Anda di halaman 1dari 9

Profesionalisme Guru (Pendidik) Dalam

Era Globalisasi, Implikasi, Peluang dan


Tantangannya
I. Pendahuluan
Dalam memulai paparan ini ijinkanlah saya menyampaikan paparan saya ini dengan
mengutip kesimpulan Komisi Internasional UNESCO tentang Pendidikan Memasuki Abad
ke-21 tentang peranan guru (pendidik), dalam kalimat berikut.
The importance of the role of the teacher as an agent of change, promoting understanding
and tolerance, has never been more obvious than today. It is likely become ever more critical
in the twenty-first century. The need for change, from nationalism to universalism, from
ethnic and cultural prejudice to tolerance, understanding and pluralism, from autocracy to
democracy in its various manifestations, and from technologically divided world where high
technology is the privilege of the few to a technologically united world places enormous
responsibilities on teacher who participate in the moulding of the character and minds of the
young generation
(garis bawah oleh penulis)
Tulisan ini sengaja dimulai dengan mengutip kesimpulan panitia UNESCO karena
pernyataan itu menekankan tentang demikian pentingnya peranan guru (pendidik) dalam
menghadapi perubahan masyarakat global hampir dalam semua dimensi kehidupan, untuk
itkut moulding the characters and mindsdari generasi muda memasuki abad ke-21. Kini
kita sudah memasuki dekade kedua abad ke-21. Tetapi lebih dari itu sesungguhnya para
Founding Fathers pada saat Proklamasi menyadari bahwa pada saat Proklamasi
Kemerdekaan masyarakat bangsa Indonesia juga menghadapi masalah yang sama dengan
masyarakat dunia dalam memasuki abad ke-21, yaitu tantangan untuk mengubah masyarakat
Indonesia yang serba tertinggal memasuki peradaban modern abad ke-20. Karena itu dalam
pernyataan kemerdekaan yang mereka susun, yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945
ditegaskan bahwa salah satu misi utama penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pernyataan kemerdekaan yang menekankan upaya
mencerdaskan khidupan bangsa ini, dalam pandangan saya (seperti diulas oleh penulis
dalam berbagai tulisannya ) hakekatnya berangkat dari kesadaran para pendiri Republik
tentang perkembangan masyarakat Indonesia pada tahun 1945 yang serba tertinggal dalam
hampir semua dimensi kehidupan diukur dari kacamata peradaban modern pada pertengahan
abad ke-20, baik politik, ekonomi, sosial budaya, dan IPTEK. Karena itu perlu proses
transformasi budaya dari masyarakat yang tradisional dan feudal ke masyarakat modern dan
demokratis. Karena itu pula Bung Karno menyatakan bahwa hakekat revolusi yang kita
hadapi adalah summing-up of many revolution in one generation. Untuk itu para pendiri
Republik melalui UUD 1945 pasal 31 ayat (2) dan pasal 32 menggariskan : Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional (pasal 31 ayat (2)
dan pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia (pasal 32).
Ini berarti bahwa dalam proses transformasi budaya, kedudukan sekolah sangatlah strategis.
Tetapi sayang sejak proklamasi sistem persekolahan kita belum sepenuhnya diberi

kemampuan untuk berperan sebagai pusat pembudayaan tetapi tidak lebih dari tempat untuk
mendengar, mencatat, dan menghafal. Suatu tradisi sekolah yang dijaman penjajahan
merupakan tradisi sekolah untuk kaum pribumi, yaitu Sekolah Desa, dan bukan tradisi
sekolah yang melahirkan Sukarno, Hatta, Syahrir, dan para Founding Fathers sebagai
pemikir dan pembaharu.
Memasuki abad ke-21 kita memiliki UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dalam pandangan penulis
memuat filosofi pendidikan yang memungkinkan sekolah dapat berperan sebagai pusat
pembudayaan dan mendudukan guru untuk berperan ikut moulding the characters and mind
of the young generation. Brangkat dari pandangan dasar Pendidikan sebagai wahana proses
pembudayaan dalam proses transformasi budaya (mencerdaskan kehidupan bangsa)
selanjutnya marilah kita soroti Profesionalisme Guru (Pendidik) dalam Era Globalisasi dan
Implikasinya.
Dalam menyoroti topik ini selanjutnya berturut-turut akan dianalisis : (1) Filsafat pendidikan
yang dianut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Implikasinya;
(2) Guru sebagai Jabatan Profesional dan Maknanya; (3) Pendidikan Guru dan Tenaga
Pendidik yang Relevan; dan (4) Peluang dan Tantangannya.
II. FILSAFAT PENDIDIKAN YANG DIANUT UU NO.20 TAHUN 2003 DAN
IMPLIKASINYA
Bila kita telaah UU Sisdiknas kita akan menemukan perbedaan yang esensial antara filosofi
pendidikan yang dianut oleh UU no. 2 Tahun 1989 dengan yang dianut UU No. 20 Tahun
2003.
Dalam UU No. 2 Tahun 1989
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan / latihan bagi peranannya di masa yang akan dating (pasal 1 ayat (1) UU
No. 2 Tahun 1989),
bandingkan dengan hakekat pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. (pasal 1 ayat (1) UU
No. 20 Tahun 2003).
D isamping perbedaan tentang hakekat pendidikan, kedua UU Sisdiknas tersebut, walaupun
dasarnya sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945 (pasal 2), dalam fungsi dan tujuan pendidikan
keduanya juga berbeda. Perhatikan kutipan berikut dibawah ini Pasal 3 UU No. 2 Tahun 1989
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan
mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan
nasional
Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, tertulis :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa

Sedangkan tujuan pendidikan nasional, kita dapat bandingkan dalam kutipan berikut
Pasal 4 UU No. 2 Tahun 1989
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan
Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang tertulis dalam pasal yang sama dengan fungsi
pendidikan nasional, tertulis :
. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab
Berangkat dari kutipan-kutipan diatas jelaslah bahwa UU No. 20 Tahun 2003 menganut
aliran filsafat pendidikan yang lebih modern dari UU No. 2 Tahun 1989, baik dalam hal
pengertian atau hakekat pendidikan maupun fungsi pendidikan nasional.
Kalau UU No. 2 Tahun 1989 menganut pandangan yang menekankan pendidikan dan atau
lembaga pendidikan yang aktif, seperti menyiapkan dan mengembangkan, sedangkan
UU No. 20 Tahun 2003 menekankan aktifnya peserta didik seperti agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya. Demikian juga dalam rumusan fungsi pendidikan.
UU no. 2 Tahun 1989 sasaran fungsi pendidikan nasional lebih luas, yaitu : terwujudnya
tujuan nasional. Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 sasarannya lebih menjurus yaitu
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui berkembangnya kemampuan dan
terbentuknya karakter serta peradaban bangsa.
Sedangkan dalam hal tujuan pendidikan substansinya hampir sama hanya cara
pencapaiannya berbeda. UU No. 2 Tahun 1989 menekankan istilah mengembangkan
sedangkan UU No. 20 Tahun 2003 menggunakan istilah berkembangnya potensi peserta
didik.
Penulis sengaja menyoroti hal ini sebelum memasuki tema pokok yaitu Profesionalisme Guru
(pendidik), karena dalam pandangan penulis selama ini pelaksanaan pendidikan nampak tidak
memperdulikan filosofi pendidikan atau konsepsi dasar tentang pendidikan yang dianut.
Yang seharusnya secara sistemik dan sistematik diupayakan perwujudannya. Akibatnya
berbagai perubahan UU sejak tahun 1950 pengaruhnya tidak sampai ke perubahan proses
pembelajaran yang dihayati peserta didik. Padahal hanya dengan proses pembelajaran yang
dilakukan dan dihayati peserta didik suatu sistem pendidikan akan bermakna bagi
pembangunan bangsa. Dan gurupun tetap berperan seperti sebelum ada perubahan dalam
filosofi pendidikan yang dianut.
UU No. 20 Tahun 2003 di samping menganut filosofi pendidikan yang menekankan kepada
menciptakan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan
potensinya, dalam kaitan ini UU ini lebih lanjut menganut paradigm baru dalam pelaksanaan
pendidikan seperti dapat dibaca pada pasal 4 ayat (3) yang menyatakan : Pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik. Suatu
model pendidikan yang dianut oleh Negara seperti Amerika Serikat, dan suatu model
pendidikan yang tidak menempatkan lembaga pendidikan hanya sebagai tempat untuk

mendapatkan pengetahuan. Prinsip ini dalam pandangan penulis juga diabaikan. Akibatnya
setelah hampir 67 Tahun merdeka, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dalam
pengertian yang disinggung di depan belum juga terwujud. Masyarakat bangsa Indonesia
belum juga cerdas kehidupannya.
Dari ulasan terdahulu dapatlah ditarik beberapa catatan :
(1) Bahwa pendidikan yang dianut oleh UU No. 20 Tahun 2003 bukanlah pendidikan hanya
sebagai proses memperoleh pengetahuan yang umumnya tidak relevan;
(2) Bahwa pendidikan yang dianut oleh UU No. 20 Tahun 2003 bukanlah pendidikan yang
menempatkan peserta didik sebagai pendengar, pencatat, dan penghafal agar dapat lulus
dalam ujian akhir yang dirancang utamanya untuk mengukur ketiga hal tersebut.
Tetapi sebaliknya UU No. 20 Tahun 2003 adalah pendidikan yang :
(1) Merupakan proses pembudayaan segala kemampuan, nilai, dan sikap dalam rangka
mengembangkan kemampuan (intelektual, sosial, kultur, civic, dan ekonomi) dan membentuk
watak (kepribadian mandiri, beretos kerja, berdisiplin, taat asas, bertanggung jawab,
demokratis, dan bermoral).
(2) Merupakan pendidikan yang memandang peserta didik dapat mengembangkan potensi
dirinya, melalui proses pembelajaran yang menantang, merangsang, dan menyenangkan ,
yang oleh UNESCO melalui Komisi Internasionalnya dianjurkan untuk menerapkan empat
pilar belajar yaitu : Learning to Know, Learning to Do, Learning to Live Together, dan
Learning to Be.
Model pembelajran dan peran satuan pendidikan sebagai pusat pembelajaran yang dianut
oleh UU No. 20 Tahun 2003, yang dalam pandangan penulis sangat relevan bagi Indonesia
dalam memasuki abad ke-21 ini memerlukan sosok guru yang benar-benar profesional. Untuk
itu berikut akan mencoba mengulasnya.
III. GURU (PENDIDIK) SEBAGAI JABATAN PROFESIONAL DAN MAKNANYA
Bagi penulis, lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khusunya bagian
tentang Guru adalah suatu pembaharuan pendidikan guru yang revolusioner. Karena melalui
UU ini jabatan guru secara resmi didudukkan sebagai jabatan profesional. Mungkin ada yang
bertanya Apakah jabatan guru selama ini belum berstatus jabatan profesional? Dalam
pengertian Profesi sebagai pekerjaan/ jabatan yang memerlukan Advanced Education and
Special Training, selama ini pekerjaan guru selama ini sesungguhnya belum berstatus
sebagai jabatan profesional, berikut akan diulas secara singkat perkembangan pendidikan
guru.
Kalau kita mejejaki sejarah pendidikan Indonesia, kita akan medapatkan pengetahuan bahwa
kualifikasi guru yang mengajar di SD, SLTP, dan SLTA pada jaman penjajahan, dan jaman
Indonesia merdeka sampai dengan tahun terakhir dekade 1950-an dan permulaan dekade
1960-an jauh dibawah kualifikasi guru pada saat ini. Pada jaman penjajahan Belanda
pendidikan guru SD 3 tahun (Sekolah Desa) adalah CVO (2 tahun setelah SD), pendidikan
guru SD Nomor dua (SD 5 tahun) adalah Normal School (4tahun setelah lulus SD), untuk
HIS (Sekolah Dasar Belanda untuk orang Indonesia dengan bahasa pengantar bahasa Belanda
yang lamanya 7 tahun) adalah HIK (6 tahun setelah lulus HIS) dan untuk SMP (MULO)
adalah HooftAkte (Kursus seperti PGSLP). Praktek ini berlanjut setelah Indonesia merdeka.
Sampai dengan tahun 1957 pendidikan guru SD adalah Sekolah Guru B (SGB 4 tahun
setelah SD), pendidikan guru SLTP adalah sekolah guru A (SGA) 3 tahun setelah SMP, guru

SLTA adalah B I (2 tahun setelah SMA). Setelah tahun 1957 guru SD haruslah lulusan SGA.
Pada saat itu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) belum menghasilkan lulusannya.
Kini terutama sejak tahun 1989 kualifikasi minimum untuk mengisi jabatan guru ditingkatkan
yaitu untuk guru SD adalah Diploma II Kependidikan (2 tahun pasca SLTA), untuk guru
SLTP adalah D3 Kependidikan (3 tahun pasca SLTA), dan untuk guru SLTA adalah S1
Kependidikan dan S1 dengan Akta Mengajar (AktaIV). Pertanyaannya mengapa pada masa
penjajahan dan permulaan kemerdekaan, guru dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih
rendah dari kualifikasi pendidikan guru saat ini dipandang telah berhasil menghasilkan
lulusan yang bermutu sedangkan sekarang dengan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi
banyak dipersoalkan mutu dari pendidikan yang dihasilkan.
Memang tidak proposional membandingkan pendidikan pada tahun 1950-an dengan mutu
pendidikan pada tahun 1989 keatas. Karena jumlah peserta didik pada dua periode tersebut
perbedaannya berlipat. Murid SD pada tahun 1955 sebanyak 7.113.456 orang, tahun
1989/1990 19.296.714. siswa SLTP pada tahun 1955 berjumlah 197.189 orang, pada tahun
1989/1990 jumlah siswa SLTP 13.672.438, siswa SLTA pada tahun 1955 berjumlah 103.267
orang, sedangkan pada tahun 1989/1990 berjumlah 4.338.386 orang. Disamping itu sekolah
pada waktu itu pendidikan mengutamakan fungsi memilih dan memilah daripada
mengembangkan potensi peserta didik. Karena itu banyak SD yang hanya berhasil
meluluskan murid kelas VI-nya sekitar 10 % demikian juga SLTP dan SMA. Sedangkan pada
tahun 1980-an pada saat telah dicanangkan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun dan
dirancang wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun fungsi sekolah seyogyanya tidak hanya
menseleksi melainkan dan terutama adalah mengembangkan kemampuan peserta didik.
Karena itu tidak dapat diterima kalau banyak murid SD dan SMP yang dinyatakan tidak
lulus, karena sekolah harus menyediakan tempat bagi anak-anak baru yang jumlahnya
berlipat dan harus ditampung. Disinilah letak masalahnya. Peranan guru pada saat melayani
jumlah murid yang jumlahnya sedikit dan peranan sekolah terutama adalah memilah dan
memilih, tidak dapat disamakan dengan peranan guru, pada saat tugasnya adalah
mengembangkan potensi peserta didik yang heterogen latar belakangnya, baik kemampuan
dasar, sosial , ekonomi, dan budaya. Dan kenyataan baru inilah yang menjadikan jabatan guru
dituntut menjadi jabatan profesional.
Di Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman, yang menjadikan sekolah
sebagai lembaga untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal dan
mengarahkannya sesuai dengan kemampuan dasar, bakat dan minatnya telah lama
menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional yang pendidikannya setara dengan
pendidikan jabatan profesional lainnya, yaitu dokter dan pengacara.
Mengapa pendidikan yang menjadikan massal Education for All diabad ke-21 satu Negara
berbeda dengan Negara lainnya berbeda dalam penetapan lamanya wajib belajar. Ada Negara
yang menerapkan wajib belajar 12 tahun seperti Amerika Serikat, ada Negara yang
menerapkan wajib belajar 10 tahun seperti Inggris dan Jerman, dan ada Negara yang
menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun seperti Indonesia, disamping masih ada
Negara-negara di Afrika dan Asia Selatan yang menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 6
tahun.
Penerapan wajib belajar ini yang berarti bahwa semua anak dengan perbedaan latar belakang
baik kemampuan dasar kognitif, latar belakang sosial ekonomi dan minat serta bakat harus

memperoleh pendidikan yang bermutu dan dilayani serta dapat berkembang sesuai dengan
kemampuan, minat dan bakanya.
Dalam pada itu era globalisasi ini, ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan sumber
bahan untuk dipelajari berkembang demikian cepat. Dalam kondisi yang demikian tuntutan
terhadap kualitas manusia terdidik baik kemampuan intelektual, kemampuan vokasional dan
rasa tanggung jawab kemasyarakatan, kemanusiaan dan kebangsaan juga meningkat sesuai
dengan perkembangan masyarakat yang terus berubah dan meningkat tuntutannya kepada
para warganya.
Heterogenitas peserta didik dalam berbagai dimensi (intelektual, cultural, dan ekonomi), terus
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknolgi sebagai sumber obyek belajar, terus
berubahnya masyarakat dengan tuntutannya merupakan faktor yang menjadikan guru harus
profesional. Karena itu peranan guru tidak lagi hanya memberikan pelajaran dengan ceramah
dan mendikte tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan, bakat dan minat peserta didik.
Guru juga tidak dapat lagi menggunakan bahan pelajaran yang sudah ketinggalan jaman.
Guru juga tidak dapat lagi hanya membantu peserta didik untuk dapat menjawab pertanyaan
yang sifatnya hafalan. Guru dalam era globalisasi perlu mampu merancang, memilih bahan
pelajaran dan strategi pembelajaran (dalam banasa KBK Sylabus) yang sesuai dengan anak
dengan latar belakang yang berbeda, serta mangelola proses pembelajaran secara taktis dan
menyenangkan, mampu memilih media belajar dan merancang program evaluasi yang sesuai
dengan tujuan pendidikan yang berorientasi kepada penguasaan kompetensi.
Untuk itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan pendidikan guru yang berderajat
profesional. Dikatakan berderajat karena dalam setiap jabatan profesional dikenal hierarki
profesional yaitu : profesional, semi profesional, teknisi, juru, dan tukang. Kalau dalam dunia
kedokteran kita mengenal : tenaga dokter (profesional), para medic, yang lulusan Akademi
semi profesional, yang lulusan SLTA sebagai teknisi (perawat) dan juru rawat. Di Amerika
Serikat, guru, baik guru SD, guru SMP maupun SMA harus berpendidikan S1 ditambah satu
sampai dua tahun kuliah dan latihan keguruan untuk mendapat sertifikat guru. Di Jerman,
untuk guru SD, harus berpendidikan PAEDAGOGISCHE HOCHSCHULE4 tahun
setelah SMA, untuk guru (Gymnasium) dituntut pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan
pada Universitas yang meliputi 6 semester untuk penguasaan ilmu pengetahuan sebagai
sumber bahan ajar dan 2 semester paedagogik. Kesemuanya baik guru SD, SMP maupun
SMA setelah lulus pendidikan di Perguruan Tinggi/ Universitas tidak otomatis berwenang
sebagai guru (certified teacher) melainkan harus melalui tahap magang selama 18 bulan dan
di akhiri dengan ujian kewenangan mengajar sebelum dapat memperoleh tanda sebagai guru
yang berwenang (certified teacher).
Terilhami oleh praktek pendidikan calon guru didua negara tersebut, dan pengalaman
menerapkan berbagai inovasi pendidikan dalam periode 1974 1981, penulis pada tahun
1982 sampai kepada kesimpulan perlunya peningkatan jabatan guru sebagai jabatan
profesional, suatu jabatan yang memerlukan pendidikan lanjut dan latihan khusus, yaitu S1
plus sebagai yang saya tulis dalam artikel yang diterbitkan pada tahun 1989, (dalam buku
Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu, Balai Pustaka, 1989)
Penerapan KBK hakekatnya sama dengan penerapan kurikulum berorientasi tujuan yang
diterapkan melalui kurikulum 1975, yang menuntut guru menyusun Satuan Pelajaran. Dalam
pelaksanaan KBK guru dituntut menyusun Sylabus. Untuk dapat melakukan tugas tersebut
dituntut kemampuan yang didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan sebagai sumber
belajar dan sebagai ways of learning, mengenal peserta didik dengan karakteristiknya

(kemampuan dasar, minat, bakat, dan pola belajarnya), memahami kompetensi yang harus
dikuasai peserta didik pada akhir jenjang pendidikan, pada akhir semester, dan pada akhir
setiap penggalan belajar, karena tanpa menguasai berbagai pengetahuan dasar tentang ilmu
pengetahuan, tentang peserta didik, tentang masyarakat dan budaya tempat sekolah
beroperasi, teori belajar, berbagai model belajar, dan berbagai model evaluasi, sukar
diharapkan guru akan dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan baru
penyelenggaraan pendidikan nasional yang terus berubah, seperti penerapan KBK. Di dunia
kedokteran, sebagai salah satu bidang profesi yang telah lama mapan, para dokter tidak
mengenal penataran hanya karena adanya cara baru dalam pengobatan. Tidak lain karena
sebagai tenaga profesional mereka telah benar-benar siap dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk terus mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan tuntutan
dunia profesi kedokteran yang terus berubah.
Dibandingkan dengan dunia kedokteran, dunia keguruan, terutama di Indonesia masih jauh
tertinggal. Karena itu tepat sekali kalau berbagai pihak melakukan upaya meningkatkan
profesionalisme guru untuk memenuhi tuntutan kurikulum berbasis kompetensi. Karena
bagaimanapun juga pelaksanaan KBK, khususnya untuk menyusun KTSP, dituntut guru yang
profesional, sedang tingkat kemampuan profesional guru kita masih beragam.
Dalam kaitan inilah UU No. 14 Tahun 2005 yang menuntut pendidikan guru sebagai
pendidikan bertaraf profesional S1 + atau D 4 + merupakan suatu keputusan yang sesuai
dengan tuntutan pendidikan memasuki abad ke-21.
Mengapa pendidikan guru profesional perlu berderajat S1 Plus ?
IV. PENDIDIKAN GURU SEBAGAI PENDIDIK PROFESIONAL DAN TENAGA
KEPENDIDIKAN SERTA IMPLIKASINYA
Ulasan dari bagian II sampai dengan III hakekatnya berangkat dari suatu kesimpulan bahwa
sesungguhnya selama ini proses pendidikan yang berlangsung di berbagai satuan pendidikan
tidak dirancang dan dilaksanakan sebagai proses pembudayaan yang, memungkinkan
terjadinya proses transformasi budaya menuju suatu bangsa Indonesia yang cerdas
kehidupannya, yaitu yang maju (modern, yang rasional dan berorientasi IPTEK), yang
demokratis, yang sejahtera, dan berkeadilan, serta mampu menghadapi masalah sebagai
tantangan, dan tantangan sebagai kesempatan untuk maju (problem as a challenge, and
challenge as a chance to progress) . Dan bukan bangsa yang memandang masalah sebagai
ancaman yang harus dihindari, yang di Jawa dikenal Ana Bapang Den Simpangi atau
dalam pepatah Melayu Kalau Takut Dilembur Pasanp Janpan Berumah Ditepi Pantai.
Untuk itulah penulis memandang bahwa filosofi atau konsepsi pendidikan yang dianut UU
No. 20 Tahun 2003 menuntut diselenggarakannya suatu proses pendidikan sebagai proses
pembudayaan. Untuk itu pula diperlukan guru yang bertaraf profesional. Dalam kaitan inilah
penulis memandang kehadiran UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang
mendudukkan guru sebagai jabatan profesional merupakan titik berangkat untuk merancang
pendidikan guru yang relevan. Walaupun demikian penulis tidak sepenuhnya sepaham
dengan taksonomi kompetensi guru menjadi Kompetensi Paedagogik, Kompetensi
Kepribadian, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional. Untuk itu selanjutnya pada
bagian berikut akan disajikan pandanggan penulis tentang kemampuan profesional guru,
kurikulum pendidikan guru, sampai dengan penjenjangannya.
Untuk dapat melahirkan guru yang memiliki kemampuan profesional penuh, perlu diadakan
pendidikan S1 plus atau berpendidikan S2 sepert tertulis dalam UU No. 14 Tahun 2005,
tetapi bukan S2 akademik seperti yang sekarang kita kenal, melainkan S2 profesional yang

mengutamakan kemampuan, merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, menilai,


mendiagnosis mengorganisisasi, dan memperbaharui program belajar mengajar. Guru dengan
tingkat kemampuan profesional yang demikian akan selalu mampu mengembangkan dirinya
untuk memenuhi tuntutan baru pembaharuan pendidikan seperti penerapan KBK dan KTSP.
Namun kenyataan yang kita hadapi bukanlah demikian : kualifikasi guru SD kita semula
secara resmi yang tertinggi berpendidikan D II, walaupun ada yang S1 dan S2, tetapi S1 dan
S2-nya kebanyakan akademik bukan profesional disamping masih ada yang belum
berpendidikan D II; guru SMP kita walaupun dimasa lalu secara resmi mensyaratkan D3,
masih ada yang belum mencapai itu dan ada yang sudah berpendidikan S1, S2, bahkan
mengikuti program S3. Tetapi umumnya tidak selalu relevan dengan tugas profesionalnya
sebagai guru. Demikian pula dengan guru SMA, yang secara resmi berkualifikasi S1, tetapi
masih ada yang belum S1, disamping ada yang telah memiliki gelar S2, bahkan mungkin ada
yang sedang mengikuti program Doktor (terutama dikota-kota besar), namun pendidikan
lanjutannya umumnya tidak selalu terkait dengan tugas profesionalnya sebagai guru.
Misalnya guru kimia SMA, seharusnya memiliki S1 pendidikan kimia, dan S2 pendidikan
Kimia, tetapi banyak yang S2-nya bukan pendidikan kimia atau S2 ilmu kimia.
Berangkat dari heterogennya kualifikasi pendidikan dan kemampuan profesional guru dalam
upaya meningkatkan kemampuan profesional guru, yaitu : (1) merancang program
pembelajaran termasuk menyusun silabus, (2) melaksanakan, memimpin, mengelola, dan
menilai program pembelajaran; (3) mendiagnosis masalah dan hambatan yang dihadapi oleh
peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran dan menguasai kompetensi yang
ditetapkan ; dan (4) menyusun dan merancang berbagai pilihan yang harus dikembangkan
untuk membantu mereka, tidaklah mudah. Kiranya perlu diketahui bahwa keempat gugus
kemampuan profesional penguasaannya perlu ditunjang oleh penguasaan berbagai
pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan : (1) karakteristik peserta didik; (2) ilmu
pengetahun sebagai obyek belajar dan ways of learning atau mode of inquiry; (3) hakekat
tujuan pendidikan dan kompetensi yang harus dicapai dan dikuasai peserta didik; (4) teori
belajar umum dan khusus; (5) model- model pembelajaran sesuai dengan bidang studi; (6)
teknologi pendidikan; dan (7) sistem dan teknik evaluasi.
Tujuh gugus pengetahuan dan teknologi tersebut, ditambah dengan pengetahuan dan
pemahaman tentang filsafat pendidikan, dasar negara Pancasila, UUD Neqara RI 1945,
sejarah nasional bangsa dan sistem pendidikan nasional, merupakan pengetahuan
yanseharusnya dimiliki guru Indonesia yang berderajat profesional. Dengan guru yang
pengetahuan dan kemampuan profesionalnya demikian, pembaharuan pendidikan apapun
yang dilakukan seperti KBK, tidak akan dipandang sebagai masalah. Dengan derajat
profesional, seorang guru dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan tugas.
V. PELUANG DAN TANTANGANNYA
Dari bagian I sampai ke IV, jelaslah bahwa misi penyelenggaraan satu sistem pendidikan
nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, telah didukung oleh filosofi dan tujuan
pendidikan nasional yang relevan dan jabatan pendidik/guru sebagai tenaga professional.
Adalah pandangan penulis nahwa tercapainya pendidikan nasiional dalam wujud kehidupan
bangsa yang cerdas kehidupannya akan terletak kepada tenaga guru/pendidik yang
diharapkan dapat mengemban amanat K.H. Dewantara Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo
Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Dengan misi yang telah ditegaskan dalam Pembukaan
UUD 1945 dan ditetapkannya guru/pendidik sebagai tenaga professional peluang guru untuk
berkiprah menjadi aktor yang mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
generasi muda Indonesia terbuka. Tantangannya adalah bahwa peluang guru akan dibatasi

oleh keterbatasan sarana dan prasarana dan sistem evaluasi yang ditetapkan oleh Pemerintah
seperti adanya ujian nasional.
http://www.ispi.or.id/2013/11/21/profesionalisme-guru-pendidik-dalam-era-globalisasi-implikasipeluang-dan-tantangannya/

Anda mungkin juga menyukai