Anda di halaman 1dari 3

Jiwa Pemberontak di dalam Kets

Sebagai seorang penikmat ilmu atau pelajar, sudah menjadi peraturan wajib memakai
pakaian rapi dan sopan serta menggunakan alas kaki. Seperti yang kita tahu, hampir semua
mahasiswa mempunyai running shoes yang biasa dikenakan saat berolahraga ataupun untuk
kegiatan sehari-hari dan tak jarang pula sebagian dari mereka mengenakannya untuk
ngampus. Alasannya simple, nyaman. Terlebih multi fungsi, cocok dikenakan untuk
keperluan santai maupun dalam acara formal.
Sepatu yang orang Indonesia biasa menyebutnya sebagai sepatu kets, sementara
masyarakat Amerika menyebutnya sneakers ini sepertinya telah menjadi favorit di kalangan
anak muda. Ibarat jeans, sneakers memang menjadi ikon footwear yang sudah menjadi gaya
hidup. Tak kenal usia dan bisa dikenakan oleh pria maupun wanita. Bahkan saat ini sneakers
terkadang dipakai untuk bekerja.
Definisi sneakers sendiri sebenarnya merupakan sepatu yang menggunakan bahan sol
karet dan menggunakan material yang nyaman dikenakan walau pada saat cuaca sedang
panas sekalipun. Sebuah sneakers sederhana pada umumnya menggunakan bahan dasar
denim, atau kanvas sehingga sering juga disebut sepatu kanvas di Indonesia. Tapi terpikirkah
oleh Anda darimana dan bagaimana asalnya sepatu yang tak mengenal gender pemakainya
tersebut?
New York Times pada edisi 21 Maret 2010 pernah menuliskan bahwa sepatu bersol
karet dan berbahan kanvas sudah dibuat sejak tahun 1830 di Inggris, yang diciptakan oleh
produsen karet bernama Liverpool Rubber Company. Pada mulanya, jenis sepatu ini di kenal
dengan nama Plimsolls, sepatu karet sebagai pelengkap busana pantai. Pada tahun 1892
seorang pria berkebangsaan Amerika bernama Charles Goodyear melakukan berbagai
percobaan menggunakan karet hingga berhasil membuat inovasi dengan mencampur bahan
dasarnya dengan kanvas dan berhasil memproduksi sepatu karet bersama perusahaan US
Rubber Company.
Lalu darimana asal mula sepatu ini bernama Sneakers?
Pada tahun 1917, seorang agen periklanan dari perusahaan N & W, Ayer & Son
bernama Henry Nelson Mckinney menyebut plimsolls dengan sebutan sneakers. Alasannya
karena jenis sepatu ini ketika dipakai di permukaan yang keras tidak akan menimbulkan
suara. Tidak seperti sepatu yang lain. Contohnya sepatu kayu yang akan mengeluarkan suara

tok tok tok saat digunakan di lantai atau jalan. Berbeda dengan sneakers, karena ia tak
berbunyi maka dianggap sepatu ini bisa dipakai untuk sneak up (mendekati) seseorang tanpa
ketahuan. Kemudian disebutlah sneakers sama para bule. Bahkan beberapa orang barat malah
menganggap bahwa lebih sopan mengenakan kets daripada sandal jepit di dalam rumah.
Seandainya mengenakan sandal, mereka masih harus memakai kaos kaki.
Pada tahun 1950 kets menjadi simbol pemberontakan. Murah dan mudah diperoleh
oleh semua anak muda di dunia. Kemudian kets dipakai oleh sebuah kalangan yang dinamai
atau menamai dirinya anak punk. Punkers ini, mempunyai gaya rambut hitam dengan
jambul pendek yang bermakna pemrotesan, gaya riasan gelap yang bermakna kehidupan
tanpa masa depan. Mereka memiliki cara berpakaian yang sangat menarik, bahkan tidak
sedikit masyarakat ikut menirukannya. Arum Sutrisni Putri dalam thesis-nya menuliskan
fashion khas punk, yaitu kaos warna gelap, jaket jeans lusuh dan kotor dengan coretancoretan nama band favorit mereka ataupun kritik terhadap pemerintahan, celana jeans robekrobek, boxer yang sengaja diperlihatkan yang bermakna pemberontakan dan kemerosotan
moral, dan tentu saja, sneakers yang melambangkan jiwa muda. Walaupun mereka juga
mengenakan boots, bermakna sebagai perlawanan terhadap represi aparat.
Sebuah film dokumenter mengenai fenomena sneakers dibuat pada tahun 2005
dengan judul Just for Kicks, yang mengisahkan sejarah sneakers dan orang-orang yang
mempopulerkannya. Perusahaan-perusahaan sepatu dunia pun tak luput dari pembangunan
simbol dalan sneakers. Seperti perusahaan Converse pada tahun 2008 menggunakan citra
Kurt Cobain, Sid Vicious (pemain bas band The Sex Pistols yang dikenal sebagai punkers
alami di setiap permainannya), Ian Curtis (vokalis band Joy Division) dan beberapa nama lain
yang dipilih karena dirasa menjadi panutan generasi muda yang lekat dengan ilusi
pemberontakan.
Walaupun secara fungsional produk adalah sebuah produk, demikian pula dengan
sepatu. Nilai kegunaan pada sebuah benda akan berubah ketika ditanamkan nilai estetika
yang lain. Ambil contoh, siapa yang tak kenal sepatu kets dengan label Converse? Maka
sepatu kanvas polos lain yang berbahan dasar sama akan lebih tinggi harganya setelah diberi
label ini. Kemudian kenyamanan menjadi nomor dua terganti oleh pengakuan dari orang
sekitar.
Lepas dari entah darimana sepatu kets bermuara dan kejadian-kejadian yang
bersangkutan dengannya. Well, saya rasa pandangan masyarakat tentang pemberontakan yang

dulu melekat pada sepatu ini akan pudar apabila si pemakai mengenakannya dengan baik. Ia
tetaplah hanya sebuah sepatu jika digunakan sebagai fashion atau alas kaki, tanpa maksud
apapun.

Shoes by Yenny Fitri


Kumalasari

Anda mungkin juga menyukai