Hujan di musim dingin membasahi sudut-sudut kota Naliban yang Agung. Sebuah kota kecil yang seolah tak pernah tertidur walaupun rembulan telah singgah di atap langitnya. Sebuah kota yang diagungkan-agungkan karena membesarkan para pujangga dengan syair-syair menawan yang selalu terngiang di telinga para penduduknya. Syair yang terdengar bahkan hingga ke setiap penjuru kota-kota lain yang berada jauh dari Naliban. Mereka yang hidup di luarnya menyebut Naliban sebagai kota para pujangga. Pagi membawa kehangatan di sudut-sudut kota selepas malam yang dingin oleh siraman hujan. Udara masih terasa lembab dengan butiran-butiran embun di atas dedaunan pohon cedar dan kelopak bunga lily yang berseri. Naliban adalah kota para pujangga dengan syair menawan dan keindahan alamnya yang memikat. Ada puluhan pohon cedar yang tumbuh kokoh di sekitar kota, serta bunga lily yang tumbuh mekar hampir di setiap pekarangan rumah, yang harumnya selalu dapat memikat siapa saja yang melewatinya. Udara di Naliban selalu membawa keharuman tersendiri bagi para pujangga dan penduduknya. Harum dari pohon-pohon cedar yang tumbuh perkasa serta semerbak bunga lily di pekarangan hadir dalam syair-syair yang membangkitkan semangat romantisme di hati para penikmatnya. Sore hari di Naliban disambut oleh matahari senja di sela pohon cedar yang kokoh. Langit senja kemerahan bagaikan lukisan dihiasi oleh kepak burung-burung kembali menuju sarangnya. Alunan lembut bunyi dedaunan pohon cedar yang tertiup semilir angin bagaikan sebuah harmoni yang merdu terdengar di telinga. Matahari senja yang semakin tenggelam menyisakan siluet cahayanya di langit gelap dan lalu digantikan oleh cahaya rembulan. Naliban sejenak dalam keheningannya, namun syair-syair para pujangganya selalu menemani kota Naliban yang mulai terlelap. ~~ # ~~
# Syair Yang Gelisah
Para pujangga tengah terlelap dalam keheningan malam musim dingin Naliban. Diantara mereka yang tenggelam dalam buaian mimpi di bawah langit malam Naliban, tertinggal sebuah pena dengan goresan syair di atas kertas dari tangan seorang pujangga yang masih terjaga. Seorang pujangga yang hatinya tengah dihinggapi kegelisahan atas takdirnya sebagai seorang pria yang hanya berjalan di atas kehidupannya sendiri. Seorang pria yang hatinya dipenuhi oleh pertanyaan tentang kecemburuan pada mereka yang berjalan berpasangan dalam kehidupannya. Dialah satu-satunya pujangga di Naliban yang selalu terjaga lebih lama dari pujangga lainnya di keheningan malam Naliban. Seorang penyair yang mencuri waktu dari keheningan malam untuk menuangkan kegelisahan hatinya menjadi sebuah syair atas hidupnya, sebuah syair kegelisahan. Aku cukup merasakan kesenangan hanya dari sebuah pena dan secarik kertas yang ku buat menjadi syair-syair tentang kebahagiaan. Betapa bahagianya menyaksikan dua pohon cedar yang tumbuh kokoh berdampingan meskipun badai menerpa. Dan kemudian aku hanyalah
seorang pujangga yang
menyaksikan
kebahagiaan dari dua pohon cedar yang tak terpisahkan.
Alangkah indahnya melihat seorang gadis tersipu oleh rayuan sang pria di taman yang diharumi oleh ratusan bunga lily. Lalu aku tersenyum dalam kegetiran hati seorang pria di hadapan pasangan yang saling tersipu malu. Akulah seorang penyair yang selalu menuliskan syair-syair tentang kebahagiaan di atas kisah mereka yang saling mengasihi. Tapi apakah mereka yang kutuliskan kisahnya melihat kisahku sebagai seorang anak manusia yang hidup di dunia dan roda waktu yang sama dengan mereka. Waktu tak pernah bertanya ataupun menjawab ketika mereka yang hatinya dipenuhi kegelisahan atas masa depannya terjaga dalam sunyi. Sementara waktu terus berjalan, akulah sang pujangga, akulah sang penyair. Dan inilah syair kegelisahan, syair atas kisah seorang pujangga yang tenggelam dalam kegelisahan hidupnya. ~~ # ~~