjol besar, sitoplasma
peka bila dibandingkan dengan sel-sel nuselus disekitarnya. Sel inilah yang selanjutnya
berkembang menjadi sel arkesporial. Dalam perkembangan selanjutnya sel arkesporial
membelah secara periklinal membentuk sel parietal primer (bagian luar) dan sel sporogen
primer (bagian dalam).
Sel sporogen primer berdiferensiasi langsung membentuk sel induk megaspore,
sehingga terpisah dari epidermis nuselus melalui lapisan sel parietal, sel parietal akan
berdiferensiasi menjadi lapisan endotesium.

gambar 1. Ontogeny Ovulum.

Megasporogenesis
Sporogenesis pada angios ditandai dengan munculnya sel berukuran besar yang
terletak di bawah dua lapisan sel nuselus di daerah dekat dengan mikropil. Sel-sel berukuran
besar ini mempunyai vakuola besar sehingga melalui sayatan memanjang tampak lebih
terang dibanding sel nuselus di sekitarnya dan disebut sel arkesporial. Sel arkesporial
berfungsi langsung sebagai sel induk megaspore.
Ciri-ciri sel induk megaspore adalah ukurannya besar dan bentuknya memanjang
terhadap sumbu panjang nuselus. Sel induk megaspora ini memiliki nukleus besar dengan
nukleolus yang jelas. Stadium ini tampak jelas pada saat integument dalam maupun
integument luar telah berdiferensiasi. Menurut Robertson (1976b). Sel sporogen inilah yang

berfungsi sebagai sel induk megaspora. Menurut Quisumbing dan Juliano (1927 dalam
Robertson, 1976), pada Cocos nucifera sel arkesporial berdiferensiasi menjadi sel induk
megaspora.

Gambar 2. Tahapan meiosis megaspore mother sel (MMC).

Sel induk megaspora yang telah berkembang penuh berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu nuselus. Pada meiosis pertama, bidang pembelahan secara
transversal terhadap sumbu panjang nuselus membentuk dua sel diad, pada meiosis kedua,
masing-masing sel dari dua sel diad yang terbentuk, membelah dengan bidang pembelahan
secara transversal membentuk tetrad megaspora. Sel diad bagian kalaza membelah
transversal, demikian juga sel diad bagian mikropil membelah secara transversal terhadap
sumbu panjang nuselus hingga membentuk tetrad linier. Dari tetrad linier tersebut, tiga sel
megaspora ke arah bagian mikropil berdegenerasi, sedangkan sel megaspora bagian kalaza
fungsional yang dalam perkembangan selanjutnya membentuk kantung embrio.

Gambar 3. (kiri) mekanisme meiosis MMC dengan konstribusi tapetum endothelium (calosse),
(kanan) megaspore tetrad.

Sama halnya dengan meiosis pada mikrospora disini peran calossa masih berlaku
saat pembelahan meiosis sel induk megaspore hingga menjadi megaspore tetrad. Arah laju
calossa sendiri secara transversal sesuai dengan pembelahan meiosis menjadi megaspore
tetrad.
Dinding sel tanaman khas terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin dan protein.
Celluloseis polimer dari 1,4 glukan - dan ditemukan sebagai mikrofibril pada dinding sel.
Callose, polisakarida khusus, juga merupakan salah satu komponen dinding sel pada
tanaman, dan tampaknya dalam beberapa sel atau dalam beberapa kasus. Ini adalah 1,3polimer glukan - dengan beberapa 1,6 cabang, dan berbeda dari selulosa. Callose dan
selulosa disintesis oleh callose synthase dan selulosa sintase terletak pada membran plasma,
masing-masing. Callose synthase menempatkan secara vektor dalam membran plasma
dengan substrat yang dipasok dari sisi sitoplasma, dan produk yang diendapkan pada
permukaan sel.
Callose memainkan peran penting dalam biologi reproduksi angiospermae,
khususnya. Dinding callose mengelilingi sporocytes saat meiosis terjadi. Karena strukturnya,
memberikan penghalang isolasi penyegelan dari satu sel yang mengalami meiosis (sel serbuk

sari atau sel induk megaspora) dari sel lain, callose memainkan peran biologis penting:
bertindak sebagai dinding sementara untuk mencegah produk dari meiosis dari kohesi dan
fusi, dan hasil pembubaran dalam pelepasan spora bebas. Dalam proses megasporogenesis
bahwa fungsi dinding callose yaitu sebagai filter molekul mengisolasi mikrospora
berkembang dari pengaruh jaringan sekitarnya.

Gambar 4. Peranan Callose bagi tanaman

B. Megagametogenesis
Salah satu dari sel tetrad megaspore berkesempatan menjadi macrosporefungsional,
adalah megaspore pada kutub chalazal yang memiliki keuntungan yang berbeda selama
kompetisi. Macrospora yang berada dalam kutub chalazal bertahan dan terus berkembang.
Dengan tiga mitosis hingga menjadi 6 sel.

Gambar 1. Proses megagametogenesis dari sel megaspore fungsional.

Sebelum mitosis pertama satu inti menjadi dua inti anakan bebas, macrospore meningkat
pada ukuran. Selama ini macrospore yang non-fungsional tersisa tiga secara bertahap ukurannya
berkurang; menjadi lebih terdistorsi dalam bentuk sampai akhirnya hancur. Pada saat pembagian
pertama telah selesai dan pembesaran macrogametophyte berinti dua, baik dalam ukuran tinggi
dan lebar, tempat yang diambil, dapat dibedakan dalam pemerataan persiapan, badan di atas atau
di samping memperbesar pada macrogametophyte (Gambar, 8-10). Mereka hilang sepenuhnya
saat tahap macrogametophyte empat nukleasi tercapai (Gambar, 11), tetapi tak jarang jejak spora
tersebut dapat dilihat sebagai akhir sebagai tahap delapan nukleasi dari macrogametophyte

Gambar 2. Proses mitosis megaspore, dan perpindahan sel ke kutub mikrofil serta kutub kalazal

Setelah mitosis pertama telah terjadi, inti anak bergerak terpisah, salah satu akan menuju
masing-masing tiang sel. Sementara itu, sitoplasma di antara inti anak menjadi vakuolisasi, dan
bentuk vakuola sentral yang besar. Selain itu, beberapa vakuola kecil yang hadir di atas inti
micropylar dan vakuola di bagian bawah sel, langsung di bawah inti chalazal, dapat diamati.
Pengamatan ini tidak bisa memberikan bukti, yaitu vakuola sentral mungkin aktif dalam
mendorong inti anak, satu untuk masing-masing tiang sel.
Pertumbuhan lanjutan dari macrospore diikuti dengan degenerasi jaringan nuselus di
sekitarnya. Sel-sel nuselus di sisi spora menunjukkan tanda-tanda degenerasi, pada awal
pembelahan meiosis selesai. Mereka menjadi lebih memanjang dan menempel di integumen.
Dalam waktu singkat setelah itu, isinya hancur dan akhirnya hilang. Sel-sel nuselus di puncak
lebih tahan dan bertahan selama beberapa waktu, sampai macrogametophyte berinti dua
terbentuk. Didampingi disorganisasi sel nuselus, sel-sel epidermis di bagian dalam integumen
berdiferensiasi menjadi lapisan yang berbeda, yang dikenal sebagai mantel-layer atau integumentapetum . Bentuk karakteristik sel-sel ini jelas dalam tahap macrospore tetrad. Mereka sangat
mencolok karena bentuknya yang memanjang, tegak lurus dengan sumbu panjang gametofit;
dengan ukuran yang lebih besar, isi protoplasma padat dan ditandai karakter meristematik.
Sebagai macrosporangium dewasa, perubahan lebih lanjut sedang berlangsung dalam jaringan
integumen yang terletak di antara mantel-layer dan aouter epidermis dari integumen. Sel-sel ini
menjadi memanjang dan pipih, isinya secara bertahap diserap.

Sebagai hasil dari pembesaran intensif macrogametophyte berinti dua, penguraian dari
apikal sel nuselus. Setelah puncak nuselus pecah, macrogametophyte muda, sebagian micropylar
nya, menonjol dari nucellus dan memasuki kanal micropylar. Pengembangan lebih lanjut terjadi
langsung dengan sel-sel bagian dalam integumen. Fragmen sel nuselus, sekitar bagian basal
macrogametophyte, tetap terlihat sampai periode lama kemudian menuju fase pembangunan ada
bagian muncul memperluas jauh di luasnya, sedangkan bagian chalazal, tertutup oleh sel nuselus
yang hancur , tetap mengerut dan berbentuk tubular. Macrogametophyte menjadi berbentuk
seperti labu, dengan asumsi penampilan labiateous atau scrophulariaceous. Sesuai dengan bentuk
amphitropous dari macrosporangium itu, macrogametophyte dewasa Datura tatula menjadi
sedikit melengkung.
Inti mycropylar dan chalazal dari macrogametophyte berinti dua menjalani sebuah divisi
baru dan fase empat nukleasi tercapai. Inti membagi secara bersamaan. Kedua spindle terletak
sekitar sudut kanan satu sama lain; poros micropylar, kurang lebih horisontal, terletak di ujung
sel apikal, chalazal sejajar dengan sumbu panjang sel dan bentuk di bagian terbatas, puncak
mucellar teratur. Karena orientasi spindle ini, dua inti mycropylar disusun berdampingan, dua di
ujung chalazal bentuknya satu di atas yang lain.

Gambar 3. Proses migrasi megaspora pada kutub kalazal dan kutub mikrofil.

Mitosis ketiga menimbulkan suatu macrogametophyte membentuk 6 sel yaitu, pada


daerah kalazal terbentuk 2 sel antipodal, pada bagian tengah terbentuk 2 sel polar nukleid, dan
terbentuk 3 sel pada daerah kutub mikrofil yaitu : 1 sel ovum dan 2 sel sinergid.

Gambar 4. Embrio sac matang.

Daftar Pustaka

Moco MCC, Mariath JEA. 2003. Ovule ontogenesis and megasporogenesis in Adesmia latifolia
(Spreng.) Vog. (Leguminosae-Papilionoideae). Revista Brasileira de Botanica 26: 495502.
Nikiticheva ZI. 2002. Nucellus. In: Batygina TB, ed. Embryology of flowering plants.
Terminology and concepts. Vol. 1: Generative organs of flower. Enfield, NH: Science
Publishers, 103108.
Yadegari R, Drews GN (2004) Female gametophyte development. Plant Cell 16:S133S141.
Yang WC, Shi DQ, Chen YH (2010) Female gametophyte development in flowering plants.
Annu Rev Plant Biol 61:89108.

Anda mungkin juga menyukai