Each man wants to have a special God of his own, or at least a special God for his native
land. Each nation wishes to confine in its own temples Him, whom the world cannot
contain. Can any temple compare with that which God Himself has built to unite all men
in one faith and one religion?
Kutipan di atas diambil dari sebuah cerita pendek karya seorang penulis
Rusia, Leo Tolstoy. Dalam The Coffee House of Surat , Tolstoy
menggambarkan dengan ciamik, sketsa kecil perselisihan antar agama
yang telah terjadi berabad-abad lamanya. Pertentangan tentang siapa
yang paling benar? atau siapa yang akan diselamatkan? sudah sejak
lama menjadi bumbu konflik, yang seringkali berujung pada peperangan.
Tolstoy mengilustrasikan, bagaimana pride membutakan para pemeluk
agama. Bahwa sikap terlalu membangga-banggakan keyakinan, menjadi
penyebab perselisihan dan perpecahan antar ummat manusia. Setiap
manusia menginginkan Tuhan yang spesial, dan menganggap bahwa
tempat ibadah mereka-lah yang paling suci. begitu kurang lebih
terjemahan kalimat di atas.
Di akhir cerita, Tolstoy memunculkan sosok murid Confusius, yang
membuat semua pemeluk agama terdiam. Ia menggambarkan dunia dan
seisinya, adalah tempat ibadah yang paling suci dimana semua agama
bisa menyembah-Nya dengan berbagai cara. Bahwa tidak ada satu
tempat ibadah dari agama manapun, yang memiliki lampu secerah
matahari, ukiran seluas samudra,dengan hati manusia sebagai kitab
sucinya, dan cinta serta kasih sayang sebagai ritualnya.
Bumi, adalah tempat ibadah bagi semua agama tanpa terkecuali. Masjid,
gereja, Loji, Kuil dan semua tempat ibadah bagi semua Agama. The higher
a mans conception of God,the better will he know Him. And the better he
knows God, the nearer will he draw to Him, imitating His goodness, His
mercy, and His love of man. Semakin tinggi pemahaman seseorang
tentang Tuhan, akan membawanya meniru kebaikan dan kecintaan Tuhan
terhadap manusia.
Pluralisme
Kisah yang tertuang dalam The Coffee House of Surat , menjadi
pengantar yang baik untuk mengenal Pluralisme. Di samping itu, Gus Dur,
Nurkholis Majid, dan cendekiawan muslim Indonesia lainnya, telah
memperkenalkan pluralisme lewat panggung ilmiah. Sementara jauh
sebelumnya, para Founding Fathers Indonesia memperkenalkan Bhinneka
Tunggal Ika, atau yang dipopulerkan dengan istilah Unity In Diversity.
Pluralisme secara bahasa terdiri dari kata plural (majemuk), dan isme (paham)
sehingga dapat dipahami sebagai keberagaman paham keagamaan atau kondisi
hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbedabeda dalam suatu kelompok masyarakat dengan tetap mempertahankan identitas
atau ajaran masing-masing agama.
Pluralisme, dalam pandangan Nurkholis Majid,
tidak dapat hanya
dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk
(Plural), beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang
justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak
boleh dipahami sekadar sebagai. kebaikan negatif (negative good),
hanya dilihat dari fungsinya untuk meredam fanatisme. Pluralisme
baiknya diartikan sebagai pertalian sejati keragaman dalam ikatan ikatan
keadaban
Pluralisme adalah bagian yang menyatu dengan peradaban, didasari pada
konsep persamaan dasar agama-agama, kalimat-un sawa. Bahwa hakikat
agama adalah sama dan kepada setiap golongan dari kalangan umat
manusia Allah memberikan syir`ah (atau syarah, yakni, jalan) dan
minhj (cara) yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama ini secara
teologis memang disebabkan karena Allah tidak menghendaki umat
manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal. Allah malah
menghendaki agar manusia dalam perbedaan yang bisa membawa
rahmat ini, saling berlomba lomba menuju kepada berbagai kebaikan.
Dalam hal ini, kita bisa mengambil garis batas perbedaan antara toleransi
dan pluralisme. Toleransi, lebih mengarah kepada sikap dan perbuatan ,
sedangkan pluralisme, adalah kesadaran batiniah, yang menjadi landasan
dari sikap toleransi. Kesadaran tentang kesamaan konsep dan tujuan
semua agama, akan melahirkan sikap toleransi beragama, yang lebih
jauhnya, diharapkan mampu meredam konflik antar ummat beragama di
dunia.
Pluralisme di Indonesia
Term Pluralisme kerap menjadi diskursus yang mengasyikkan untuk
dibahas. Tema ini semakin hangat, ketika ada sebagian golongan yang
menolak keberadaannya di Indonesia. Golongan ini melabeli Pluralisme
sebagai virus yang membahayakan pemikiran generasi Muda Islam.
Penolakan semakin menggelora, ketika MUI mengeluarkan fatwa antipluralisme. MUI menganggap paham ini sebagai sebuah -isme yang
mengajarkan bahwa semua agama sama, Pluralisme dianggap
menyebarkan paham sinkretisme (penyatuan semua agama) yang
dikhawatirkan merusak akidah ummat Islam. Selain itu, identitas