Anda di halaman 1dari 2

Achmad Jaelani

Anita Marindra Putri


Kais Abdullah Faqih
Noviantiffany Puspa Arum Dhini
Analisis Novel Pabrik Karya Putu Wijaya
Novel dengan judul Pabrik ini ditulis dengan tema perjuangan kelas tertindas yang
hidup di perkampungan dan mencari nafkah dari sebuah pabrik. Alur cerita berjalan maju
dengan berbagai konflik yang berada di dalamnya. Latar cerita berada pada sebuah kampung
yang bersatu dengan daerah pabrik serta tempat pelacuran. Perkiraan waktu cerita ialah
sekitar tahun 1970-an ketika perekonomian masih di dominasi oleh orang asing. Inti cerita
berada dalam kehidupan pabrik dengan penokohan sebagai berikut:
Tirtoatmojo sebagai pemilik pabrik dengan watak keras dan mementingkan disiplin
Joni sebagai anak tiri Tirto dan satu-satunya ahli waris pabrik dengan watak lebih
lembut dari ayahnya meskipun sama-sama keras
Dringgo sebagai buruh biasa dengan watak pembangkang dan berani
Paman sebagai tangan kanan Tirto dengan watak penjilat
Susi sebagai bekas istri Tirto dan mantan kekasih Paman dengan watak pengeluh
Dargo sebagai penjaga kantin dengan watak penakut, terkesan patuh namun tidak
Maret sebagai kekasih Dargo yang setengah gila namun ternyata merupakan anak
perempuan dari hubungan gelap Tirto
Ilyas sebagai orang kepercayaan buruh dengan watak sabar namun banyak dicurigai
buruh itu sendiri
Budi sebagai orang luar yang berusaha mencuri di pabrik
Mat Jegug sebagai orang bisu yang memungut Maret
Sudut pandang yang digunakan oleh penulis ialah orang ketiga di luar cerita sehingga
subjek aku tidak tampak. Sebagaimana merujuk pada Sartre, cerita dalam novel ini banyak
dipengaruhi oleh kehidupan nyata penulisnya sendiri, dimana latar belakang Putu Wijaya
merupakan anak seorang punggawa yang berwatak keras sehingga tak asing lagi dengan
urusan kekuasaan. Pada tahun novel ini ditulis, Putu Wijaya sedang berada di Ittoen Jepang
bersama rombongan sandiwara sambil bertani dan berkeliling di daerah tersebut selama 7
bulan.Selain novelis, Putu Wijaya juga merupakan seorang redaktur majalah Tempo yang
sedikit banyak menaruh perhatian terhadap perjuangan kaum buruh. Kata pabrik pada novel
ini digunakan oleh penulis sebagai simbol yang merujuk kepada kondisi yang di dalamnya
terdapat dua kelas yang menindas dan tertindas. Maka tidak heran apabila novel Pabrik ini
penuh konflik dominasi kekuasaan dan hegemoni.
Hegemoni menurut Gramsci ialah upaya penundukan oleh penguasa secara persuasif
sehingga kelompok yang terhegemoni merasa bahwa kepentingannya sejalan dengan
kepentingan penguasa maka revolusi hampir sulit dilakukan karena power yang terselubung.
Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut,
...Kita membutuhkan bayaran lebih baik. Bisa apa dengan uang yang kita terima
sekarang? Kalian belum berkeluarga, kalian belum bisa merasakan. Aku? Tidak banyakbanyak. Asal cukup. Pabrik ini sudah maju sekarang, kapan mereka mau balas sedikit jasa
kita. Kita sudah bantu dia sejak tak punya apa-apa. Tanah kita serahkan. Katanya kita ikut
sebagai pemilik...
Kutipan di atas merupakan ucapan Dringgo ketika berusaha mempengaruhi teman-temannya.
Dringgo sadar bahwa kemajuan pabrik tidak sejalan dengan kesejahteraan para buruh yang
sedari awal telah ikut membangun pabrik tersebut. Tanah mereka juga sudah diserahkan
untuk dijadikan lahan pembangunan. Tirto berjanji akan memberi para buruh saham karena
mereka sudah menyerahkan tanah namun tidak kunjung buruh dapatkan.
Pada suatu hari yang telah lalu, sebuah kampung terbakar. Robert membujuk korbankorban itu supaya pindah ke dekat tempat pelacuran. Lalu membangun pabrik. Ia berjanji
akan membayar tanah tersebut dalam bentuk saham. Sementara ia menampung orang-

orang tersebut sebagai buruh biasa. Tetapi sedikit calon pemegang saham itu berkurang,
terlibat pelacuran dan perjudian
Dalam kutipan di atas, Tirto mampu menguasai atau menghegemoni orang-orang untuk
dijadikan buruhnya dengan sebuah imbalan saham setelah tanah mereka serahkan untuk
pendirian pabrik. Merekapun mau dianjurkan untuk pindah ke dekat lokasi kompleks
pelacuran dan akan dijadikan sebagai buruh biasa. Seiring berjalanya waktu, para buruh
terlibat pelacuran dan perjudian. Moral mereka hancur, banyak calon pemegang saham
dipecat karena terlibat prilaku negative tersebut.
Ia merasa diludahi. Ia merasa telah cukup menahan diri terhadap Dringgo, mengingat
keluarganya yang menderita. Lewat Ilyas sering sekali ia meberikan sumbangan agar
keluarga yang termasuk melarat itu dapat diselamatkan. Karena, kalau ada buruh yang
terlalu miskin, akan berbahaya untuk semangat kerja buruh-buruh lainya. Ia lupa
memikirkan bahwa mungkin saja sumbangan itu tak pernah sampai. Ia hanya merasa
diperlakuakan tidak adil
Tirtoatmojo sesungguhnya telah memberikan sumbangan kepada keluarga Dringgo yang
miskin namun tetap dengan kepentingan pabrik karena jika ada keluarga buruh yang miskin
maka akan mengganggu semangat kerja buruh yang lainya. Akan tetapi Dringgo justru
membrontak padanya. Tirto merasa dihina dengan semua itu.
Jadi saudara-saudara, kata Joni, saya harap dapat mengerti sekarang bahwa
kepentingan saya adalah kepentingan saudara-saudara. Kita sama-sama bekepentingan
agar pabrik ini maju pesat. Saudarasaudara jangan merisaukan soal saham. Saya dan Ilyas
akan mengaturnya. Mudah-mudahan bulan depan saham-saham tersebut sudah dapat
dibagi sehingga kita bersama-sama adalah pemilik. Sehingga semua bekerja dengan
tanggung jawab. Tidak seperti selama ini, maaf, saudara-saudara bekerja hanya sekedar
sesuai dengan apa yang saudara dapatkan....
Joni mengumpulkan orang-orang hendak menjelaskan kepentingan dia. Ia menjelaskan
bahwa kepentingan dia adalah kepentingan orang-orang itu juga. Melalui janji saham Joni
kembali melakukan hegemoni terhadap buruh agar mau melaksanakan keinginannya
Berdasarkan pembacaan pada novel Pabrik dan analisis yang dilakukan, novel ini
sangat dipengaruhi oleh latar belakang penulis yang pada saat penulisannya banyak
berinteraksi dengan kaum buruh. Sesungguhnya simbol pabrik yang dibahas pada novel ini
bukan hanya semata-mata bangunan pabrik yang real, namun secara tidak langsung
menjelaskan pula realitas kehidupan masyarakat di lingkungan manapun yang notabene
selalu terdapat segmentasi kelas. Kemudian Putu Wijaya juga mengangkat problem hegemoni
yang dilakukan oleh pemilik pabrik sebagai penguasa terhadap buruh-buruhnya tersebut
sebagai konflik antar kelas yang saling berbeda kepentingan. Namun pada bagian akhir dari
novel ini, alur cerita seperti belum selesai sehingga masih membuka peluang praduga para
pembacanya.

Daftar Bacaan:
Wijaya, Putu. Pabrik. 2005. PT. Kompas Media Nusantara: Jakarta
Catatan Kuliah Filsafat Ideologi

Anda mungkin juga menyukai