Anda di halaman 1dari 5

NAMA : ARIF WIJAYA HAMBALI

NIM : 2012-050-018
BAB V
KUALIFIKASI
Kualifikasi sebenarnya adalah melakukan translation atau penyalinan daripada faktafakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum. Fakta-fakta ini dimasukan dalam kotak-kotak
hukum, kelas-kelas, ruang-ruang atau kamar-kamar atau bagian-bagian hukum yang sudah
tersedia. Ini yang dinamakan klasifikasi dari fakta-fakta. Seorang advokat menerima kliennya
yang menceritakan suatu kejadian tertentu dan rangkaian peristiwa-peristiwa. Misalnya ia
menceritakan tentang pemberian tugas yang telah diberikan olehnya kepada seorang yang
dipercayainya untuk melakukan perwakilan khusus baginya dalam menandatangani suatu
kontrak. Jika fakta ini dikualifikasikan dalam pengertian hukum perdata, maka dapat
dikualifikasikan sebagai pemberian kuasa (pasal 1792 KUHPER).
Demikian halnya di bidang HPI, fakta-fakta harus ditaruh dalam kategori-kategori yuridis
tertentu. Fakta-fakta dikarakteristir, tetapi bukan fakta-fakta saja yang harus dikualifikasikan,
kaidah-kaidah hukum juga memerlukan kualifikasi ini. HPI kita lebih intensif harus melakukan
kualifikasi ini. Hal ini disebabkan karena hukum asing dalam suatu persoalan HPI kadangkadang melakukan kualifikasi yang berlainan daripada hukum kita sendiri. Selain itu bunyi
istilah hukumnya seringkali sama, tetapi isinya tidak sama. Contohnya adalah tentang
kedaluwarsa atau lampau waktu. Menurut istilah eropa kontinental, kedaluwarsa dikualifikasi
sebagai hukum materiil. Sedangkan menurut hukum negara-negara Anglo Saxon, kedaluwarsa
dikualifikasi sebagai prosedur. Karena itulah harus ditentukan oleh lex fori.
I.

Persetujuan orang tua untuk menikah


Mengenai masalah persetujuan pihak orang tua untuk menikah, seperti yang diatur di

dalam BW. Apakah ini termasuk bentuk dari perbuatan hukum, atau substantive condition of
marriage. Karena itulah jika termasuk capacity, maka pasal 16 A.B. lah yang akan menentukan
status personil ini. namun bila mengenai tempat, maka pasal 18 A.B. dengan asas Locus Regit
Actum yang akan berlaku

II.

Masalah penentuan Locus Contractus


Dalam hukum kontrak internasional pernah dikemukakan mengenai asas lex loci

contractus. Hukum tempat dimana kontrak dilangsungkan atau dibuat, adalah hukum yang
berlaku. Dalam hal para pihak tidak hadir dalam tempat tertentu, misalnya melalui surat
menyurat, atau fax, atau telex, maka sistem hukum yang digunakan lebih menitikberatkan pada
tempat dimana dikirimkan penerimaan penawaran yang telah diadakan. Karena itulah maka
hukum yang berlaku adalah hukum dimana penerimaan penawaran tersebut dilakukan. Ini
dikenal dengan sistem mail box theory.
Sebaliknya negara Eropa Kontinental lebih menitikberatkan pada tempat dimana
diterimanya acceptance yang dikirimkan oleh si penerima tawaran itu. Inilah yang disebut
acceptance theory. Demikian pula mengenai penentuan locus delicti dalam hal perbuatan
melanggar hukum harus diadakan kualifikasi daripada tempat dimana perbuatan melanggar
hukum dilakukan (lex locus delicti commissi).
Menurut HPI Amerika Serikat ukuran yang dipakai adalah tempat dimana akibat yang
merugikamn dari perbuatan melanggar hukum yang bersangkutan terwujud. Sebaliknya menurut
HPI Prancis titik berat diletakan atas tempat dimana telah benar-benar dilakukan perbuatan
melanggar hukum itu.
III.

Mengenai benda bergerak atau tidak bergerak


Pada awalnya untuk benda-benda yang tidak bergerak, berlaku hukum dimana benda itu

berada. Sedangkan untuk benda-benda bergerak, berlaku hukum dimana pemegang benda itu
berada. Namun belakangan ini, baik untuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berlaku
hukum dimana benda itu berada.
Macam-Macam Kualifikasi
a. Kualifikasi menurut lex fori
Menurut pendirian ini, kualifikasi harus dilakukan menurut hukum materiil dari sang
hakim. Pengertian-pengertian hukum yang dihadapi dalam kaidah-kaidah HPI harus
dikualifikasikan menurut sistem hukum negara sang hakim sendiri. Semua masalah-masalah
2

tersebut harus diintepretasikan dan didefinisikan menurut pengertian-pengertian hukum intern


materiil sang hakim sendiri. Alasan-alasannya adalah :
1. Persoalan-persoalan HPI pada umumnya hanya dapat diselesikan demikian rupa karena
ditariknya persoalan ini ke arah satu sistem hukum tertentu. Apabila kita memajukan
persoalan hukum yang harus dipergunakan untuk kontrak internasional, maka soal ini
tidak dapat dijawab jika kita melihatnya terlepas sama sekali dari HPI suatu negara
tertentu. Kaidah-kaidah HPI bersifat nasional. Kaidah-kaidah HPI ini termasuk dalam
sistem hukum dari negara tertentu. Dengan demikian maka sistem-sistem HPI masingmasing berbicara dalam bahasa hukum nasionalnya sendiri. Dengan kata lain, bahasa
hukum nasional ini adalah tidak lain bahasa istilah hukum dari hakim sendiri.
2. Dalam prakteknya seringkali kualifikasi menurut lex fori adalah yang satu-satunya
mungkin jika masih belum jelas hukum mana yang harus dipergunakan. Karena menurut
logika tidak mungkin untuk mempergunakan kualifikasi dari padanya. Pada suatu
persoalan HPI, lex causae (hukum yang harus dipergunakan) belum pasti dari semula.
Justru fakta-fakta berunsur asing ini secara yuridis harus dimasukan dalam pengertianpengertian hukum daripada sang hakim sendiri.
b. Kualifikasi menurut lex causae
Menurut pandangan ini, maka kualifikasi dilakukan menurut sistem hyukum darimana
pengertian ini berasal. Menurut pandangan ini, jika seandainya dalam suatu persoalan HPI,
hakim negara X tiba pada kesimpulan bahwa hukum Y yang harus diperlakukan, maka kaidahkaidah HPI yang dipersoalkan harus dikualisir menurut sistem hukum Y. Perkara yang digunakan
dalam lex causae adalah dalam kasus Anton vs Bartolo.
c. Kualifikasi secara otonom
Dalam aliran ini, kualifikasi di dasarkan pada metode perbandingan hukum. Kualifikasi
dilakukan secara otonom, terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu. Pengertian-pengertian
yang dipergunakan dalam kaidah-kaidah HPI dianggap sebagai pengertian-pengertian untuk
masalah-masalah HPI yang berlaku secara umum. Pengertian-pengertian yang digunakan dalam
kaidah-kaidah HPI berlaku secara umum dan sewajarnya mempunyai arti kata yang sama
dimanapun. Menurut aliran ini dicita-citakan agar supaya diseluruh muka bumi pengertian3

pengertian yang digunakan dalam kaidah HPI sama artinya. Bagi hakim Prancis, Jerman,
Amerika, atau Indonesia, pengertian-pengertian yang digunakanoleh kaidah-kaidah HPI harus
sama isinya. Pengertian-pengertian ini harus dilepaskan daripada hukum materiil suatu negara,
harus bersifat otonom dan berada di atas masing-masing negara bersangkutan. Karena itulah
kualifikasi secara otono,m ini dapat dilakukan dengan metode perbandingan hukum. Dengan
jalan perbandingan hukum ini, dapat dicapai pembinaan dari pengertian-pengertian di bidang
HPI yang boleh dipakai secara umum dan dimana-mana. Kaidah ini berada di atas sistem-sistem
berbagai negara yang bersangkutan. Kaidah-kaidah HPI harus dapat dilepaskan penafsirannya
dari sistem hukum tertentu, baik sistem hukum intern sendiri maupun hukum asing. Yang harus
diadakan adalah suatu research secara perbandingan hukum supaya dapat diketemukan
pengertian-pengertian yang dapat berlaku umum.
Pengecualian-pengecualian terhadap pemakaian kualifikasi lex fori
Mereka yang menganut teori kualifikasi lex fori menerima adanya berbagai pengecualian,
yaitu :
1. Kualifikasi kewarganegaraan tidak dilakukan menurut hukum dari forum hakim. Umum
diterima bahwa menentukan siapa-siapa merupakan warganegara dari suatu negara harus
ditentukan secara khusus dan mutlak oleh negara yang bersangkutan sendiri dan bukan
lex fori. Dengan kata lain, lex causae lah yang digunakan untuk kualifikasi di bidang
kewarganegaraan ini.
2. Kualifikasi mengenai bergerak atau tidak bergerak suatu benda ditentukan oleh lex rei
sitae, bukan lex fori atau lex causae yang digunakan. Pertimbangan hukum ialah bahwa
hukum dimana tempat terletak suatu benda dan pembuat UU dalam praktek memang
merupakan pihak yang satu-satunya dapat menentukan dengan kekuasaan mereka
segalanya yang dikehendaki oleh hukum setempat dengan hukum atas benda-benda tetap
yang terletak dalam wilayahnya.
3. Kualifikasi suatu kontrak menurut maksud para pihak di bidang perjanjian. Maka
pihak-pihak adalah bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki.
Maksudnya para pihak yang bersandarkan partai otonomi dan pilihan hukum, bukan lex
fori.
4. Kualifikasi menurut perbuatan melanggar hukum

Dalam HPI diterima pada umumnya bahwa untuk PMH, ditentukan hukum dari tempat
dimana PMH itu dilakukan. Jadi bukan lex fori yang digunakan.
5. Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara berupa konvensi-konvensi mengenai
kaidah-kaidah HPI, maka pengertian-pengertian dalam persetujuan-persetujuan
internasional itu harus ditafsirkan secara sama oleh semua negara-negara bersangkutan.
Kualifikasi ini dilakukan terlepas dari lex fori masing-masing negara peserta.
6. Kualifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh Mahkamah-Mahkamah
Internasional dilakukan menurut ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk
Mahkamah Internasional yang bersangkutan.
Kualifikasi Primer dan Sekunder
Kualifikasi dibedakan secara :
1. Kualifikasi Primer adalah kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum
yang harus dipergunakan. Untuk dapat menentukan hukum asing yang digunakan harus
dilakukan kualifikasi menurut kaidah-kaidah HPI dari lex fori. Kaidah-kaidah HPI dari
lex fori ini harus dikualifikasikan menurut hukum materiil dari sang hakim. Kualifikasi
primer ini memberi kepastian tentang pengertian-pengertian seperti : domisili, pewarisan,
tempat dilaksanakannya kontrak, dan sebagainya. Semua ini harus disandarkan atas
pengertian-pengertian lex fori. Berdasarkan kualifikasi sedemikian ini dapat ditentukan
hukum asing mana yang dapat digunakan.
2. Apabila sudah diketahui hukum asing mana yang digunakan, maka perlu dilakukan
kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang sudah dikemukakan itu. kualifikasi ini
yang dinamakan kualifikasi sekunder.
Jika sudah ditentukan hukum asing manakah yang harus digunakan, maka hukum inilah
yang dipakai. Pengertian-pengertian hukum yang dipergunakan dalam hukum asing itu harus
ditafsirkan menurut pengertian-pengertian yang berlaku dalam hukum asing bersangkutan. Jadi
tidak lagi lex fori dari sang hakim.

Anda mungkin juga menyukai