Anda di halaman 1dari 1

Puisi Pinto Anugrah

Cindua Mato; Sadatak Tigo Dantum


1. Bundo Kanduang
Siapa ibu, yang tak menangisi kelahiran anaknya. Setelah ia cukup larut
dengan tangis sendiri, itukah alasan. Yang diceritakan kaba;
ibu siapa, yang sangat berbahagia dengan kelahiran anaknya. Tawa itu
larut dalam si tawar yang mendinginkan. Hati. Berbanggalah sekalian alam
berbahagialah sekalian bumi.
"Ketika itu malam-malam dan siapa yang mengendap diam-diam
ke balik tongkang. Yang merapat di hulu."
"Tidakkah kau mau menuju muara?"
"Mereka telah di muaraku. Dan kudapat belah kelapa gading."
Ketika aku berucap, ini ibu yang mengirap ke langit.
2. Dang Tuanku
jika itu kau, seorang gagah, menangis di anjungan. Jika itu kau,
yang tahu lahir dari seorang ibu, yang bertumpu gelang emas.
Yang sama sekali tidak tergerak hatinya, ataukah memang telah terpasung
di bibir anjungan.
"Jemputlah kekasihmu!"
"Telah kuutus panglimaku untuk menjemputnya!"
"Ya, dan yang kembali kelak hanya badannya. Jemputlah!"
Jemputlah hatinya, dijunjung sayup suara yang terus membuat demam.
Berdiri hendak, kau segagah pelayaran
dalam kaba, dalam hendak, aku yang meninggalkan tanya:
yakinkah kau, itu anakmu.
Bukan dari suara saudaramu, yang berteriak, senyap.
3. Cindua Mato
yang dijujung, junjungan raja kami, gelayut rimba
di lenguh, kokok, dan ringkik Segala yang berdiri di belakangnya.
Segala penyamun keluar dari persembunyian
di balik kelam. Segeralah balik dan berdiri sebagai raja kami.
Dan ia datang lagi, berlabuh di hulu, mencari tanah lapang. Inilah kita
yang bisa menepuk dada. Yang bertabuh sampai ke seberang.
Yang bertabuh larangan. Dan inilah kau, jika tidak berdiri sebagai
raja kami, yang tinggal berdiri seorang, setelah yang lain mengirap
ke langit katanya. Kaba itu sampai.
kandangpadati, 0906

Anda mungkin juga menyukai