Anda di halaman 1dari 92

VOLUME 2

NOMOR 2
Agustus 2014

DAFTAR ISI
1. STUDI DIVERSITAS BEBERAPA VARIETAS PAPRIKA (Capsicum annuum L.) DI
DESA TLOGOSARI KABUPATEN PASURUAN BERDASARKAN ANALISIS
FENETIK MORFOLOGI
Devi Dwi Lestari, Hamidah, dan Junairiah ..

2. INDEKS KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SALURAN INDUK


MANGETAN KANAL, KABUPATEN SIDOARJO
Dinda Febrina R.F, Bambang Irawan dan Thin Soedarti .

11

3. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG PADA BIJI JAGUNG DARI RUANG


PENYIMPANAN PASAR TRADISIONAL TUBAN
Elvin Haris Arizal, Drs. Agus Supriyanto, M.Kes, dan Drs. Salamun, M.Kes ..

16

4. ANALISIS HUBUNGAN KEKERABATAN VARIETAS PADA


BELIMBING (Averrhoa carambola L.) MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI
Julianty Regina Pasagi, Hamidah, dan Junairiah .

26

5. KEANEKARAGAMAN MANGROVE DI RESORT BALANAN TAMAN NASIONAL


BALURAN SITUBONDO JAWA TIMUR
Ratna Sulfika, Thin Soedarti, dan Noer Muhammadi

34

6. UJI AKTIVITAS ENZIM PROTEASE DARI ISOLAT BAKTERI LIMBAH DOMESTIK


Kartika Primasari, Tri Nurhariyati S.Si., M.Kes dan Dr. Sri Puji Astuti W M.Si

41

7. ESTIMASI STOK KARBON PADA TEGAKAN POHON Rhizophora stylosa Griff.


DI WILAYAH RESORT BALANAN SPTWN 1 BEKOL TAMAN NASIONAL
BALURAN SITUBONDO, JAWA TIMUR
Syaiful Yahya, Hery Purnobasuki, Noer Muhammadi ..

50

8. ANALISIS BAKTERI PATOGEN ENTERIK PADA PRODUK ES BATU


YANG DIPASARKAN DI KOTA SURABAYA
Nur Apriana, Agus Supriyanto, Tri Nurhariyati .

61

9. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS


(Garcinia mangostana L.) TERHADAP KONSENTRASI, VIABILITAS DAN
INTEGRITAS MEMBRAN SPERMATOZOA MENCIT (Mus musculus)
Alfiah Hayati, Syamsul Huda, Rai Pidada ..

72

10. PENGARUH EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP
PROFIL PROTEIN SPERMATOGENIK MENCIT (Mus musculus) SETELAH TERPAPAR
2-METOXYETHANOL
Alfiah Hayati, Ira Nailas Saadah, Sugiharto .

79

STUDI DIVERSITAS BEBERAPA VARIETAS PAPRIKA (Capsicum annuum L.) DI


DESA TLOGOSARI KABUPATEN PASURUAN BERDASARKAN ANALISIS
FENETIK MORFOLOGI
Devi Dwi Lestari, Hamidah, dan Junairiah
Prodi S1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya
Email : dwilestari_devi@yahoo.com
ABSTRACT
The purpose of this research were to know the diversity of morphological from bell
pepper varieties (Capsicum annuum L.), their relationship by morphological approach, and the
character and characteristic that can distinguish among varieties of bell pepper. Sampling was
taken in Tlogosari Village Nongkojajar Pasuruan. Parts of the plants to be studied are 55
characters, including stature, stem, leaf, flower, fruit, and seed, than be analyzed by descriptive
and phenetic method. According to the result of description analysis there were obtained
diversity of morphological from paprika varieties, such as: Redjet, Manzilia, Sunny, Sample,
and Anonim. According to the analysis used phenetic method by SPSS program there were a
dendrogram that resulted bell pepper relationship among varieties such as Sample with Anonim
(similarity value 0,830), Redjet with Sample (similarity value 0,800), Redjet with Manzilia
(similarity value 0,750), Redjet with Sunny (similarity value 0,706), Tomato with Redjet
(similarity value 0,223). The character and characteristic that can distinguish the bell pepper
varieties are: leaf width (870), old fruit color (751), fruit stalk length (870), thick seeds (870),
the length of the pistil (772), the maximum length of fruit (873), fruit meat thick (772), and the
total number of stamen (894).
Key Words : Phenetic, Diversity, Varieties, Bell Pepper Plant, Capsicum annuum L.,
Morphological

1.

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara kepulauan dikenal memiliki potensi kekayaan alam yang luar
biasa, baik flora, fauna maupun mikroba yang sebagian bersifat endemik. Bahkan, Indonesia
dikategorikan sebagai salah satu negara megabiodiversitas, kaya dengan sumber daya hayati.
Indonesia memiliki sekitar lebih dari 6000 tumbuhan dari 28.000 jenis tumbuhan di dunia yang
telah diketahui potensinya (Retnoningsih, 2003). Salah satu komoditas sayuran yang penting
dan terus dikembangkan adalah paprika. Paprika merupakan tanaman sayuran yang umumnya
dimanfaatkan untuk keperluan pangan. Tanaman ini selain bermanfaat untuk kebutuhan
konsumsi rumah tangga, juga bermanfaat dalam industri farmasi untuk membuat ramuan obatobatan, kosmetik, pewarna bahan makanan serta bahan campuran pada berbagai industri
pengolahan makanan dan minuman. Disamping itu, paprika memiliki prospek yang cerah untuk
dibudidayakan karena permintaan akan paprika baik dari dalam dan luar negeri selalu
meningkat. Konsumen paprika dalam negeri adalah penduduk asing yang menetap di Indonesia
dan masyarakat kalangan menengah ke atas, sehingga pasar yang meminta komoditas paprika
ini antara lain swalayan, hotel, restoran dan katering (Cahyono, 2007).

Pada penelitian sebelumnya Lidya (2006) melaporkan bahwa penelitian eksplorasi plasma
nutfah paprika di Kabupaten Bandung, yaitu koleksi paprika terbagi menjadi 2 kelompok besar,
kelompok I terdiri atas varietas-varietas dengan warna buah merah dan kuning sedangkan
kelompok II terdiri atas varietas buah yang berwarna oranye, sedangkan Thang (2007)
melaporkan bahwa penelitian mengenai seleksi paprika varietas PapriQueen, Caysan, Aries
tepat diproduksi di Australia dan penelitian mengenai analisis finansial usaha tani paprika di
Kabupaten Bogor antara lain oleh Dina (2011).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian mengenai biosistematika
keanekaragaman tanaman paprika (Capsicum annuum L.) melalui pendekatan morfologi
terhadap 5 varietas paprika unggul saat ini perlu dilakukan. Penelitian mengenai hubungan
kekerabatan tanaman paprika di Kabupaten Pasuruan ini belum pernah dilakukan sebelumnya,
padahal penelitian ini memiliki nilai penting untuk mengetahui jarak taksonomi hubungan
kekerabatan antar varietas paprika dan membantu pemanfaatan tanaman paprika agar lebih
optimal. Selain itu dengan dilakukannya penelitian ini, maka dapat diketahui pula karakter dan
karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing varietas tersebut. Hasil identifikasi kekerabatan
ini akan sangat bermanfaat dalam kegiatan pemuliaan paprika (Capsicum annuum L.) untuk
menghasilkan varietas baru. Hal ini disebabkan oleh jika tanaman yang berkerabat dekat
disilangkan, maka variasi sifat keturunannya tidak jauh berbeda dari induknya. Semakin jauh
jarak genetik antar varietas, maka akan menghasilkan variasi yang lebih tinggi jika disilangkan.
Selain itu, dengan diketahuinya hubungan kekerabatan akan mempermudah dalam mencari
varietas pengganti (varietas substitusi) bila suatu varietas tanaman mengalami kendala dalam
proses budidayanya (Ashary, 2010).
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Desa Tlogosari Nongkojajar Kecamatan Tutur Kabupaten
Pasuruan Jawa Timur dan Laboratorium Biosistematika Departemen Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Airlangga selama empat bulan, mulai bulan Januari April 2014.
Bahan spesimen yang digunakan adalah varietas tanaman segar dari genus Capsicum,
yaitu Capsicum annuum var. Redjet, Capsicum annuum var. Manzilia, Capsicum annuum var.
Sunny, Capsicum annuum var. Sample, Capsicum annuum var. Anonim, Lycopersicon
esculentum Mill sebagai tanaman outgroup. Spesimen tersebut didapatkan di Green House
penduduk bertempat di Desa Tlogosari Nongkojajar, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan,
Jawa Timur
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi meteran, jangka sorong, gunting
tanaman/pisau, plastik berbagai ukuran, botol, penggaris, tisu, silet, kamera digital, tabel warna,
kertas label, alat tulis, kain hitam.
Bagian tanaman paprika yang akan digunakan untuk diteliti adalah organ batang, daun,
bunga, buah, dan biji. Penelitian yang dikerjakan merupakan penelitian deskriptif dan secara
umum terbagi menjadi tahap persiapan penelitian, pengambilan atau pengumpulan spesimen,
pendataaan karakter, dan pengolahan data.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan deskripsi dari 5 varietas paprika (Capsicum annuum L.) dan tomat
(Lycopersicon esculentum Mill.) untuk pengenalan lebih jelas maka disusun kunci identifikasi
tipe paralel menuju varietas sebagai berikut.

1 a. Mempunyai warna batang Lime Green, permukaan batang bertrikoma kasar,


warna
mahkota
Yellow,
bentuk
buah
bulat
pipih.................................................................................................................2a
b. Mempunyai warna batang Dark Green, permukaan batang halus, warna
mahkota
Light
Yellow,
bentuk
buah
bulat
bel
genta
.........................................................................................................................2b
2 a. Mempunyai pangkal daun berlekuk sebagian, urat daun menonjol,warna biji
Peach puf, tekstur permukaan biji licin berlendir, warna buah belum matang
Forest green .................................................................................................. 3a
b. Mempunyai pangkal daun meruncing, urat daun rata, warna biji Pale
Goldenrod, tekstur permukan biji halus, warna buah belum matang
Green.................................................................................................................3
3 a. Mempunyai tebal buah 0,5-0,7 cm....................................................................4
b. Mempunyai tebal buah 0,8 cm .........................................................................5
4 a. Mempunyai panjang tangkai bunga 1,5 cm................................ varietas Redjet
b. Mempunyai panjang tangkai bunga 1 cm............................... varietas Manzilia
5 a. Mempunyai jumlah daun mahkota 5-6 .............................................................6
b. Mempunyai jumlah daun mahkota 7-8..............................................................7
6 a. Mempunyai buah matang warna Goldenrod ...............................varietas Sunny
b. Mempunyai buah matang warna Orange red.............Lycopersicon esculentum
7 a. Mempunyai warna buah matang Gold......................................varietas Anonim
b. Mempunyai warna buah matang Red.........................................varietas Sample
Setelah melakukan deskripsi dan membuat kunci identifikasi, maka dapat dilihat hubungan
kekerabatan melalui pendekatan morfologi yang divisualisasikan dalam bentuk dendrogram
pada Gambar 1.

* * * ANALISIS PENGELOMPOKAN

* * *

Dendrogram menggunakan Average Linkage

C A S E
Label
anonim2
anonim3
anonim1
sample2
sample3
sample1
redjet2
redjet3
redjet1
manzilia2
manzilia3
manzilia1
sunny2
sunny3
sunny1
esculentum2
esculentum3
esculentum1

Num

100
84,46
68,92
53,38
37,84
22,3
+---------+---------+---------+---------+---------+

17
18
16
14
15
13
5
6
4
8
9
7
11
12
10
2
3
1

VIII


VI

IX


IV

VII

III

II

Berdasarkan dendrogram pada gambar 1 di atas dapat dilihat pengelompokan sekaligus


jarak kedekatan dalam hubungan kekerabatan antar varietas paprika dengan nilai similaritas
didapatkan 22,3 %. Dendrogram tersebut mengelompokkan kelima varietas paprika (Capsicum
annuum L.) dan tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) ke dalam dua kelompok utama, yaitu
kelompok I (diwakili STO nomor 4, 5, dan 6 dalam tabel 4.2) dan kelompok II (diwakili STO
nomor 1, 2, dan 3 dalam tabel 4.2). Kelompok I beranggotakan paprika varietas Sunny, Redjet,
Manzilia, Sample, Anonim, sedangkan kelompok II beranggotan tomat yang langsung
mengelompok dengan anggotanya sendiri pada nilai kesamaan 100. Kelompok utama adalah
kelompok II kemudian terbelah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok III (diwakili STO
nomor 10, 11, dan 12 dalam Tabel 4.2) dan kelompok IV (diwakili STO nomor 4, 5, dan 6
dalam tabel 4.2) pada nilai kesamaan 70,6. Kelompok III akhirnya mengelompok dengan sendiri
pada nilai kesamaan 100 (diwakili STO nomor 10, 11, dan 12 dalam tabel 4.2). Kelompok IV
kemudian terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok V (diwakili STO nomor 7, 8, dan 9
dalam tabel 4.2) dan kelompok VI (diwakili STO nomor 4, 5, dan 6 dalam tabel 4.2) pada nilai
kesamaan 75,0. Kelompok V kemudian saling mengelompok dengan anggotanya sendiri pada
nilai kesaman 100 (diwakili STO nomor 7, 8, dan 9 dalam tabel 4.2). Kelompok VI kemudian
saling mengelompok dengan anggotanya sendiri pada nilai kesamaan 100 (diwakili STO nomor
4, 5, dan 6 dalam tabel 4.2). Kelompok VI kemudian terpecah menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok VII (diwakili STO nomor 4, 5, dan 6 dalam tabel 4.2) dan kelompok VIII (diwakili
STO nomor 13, 14, dan 15 dalam tabel 4.2) pada nilai kesamaan 80,0. Kelompok VII kemudian
saling mengelompok dengan anggotanya sendiri pada nilai kesamaan 100 (diwakili STO nomor
4,5, dan 6 dalam tabel 4.2). Kelompok VIII kemudian saling mengelompok dengan anggotanya
sendiri pada nilai kesamaan 100 (diwakili STO nomor 13, 14, dan 15 dalam tabel 4.2).
Demikian juga dengan kelompok VIII yang akhirnya mengelompok kemudian terpecah menjadi

dua kelompok, yaitu kelompok IX (diwakili STO nomor 13, 14, dan15 dalam tabel 4.2) dan
kelompok X (diwakili STO nomor 16, 17, dan 18 dalam tabel 4.2) pada nilai kesamaan 83,0.
Kelompok IX kemudian saling mengelompok dengan anggotanya sendiri pada nilai kesamaan
100 (diwakili STO nomor 13, 14, dan 15 dalam tabel 4.2). Kelompok X kemudian saling
mengelompok dengan anggotanya sendiri pada nilai kesamaan 100 (diwakili STO nomor 16,
17, dan 18 dalam tabel 4.2).
Setelah dilakukan analisis cluster yang menghasilkan dendrogram, kemudian dilanjutkan
dengan analisis PCA (Principal Component Analysis). Analisis PCA berguna untuk mengetahui
karakter-karakter morfologi yang memberikan pengaruh besar dalam memisahkan kelompok
varietas tanaman. Peran dari setiap karakter yang akhirnya memisahkan 36 STO dalam
penelitian ini (karakter pembeda), oleh PCA dinyatakan dengan menampilkan sejumlah
komponen komponen pembeda utama beserta nilai dari setiap karakter pada komponennya.
Analisis PCA ini akan menentukan faktor faktor multidimensional yang akan menunjukkan
karakter-karakter terpilih dalam menunjukkan hubungan kekerabatan (Clifford, 1975).
Tabel 1. Nilai komponen utama karakter tanaman paprika (Capsicum annuum L.) Redjet,
Manzilia, Sunny, Sample, Anonim dan tomat (Lycopersicon esculentum Mill.)

Tabel 2. Nilai komponen utama karakter tanaman paprika (Capsicum annuum L.) Redjet,
Manzilia, Sunny, Sample, dan Anonim.

Dari hasil analisis PCA pada tabel 2 di atas terdapat 3 komponen utama karakter yang
berperan utama dalam memisahkan kelompok varietas paprika. Komponen 1 merupakan
karakter yang paling berperan utama dalam memisahkan kelompok varietas tanaman.
Sedangkan komponen 2 merupakan komponen karakter pendukung pertama dari komponen 1.
Komponen 3 merupakan karakter pendukung kedua dari komponen 1. Nilai yang dicetak tebal
pada tabel 2 merupakan nilai karakter yang mempunyai nilai 750 yang berarti karakter tersebut
mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pengelompokan 5 varietas paprika. Sedangkan
nilai karakter 500x>750 berarti karakter tersebut kurang berpengaruh dalam pengelompokan.
Dalam komponen 1 karakter yang berpengaruh besar (mempunyai nilai 750) antara lain
: lebar daun, warna buah matang, panjang tangkai buah, tebal biji, Dalam komponen 2 karakter
yang berpengaruh besar yaitu panjang putik, panjang maksimum buah, dan tebal daging buah.
Dalam komponen 3 karakter yang berpengaruh besar yaitu total jumlah benang sari.
Dalam penelitian ini, setiap 1 varietas digunakan 3 STO. Dari dendrogram pada gambar 1
di atas, dapat diketahui bahwa masing-masing STO telah mengelompok sesuai dengan
varietasnya. STO varietas Anonim dapat mengelompok pada nilai koefisien agglomerative
sebesar 1000. STO varietas Sample dapat mengelompok pada nilai koefisien agglomerative
sebesar 1000. STO varietas Redjet dapat mengelompok pada nilai koefisien agglomerative
sebesar 1000. STO varietas Manzilia dapat mengelompok pada nilai koefisien agglomerative
sebesar 1000. STO varietas Sunny dapat mengelompok pada nilai koefisien agglomerative
sebesar 1000. STO tomat dapat mengelompok pada nilai koefisien agglomerative sebesar 1000.
Hal ini membuktikan bahwa karakter morfologi yang dimiliki masing-masing STO dalam satu
varietas mempunyai banyak kemiripan, sehingga jarak taksonominya terlihat sangat dekat.

Tanda negatif (-) pada koefisen sebagai tanda perbedaan arah sumbu (vector) pada PCA
(Bachtiar, 2011).
Pengelompokkan kelompok utama I dan II yang hanya memiliki nilai koefisien kesamaan
sebesar 22,3 (tabel 4.1) dalam dendrogram, disebabkan karena sedikit sekali ciri kesamaan atau
sifat (dalam penelitian ini sifat fenotip atau morfologi) yang dimiliki bersama antar STO pada
kelompok I dan II.
Keanekaragaman dapat diamati pada individu dalam satu kelompok populasi, antar
kelompok populasi dalam satu spesies dan antar spesies (Sofro, 1991). Pada tabel 4.3 dari 55
karakter morfologi yang digunakan pada penelitian ini, 19 karakter merupakan karakter umum
yang dimiliki oleh ke-5 varietas paprika dan tomat, sedangkan 36 karakter yang lain merupakan
karakter khusus yang dimiliki antar varietas paprika dan tomat. Adanya 36 karakter khusus
tersebut menyebabkan adanya keanekaragaman antar varietas tanaman paprika dan tomat. Tiga
puluh enam karakter tersebut dianalisis dengan PCA. Hasil PCA menunjukkan suatu bobot nilai
karakter pembeda dalam pemisahan STO (Prayekti, 2007, Hamidah, 2009). Dari komponen
yang dihasilkan, 3 komponen yang merupakan komponen paling besar pengaruhnya. Dari hasil
analisis PCA menunjukkan bahwa nilai komponen karakter yang tinggi dan terbanyak terdapat
pada karakter bunga. Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa karakter pada komponen 1, yaitu
karakter yang paling berperan utama dalam memisahkan kelompok varietas tanaman dan yang
mempunyai nilai 750 berjumlah 6 karakter, yaitu karakter perawakan, batang, daun, bunga,
buah dan biji. Karakter perawakan tersebut, yaitu tinggi. Karakter batang tersebut, yaitu warna
batang dan permukaan batang. Karakter daun tersebut, yaitu pangkal daun, tepi daun, panjang
daun, warna permukaan atas daun, warna permukaan bawah daun, dan urat daun. Karakter
bunga tersebut, yaitu warna kelopak, panjang daun mahkota, lebar daun mahkota, panjang
benang sari, warna kepala sari, warna kepala putik, warna tangkai putik, jumlah ruang dalam
bakal buah, total jumlah benang sari dan warna mahkota. Karakter buah tersebut, yaitu bentuk
buah, warna buah matang, dan lebar maksimum buah. Karakter biji tersebut, yaitu warna biji,
lebar biji maksimum, dan tekstur permukaan biji.
Dari komponen 1 pada hasil analisis PCA dapat diketahui bahwa karakter bunga paling
banyak memiliki nilai 750. Walaupun pada komponen 2 jumlah karakter bunga yang memiliki
nilai 750 lebih sedikit, namun besarnya nilai koefisien karakter bunga tetap lebih tinggi
daripada karakter lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa karakter morfologi bunga berperan
utama dalam memisahkan kelompok varietas tanaman.
Karakter morfologi yang memiliki nilai besar dalam memberi pengaruh terhadap
pengelompokan tanaman paprika dan tomat adalah pangkal daun dan tepi daun. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Irawan & Wirahmawan (2006) karakter pangkal daun, tepi
daun dapat memberi peranan besar besar dalam pengelompokan 9 kultivar durian di Kabupaten
Subang, Jawa Barat.
Kedekatan hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh varietas paprika dengan kelompok
tomat disebabkan banyaknya karakter yang sama pada daun, bunga, dan paprika memiliki
bentuk buah bel (genta) pendek pepat, sementara karakter bentuk buah tomat bulat agak pipih.
Bentuk buah merupakan salah satu karakter pembeda yang dapat digunakan untuk membedakan
antar varietas paprika dengan tomat (Cahyono, 2008; Singh, 1999).
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa walaupun terdapat perbedaan karakter
antarvarietas tanaman paprika (Redjet, Manzilia, Sunny, Sample, Anonim) dan tanaman tomat,
namun masing-masing varietas tersebut mampu mengembangkan karakter khusus yang berbeda
tapi sama-sama mempunyai kecenderungan untuk dapat bertahan dalam kondisi lingkungan
yang lembab.

Kelompok tomat dan varietas paprika dapat dimasukkan dalam famili Solanaceae, karena
memiliki ciri yang dimiliki Solanaceae, seperti habitus yang berupa herba, bunga yang
berbentuk seperi bintang dan bersifat aktinomorph (Simpson, 2006 ; Singh, 1999)
Pada tabel 1 dari 55 karakter morfologi yang digunakan pada penelitian ini, 42 karakter
umum yang dimiliki oleh ke-5 varietas paprika, sedangkan 13 karakter yang lain merupakan
karakter khusus yang dimiliki antar varietas paprika. Adanya 13 karakter khusus tersebut
menyebabkan adanya keanekaragaman antar varietas tanaman paprika. Ketiga belas karakter
tersebut dianalisis dengan PCA. Dari hasil analisis PCA menunjukkan bahwa nilai komponen
karakter yang tinggi dan terbanyak pada karakter bunga dan buah. Dari tabel 4.4 dapat diketahui
bahwa karakter pada komponen 1, yaitu karakter yang berpaling utama dalam memisahkan
kelompok varietas tanaman dan yang mempunyai nilai 750 berjumlah 3 karakter, yaitu
karakter daun, buah, dan biji. Karakter daun tersebut, yaitu lebar daun. Karakter buah tersebut,
yaitu warna buah matan, dan panjang tangkai buah. Karakter biji tersebut, yaitu tebal biji. Pada
komponen 2 (komponen pendukung pertama dari komponen 1) menunjukkan karakter yang
paling berperan dalam memisahkan kelompok varietas tanaman dan yang mempunyai nilai
750 berjumlah 3, yaitu 1 dari karakter bunga dan 2 dari karakter buah. Karakter bunga tersebut
yaitu panjang putik. Sedangkan karakter buah meliputi panjang maksimum buah dan tebal
daging buah. Pada komponen 3 (komponen pendukung kedua dari komponen 1) menunjukkan
karakter yang paling berperan dalam memisahkan kelompok varietas tanaman dan yang
mempunyai nilai 750 adalah total jumlah benang sari.
Hasil pengelompokan morfologi menunjukkan adanya variasi pada ciri-ciri morfologi
daun yaitu lebar daun. Variasi morfologi buah terlihat pada warna buah matang, panjang
maksimum buah, tebal daging buah dan panjang tangkai buah. Warna kulit buah berasosiasi
dengan warna daging buah. Hal ini sesuai dengan penelitian Lidya (2006) bahwa karakter daun,
dan buah membantu pengelompokan pada pengelompokan 13 kultivar paprika di Desa
Cigugurgirang Kabupaten Bandung.
Ketebalan daging buah kelompok 3, 5, 9, dan 10 (0,7 - 0,8 cm) sementara pada kelompok
2 dan 7 cenderung lebih tipis (0,5 - 0,6 cm). Hal ini sesuai dengan pernyataan Cahyono (2008)
yang mengatakan bahwa perbedaan antar varietas paprika dengan tomat dapat dilihat dari
ukuran buah dan ketebalan daging buah.
Kelima sampel varietas tanaman paprika yang digunakan dapat dikatakan berada di
tingkat varietas dikarenakan memiliki nilai kesamaaan di atas 85%, yaitu di tingkat spesies.
Keseluruhan satuan taksonomi operasional yang digunakan dapat berasal dari 1 spesies,
sehingga masing-masing individu dapat merupakan varietas atau anak-spesies (Hardiyanto,
2007).
Bentuk atau karakter morfologi, secara umum memang merupakan data yang paling baik
untuk membatasi suatu takson. Pembatasan takson yang baik dilakukan dengan menggunakan
karakter-karakter yang mudah dilihat, dan bukan oleh karakter-karakter yang tersembunyi.
Karakter morfologi merupakan karakter yang mudah dilihat yang dapat dijadikan sebagai
sumber bukti taksonomi (Hardiyanto, 2007). Selain itu, hasil penelitian dengan menggunakan
karakter morfologi (karakter fenotip) seperti yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa karakter morfologi sebagai bukti taksonomi memang sangat baik digunakan untuk
mengidentifikasi dan menganalisis keaneakaragaman tanaman paprika (Capsicum annuum L.)
serta dapat mengetahui kedekatan hubungan kekerabatannya.

4.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan :
1. Terdapat keanekaragaman morfologi antar varietas tanaman paprika (Capsicum annuum L.)
antara lain: paprika varietas Redjet, Manzilia, Sunny, Sample, dan Anonim.
2. Varietas Sample berkerabat dekat dengan varietas Anonim (nilai similaritas 0,830), varietas
Redjet berkerabat dekat dengan varietas Sample (nilai similaritas 0,800), varietas Redjet
berkerabat dengan varietas Manzilia (nilai similaritas 0,750), varietas Redjet dengan varietas
Sunny (nilai similaritas 0,706), Tomat berkerabat dengan varietas Redjet (nilai similaritas
0,223).
3. Karakter dan karakteristik yang dapat membedakan antar varietas tanaman paprika
(Capsicum annuum L.) antara lain: lebar daun (870), warna buah matang (751), panjang
tangkai buah (870), tebal biji (870), panjang putik (772), panjang maksimum buah (873),
tebal daging buah (772), dan total jumlah benang sari (894).
4.2 Saran
Perlu diteliti hubungan kekerabatan antar varietas tanaman paprika (Capsicum annuum
L.) Redjet, Manzilia, Sunny, Sample, dan Anonim dengan menggunakan karakter penanda
molekular dan ilmu-ilmu terkait lainnya seperti palinologi, embriologi, biogeografi, kandungan
fitokimia untuk membuktikan bahwa bukti taksonomi karakter morfologi tidak berbeda jauh
dengan bukti taksonomi genetik.
5.

DAFTAR PUSTAKA

Ashary, S.S. 2010, Studi keragaman Ganyong (Canna edulis Ker.) di Wilayah Eks-Karesidenan
Surakarta berdasarkan Ciri Morfologi dan Pola Pita Isozim, Skripsi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Bachtiar. 2011, Pengembangan Indeks Resiliensi Ekosistem dalam Pengelolaan Terumbu
Karang, Disertasi, IPB, Bogor
Cahyono, B. 2007, Cabai Paprika Teknik Budidaya dan Analisis Usahatani. Yogyakarta :
Kanisius
Cahyono, B. 2008, Tomat Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen. Yogyakarta : Kanisius
Clifford H.T. 1975, An Introduction to Numerical Classification, Academic Press, New York
Dina. 2011. Analisis Finansial Usahatani Paprika pada PT Saung Mirwan di Kecamatan
Megamendung Kabupaten Bogor. Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Hamidah. 2009, Biosistematika Annona muricata L., Annona squamosa L., dan Annona
reticulata L., dengan Pendekatan Numerik, Disertasi, Fakultas Biologi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta

Hardiyanto, E. Mujiarto., dan S. Sulasmi. E. 2007, Kekerabatan Genetik Beberapa Spesies


Jeruk Berdasarkan Taksonometri, J. Hort. 17(3): 203-216
Irawan, B, dan Wirahwan, 2006, Kajian Taksonomui Kultivar Durian di Kabupaten Subang
Jawa Barat, Jurnal Biotika, 5(2): 35-47
Lidya. 2006, Eksplorasi Plasma Nutfah Paprika (Capsicum annuum Linn) di Desa
Cigugurgirang kabupaten Bandung. Skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prayekti, E. 2007, Studi Taksonomi Numerik Annona muricata, Annona squamosa, dan Annona
reticulata dengan Menggunakan Pendekatan Morfologi, Skripsi, Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Retnoningsih, A. 2003, Introductory Science Philosophy, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Simpson, M. G. 2006, Plant Systematics, Elseiver Academic Press, California, USA.
Singh, G. 1999, Plant Systematics, Science Publishers Inc, India
Sofro, A.S.M. 1991, Keanekaragaman Genetik, Pusat Antar Universitas Bioteknologi
Universits Gajah Mada, Yogyakarta
Thang, N, T, P. 2007, Ripening behavior of Capsicum annum L fruit. Thesis, Faculty of
Sciences Discipline of Plant and Food Science, School of Agriculture, Food and Wine
Waite Campus, Adelaide, South Australia.

INDEKS KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SALURAN INDUK


MANGETAN KANAL, KABUPATEN SIDOARJO
Dinda Febrina R.F, Bambang Irawan dan Thin Soedarti
Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRACT
This study purposed to determine indeks diversity of macrozoobenthos in main
channel of Magetan canal, Sidoarjo regency. This study conducted on March-June 2014 in
main channel of Magetan canal, located in Mlirip Rowo village, Tarik, Sidoarjo. Sample
collected from 3 stations, divided into 3 substations and for each substation, 5 samples were
taken. Sample collected using ponar dredge and identified on Ecology and Environment
Laboratory, Faculty of Science and Technology, Airlangga University. Physicochemical
parameter measured including dissolved oxygen s (DO) level, currents velocity, pH,
temperature, depth, and substrate texture. Analyzed using Shannon-Weaner diversity index.
The result of diversity index from three station is low (1,193-1,457).
Keywords: Diversity, Macrozoobenthos, Main Channel Of Magetan Canal.

PEDAHULUAN
Kawasan perairan darat menempati kawasan yang lebih sempit di permukaan bumi jika
dibandingkan dengan perairan laut. Namun kebutuhan akan adanya perairan darat jauh lebih
penting. Menurut Odum (1993), perairan tawar dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu
perairan tenang dan perairan bergerak. Adapun contoh habitat lentik adalah danau,
sedangkan habitat lotik adalah sungai dan kanal.
Mlirip Rowo, merupakan desa yang terletak di Kabupaten Sidoarjo berdekatan dengan
Kabupaten Mojokerto. Di desa ini terdapat saluran induk kanal yang bernama Mangetan
Kanal. Aliran air dari Mangetan Kanal banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
irigasi persawahan (Idfi, 2010).
Berkembangnya kegiatan penduduk di sekitar Mangetan Kanal dapat berpengaruh
terhadap kualitas air karena limbah yang dihasilkan dibuang langsung ke kanal (Idfi, 2010).
Masuknya bahan-bahan pencemar yang tak bisa larut dan masih memenuhi batas-batas
tertentu tidak akan menurunkan kualitas perairan.
Keberadaan hewan akuatik seperti bentos dapat digunakan sebagai parameter biologis
dalam pemantauan kualitas perairan secara kontinyu, karena hewan ini menghabiskan seluruh
hidupnya di lingkungan tersebut. Sedangkan penggunaan parameter fisika dan kimia hanya
akan memberikan gambaran kualitas lingkungan sesaat dan cenderung memberikan
interpretasi dan kisaran yang lebar (Verheyen, 1990 dalam Sastrawijaya, 2000).
Bentos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar perairan
(Odum, 1993). Berdasarkan kebiasaan hidupnya dapat dibagi menjadi dua yaitu epifauna dan
infauna (Meadows and Champbell, 1998). Substrat dasar perairan juga memiliki peran

penting bagi kehidupan organisme akuatik seperti makrobentos baik sebagai habitat maupun
sumber makanan yang potensial (Anonim, 2012).
Mengingat pentingnya peran Mangetan Kanal, maka perlu dilakukan pemantauan
secara berkesinambungan. Oleh karena itu penelitian ini diajukan untuk mengungkap indeks
keanekaragaman makrozoobentos di kanal tersebut, karena hewan tersebut memiliki
keunggulan dan manfaat yang lebih baik dalam program pemantauan lingkungan
dibandingkan organisme lain di perairan sungai (Sudaryanti, 1997 dalam Kurniawati, 2003).

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Saluran Induk Mangetan Kanal di Desa Mlirip Rowo
Kecamatan Tarik Kabupaten Sidoarjo. Pengambilan sampel dilakukan bulan Maret hingga
Juni 2014. Proses identifikasi dan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Ekologi dan
Lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya.
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Ponar dredge,
kertas pH (indikator universal), termometer, flow meter, global positioning system (GPS),
mesh, meteran, pinset larutan formalin 4%, seperangkat alat dan bahan titrasi Winkler.
Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan di tiga stasiun yang berbeda dan tiap
stasiun terdiri atas tiga sub stasiun yang terdiri atas 2 titik pengambilan sampel. Lokasi
pengambilan sampel terdiri atas 3 stasiun yaitu Pro Kanal yang terletak sebelum pintu air
Saluran Induk Mangetan Kanal, Saluran Induk Mangetan Kanal yang terletak sesudah pintu
air dan mendekati percabangan Kanal Playaran.
Pengambilan sampel makrozoobentos dan substrat dilakukan di masing-masing
plot dengan luas area sesuai dengan luas cakupan Ponar dredge yang digunakan yaitu
15 cm x 15 cm. Pengambilan sampel dengan Ponar dredge tersebut sebanyak 5 kali.
Pengambilan sampel substrat dilakukan untuk menentukan tekstur substrat menggunakan
saringan bertingkat atau mesh sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Pengambilan sampel
air dilakukan untuk mengukur pH, temperatur, kedalam ,kecepatan arus dan pengukuran
kandungan oksigen terlarut (DO) dilakukan langsung dan di lapangan.
Analisis indeks keanekaragaman menggunakan rumus indeks keanekaragaman
Shannon-Weaner, (1949) dalam Odum, (1993) yaitu:

= ( ) ( )

Dengan H = indeks keanekaragaman, ni = jumlah individu ke-i dan N = jumlah total


individu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Saluran Induk Mangetan Kanal, Kabupaten
Sidoarjo diperoleh sampel yang teridentifikasi adalah 9 genus dari 7 famili. Makrozoobentos
yang ditemukan termasuk dalam tiga filum yaitu Mollusca, Annelida dan Arthropoda.
Selanjutnya menganalisis indeks keanekaragaman sesuai dengan jumlah genus yang

ditemukan pada tiap stasiun penelitian. Dari hasil analisis diperoleh nilai indeks
keanekaragaman makrozoobentos di tiap stasiun yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos Di Setiap Stasiun Penelitian Saluran
Induk Mangetan Kanal
No.

Genus

1
Corbicula
2
Contraden
3
Elongaria
4
Rectidens
5
Elimia
6
Cipangopaludina
7
Heterocleon
8
Tubifex
9
Chironomus
Indeks Keanekaragaman

I
3
2
0
0
57
26
4
112
18
1,322

Stasiun
II
4
5
17
17
0
0
1
143
56
1,193

III
6
7
18
19
26
6
0
128
14
1,457

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai Indeks keanekaragaman yang diperoleh pada
ketiga stasiun penelitian berkisar antara 1,1931,457. Indeks keanekaraganan yang diperoleh
pada 3 stasiun termasuk dalam kategori yang rendah. Indeks keanekaragaman tertinggi
terdapat pada stasiun III yakni sebesar 1,457 dan terendah terdapat pada stasiun II yakni
sebesar 1,193 sehingga masuk dalam kategorikan yang sama rendah berdasarkan kriteria
(Lee, Wang, dan Kuo, 1978 dalam Soegianto, 1989). Hal ini dikarenakan jenis genus yang
ditemukan pada stasiun I, II dan III sama (Tabel 1).
Brower et al. (1990) dalam Simamora (2009) menyatakan bahwa suatu komunitas
dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies
dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. Dengan kata lain bahwa
apabila suatu komunitas hanya terdiri atas sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak
merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.
Rendahnya indeks keanekaragaman disebabkan karena adanya aktivitas masyarakat
yang dilakukan di sekitar Saluran Induk Mangetan Kanal dan didukung oleh data analisis
seperti kecepatan arus menunjukkan perairan di daerah tersebut berarus sangat deras, tekstur
substrat yang berupa lumpur-lempung dan komposisi makrozoobentos yang ditemukan hanya
9 genus. Namun dari kondisi perairan di Saluran Induk Mangetan Kanal tersebut masih
cocok bagi kehidupan biota air.
Terkelompokkannya semua stasiun dalam kategori rendah dikarenakan telah
mengalami tekanan yaitu ditemukannya tumpukan sampah domestik di beberapa titik
bantaran kanal, berbagai perusahaan, pemukiman penduduk, serta keramba ikan yang
pembuangan limbahnya dilakukan di perairan tersebut dan hal ini menunjukkan bahwa
kondisi perairan mulai tercemar.
Banyaknya tekanan yang terjadi pada kanal dapat membahayakan bagi kehidupan
biota air. Bahan pencemar dalam perairan yang berlebih dapat mengakibatkan kondisi

perairan yang terlalu asam atau basa dapat menggangu dan membahayakan makrozoobentos
dalam bertahan hidup (Sastrawijaya, 2000). Sehingga keadaan ini dapat mengurangi spesies
yang ada dan pada umumnya akan meningkatkan populasi spesies yang hanya dapat tahan
terhadap kondisi perairan tersebut.
KESIMPULAN
Tingkat indeks keanekaragaman di Saluran Induk Mangetan Kanal adalah rendah
(1,1931,457).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. elisa.ugm.ac.id/user/archive.com. diakses pada Mei 2014.
Firstyananda, P. 2012. Komposisi Dan Keanekaragaman Makrozoobentos Di Tiga Lokasi
Aliran Sungai Sumber Kuluhan Jabung, Kabupaten Magetan. Skripsi. Universitas
Airlangga. Surabaya.
Idfi, G. 2010 .Studi Keseimbangan Air Pada Daerah Irigasi Delta Brantas (Saluran Mangetan
Kanal) Untuk Kebutuhan Irigasi dan Industri. Skripsi. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. Surabaya.
Kurniawati, F. 2003. Keanekaragaman Hewan Bentos Makro di Perairan Sungai Kali Mas
Surabaya. Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya.
Meadows, P.S., and J.L. Champbell. 1998. An Introduction to Marine Science 2nd edition.
Halsted Press. New York.
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ke-3. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sastrawijaya, A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Edisi Kedua. Rineka Cipta. Jakarta.
Simamora, D.R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang
Kota Tebing Tinggi. Skripsi. Universitas Sumatera Utara . Medan.
Soegianto. A. 1989. Metode Menduga Kualitas Air dengan Menggunakan Indikator Biologis.
Kursus Penyusunan AMDAL. kerjasama Set-Meneg KLH PPKL. UNAIR. FebuariApril. 1989.

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG PADA


BIJI JAGUNG DARI RUANG PENYIMPANAN
PASAR TRADISIONAL TUBAN

JURNAL

ELVIN HARIS ARIZAL

PROGRAM STUDI S-1 BIOLOGI


DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KAPANG PADA BIJI JAGUNG DARI RUANG


PENYIMPANAN PASAR TRADISIONAL TUBAN
Elvin Haris Arizal, Drs. Agus Supriyanto, M.Kes, dan Drs. Salamun, M.Kes
Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui genera kapang pada biji jagung beserta ciri
mikroskopis dan makroskopisnya. Penelitian ini merupakan penelitian yang berjenis observasional.
Metode pengambilan sampel secara komposite. Metode isolasi kapang menggunakan metode pour
plate dengan media PDA yang diinkubasi selama 7 hari pada suhu kamar. Pengamatan yang
dilakukan pada sampel meliputi pengamatan koloni kapang secara makroskopis dan mikroskopis.
Data karakteristik makroskopis dan mikroskopis pada sampel dianalisis secara deskriptif dengan
membandingkan karakteristik kapang yang terdapat pada buku Identifikasi Kapang Tropik Umum
dan buku Introduction to Food Borne Fungi untuk menentukan genusnya. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa genus kapang yang berhasil diisolasi dari sampel biji jagung antara lain genus
Geotrichum, Aspergillus, Penicillium, dan Rhizopus. Keempat genus kapang tersebut
mengindikasikan adanya kontaminan kapang dari lahan pertanian. Keberadaan genus kapang
Aspergillus terutama spesies Aspergillus flavus dan genus kapang Penicillium pada sampel biji
jagung dikaitkan dengan mikotoksin berupa aflatoksin dan okratoksin yang berbahaya bagi
kesehatan manusia dan hewan.
Kata kunci: Biji jagung, kapang, ruang penyimpanan.
ABSTRACT
This research aim to determine the genera of fungi on corn kernels and their microscopic
and macroscopic characteristics. This was observational research. The sample collected was
conducted using composite method. Isolation of fungi used pour plate method with PDA medium
were incubated for 7 days at room temperature. Observations on samples include observations of
macroscopic and microscopic colonies of fungi. Macroscopic and microscopic characteristics of
fungi on the samples were analyzed descriptively by comparing the characteristics of fungi found in
the book " Identifikasi Kapang Tropik Umum " and the book "Introduction to Food Borne Fungi" to
determine the genus. The results of this research indicated that the genus of fungi isolated from
samples of corn kernels are the genus Geotrichum, Aspergillus, Penicillium, and Rhizopus. The
existence of the four genera of mold is an indication of fungi contamination in agricultural land.
The existence of Aspergillus flavus and Penicillium on samples of corn kernels is associated with
mycotoxins such as aflatoxin and okratoksin that are harmful to human and animal health.
Key word: corn kernels, mold, room of storage.

PENDAHULUAN
Biji jagung merupakan salah satu komoditas bahan makanan pokok yang sangat penting di
Indonesia. Biji jagung banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok, bahan baku dalam
industri snack atau makanan ringan, pakan ternak, bahan baku pembuatan tepung tapioka dan bahan
dasar makanan olahan di home industry. Menurut Sutarni (2013), konsumsi biji jagung yang
meningkat mengakibatkan meningkatnya produksi biji jagung nasional. Pada tahun 2010, produksi
biji jagung mencapai 17,56 juta ton pipilan kering, sedangkan pada tahun 2011 produksi biji jagung
meningkat sebanyak 17,65 juta ton pipilan kering. Pada tahun 2012, produksi biji jagung meningkat
sebanyak 19,38 juta ton pipilan kering.
Permintaan yang meningkat ini tidak diimbangi dengan sistem keamanan pangan terutama
terhadap toksin pada bji jagung (Haliza dkk., 2012). Menurut Rahayu dkk. (2010), hasil uji
aflatoksin dari 115 sampel biji jagung dengan kadar air berkisar antara (12,60-20,84%) yang
diambil dari petani, pengecer maupun pedagang di 4 kabupaten yaitu Malang, Tuban, Kediri, dan
Sumenep menunjukkan bahwa 77% sampel terdeteksi adanya aflatoksin dengan konsentrasi antara
20-350 ppb. Aflatoksin ini berasal dari kapang Aspergillus dan Penicillium yang berasal dari lahan
pertanian.
Keberadaan kapang pada biji jagung membuktikan bahwa proses penanganan pascapanen
biji jagung yang dilakukan saat ini belum sempurna sehingga diperlukan pengawasan dan
pengaturan untuk meningkatkan keamanan pangan terutama pada biji jagung. Solusi untuk
menghentikan pertumbuhan kapang yakni melakukan pengontrolan terhadap kondisi ruangan
penyimpanan dan pengontrolan kondisi biji jagung melalui uji mikrobiologis. Ruang penyimpanan
biji jagung yang digunakan harus dikelola dengan sistem yang baik dan higienis agar kualitas biji
jagung tetap terjaga sampai ke konsumen (Haliza dkk., 2012).
Biji jagung yang disimpan dalam ruangan yang tidak higienis dan lembab menyebabkan
biji jagung akan mudah rusak. Salah satu penyebab kerusakan ini disebabkan oleh adanya aktivitas
kapang pada bagian biji jagung yang rusak. Kapang yang tumbuh pada bagian biji jagung yang
rusak akan melakukan aktivitas asimilasi serta pengambilan nutrien sehingga menyebabkan
kerusakan struktur morfologi pada biji jagung (Haliza dkk., 2012). Selain itu, kapang yang tumbuh
pada biji jagung juga dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa mikotoksin. Menurut
Supriatna dkk. (2012), mikotoksin yang terakumulasi dalam jumlah yang besar dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan berupa mikosis bagi hewan maupun manusia.
Pasar Tradisional Tuban merupakan salah satu tempat yang menyediakan bahan pangan
pokok seperti beras, jagung, dan bahan-bahan pokok lainnya. Pasar ini berfungsi sebagai tempat
untuk mengumpulkan bahan-bahan pangan pokok seperti biji jagung dari petani dan
mendistribusikan secara langsung ke masyarakat. Pada musim hujan, biji jagung dari petani
mengalami proses pengeringan yang kurang sempurna. Menurut Firmansyah dkk. (2006), biji
jagung yang dipanen pada musim hujan memiliki kadar air berkisar antara 25-35% sehingga apabila
tidak dikelola dengan baik maka biji jagung dapat berpotensi terinfeksi kapang. Selanjutnya, biji
jagung yang ditumbuhi kapang didistribusikan ke konsumen seperti perusahaan pembuatan pakan
ternak tradisional.
Di tangan konsumen, kapang dari biji jagung akan menyebar ke bahan baku lainnya
sehingga menyebabkan kerusakan mikrobiologis secara paralel dalam proses produksi.
Pertumbuhan kapang akan terus meningkat pada kondisi lingkungan yang sesuai yakni pada suhu
optimal berkisar 25-320C dan kadar air 18 % serta kelembapan diatas 85% (Reddy dkk., 2008).
Kontaminasi mikrobiologi secara paralel pada proses produksi dapat menurunkan kualitas hasil
produksi dari industri tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut untuk meningkatkan keamanan

pangan pada biji jagung diperlukan uji mikrobiologis berupa identifikasi kapang pada biji jagung di
ruang penyimpanan Pasar Tradisional Tuban.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Airlangga
Surabaya. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2014 sampai dengan Maret 2014. Pengambilan
sampel dilakukan di Pasar Tradisional Tuban. Penelitian ini merupakan penelitian yang berjenis
observasional. Metode pengambilan sampel secara komposite. Metode isolasi kapang menggunakan
metode pour plate dengan media PDA yang diinkubasi selama 7 hari pada suhu kamar. Prosedur
penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Preparasi Sampel
Sampel biji jagung yang digunakan berasal dari ruang penyimpanan Pasar Tradisional
Tuban. Sampel yang digunakan terdiri dari 3 jenis yakni biji jagung varietas lokal 1, biji jagung
varietas lokal 2, dan biji jagung varietas hibrida. Ketiga sampel yang diuji masing-masing
diambil sebanyak 25 gram secara acak. Selanjutnya, sampel biji jagung tersebut disuspensikan
dengan 100 ml akuades steril dan dihomogenkan dengan shaker selama 5 menit sehingga
didapatkan air rendaman biji jagung. Sampel air rendaman biji jagung yang pertama dilakukan
pengenceran 10-2 dengan cara mencampurkan 10 ml air rendaman biji jagung kedalam 90 ml
akuades steril dalam Beaker glass secara aseptik, lalu sampel dihomogenkan dengan cara
dishaker selama 5 menit dan sampel siap dikultur dalam media pertumbuhan kapang.
2. Media Isolasi Kapang
Metode Isolasi kapang pada sampel biji jagung dilakukan dengan metode sampling tidak
langsung dengan menggunakan metode pour plate. Sampel air rendaman biji jagung masingmasing diambil sebanyak 1 ml untuk dikultur pada media PDA + kloramfenikol sebanyak 1 ml
secara aseptik pada cawan Petri. Inkubasi dilakukan selama 7 hari pada suhu ruang. Masingmasing isolat kapang yang sudah tumbuh pada media PDA diinokulasikan menggunakan jarum
ose secara aseptik kedalam masing-masing cawan petri yang telah berisi 15 ml PDA +
kloramfenikol sebanyak 1 ml untuk pengamatan karakteristik makroskopis koloni kapang.
Inkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Metode yang digunakan untuk pengamatan mikroskopis
kapang menggunakan metode slide kultur yang diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang.
3. Analisis Data
Data karakteristik makroskopis dan mikroskopis koloni kapang yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif menggunakan buku berjudul Identifikasi Kapang Tropik Umum dan
buku berjudul Introduction to Food Borne Fungi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui genera kapang pada biji jagung dari ruang
penyimpanan Pasar Tradisional Tuban. Keberadaan kapang pada biji jagung merupakan salah satu
parameter penentu kualitas biji jagung baik atau tidak. Parameter yang digunakan untuk
mengetahui genera kapang yakni dengan mengamati karakteristik makroskopis dan mikroskopis
kapang yang diperoleh dari sampel.

Kapang pada Biji Jagung


Dari ketiga sampel tersebut diperoleh 4 genus kapang. Adapun genus kapang yang
diisolasi dari setiap sampel biji jagung disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Kapang yang Diisolasi dari Biji Jagung

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa genus kapang yang paling dominan pada sampel biji
jagung yakni genus Aspergillus sedangkan genus kapang yang lainnya yakni Rhizopus sp.,
Penicillium sp dan Geotrichum sp. Jika dibandingkan antara biji jagung varietas hibrida dengan biji
jagung varietas lokal, kapang lebih banyak tumbuh pada biji jagung varietas lokal karena varietas
ini lebih rentan terhadap hama. Menurut Azrai et al. (2004), biji jagung varietas lokal lebih rentan
terhadap hama gudang dan hama di persawahan karena jagung varietas hibrida telah melalui proses
penyilangan dan penyisipan gen untuk tahan terhadap hama sehingga kapang yang tumbuh pada
varietas ini lebih sedikit dibandingkan dengan varietas biji jagung lokal.
Keberadaan ketiga kapang pada biji jagung menunjukkan indikasi adanya pencemaran
kapang dari lahan pertanian. Menurut Gholib dkk., (2005), kapang yang sering ditemukan di lahan
persawahan antara lain kapang dari Aspergillus sp., Rhizopus sp., dan Penicillium sp. Kapang
Aspergillus, Rhizopus, dan Penicillium merupakan kapang kosmopolit yang dapat menghasilkan
enzim amilase. Aspergillus dan Rhizopus merombak amilum menjadi glukosa menggunakan enzim
-amilase. Kerja enzim -amilase yakni memotong ikatan 1,4 -glikosida. Enzim -amilase terjadi
dalam dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi amilum secara cepat yang menghasilkan
matotriosa dan maltosa. Tahap kedua bekerja lambat yakni mengubah oligosakarida menjadi
glukosa dan maltosa melalui jalur glikolisis (Winarno, 2006). Penicillium merombak amilum
menjadi glukosa melalui enzim -amilase. Kerja enzim -amilase yakni memotong ikatan 1,4 glikosida dan ikatan 1,6 -glikosida. Enzim ini bersifat eksoenzim. Enzim ini bekerja pada suhu 45600C. Hasil akhir dari kerja enzim ini yakni maltosa. Maltosa akan diubah menjadi glukosa

(Winarno, 2006). Menurut Maldonado et al. (2012A) Geotrichum dapat merombak lemak yang
terdapat pada biji jagung karena memiliki enzim lipase. Maldonado et al. (2014), mengenai
penggunaan enzim lipase dari Geotrichum candidum menunjukkam bahwa kemampuan hidrolisis
lemak pada Geotrichum candidum lebih tinggi dibandingkan dengan Fusarium oxysporum.
Keberadaan kapang dari genus Aspergillus dan Penicillium pada biji jagung berpotensi
menghasilkan mikotoksin yang dapat mengganggu kesehatan manusia maupun ternak. Berikut ini
jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang dari biji jagung disajikan dalam tabel 2.
Tabel 2. Mikotoksin yang Dihasilkan oleh Kapang

Karakteristik Makroskopik pada Biji Jagung


Dalam penelitian ini didapatkan 4 genus kapang yaitu Aspergillus, Penicillium,
Rhizopus, Geotrichum. Genus Aspergillus diperoleh 3 isolat terdiri atas Aspergillus sp.1 (H),
Aspergillus sp.2 (K), dan Aspergillus sp.3 (Hj). Adapun hasil pengamatan makroskopik kapang
tersebut disajikan dalam tabel 3 dan gambar 1.

Gambar 1. Kapang yang diisolasi dari sampel biji jagung.

Tabel 3. Karakteristik Makroskopik Isolat kapang

Berdasarkan pada tabel 3 dan gambar 1 memperlihatkan bahwa karakter khas dari genus
Aspergillus yakni memiliki tekstur granul. Karakter yang membedakan antar spesies pada genus
Aspergillus yakni pada warna koloni. Isolat Aspergillus sp.1 dapat dibedakan dari isolat Aspergillus
sp.2 dan Aspergillus sp.3 dari permukaan atas koloni yang berwarna hitam dan tidak memiliki radial
furrow. Isolat Aspergillus sp.2 dan Aspergillus sp.3 dapat dibedakan dari warna koloni bagian atas
dan zonasi. Aspergillus sp.2 memiliki ciri khas koloni bagian atas berwarna hijau pucat kekuningan
dan memiliki zonasi, sedangkan pada Aspergillus sp.3 memiliki ciri khas koloni bagian atas
berwarna hijau tua dan tidak memiliki zonasi. Genus Aspergillus yang didapatkan dari penelitian
ini, semua genus Aspergillus tidak mengeluarkan tetes eksudat. memperlihatkan bahwa dari ketiga
genus tersebut memiliki kesamaan yakni tidak memiliki radial furrow, tidak memiliki zonasi, dan
tidak mengeluarkan tetes eksudat.
Karakter pembeda dari genus Geotrichum, Rhizopus, Penicillium yakni terletak pada
tekstur koloni dan warna koloni. Berdasarkan tekstur koloni pada genus Geotrichum dan Rhizopus
memiliki kesamaaan yakni keduanya bertekstur kapas. Berdasarkan tekstur koloni, kedua genus
tersebut dapat dibedakan dari genus Penicillium yakni pada genus Penicillium bertekstur beludru.
Selain tekstur koloni, karakter yang membedakan antar ketiga genus kapang tersebut yakni pada
warna koloni. Pada Geotrichum memiliki warna koloni pada bagian atas berwarna putih dan bagian
bawah berwarna putih, sedangkan pada Rhizopus pada bagian atas dan bawah berwarna putih
keabu-abuan. Penicillium bagian koloni atas berwarna hijau keabu-abuan dan bagian bawah
berwarna kuning.
Karakteristik Mikroskopik Kapang pada Biji Jagung
Dalam penelitian ini didapatkan 4 genus kapang. Adapun hasil pengamatan mikroskopik kapang
tersebut disajikan dalam tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Mikroskopik Kapang pada Biji Jagung

Karakteristik mikroskopis Genus Aspergillus


a. Mikroskopis Isolat Aspergillus sp. 1 (H)
Hifa tidak berseptat. Stipe dari konidiofor berdinding halus, mononemantus (keluar dari hifa
secara tunggal) dan berseptat serta berwarna hialin. Conidial head berbentuk bulat dan berwarna
hitam penuh. Vesikel berbentuk bulat. Pada vesikel terdapat metula dan fialida. Konidia
berbentuk bulat dan berwarna hitam. Isolat Aspergillus sp.1 (H) merupakan spesies Aspergillus
niger.

Gambar 2. Aspergillus sp. 1(H). (A) Conidial head bulat penuh berwarna hitam dan konidiofor
panjang tidak berseptat, (B) foot cell (C) hifa berseptat, (D) konidia berbentuk bulat.
b. Mikroskopis isolat Aspergillus sp. 2(K)
Hifa tidak berseptat dan berwarna hialin. Stipe dari konidiofor berdinding kasar,
mononemantus (keluar dari hifa secara tunggal) dan tidak berseptat serta berwarna hialin. Kepala
konidia berbentuk semibulat (75% fertil), berwarna hijau kekuningan. Konidiofor berwarna

hialin dan bertekstur kasar. Vesikula berbentuk semibulat. Pada vesikel terdapat metula dan
fialida. Konidia berbentuk bulat. Isolat Aspergillus sp.2(K) merupakan Aspergillus flavus.

Gambar 3 Aspergillus sp. 2(K). (A) Conidial head 75% fertil, konidia terletak pada fialida,
konidiofor panjang, hifa tidak berseptat, tunggal, hialin, (B) vesikel, (C) konidia
berbentuk bulat, dan hifa tidak berseptat.
c. Mikroskopis Isolat Aspergillus sp. 3 (Hj)
Hifa tidak berseptat dan berwarna hialin. Stipe dari konidiofor berdinding kasar,
mononemantus (keluar dari hifa secara tunggal) dan tidak berseptat serta berwarna hialin. Kepala
konidia berbentuk semibulat (75% fertil), berwarna hijau tua. Konidiofor berwarna hialin dan
bertekstur kasar. Vesikula berbentuk semibulat. Pada vesikel terdapat metula dan fialida. Konidia
berbentuk bulat. Memiliki foot cell. Aspergillus sp.3 (Hj) merupakan Aspergillus oryzae.

Gambar 4. Aspergillus sp. 3 (Hj). (A) Conidial head 75% fertil atau tidak penuh, konidiofor
panjang, konidia berbentuk bulat, (B) Foot cell.
d. Karakteristik Mikroskopis Genus Geotrichum
Karakter mikroskopis yang khas dari genus Geotrichum dibandingkan dengan genus yang
lain yakni memiliki spora aseksual berupa arthospora dan spora yang berbentuk silindris.
Arthospora yakni sel reproduksi aseksual yang terbentuk dari hifa bersepta yang terputus-putus
atau berfragmentasi, sehingga bagian-bagiannya dapat berdiri sendiri dan dapat tumbuh menjadi
hifa baru. Tidak memiliki konidiofor dan tidak memiliki bentukan khusus.

Gambar 5. Geotrichum. Geotrichum memiliki hifa fertil berfragmentasi menjadi arthospora,


konidia berbentuk elips.

e. Karakteristik Mikroskopis Genus Penicillium.


Karakter mikroskopis yang khas dari genus Penicillium dibandingkan dengan genus
yang lain yakni memiliki conidial head yang berbentuk seperti sapu disebut penicillius. Bagian
dari penicillius terdiri dari metula dan fialida serta konidia yang menempel pada fialida. Pada
genus Penicillium memiliki penicillius dua atau lebih dari 2 dan bentuk konidiofor bercabang.
Penicillium yang diisolasi dari penelitian ini memiliki karakter mikroskopis antara lain hifa
berseptat, hialin dan halus. Konidiofor bercabang dan berseptat. Diatas konidiofor melekat
fialida dan diatas fialida terdapat konidia. Konidia berbentuk bulat.

Gambar 6. Penicillium. (A) Penicillium memiliki metula dan fialida, konidiofor bercabang, (B)
konidia berbentuk bulat.
f. Karakteristik Mikroskopis Genus Rhizopus
Karakter mikroskopis yang khas dari genus Rhizopus dibandingkan dengan genus yang
lain yakni memiliki rhizoid dan sporangiospora yang terdapat pada sporangiofor. Rhizoid yakni
modifikasi dari hifa yang terdapat pada substrat yang menyerupai akar dan berfungsi untuk
menyerap nutrien serta mengkokohkan fungi pada substrat (Ganjar dkk.,1999). Sporangiospora
adalah spora aseksual yang dibentuk didalam suatu kantung sporangium tertutup pada ujung
hifa fertil atau cabang hifa tersebut (Ganjar dkk.,1999). Rhizopus yang diisolasi dari penelitian
ini memiliki bentuk spora berbentuk bulat. Memiliki hifa hialin dan permukaannya halus,
memiliki sporangiosfor berbentuk bulat, rhizoid berdinding halus,

Gambar 7. Rhizopus. (A) klamidospora, (B) rhizoid, (C) sporangium yang pecah, spora
berbentuk bulat, sporangiofor tidak bercabang dan tidak berseptat, memiliki
kolumela, (D) sporangium yang berisi spora.

KESIMPULAN DAN SARAN


Genus kapang yang terdapat pada biji jagung dari Pasar Tradisional Tuban adalah genus
Geotrichum, Aspergillus, Rhizopus, dan Penicillium. Keberadaan genus kapang Aspergillus
terutama spesies Aspergillus flavus dan genus kapang Penicillium sp. pada biji jagung dapat
dikaitkan dengan mikotoksin berupa aflatoksin dan okratoksin yang berbahaya bagi kesehatan
manusia dan hewan sehingga perlu dilakukan uji mikotoksin aflatoksin dan okratoksin pada biji
jagung sebelum didistribusikan kepada konsumen. Keberadaan kapang pada sampel biji jagung
mengindikasikan proses pascapanen yang kurang sempurna sehingga diperlukan penanganan yang
baik terhadap proses pascapanen jagung terutama pada proses pengeringan dan penyimpanan biji
jagung dari lahan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Azrai. M, Mejaya, M.J, H.G. Yasin M. 2004. Pemuliaan Jagung Khusus. Balai Penelitian Tanaman
Serealia. Maros.
Firmansyah, I.U., S. Saenong., B. Abidin., Suarni, dan Y. Sinuseng. 2006. Proses Pascapanen
untuk Menunjang Perbaikan Produk Biji Jagung Berskala Industri dan Ekspor.
Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. p. 1-15
Gandjar, I., Samson, R.A., Vermeulen, K.V.D.T., Oetari, A., Santoso, I., 1999. Pengenalan Kapang
Tropik Umum. Universitas Indonesia. Depok.
Gholib, D,Arifin, Z, dan Nurmalina. 2005. Populasi Kapang pada Sampel Jagung Pipil dan Giling
yang Diambil dari Tiga Pasar Burung di Jakarta. Dalam Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Haliza, W, Munarso, J.S, Miskiyah. 2012. Keragaman Kontaminan Mikotoksin pada Jagung. Balai
Besar Pengembangan dan Penelitian Pascapanen Pertanian. Bogor.
Maldonado, R.R., Panciera, A.L., Macedo, G.A., Mazuti, M.A. Maugeri, F., Rodrigues, M.I.2012A.
Improvement of Lipase Production from Geotrichum sp. in Shaken Flasks. Chemical
Industry and Chemical Engineering Quarterly, 18(3):459-464.
Maldonado, R. R. Marcedo, G. A, Rodrigues M. I. 2014. Lipase Production Using Microorganism
from Different Agro-Industrial by Product. International Journal Of Applied Science
an Technology. Vol. 4 No.1 January 2014. University of Campinas. Brazil.
Rahayu, E.S, Raharjo, S, Rahmianna. A.A. 2010. Cemaran Aflatoksin pada Produksi Jagung Di
Daerah Jawa Timur. Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta dan Balai
Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-Umbian Malang.
Reddy, S.V. dan F. Waliyar. 2008. Properties of Aflatoxin and Its Producing Fungi. Universitas
Indonesia. Depok.
Supriatna, Agus; Miskiyah. 2012. Sistem Keamanan Pangan Berbahan Baku Jagung. Buletin
Teknologi Pascapanen Pertanian Vol 8 (2). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian. Bogor.
Sutarni, R. 2013. Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai Tahun 2012. Jurnal Badan Pusat Statistik No.
2003/ Th.XVI. Jakarta.
Winarno. 2006. Ektraksi dan Pengujian Aktivitas Enzim Amilase. Universitas Brawijaya. Malang.

ANALISIS HUBUNGAN KEKERABATAN VARIETAS PADA


BELIMBING (Averrhoa carambola L.) MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI
Julianty Regina Pasagi, Hamidah, dan Junairiah
Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRACT
The purposeof this research were to know the diversity of morphological from
starfruit varieties(Averrhoa carambola L.), their relationship by morphological approach,
and morphological character that affects the classification of these starfruits. Sampling is
taken in Agrowisata bhakti Alam, Nongkojajar, Pasuruan and residential area Wisma
Permai Barat, Surabaya. Parts of the plants to be studied are 60 characters, including
stature, stem, leaf, flower and fruit, then be analyzed by descriptive and phenetic method.
According to the result of description analysis there were obtained diversity of characteristic
morphological from starfruit varieties, such as:B17, Bangkok Merah, Karangsari F2, and
Averrhoa bilimbi L. According to the analysis used phenetic method by SPSS program there
were a dendrogram that resulted two groups of starfruits: group A and group B with 17%
similarity value. Group A consisted of Averrhoa bilimbi L. Group B consisted of group C
and group D with 34,5% similarity value. Group C consisted variety of B17 while group D
consisted variety of Karangsari F2 and Bangkok Merah 54,2% similarity value. According to
the result ofPCA(PrincipalComponent Analysis), characters that affectthe grouping of variety
of starfruit of: canopy shape, location of compound leaves, bark surface, type oflichen thalus,
shape of the lichen thalus, leaf shape, length of leaf, leaf width, color of the lower surface of
leaves, surface texture of the leaves, lower leaf surface texture, color of the flower buds,
color of the flower stalk, color of filamen, surface fruit skin, nature of the fruit stalk, length of
fruit, fruit diameter, fruit weight, end of the fruit, depth of rib, color edge ribs, wide color
edge ribs, color of ripe fruit, andfruit shelf life at room temperature after harvest.
Keywords: Averrhoa carambola L., biosistematic, morphological, dendrogram, PCA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiadanya keanekaragaman morfologi dari
varieatas belimbing (Averrhoa carambola L.), hubungan kekerabatan antar varietas pada
belimbing melalui pendekatan morfologi, dan karakter morfologi yang mempengaruhi
pengelompokan varietas pada belimbing. Lokasi pengambilan sampel terletak di Agrowisata
Bhakti Alam, Nongkojajar, Pasuruandan daerah perumahan Wisma Permai Barat, Surabaya.
Bagian tanaman yang diteliti berjumlah 60 karakter meliputi perawakan, batang, daun, bunga,
dan buah yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan dengan metode fenetik.
Berdasarkan hasil analisis deskripsi diperoleh keanekaragaman karakteristik morfologi antar
varietas belimbing antara lain: B17, Bangkok Merah, Karangsari F2, dan Averrhoa bilimbi L.
Berdasarkan analisis dengan metode fenetik menggunakan program SPSS dihasilkan
dendrogram yang menunjukkan dua kelompok utama, yaitu kelompok A dan kelompok B
dengan nilai similaritas 17%. Kelompok A beranggotakan Averrhoa bilimbi L. Kelompok B
beranggotakan kelompok C dan kelompok D dengan nilai similaritas 34,5%. Kelompok C
beranggotakan varietas B17 sedangkan kelompok D beranggotakan varietas Karangsari F2
dan Bangkok Merah dengan nilai similaritas 54,2%. Berdasarkan hasil

PCA(PrincipalComponent Analysis), karakter yang mempengaruhi pengelompokan varietas


belimbing antara lain bentuk tajuk, letak daun majemuk, permukaan kulit batang, tipe thalus
lichen, bentuk thalus lichen, bangun daun, panjang daun, lebar daun, warna permukaan
bawah daun, tekstur permukaan atas daun, tekstur permukaan bawah daun, warna kuncup
bunga, warna tangkai bunga, warna tangkai sari, permukaan kulit buah, sifat tangkai buah,
panjang buah, diameter buah, berat buah, ujung buah, kedalaman rusuk, warna tepi rusuk,
lebar warna tepi rusuk, warna buah matang, dan daya simpan buah pada suhu kamar setelah
panen.
Kata kunci: Averrhoa carambolaL., biosistematika, morfologi, dendrogram, PCA
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara mega-biodiversity yang memiliki keanekaragaman
hayati yang sangat tinggi. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut karena letak
biogeografis Indonesia di antara dua pusat keanekaragaman tumbuhan dunia yaitu Indo
Malaya dan Australia (Djamaludin, 1997; Primarck et al.,1998). Sebagai bagian dari kawasan
Indo Malaya, Indonesia juga merupakan salah satu dari delapan pusat keanekaragaman
genetika tanaman di dunia khususnya untuk buah-buahan tropis (Sastrapradja dan
Rifai,1989). Buah-buahan tropis merupakan buah endemik yang hanya dapat ditemui di
daerah beriklim tropis dengan sinar matahari sepanjang tahun dan curah hujan yang tinggi
seperti Indonesia. Buah-buahan di Indonesia terdiri atas 329 jenis (terdiri atas 61 suku dan
148 marga) baik yang merupakan jenis asli Indonesia maupun pendatang (introduksi) dapat
ditemukan di Indonesia (Rifai, 1986).
Buah-buahan merupakan salah satu komoditi hortikultura yang memilikikontribusi
besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia.Potensi yang besar pada buah-buahan
menjadikan komoditas ini mendapat perhatian besar dari pemerintah maupun pelaku usaha.
Salah satu komoditas buah-buahan yang sedang dikembangkan adalah komoditi
belimbing(Averrhoa carambola L.). Averrhoa adalah salah satu marga anggota suku
Oxalidaceae (keluarga belimbing-belimbingan). Sejak pertama nama Averrhoa
dipublikasikan sampai tahun 2007, marga ini hanya diketahui mempunyai 2 jenis yaitu A.
bilimbi dan A.carambola (Mabberley, 1995; Steenis,1975, Veldkamp,1971). Belimbing
(Averrhoa carambola L.)memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi sehingga lebih banyak
dibudidayakan.Belimbing (Averrhoa carambola L.) lebih dikenal sebagai tanaman buah,
obat, dan juga dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk membuat produk minuman sirup
dan makanan ringan seperti dodol dan selai (Burkill, 1966;Heyne,1987; Samson,1992).
Mengingat banyaknya manfaat belimbing dan potensinya yang besar sebagai salah
satu komoditi hortikultura, maka diperlukan adanya suatu penelitian yang intensif dan
berkelanjutan.Penelitian yang telah dilakukan selama ini pada Averrhoa carambola L. adalah
tentang pemanfaatan ekstrak belimbing untuk aktivitas farmakologis dan molekuler.
Mengenai hubungan kekerabatan antar varietas Averrhoa carambola L. berdasarkan
morfologi masih sulit ditemukan, baik melalui pustaka maupun internet. Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu diadakan penelitian yang mengkaji diversitas, karakteristik morfologi,
dan hubungan kekerabatan varietas pada Averrhoa carambolaL.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ngembal, Kecamatan Tutur, tepatnya di
Agrowisata Bhakti Alam, Nongkojajar, Pasuruan dan Laboratorium Biosistematika
Departemen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, pada bulan
JanuariApril 2014.
Bahan yang digunakan adalah spesimen tanaman segar dari tiga varietas Averrhoa
carambola L., yaitu Karangsari F2, Bangkok Merah F3, dan B17. Ditambah dengan grup luar
(outgroup) anggota genus Averrhoa, yaitu Averrhoa bilimbi L. sebagai pembanding.Bagian
tanaman yang diteliti adalah batang, daun, bunga, dan buah.
Alatyang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) meteran untuk mengukur
diameter batang; (2) jangka sorong untuk mengukur ketebalan spesimen; (3) penggaris
untukmengukur panjang dan lebar spesimen; (4) kaca pembesar untuk mengamati morfologi
spesimen yang berukuran kecil; (5) gunting tanaman untuk memotong bagian spesimen yang
dipakai sebagai sampel; (6) kantong plastik untuk mengumpulkan spesimen yang akan
dipakai sebagai sampel untuk diamati; (7) kertas label untuk memberi keterangan pada
kantong plastik yang berisi sampel spesimen; (8) botol vial untuk tempat mengawetkan
spesimen; (9) kamera digital dan kain hitam untuk dokumentasi; (10) standar warna dan buku
Morfologi Tumbuhan untuk membantu mendeskripsikan spesimen.
Tahapan penelitian yang akan dilakukan adalahpersiapan penelitian, pengumpulan
spesimen, pendataan karakter, dan analisis data. Analisis data meliputi analisis dengan
metode deskriptif maupun analisis dengan metode fenetik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan deskripsi dari 3 varietas belimbing (Averrhoa carambola) dan Averrhoa
bilimbi, maka dapat disusun kunci identifikasi belimbing sebagai berikut.
1. a. Letak daun majemuk pada cab. tingkat III, permukaan kulit batang kasar berbenjol, tipe
thalus lichen tidak ada, bangun daun bulat telur memanjang, letak bunga pada ranting,
dahan, dan batang, warna tangkai sari white-pale violet red, permukaan kulit buah
mengkilap dan tipis, tangkai buah melekat pada buah Averrhoa bilimbi L.
b. Letak daun majemuk pada cab. tingkat V, permukaan kulit batang kasar beralur, tipe
thalus lichen crustose, bangun daun bulat telur, letak bunga pada ranting, warna tangkai
sari white, permukaan kulit buah licin mengkilap, tangkai buah melekat pada
ranting.. 2
2. a. Bentuk tajuk rounded, proporsi anak daun hampir sama besar, warna buah matang
golden rod dan orange................................................................................................. B17
b. Bentuk tajuk spreading, proporsi anak daun terdapat perbedaan, warna buah matang
gold.................................................................................................................................. 3
3. a. Keadaan tulang daun menonjol, daging daun tipis kaku, bunga kokoh,terdapat bintik
gula pada permukaan kulit buah, tekstur rusuk/lingsir berdaging tipis
....................................................................................................................................... F2

b. Keadaan tulang daun sangat menonjol, daging daun lunak sedikit kaku,bunga tidak
kokoh, tidak terdapat bintik gula pada permukaan kulit buah, tekstur rusuk/lingsir
berdaging agak tebal ..................................................................................................... F3
Hasil dari analisis dengan metode fenetik menggunakan program SPSS 16.00,
digambarkan dalam dendrogram pada gambar 1.

Gambar 1. Dendrogram hubungan fenetik antara tiga varietas belimbing (Averrhoa


carambola) dan Averrhoa bilimbi yang diteliti dengan analisis karakteristik
morfologi
Keterangan:
AB 1 = A.bilimbi 1
B17 1 = A.carambola var. B17 1
F2 1 = A.carambola var.F2 (Karangsari) 1
F3 1 = A.carambola var.BangkokMerah 1
AB 2 = A.bilimbi 2
B17 2 = A.carambola var. B17 2
F2 2 = A.carambola var. F2 (Karangsari) 2
F3 2 = A.carambola var.BangkokMerah 2

AB 3 = A.bilimbi 3
B17 3 = A.carambola var.B17 3
F2 3 = A.carambola var.F2 (Karangsari) 3
F3 3 = A.carambola var.Bangkok Merah 3
AB 4 = A.bilimbi 4
B17 4 = A.carambola var.B17 4
F2 4 = A.carambola var.F2 (Karangsari) 4
F3 4 = A.carambola var. Bangkok Merah 4

Berdasarkan dendrogram pada Gambar1, dengan nilai similaritas (kesamaan) 17%


didapatkan dua kelompok yang ditandai dengan huruf a dan b. Kelompok I(a) beranggotakan
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.), sedangkan kelompok II (b) beranggotakan belimbing
(Averrhoa carambola L.) varietas F2, varietas F3, dan varietas B17. Kemudian dengan nilai
similaritas 34,5% kelompok b memisah kembali menjadi kelompok c dan d. Kelompok c
beranggotakan belimbing varietas B17 sedangkan kelompok d memisah dengan nilai
similaritas 54,2% menjadi kelompok e dan f. Kelompok e beranggotakan belimbing varietas
F2 dan kelompok f beranggotakan belimbing varietas F3.
Setelah dilakukan analisis classify hierarchial cluster yang menghasilkan dendogram,
kemudian dilanjutkan dengan analisis PCA (Principal Component Analysis). Analisis PCA
berguna untuk mengetahui karakter-karakter morfologi yang memberikan pengaruh besar dan
membuat pemisahan OTU (Gil dan Cubero, 1993). Peran dari setiap karakter morfologi akan
memisahkan 16 OTU dalampenelitian ini, hasil PCA dinyatakan dengan menampilkan
sejumlah komponen komponen pembedautama beserta nilai dari setiapkarakter pada

komponennya. Komponen karakter morfologi yangmenyebabkan pengelompokan OTU dari


belimbingditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai komponen utama karakter belimbing (Averrhoa carambola L.) varietas
B17, F2, F3 dan Averrhoa bilimbi L.
Character
Bentuk tajuk
Letak daun majemuk
Warnabatang
Permukaankulitbatang
Diameterbatang
Arahtumbuhcabang
Tipe talus lichen
Bentuktalus lichen
Proporsianakdaun
Bangundaun
Tonjolantulangdaun
Dagingdaun
Panjangdaun
Lebardaun
Warnapermukaanatasdaun
Warnapermukaanbawahdaun
Teksturpermukaanatasdaun
Teksturpermukaanbawahdaun
JarakanakdaunIdanII
Letakbunga
Kekokohanbunga
Warnadasarbunga
Warnakuncupbunga
Warnatangkaibunga
Warnakaliks
Warnatangkaisari
Warnakorola
Corakmahkota
Permukaankulitbuah
Keberadaanbintikgulapadapermukaa
nkulitbuah
Sifattangkaibuah
Panjangbuah
Diameterbuah
Beratbuah
Ujungbuah
Kedalamanrusuk
Warnatepirusak
Lebarwarnatepirusuk
Teksturrusuk
Warnabuahmatang
Daya simpan buah pada suhu kamar
setelah panen

1
-.905
.980
-.537
-.980
-.018
.562
.980
.893
-.428
-.980
.189
.596
.901
.867
.479
.803
-.851
-.980
-.050
-.611
-.673
-.376
.886
.821
-.702
-.980
.697
-.376
-.980
.351
-.980
.919
.856
.886
-.851
.841
.817
.821
.697
-.884
.823

Component
2
-.240
-.102
.391
.102
-.387
-.761
-.102
-.084
.900
.102
.496
.793
.033
-.302
-.035
.413
.512
.102
-.141
.033
-.369
-.915
.027
.549
-.235
.102
-.707
-.915
.102
-.476
.102
.162
.453
.259
.512
.322
-.393
.549
-.707
-.209
.165

3
.077
-.157
-.547
.157
.872
.314
-.157
.434
.074
.157
.839
-.090
.326
-.159
.866
-.414
-.107
.157
-.279
.184
-.634
-.129
.359
-.127
.658
.157
-.115
-.129
.157
-.797
.157
.178
-.087
.346
-.107
-.358
.415
-.127
-.115
-.162
-.297

Dari Tabel 1 komponen matriks PCA terdapat 3 komponen utama karakter yang
berperan utama dalam memisahkan kelompok varietas belimbing. Nilai yang berwarna merah
pada tabel 1 merupakan nilai karakter yang mempunyai nilai 0,750 yang berarti karakter
tersebut mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pengelompokan 3 varietas belimbing
dan outgroup. Sedangkan nilai karakter 0, 500 X < 0,750 berarti karakter tersebut cukup
mempunyai pengaruh dalam pengelompokan, dan nilai karakter < 0,500 berarti karakter
tersebut kurang berpengaruh dalam pengelompokan.

Dalam komponen 1 karakter yang berpengaruh besar (mempunyai nilai 0, 750)


antara lain: bentuk tajuk, letak daun majemuk, permukaan kulit batang, tipe thalus lichen,
bentuk thalus lichen, bangun daun, panjang daun, lebar daun, warna permuakaan bawah
daun, tekstur permukaan atas daun, tekstur permukaan bawah daun, warna kuncup bunga,
warna tangkai bunga, warna tangkai sari, permukaan kulit buah, sifat tangkai buah, panjang
buah, diameter buah, berat buah, ujung buah, kedalaman rusuk, warna tepi rusuk, lebar warna
tepi rusuk, warna buah matang, dan daya simpan buah pada suhu kamar setelah panen. Dalam
komponen 2 karakter yang berpengaruh besar yaitu arah tumbuh cabang, proporsi anak daun,
daging daun, warna dasar bunga, dan corak mahkota. Sedangkan karakter yang berpengaruh
besar pada komponen 3 yaitu diameter batang, tonjolan tulang daun, warna permukaan atas
daun, dan keberadaan bintik gula pada permukaan kulit buah.
Dari hasil analisis PCA pada komponen 1 menunjukkan bahwa nilai komponen
tertinggi dan paling banyak memiliki nilai 0,750 terdapat pada karakter buah dan daun,
yaitu pada karakter permukaan kulit buah, sifat tangkai buah, bangun daun, dan tekstur
permukaan bawah daun dengan nilai 0,980 (Tabel 1). Namun pada komponen 2 dan 3
jumlahkarakter daun yang memiliki nilai 0,750 lebih banyak. Nilai tertinggi dan banyaknya
kemunculan yang terdapat pada karakter daun tersebut menunjukkan bahwa karakter daun
memiliki pengaruh paling besar terhadap pengelompokan dari ketiga varietas belimbing
(Averrhoa carambolaL.) dan outgroup. Hal ini didukung oleh pernyataan Singh (1999)
bahwa karakter daun sangat penting dalam identifikasi palem-paleman dan beberapa tanaman
lain genus Azedirachata dengan Meia, Sorbus Idengan Pyrus, dan lain-lain.
Pada tabel 4.3 dapat dilihat nilai komponen pertama pada karakter daun yang bernilai
0,750 terdapat 6 karakter. Dari hasil PCA, karakter daun yang sangat berpengaruh adalah
karakter panjang daun (0,901), lebar daun (0,867), warna permukaan bawah daun (0,803),
dan tekstur permukaan atas daun (0,851) dengan nilai similaritas > 0,800. Hasil ini didukung
oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Nilasari et al. (2013), bahwa karakter morfologi
daun dapat digunakan untuk identifikasi dan pengelompokan pada tanaman Mangga
(Mangifera indica L.).
Selain karakter daun, pada tabel 4.3 dapat dilihat pula nilai komponen pertama pada
karakter buah yang bernilai 0,750 terdapat 11 karakter. Karakter yang berpengaruh
terhadap pengelompokan pada ketiga varietas belimbing dan outgroupterdiri dari karakter
panjang buah (0,919), diameter buah (0,856), berat buah (0,886), ujung buah (0,851),
kedalaman rusuk (0,841), warna tepi rusuk (0,817), lebar warna tepi rusuk (0,817), dan daya
simpan buah pada suhu kamar (0,823). Hal ini menunjukkan bahwa buah juga memiliki
pengaruh pada pengelompokan ketiga varietas belimbing (Averrhoa carambola L.) dan
outgroup. Hal ini didukung oleh penelitian Holtum (1950) yang mengelompokan Amomum
(Zingiberaceae) menjadi dua tipe berdasarkan karakter buah.
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan karakter morfologi (karakter
fenotip) seperti yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa karakter morfologi
sebagai bukti taksonomi memang sangat baik digunakan untuk mengidentifikasi dan
menganalisis keanekaragaman tanaman belimbing (Averrhoa carambola L.) serta dapat
mengetahui kedekatan hubungan kekerabatannya.Bentuk atau karakter morfologi, secara
umum memang merupakan data yang paling baik untuk membatasi suatu takson. Menurut
Stace (1981) dalam Hardiyantoet al., (2007), pembatasan takson yang baik dilakukan dengan
menggunakan karakter-karakter yang mudah dilihat, dan bukan oleh karakter-karakter yang
tersembunyi. Karena alasan itulah karakter morfologi dapat dijadikan sebagai sumber bukti
taksonomi.

KESIMPULAN
1.
2.

3.

Terdapat keanekaragaman morfologi antar varietas belimbing (Averrhoa carambola


L.), yaitu belimbing varietas B17, F2, dan F3 maupun pada outgroup (Averrhoa bilimbi
L.).
Hubungan kekerabatan antar varietas belimbing (Averrhoa carambola L.) ditinjau dari
karakter morfologi dan dendrogram menghasilkan dua kelompok utama, yaitu
kelompok A yang beranggotakan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) yang jelas
memisah dengan kelompokB yang beranggotakan belimbing (Averrhoa carambola L.)
yang terdiri dari varietas B17, F2 dan F3. Hal ini membuktikkan bahwa Averrhoa
bilimbi L. memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan ketiga varietas dari
belimbing (Averrhoa carambola L.) dengan indeks similaritas 17%.
Karakter yang dapat membedakan dan mempengaruhi pengelompokan antar varietas
belimbing (Averrhoa carambola L.) terdiri dari karakter bentuk tajuk, letak daun
majemuk, permukaan kulit batang, tipe thalus lichen, bentuk thalus lichen, bangun
daun, panjang daun, lebar daun, warna permuakaan bawah daun, tekstur permukaan
atas daun, tekstur permukaan bawah daun, warna kuncup bunga, warna tangkai bunga,
warna tangkai sari, permukaan kulit buah, sifat tangkai buah, panjang buah, diameter
buah, berat buah, ujung buah, kedalaman rusuk, warna tepi rusuk, lebar warna tepi
rusuk, warna buah matang, daya simpan buah pada suhu kamar setelah panen, arah
tumbuh cabang, proporsi anak daun, daging daun, warna dasar bunga, corak mahkota,
diameter batang, tonjolan tulang daun, warna permukaan atas daun, dan keberadaan
bintik gula pada permukaan kulit buah.

DAFTAR PUSTAKA
Burkill, I.H, 1966 A Dictionary of The Economic Product of The Malay Peninsula. Volume 1
(A H) Governments of Malaysia and Singapore by The Ministry of Agriculture and
Co Operatives, Kuala Lumpur, Malaysia. 271 274.
Djamaludin,1997,Sambutan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Proseding Seminar
Nasional Konservasi Flora Nusantara, UPT Balai Pengembangan Kebun Raya-LIPI,
Bogor
Hardiyanto, E. Mujiarto, dan E.S. Sulasmi, 2007, Kekerabatan Genetik Beberapa Spesies
Jeruk Berdasarkan Taksonometri, J. Hort, Vol. 17 No. 3
Heyne K,1987,Oxalidaceae dalam Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid II,Badan Litbang
Kehutanan Jakarta, Yayasan Sarana Wana Jakarta, 1072 1074.
Holtum, R.E, 1950,The Zingiberaceae of The Malay Peninsula, The Garden Buletin
Singapore, Singapore.
Mabberley D, 1995, The Plant Book,A Portable Dictionary of The Higher Plants,
Cambridge University Press, 54.
Nilasari, A, N., Heddy, S, J., dan Wardiyati T., 2013, Identifikasi keragaman morfologi daun
mangga (Mangifera indica L.) pada tanaman hasil persilangan antara varietas
Arumanis 143 dengan Podang Urang umur 2 tahun, Jurnal Produksi Tanaman, 1:1.

Primarck, R. B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadibrata, 1998,Biologi Konservasi,


Yayasan Gbor Indonesia. Jakarta.
Rifai, M.A, 1986,Flora Buah-buahan Indonesia, Bogor. LBN LIPI.
Samson. J.A., 1992,Averrhoa L. in Edible Fruit and Nuts. Plant Resources of South East
Asia 2. PROSEA. 96 98
Sastrapradja, S. D. dan M.A. Rifai., 1989,Mengenal Sumber Pangan Nabati dan Plasma
Nutfahnya, Bogor: Komisi Pelestarian PlasmaNutfah Nasional dan Puslitbang
Bioteknologi, Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia.
Singh, G., 1999, Plant Systematics, Science Publishers Inc.,USA
Stace CA, 1981, Plant Taxonomy and Biosystematics, Edward Arnold,London
Steenis, V C. G. G. J., 1975,Plant geography of East Malesia,Botanical Journal uf the
Linnean Society
Veldkamp, J. F., 1971, Oxalidaceae. Flora Malesiana, ser. 1, Spermatophyta 7:174178.

KEANEKARAGAMAN MANGROVE DI RESORT BALANAN TAMAN NASIONAL


BALURAN SITUBONDO JAWA TIMUR

Ratna Sulfika, Thin Soedarti, dan Noer Muhammadi


Program Studi S-1 Biologi, Departemen Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
ratnasulfika@gmail.com
ABSTRACT
The objective of this research was determined the diversity of mangrove in the
area of Resort Balanan Baluran National Park. Mangrove vegetation data were taken using
belt transect method, by making a line transect perpendicular from shore line.Ten transect
plots were made in series with measuring 5 meters x 5 meters square per plot. In each plot
was identified species, mangrove stems diameter of each stand and the number of individuals
of each species of mangrove. Vegetation datas were analyzed using Mueller and Dumbois
formula to obtain the value of density, frequency, dominancy, and importancy of the plant.
Vegetation datas were also calculated to obtain an index of diversity using Shannon weaver
index. Results of research showed that six families and nine species composed the mangroves
community in Balanan Resort: Rhizophoraceae (Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata,
Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal), Acanthaceae (Avicennia officinalis), Sonneratiaceae
(Sonneratia caseolaris), Lythraceae (Pemphis acidula) , Combretaceae (Lumnitzera
racemosa), Malvaceae (Hibiscus tiliaceus). Mangrove diversity index in this area was low
(H=1.28).

Key words : Diversity of mangrove, Baluran National Park, analisis vegetation .

LATAR BELAKANG
Hutan merupakan salah satu kekayaan sumber alam di Indonesia yang tidak ternilai
harganya, termasuk didalamnya kawasan hutan mangrove dengan ekosistem yang khas dan
unik (Purnobasuki, 2005). Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove
merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis
dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis
pantai,mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding
ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning
ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi
ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga (kayunya sebagai bahan
bangunan, hiasan dan meubel) dan penghasil keperluan industri (bahan tekstil, bahan
pembuatan kertas). Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan
mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan
(mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan penebangan oleh masyarakat untuk
berbagai kepentingan (Rochana, 2010).
Letak ekosistem mangrove merupakan peralihan antara daerah laut dengan daratan,
sehingga sering mengalami gangguan untuk kepentingan manusia dan mengakibatkan

kawasan mangrove mengalami kerusakan dan penyempitan lahan yang berdampak pada
penurunan keanekaragamannya (Arisandi, 2001).
Di Taman Nasional Baluran, keberadaan hutan mangrove tersebar hampir di seluruh
pesisir kawasan tersebut. Hutan mangrove relatif mendominasi hutan pantai taman nasional
ini (Sudarmadji, 2000). Ada sekitar 22 suku mangrove yang terdapat di hutan mangrove
Taman Nasional Baluran, dengan suku Rhizophoraceae yang mempunyai jenis paling
banyak jumlahnya (Sudarmadji, 2004).
Pertumbuhan setiap jenis tumbuhan akan menyesuaikan dengan lingkungan
sekitarnya, sehingga morfologi yang terjadi akan berbeda antara satu tempat dengan tempat
yang lain (Steenis, 1958 dalam Kartawinata dkk., 1978). Taman Nasional sebagai area
konservasi juga mengalami banyak perubahan baik itu yang berasal dari kegiatan manusia
maupun dari alam itu sendiri, oleh karena itu perlu adanya penelitian yang di lakukan di
kawasan tersebut guna memantau kondisi dari hutan mangrove Taman Nasional Baluran.
Penelitian tentang mangrove di kawasan Taman Nasional Baluran sendiri dilakukan
hampir setiap tahun, meliputi seluruh kawasan konservasi, namun data tentang struktur
komunitas, keanekaragaman mangrove diperlukan terutama yang dilakukan oleh peneliti lain
sebagai bahan acuan bagi pihak taman Nasional untuk melaksankan kebijakan dan langkah
konservasi yang tepat untuk melindungi keanekaragaman mangrove di Taman Nasional
Baluran dari ancaman kerusakan baik itu yang berasal dari alam maupun yang ditimbulkan
oleh alam.
Rumusan masalah yang dapat yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui keanekaragaman dan jenis- jenis mangrove di kawasan Resort Balanan Taman
Nasional Baluran Situbondo Jawa Timur.
Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat tentang kondisi dan
keanekaragaman mangrove di Resort Balanan Taman Nasional Baluran Situbondo Jawa
Timur serta dapat memberikan informasi kepada pihak pengelola taman Nasional Baluran
tentang keberadaan dan keanekaragaman mangrove di Resort Balanan.

METODE PENELITIAN
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian lapangan untuk mengambil data vegetasi dan sampel substrat dilakukan
di Kawasan Resort Balanan Taman Nasional Baluran Situbondo, Jawa Timur. Analisis
sampel substrat hasil penelitian akan dilakukan di Laboratorium Ekologi Departemen
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Semua tahap penelitian
dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juli 2014.

Alat penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Global Positioning System
(GPS), kompas, pita transek atau tali, hagameter, calipers, pensil, spidol marker, kamera
digital, botol film, sling, luxmeter, pH meter, hand refracto salinometer, timbangan
analitik, oven, mesh dengan berbagai ukuran, dan buku identifikasi panduan pengenalan
mangrove di Indonesia karangan Rusila et al., (2006).

Bahan penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian-bagian tumbuhan mangrove
(batang, daun, bunga, buah, dan sistem perakaran) untuk diidentifikasi, substrat mangrove

sedalam 20 cm untuk analisis tekstur substrat, dan air akuades untuk membersihkan
hand refracto salinometer, kantong plastik, kertas saring, dan tabel data.
Prosedur kerja
Prosedur kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
survei lapangan dan pencitraan melalui Google Earth yang diduga mewakili dan
menggambarkan pola zonasi mangrove kemudian ditentukan sepuluh transek dengan
panjang menyesuaikan ketebalan mangrove dengan ukuran plot 5 x 5 meter . Pengambilan
data dalam penelitian ini antara lain : jenis mangrove, jumlah tegakan untuk mengetahui
nilai kerapatan, diameter batang setinggi dada (DBH) untuk menentukan nilai dominansi,
tinggi tegakan, jenis (fraksi) substrat, dan kondisi fisik kimia saat pengambilan data
seperti pH, suhu, salinitas, dan intensitas cahaya.
Dalam penelitian digunakan rumus Mueller dan Dumbois Ellenberg untuk
mencari nilai penting (NP), untuk menentukan indeks keanekaragaman jenis mangrove
dapat dihitung dengan menggunakan rumus Shannon Weaver Brown et al., 1997 dalam
Arisandi, 1999; Odum, 1993), sebagai berikut.
H=
H = Indeks diversitas
ni = Jumlah individu masing-masing jenis
N = Total semua jenis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis vegetasi yang dilakukan pada 10 transek (transek A, B, C, D, sampai
dengan J) dimana transek A, B, C berada pada blok Balanan menuju ke arah blok Mesigit,
dan transek D, E, F, G, H, I, J, berada pada blok Simacan menuju ke arah blok Kakapa. Pada
transek A terdapat 13 plot, transek B terdiri atas 15 plot, transek C terdiri atas 12 plot ,
transek D terdapat 13 plot , transek E terdapat 14 plot penelitian , transek F terdapat 15,
transek G terdapat 13 plot, transek H terdapat 16 plot, transek I terdapat 14 plot, transek J
terdapat 9 plot. Dari keseluruhan transek terdapat 134 plot dan teridentifikasi 9 spesies
mangrove
dari
6
famili
seperti
pada
Tabel
1.
Tabel 1. Daftar jenis-jenis vegetasi penyusun dari 134 plot pada lokasi penelitian.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Nama Spesies
Rhizophora apiculata
Rhizophora stylosa
Bruguiera gymnorrhiza
Sonneratia caseolaris
Pemphis acidula
Ceriops tagal
Avicennia officinalis
Hibiscus tiliaceus
Lumnitzera racemosa

Nama Indonesia
Tinjang, Mangi-mangi
Bakau
Tanjang merah, Pertut
Pedada, Perepat
Sentigi, Centigi
Tenger, Tingi
Api-api ludat
Waru laut
Api-api balah, Susup

Famili
Rhizophoraceae
Rhizophoraceae
Rhizophoraceae
Sonneratiaceae
Lythraceae
Rhizophoraceae
Acanthaceae
Malvaceae
Combretaceae

Dari 134 plot ditemukan 9 jenis mangrove yang dapat ditemukan 8 diantaranya adalah
mangrove mayor atau mangrove sejati yaitu jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa,
Avicennia officinalis, Bruguiera gymnnorhiza, Sonneratia caseolaris, Pemphis acidula,
Ceriops tagal, dan Lumnitzera racemosa jenis mangrove minor atau mangrove ikutan yaitu
jenis Hibiscus tiliaceus. Pada lokasi penelitian juga ditemukan beberapa jenis pohon yang

berada di sekitar hutan mangrove seperti pohon asem (Tamarindus indica), mimbo
(Azadirachta indica), krasak (Ficus superba), awar-awar (Ficus septica)
Tabel 3. Indeks keanekaragaman (H) vegetasi mangrove
No

Spesies

Jumlah
Spesies

Indeks
Keanekaragaman

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Avicennia officinalis
Rhizopora stylosa
Rhizopora apiculata
Sonneratia caseolaris
Bruguiera gymnorrhiza
Ceriops tagal
Lumnitzera racemosa
Pemphis acidula
Hibiscus tiliaceus
Jumlah

54
63
445
12
125
17
7
144
8
875

0,17
0,19
0,34
0,06
0,23
0,08
0,04
0,3
0,04
1.28

Dari Tabel 3. Dapat diketahui dari rumus Shannon Weaverdi peroleh H = 1,28 dimana
menurut Lee et., al 1978 dalam Arisandi, 1999 tergolong rendah.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dengan menggunakan metode transek sabuk
di dapatkan 9 jenis mangrove dari 6 famili jenis mangrove yang berada pada lokasi
penelitian. Dari ke 9 jenis mangrove yang ditemukan mangrove jenis Rhizophora apiculata
paling banyak ditemukan dari total 134 plot. Hal ini bisa disebabkan karena Rhizophora
apiculata memiliki batas toleran yang cukup tinggi terhadap perairan yang memiliki kondisi
ekstrim seperti salinitas tinggi dan kondisi substrat yang berlumpur, hal ini ditunjang oleh
sistem perakaran Rhizophora apiculata yaitu akar nafas (pneumatofor) yang berupa akar
panjang dan bercabang-cabang muncul dari pangkal batang. Akar ini dikenal sebagai prop
root dan pada akhirnya akan menjadi stilt root apabila batang yang disangganya terangkat
hingga tidak lagi menyentuh tanah. Akar penyangga membantu tegaknya pohon karena
memiliki pangkal yang luas untuk mendukung di lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga
membantu aerasi ketika terekspos pada saat laut surut (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock,
1993 dalam Rusila,.et al, 2006). Tumbuhan mangrove jenis ini juga melakukan pembuangan
kelebihan garam melalui transpirasi lewat stomata daun serta melakukan penyerapan ion-ion
tertentu melalui proses yang disebut ultrafikasi, proses ini mencegah sebagian besar garam
masuk melalui membran sel di permukaan akar (Rusila,. et al, 2006).
Hasil penelitian dengan metode yang sama namun dengan luasan plot yang berbeda
telah dilakukan oleh pihak Taman Nasional Baluran pada tahun 2013, dari hasil inventarisasi
tersebut diperoleh data sebanyak 16 spesies yang terdiri atas tingkat pohon, semai, dan
pancang. Dari data yang diperoleh oleh pihak Taman Nasional diketahui bahwa jenis
mangrove yang paling banyak ditemukan di resort Balanan adalah Rhizophora apiculata.
Indeks keanekaragaman atau indeks Shannon digunakan untuk mengetahui tingkat
keanekaragaman spesies pada suatu komunitas. Nilai indeks keanekaragaman keseluruhan
pada penelitian ini adalah 1,28. Dari data perhitungan tercatat bahwa keanekaragaman
mangrove pada lokasi penelian tergolong rendah seperti yang terlihat pada Tabel 4.38.

meskipun tergolong rendah telah dijumpai 9 jenis mangrove yang terdiri dari 8 mangrove
mayor (mangrove sejati) dan 1 jenis mangrove minor (mangrove ikutan), oleh karena itu
pentingnya menjaga jenis mangrove yang telah ada. Kawasan resort Balanan memiliki
keanekaragaman jenis mangrove yang rendah karena adanya satu jenis mangrove yaitu jenis
Rhizophora apiculata yang meskipun tidak mendominasi namun jumlahnya paling banyak
ditemukan. Hal tersebut disebabkan karena kondisi ekosistem yang sangat mendukung
pertumbuhan dari Rhizophora apiculata, yaitu jenis substrat (lumpur) yang terdapat pada
seluruh lokasi penelitian.
Setyawan et al., (2005) dalam Susanto (2011) menyebutkan bahwa sedikitnya jumlah
spesies mangrove disebabkan besarnya pengaruh antropogenik yang mengubah habitat
mangrove untuk kepentingan lain seperti pembukaan lahan untuk penambakan maupun
pemukiman. Heddy dan Kurniawati (1996) dalam Suwondo et al., (2006), menambahkan
bahwa rendahnya keanekaragaman suatu jenis menandakan adanya tekanan pada ekosistem
maupun kondisinya mengalami penurunan. Hal ini bisa disebabkan karena mangrove hidup
dilingkungan yang ekstrim seperti kadar garam yang tinggi serta kondisi substrat yang
berlumpur, oleh karena itu untuk hapat hidup harus melalui seleksi yang sangat ketat dan
daya adaptasi yang tinggi. Beberapa jenis mangrove yang adaptif terhadap kondisi yang tidak
menguntungkan akan tumbuh dengan baik dan sebaliknya, hal ini berdampak pada tingginya
tingkat keanekaragaman jenis pada suatu ekosistem maupun tinggimya dominasi dari suatu
spesies.

KESIMPULAN
Jenis vegetasi mangrove yang terdapat di sekitar Resort Balanan Taman Nasional
Baluran teridentifikasi
6 famili dari 9 jenis mangrove,
yaitu famili
Rhizophoraceae (Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops
tagal), Acanthaceae (Avicennia officinalis), Sonneratiaceae (Sonneratia caseolaris),
Lythraceae (Pemphis acidula), Combretaceae (Lumnitzera racemosa), Malvaceae (Hibiscus
tiliaceus). Keanekaragaman mangrove di sekitar Resort Balanan Taman Nasional Baluran
tergolong rendah yaitu sebesar (1,28).

DAFTAR PUSTAKA
Arisandi, P. 1999. Studi Stuktur Komunitas Dan Keanekaragaman Mangrove Berdasarkan
Perubahan Garis Pantai Di Pantai Utara Jawa Timur. Skripsi. Jurusan Biologi.
Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Universitas Airlangga.
Arisandi, P. 2001. Mangrove Jawa Timur, hutan pantai yang terlupakan. Ecological
Observation and Wetlands Conservation (ECOTON). Gresik.
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I.G.K. Tantra. 1978. Status
Pengetahuan Hutan Bakau Di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan
Mangrove di Jakarta: MAB Indonesia dan Lembaga Oseanologi Nasional.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajahmada University Press
Yogyakarta.
Purnobasuki, H. 2005. Tinjauan Perspektif Hutan Mangrove. Airlangga University Press.
Surabaya.

Rochana, E .2010. Citing Computer Reference: Ekosistem Mangrove dan Pengelolaanya di


Indonesia. Artikel ilmiah. http://www.irwantoshut.com/ekosistem _mangrove.
(diakses pada 7 Oktober 2013).
Rusila Noor, Y., M. Khazali, dan I N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IPB. Bogor.
Sudarmadji, 2004. Deskripsi Jenis-Jenis Anggota Rhizoporaceaedi Hutan Mangrove Taman
Nasional Baluran Jawa Timur. Biodiversitas. ISSN 1412-033x. Vol 5 No 2. Hal 5570
Susanto, Ade Hermawan. 2011. Struktur Komunitas Mangrove Di Sekitar Jembatan
Suramadu Sisi Surabaya. Skipsi. Surabaya
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: PT. Gramadia Indonesia

UJI AKTIVITAS ENZIM PROTEASE DARI ISOLAT BAKTERI


LIMBAH DOMESTIK

JURNAL SKRIPSI

KARTIKA PRIMASARI

PROGRAM STUDI S-1 BIOLOGI


DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2013

UJI AKTIVITAS ENZIM PROTEASE DARI ISOLAT BAKTERI


LIMBAH DOMESTIK
Kartika Primasari, Tri Nurhariyati S.Si., M.Kes dan Dr. Sri Puji Astuti W M.Si
Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas
Airlangga, Surabaya

ABSTRACT
This research purposed to know the index value of the hydrolysis of five isolates
of bacteria, genus name the highest hidrolysis index, the effect of variations in
incubation time, and pH on enzyme activity. This research was descriptive and
experimental research. Descriptive research was the hydrolysis index test five bacterial
isolates, and identification of bacterial isolates genus name that has the highest index
hidrolysis value using test morfology, physiology, microbat kit based on the Bergey's
Manual of Determinative Bacteriology 9th Edition book. Experimental research used a
completely random design. Method used Enggel. The effect of incubation time variation
of enzyme activity used 19 treatments with 3 replications. The effect of pH variation on
enzyme activity used 6 treatments with 4 replications. The variation effect in incubation
time and pH on enzyme activity ware tested statistical analysis. Protease enzyme
activity at variations in incubation time was analyzed Brown-Forsythe and GomesHowell. Protease enzyme activity at variation in pH was analyzed Kruskal-Wallis and
Mann-Whitney. Result of hydrolysis index value five bacterial isolates were A (0,17), B
(0,54), C (0,32), D (5,58), E (0,38). D isolates had the highest hydrolysis index value
and the result of identification of bacterial D isolate was a group of the genus Bacillus.
There was effect of incubation time variation of the protease enzyme activity.
Incubation time of 12 hours was optimum enzyme activity of 4,16 U/mL. There was
effect of variation of pH on protease enzyme activity. pH 9 was the highest enzyme
activity of 12,94 U/mL.
Keywords : enzyme activity, incubation time, pH, Bacillus
Pendahuluan
Saat ini industri enzim telah berkembang pesat dan menempati posisi penting
dalam bidang industri. Kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan yang
semakin tinggi serta adanya tekanan dari para ahli dan pecinta lingkungan menjadikan
teknologi enzim sebagai salah satu alternatif untuk menggantikan berbagai proses
kimiawi dalam bidang industri (Falch, 1991). Hal ini dikarenakan enzim merupakan
katalisator pilihan yang diharapkan dapat mengurangi dampak pencemaran dan
pemborosan energi karena reaksinya tidak membutuhkan energi tinggi, bersifat spesifik,
dan tidak beracun (Aunstrup et al., 1979).
Enzim adalah protein yang mempunyai daya katalitik karena aktivitas
spesifiknya. Secara biokimia enzim dikatakan sebagai suatu kelompok protein yang
berperan sangat penting dalam proses biologis. Enzim merupakan biokatalisator yang

bekerja sangat spesifik terhadap substrat, yaitu setiap enzim hanya dapat bekerja pada
satu jenis senyawa atau reaksi kimia, hal ini disebabkan karena struktur kimia tiap
enzim berbeda dan bersifat tetap. Sistem kerja enzim adalah dengan cara menempel
pada substrat dan menurunkan energi aktivasi yang dengan sendirinya mempercepat
proses reaksi. Suatu molekul enzim dapat mengkatalis 10 sampai 1000 molekul substrat
per detik. Enzim mempunyai sifat khas, yaitu enzim dapat aktif walaupun dalam jumlah
yang sedikit (Pelczar dan Chan, 2005) .
Salah satu enzim yang aplikasinya sangat luas adalah enzim protease karena
memiliki nilai ekonomi yang tinggi dalam bidang industri, antara lain industri deterjen,
kulit, tekstil, makanan, pengolahan susu, farmasi, dan pengolahan limbah industri
(Suhartono,2000).
Protease adalah enzim yang dapat menghidrolisis protein menjadi senyawasenyawa yang lebih sederhana seperti peptida atau asam amino (Bergman, 1942).
Kebutuhan enzim protease dewasa ini semakin meningkat terutama dalam bidang
pangan seperti industri keju, bir dan roti, sedangkan bidang non pangan seperti dalam
pembuatan deterjen dan penyamakan kulit. Kemajuan dalam bidang bioteknologi
memungkinkan semakin meluasnya penggunaan enzim protease dalam berbagai produk
komersil. Di Indonesia kebutuhan akan enzim protease semakin meningkat, namun
kebutuhan ini masih tergantung pada produksi impor.
Protease dihasilkan dari tiga sumber utama, yaitu tanaman, hewan, dan mikroba.
Kelemahan tanaman sebagai sumber protease adalah kesulitan untuk melakukan
ekstraksi enzim secara efisien karena membutuhkan peralatan berat untuk
menghancurkan jaringan tanaman yang besar dan keras, selain itu pertumbuhan
tanaman terlalu lama untuk produksi enzim (Fowler, 1988). Produksi protease dari
hewan juga memiliki kelemahan, yaitu membutuhkan jumlah hewan yang banyak dan
biaya yang besar karena proses ekstraksi enzim dari jaringan hewan sulit dilakukan
(Taylor dan Leach, 1995). Menurut Nagodawithana dan Reed (1993) pada tahun 19501960, pemanfaatan enzim dari hewan dan tanaman mulai digantikan oleh enzim
mikrobial. Sebagai sumber enzim, mikroorganisme lebih menguntungkan karena
pertumbuhannya cepat, dapat tumbuh pada substrat yang murah, lebih mudah
ditingkatkan hasilnya melalui pengaturan kondisi pertumbuhan dan rekayasa genetik,
serta mampu menghasilkan enzim yang ekstrim (Akhadiya, 2003).
Enzim protease dari bakteri mulai diperkenalkan sekitar tahun 1960 oleh Gebruder
Schyder dari Swiss dan Novo A/S dari Denmark, dan sampai sekarang penggunaan
bakteri sebagai penghasil protease mempunyai peluang yang besar untuk memproduksi
protease (Basuki, 1997). Adanya mikroorganisme yang unggul merupakan salah satu
faktor penting dalam usaha produksi enzim. Oleh karena itu, eksplorasi mikroorganisme
yang berpotensi sebagai penghasil protease perlu dilakukan di Indonesia (Akhdiya,
2003). Beberapa mikroorganisme yang telah diketahui sebagai penghasil protease untuk
aplikasi komersial adalah Bacillus, Lactobacillus,
Pyrococcus, Termonospora,
Rhizopus, Mucor, Endothia dan Aspergillus (Rao, et al., 1998; Ward et al., 2009).
Aktivitas enzim dipengaruhi antara lain oleh waktu inkubasi dan pH. Pertumbuhan
sel bakteri menyatakan pertambahan jumlah sel bakteri dari waktu ke waktu.
Pertumbuhan bakteri sangat tergantung pada cukup tidaknya nutrien yang ada dalam
medium. Semakin bertambah jumlah sel bakteri maka enzim protease yang dihasilkan
juga semakin meningkat, namun jika nutrien yang terkandung dalam media telah habis,
maka jumlah sel bakteri akan berkurang dan aktivitas enzim semakin menurun. Menurut
Volk dan Wheeler (1993) beberapa enzim aktif pada kondisi asam pH 3-4, dan juga ada

yang aktif pada kondisi basa pada pH 11-12. Limbah domestik merupakan salah satu
habitat yang sesuai bagi bakteri, karena mengandung bahan organik sebagai sumber
nutrisinya. Kemempuan bakteri dalam menghidrolisis suatu senyawa dapat diketahui
dengan cara mengukur indeks hidrolisisnya.
Dari uraian di atas maka perlu dikembangkan adanya penelitian tentang bakteri yang
berpotensi dalam menghasilkan enzim. Nurhariyati, dkk (2012) telah melakukan isolasi
dan karakterisasi bakteri proteolitik dari limbah domestik. Limbah domestik diambil
dari salah satu rumah makan Padang. Hal ini dikarenakan pada limbah rumah makan
Padang, banyak terdapat sisa-sisa makanan yang mengandung protein, antara lain
santan, telur, daging, dan ikan. Pada penelitian Nurhariyati, dkk (2012) telah didapatkan
lima isolat bakteri proteolitik (A, B, C, D, F). Namun kelima isolat tersebut belum diuji
aktivitas enzim protease. Bakteri proteolitik mampu menghidrolisis protein, dengan cara
mengekskresikan enzim keluar lingkungannya. Kemampuan bakteri dalam
menghidrolisis protein ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekitar koloni yang
ditumbuhkan pada media selektif yaitu Busnell Hass ditambah susu skim. Semakin
besar zona bening yang terbentuk, maka enzim yang di hasilkan semakin banyak. Oleh
karena itu Uji aktivitas enzim protease dari isolat bakteri limbah domestik perlu
dilakukan, untuk mengetahui kemampuan bakteri proteolitik dalam menghasilkan enzim
protease. Sehingga didapatkan aktivitas optimum bakteri proteolitik dalam
menghasilkan enzim protease, selain itu juga diharapkan dapat membantu permasalahan
enzim protease yang masih tergantung pada produksi impor dengan mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya hayati yang dimiliki Indonesia (Suhartono, 2000).
Metode Penelitian
a. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya pada bulan Januari 2013
sampai dengan Juli 2013.
b. Bahan penelitian
Kelima isolat yang digunakan merupakan hasil isolasi dari limbah domestik rumah
makan Padang oleh Nurhariyati, dkk (2012). Media yang digunakan adalah
mediaBussnell Hassyang ditambah dengansusu skim merupakan media selektif untuk
uji aktivitas proteolitik. KomposisiBusnell Hass ditambah media skim milk yaitu : susu
skim, K2HPO4, KH2PO4, NH4NO3, MgSO4.7H2O, CaCl2.2H2O, FeCl3, Agar. Bahan
yang digunakan untuk uji aktivitas protease adalah kasein dalam larutan buffer fosfat
pH 7 sebagai substrat, 0,4 M asam trikhloroasetat, 0,5 M natrium karbonat (Na2CO3)
dan reagen Folin Ciocalteaus untuk memberi warna pada larutan.
Prosedur penelitian
1.

Peremajaan isolat bakteri


Peremajaan isolat bakteri menggunakan media(NA) miring, dengan metode streak
secara aseptis. Setelah itu isolat diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam.
2.

Pembuatan stok mikroba uji

Kelima Isolat bakteri diperbanyak dengan cara ditumbuhkan pada media NA miring
dengan metode streak dan diinkubasi pada suhu ruang. Setelah 24 jam, semua stok
bakteri disimpan dalam lemari es untuk persiapan perlakuan selanjutnya.
3. Uji aktivitas proteolitik isolat bakteri
a. Pembuatan media selektif
Komposisi media selektif terdiri dari susu skim 2 gram dan media Bussnell Hass,
yaitu : K2HPO4 0,1 gram, KH2PO4 0,1 gram, NH4NO3 0,1 gram, MgSO4.7H2O 0,02
gram, CaCl2.2H2O 0,002 gram, FeCl3 0,005 gram, Agar 2 gram dalam 100 mL aquades.
Susu skim dipasteurisasi selama 30 detik pada suhu 60oC dengan menggunakan hot
plate, media Busnell Hass dan agar di autoclave. Busnell Hass agar ditambah dengan
susu skim dicampur secara aseptis, kemudian dibuat dalam bentuk media agar plate dan
digunakan untuk uji kemampuan aktivitas proteolitik.
b. Kemampuan uji aktivitas proteoltik
Uji kemampuan bakteri terhadap aktivitas proteolitik dengan menumbuhkan satu
ose loopfull isolat bakteri pada permukaan media selektif, setelah ditumbuhkan pada
media selektif lalu di inkubasi pada suhu ruang selama 48 jam. Aktivitas mikroba dalam
mendegradasi protein ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekitar koloni. Isolat
dengan nilai indeks proteolitik tertinggi merupakan isolat bakteri terpilih, kemudian
dilanjutkan dengan uji aktivitas enzim protease. Zona bening yang terbentuk diukur
menggunakan jangka sorong. Data yang didapat dimasukkan ke dalam rumus, seperti
dibawah ini:

4.

indeks hidrolisis proteolitik =

diameter zona bening (cm) diameter koloni (cm)


diameter koloni (cm)

Pembuatan media starter


Media starter menggunakan media nutrient broth(NB).Satu ose loopfull isolat
bakteri terpilih diinokulasikan ke dalam media NB dan diinkubasi pada suhu ruang
selama 24 jam diletakkan pada shaker incubator.
5.

Produksi enzim dari bakteri terpilih


Produksi enzim dari bakteri terpilih merupakan isolat bakteri yang memiliki
nilai indeks hidrolisis proteolitik tertinggi. Produksi enzim ini menggunakan media
starter. Setelah 24 jam starter tersebut diukur nilaiabsorbansinya sebesar 0,5. Sebanyak
0,2 mL starter diinokulasikan pada 19,8 mL media produksi (media susu skim dan
Busnell Hass). Kultur diinkubasi pada shaker incubator dengan kecepatan 130 rpm
pada suhu kamar selama 3 hari, dan dilakukan pengambilan sampel kultur setiap 4 jam
sekali. Pengambilan sampel kultur setiap 4 jam sekali selama 72 jam merupakan variasi
waktu inkubasi pertumbuhan bakteri yang digunakan untuk mengetahui aktivitas enzim
protease setiap 4 jam sekali. Pada setiap pengambilan kultur setelah 4 jam sekali, kultur
tersebut disentrifugasi pada kecepatan 9.000 rpm selama 15 menit yang digunakan
untuk memisahkan filtrat atau supernatan dari biomasa sel. Supernatan yang diperoleh
diukur aktivitas proteolitiknya.
6.

Pembuatan kurva pertumbuhan bakteri


Kurva pertumbuhan dibuat bersamaan dengan proses produksi. Sebanyak 4 mL
suspensi sel dari media starter diukur nilai optical density (OD) dengan alat
spektrofotometer pada = 660 nm, sampai didapatkan (OD) sebesar 0,5. 0,2 mL starter
diinokulasikan ke dalam 19,8 mL media produksi yaitu media susu skim yang

ditambahkan dengan media cair Busnell Hass. Kultur diinkubasi pada shaker incubator
dengan kecepatan 130 rpm pada suhu kamar selama 3 hari. Dilakukan pengambilan
sampel kultur setiap 4 jam sekali. Dari kultur diambil 1 mL dan dilakukan pengenceran.
Kemudian penghitungan jumlah selnya dilakukan dengan metode total plate count
(TPC). Data yang diperoleh digunakan untuk membuat kurva pertumbuhan mikroba
antara hasil penghitungan TPC dengan waktu inkubasi.
7.

Pengukuran aktivitas enzim protease


Pengukuran aktivitas enzim protease dilakukan menurut metode yang dilakukan
Enggel et al., (2004). Sebanyak 0,25 mL larutan enzim ditambahkan dengan 0,25 mL
larutan buffer fosfat pH 7 dan dipreinkubasi
pada suhu 37oC selama 5 menit. Setelah dipreinkubasi ditambahkan 0,25 mL
substrat (2% kasein dalam bufer fosfat pH 7), campuran diletakkan pada suhu 37oC
selama 10 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 0,5 mL 0,4 M asam
trikhloroasetat (TCA), yang selanjutnya disentrifugasi untuk diambil supernatannya.
Sebanyak 0,2 mL supernatan ditambah dengan 1 mL 0,5 M natrium karbonat,
dipreinkubasi selama 10 menit, kemudian ditambahkan dengan 0,2 mL reagen Folin
Ciocalteau dan diinkubasi kembali selama 30 menit. Dilakukan pembacaan optical
density (OD) pada = 660 nm. Nilai OD setiap sampel dikurangi dengan blanko. Nilai
yang didapat dimasukkan dalam rumus kurva baku standart tirosin (Putri, 2012) y =
0,005x + 0,003. Dengan nilai R2 = 0,998. Y = absorbansi, x = produk hidrolisis.
8. Pengaruh variasi pH terhadap aktivitas enzim protease
Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap aktivitas enzim protease digunakan
variasi pH dimulai dari buffer4, 5, 6, 7, 8, 9. Tahapan yang dilakukan pada uji ini sama
dengan pengukuran aktivitas enzim protease, namun larutan buffer yang digunakan
disesuaikan dengan variasi pH yang dilakukan. Perbedaan aktivitas enzim protease
terhadap variasi pH akan diuji berdasarkan waktu optimum aktivitas enzim protease dari
isolat bakteri terpilih.
Hasil Penelitian
A.Nilai indeks hidrolisis kelima isolat bakteri limbah domestik

Kelima isolat yang diujikan aktivitas proteolitiknya mampu menghidrolisis


protein dalam media tersebut. Isolat D memiliki nilai indeks hidrolisis tertinggi, karena
diduga isolat D mampu mengekskresi enzim lebih banyak ke luar lingkungannya,
sehingga lebih banyak menghidrolisis protein yang bermolekul besar menjadi molekulmolekul kecil, sehingga dapat digunakan bakteri sebagai sumber energi. Hal ini

menyebabkan zona bening yang terbentuk besar. Pada penelitian Baehaki, Rinto, dan
Budiman (2011), nilai indeks hidrolisis tertinggi isolat bakteri hasil isolasi dari Tanah
rawa daerah Indralaya Sumatra Selatan sebesar 2,0 cm dan nilai aktivitas enzim
protease sebesar 0,385 U/mL. Sedangkan pada penelitian ini, memiliki nilai indeks
hidrolisis lebih tinggi sebesar 5,58 cm dengan nilai aktivitas enzim protease sebesar
4,16 U/mL. Hal ini dapat dikarenakan bakteri diisolasi dari tempat yang banyak
mengandung sumber karbon protein, sehingga bakteri tersebut lebih berpotensi
menghasilkan protease.
B. Pengaruh variasi waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim protease dari isolat
bakteri yang memiliki nilai indeks hidrolisis tertinggi.

Dari data kurva pertumbuhan pada penelitian ini tidak ditemukan adanya fase lag,
karena pada penelitian Nurhariyati, dkk (2012) isolat bakteri ini diinokulasi pada media
Busnell Hass ditambah susu skim, sehingga isolat bakteri ini telah beradaptasi dengan
media tersebut. Hasil pengukuran aktivitas enzim protease dari isolat bakteri terpilih
memperlihatkan aktivitas protease tertinggi pada waktu inkubasi 12 jam dengan
aktivitas protease 4,16 U/mL. Jika dihubungkan dengan kurva pertumbuhan bakteri
pada waktu inkubasi 12 jam memasuki fase log (eksponensial), dimana pada fase ini
ketersediaan nutrisi bakteri yang cukup diperlukan sel bakteri untuk melakukan
metabolisme sel sehingga jumlah log sel bakteri juga mengalami peningkatan, yaitu
sebesar 7,15 Log CFU/mL. Menurut Durham et al., (1987); Tsuchiya et al., (1991);
Manachin et al., (1998) puncak produksi enzim protease umumnya terjadi pada fase log
sampai akhir fase statis . Menurut Vontruba et al., (1987) genus Bacillus, mensintesis
protease netral dan alkalin biasanya terjadi pada fase log dan fase statis.
Pada waktu inkubasi 16 jam sampai dengan 24 jam bakteri memasuki fase
stasioner dimana pada fase ini jumlah sel relatif tetap karena jumlah sel yang tumbuh
sama dengan jumlah sel yang mati. Pada fase ini sel kehabisan nutrien untuk tumbuh
dan membelah sehingga terjadi akumulasi produk toksik akibat metabolisme sehingga
mengganggu pembelahan serta aktivitas enzim protease mengalami penurunan. Hal ini
juga dapat dikarenakan adanya pengendalian aktivitas enzim yang diatur oleh ligan
(molekul yang dapat terikat oleh enzim) yang tidak turut berperan dalam proses katalitik

itu sendiri. Pada waktu inkubasi 28 jam sampai dengan 72 jam aktivitas enzim protease
semakin menurun. Penurunan aktivitas enzim protease dikarenakan berkurangnya
jumlah substrat yang akan menghambat pembentukan kompleks enzim substrat dan
perubahan struktur enzim yang akan menyebabkan penurunan laju katalitik. Akibat
perubahan struktur enzim, sisi aktif enzim mengalami perubahan bentuk sehingga tidak
dapat digunakan secara baik dalam mengikat substrat (Pakpahan, 2009).
Pertumbuhan suatu mikroorganisme terutama bakteri dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik faktor biotik maupun abiotik. Faktor biotik meliputi : bentuk organisme,
sifat organisme, serta kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi). Faktor abiotik meliputi
susunan dan jumlah senyawa yang dibutuhkan di dalam medium kultur, lingkungan
fisik (suhu, kelembaban, cahaya), nutrisi, kelembaban, pH serta keberadaan senyawasenyawa lain yang dapat bersifat toksik, penghambat, atau pemacu, baik yang berasal
dari lingkungan maupun yang dihasilkan sendiri (Poernomo, 2003).
C. Pengaruh variasi pH terhadap aktivitas enzim protease dari isolat bakteri yang
memiliki nilai indeks hidrolisis tertinggi pada waktu inkubasi optimum.

Perubahan pH berpengaruh terhadap efektivitas bagian aktif enzim dalam


membentuk kompleks enzim substrat. Tiap-tiap enzim memiliki suhu dan pH yang
berbeda-beda disebabkan karena strukturnya yang berbeda. Aktivitas enzim yang dapat
mencapai maksimum disebut pH optimum. pH optimum bergantung pada masingmasing enzim karena setiap enzim memiliki pH optimum yang spesifik yang juga
tergantung pada konsentrasi substrat yang digunakan (Pelczar dan Chan, 1986).
Pada pengujian aktivitas enzim protease pada berbagai variasi pH, digunakan
variasi buffer pH mulai dari 4 sampai dengan 9 dan dilakukan 4 kali pengulangan. Pada
pengujian ini menggunakan crude enzim yang memiliki aktivitas optimum yang telah
diujikan sebelumnya yaitu pada waktu inkubasi 12 jam. Aktivitas enzim tertinggi
ditunjukkan pada pH 9 sebesar 12,94 U/mL. Hal ini dapat diduga bahwa enzim yang
dihasilkan merupakan golongan dari protease serin yang umumnya aktif pada pH netral
dan alkalin, sehingga pada variasi pH 7 sampai dengan pH 9 masih terjadi aktivitas
protease yang tinggi. Menurut Rao et al (1998) protease serin umumnya aktif pada pH
netral dan alkali, dengan pH optimum 7 sampai 11. Protease serin yang aktif pada pH
tinggi disebut serin alkalin protease.

DAFTAR PUSTAKA
Akhdiya, A., 2003, Isolasi Bakteri Penghasil Enzim Protease Alkalin Termostabil, Buletin
Plasma Nutfah 9 (2).
Aunstrup, K.O., O. Andressen, E.A.
Falch, and T.K. Nielsen. 1979. Production of microbial enzymes. In. Pepples,
H.J and D. Perlman (Eds.). Microbial Technology. Vol. 1. Academic Press
Inc., New York.
Baehaki, A., Rinto dan A. Budiman. 2011. Isolasi dan karakterisasi protease dari bakteri
tanah rawa Indralaya, Sumatera Selatan. J. Teknol. dan Industri Pangan,
22(1): 37-42.
Basuki W, 1997. Enzim dalam Industri Deterjen. Proceedings of The 1st Conference on
Industrial Enzyme and Biotechnology, Jakarta, Hlm 206-213.
Bergman M, 1942. A classification of proteolytic enzymes. Adv. Enzymol
Durham, D.R., Stewart, and E.J. Stellwag., 1987. Novel alkaline and heat stable serine
proteases from alkalaphilic Bacillus sp. strain GX6638. J.Bacterial.
169(6):2762-2768
Enggel J, Meriandini A dan Natalia L, 2004. Karakterisasi Protease Ekstraselular
Clostridium bifermentans R14-1-b. Jurnal Mikrobiologi Indonesia 9(1):9-12
Falch, E.A. 1991. Industrial enzyrres developments in production and application.
Biotech. Adv. 9:643-658.
Fowler, M. W. 1988. Enzyme Technology in Biotechnology for engineers. Biological
System in Technological Processes. Edited : Scragg, A. H., John Wiley and
Sons. New York
Manachini, P.L., M.G. Fortina, and C. Parini. 1998. Thermostable alkaline protease
produced by Bacillus thermorubber as a new species of Bacillus. Appl. Microbiol.
Biotechnol. 28:409-413
Nagodawithana dan Reed. 1993. Enzymes in Food Processing (Food Science and
Technology). San Diego Manning, F.C and R.E Thompson 1995. Oilfield
Processing, Crude Oil. Tulsa, Penn Well Books. Vol. 2. pp. 5
Nurhariyati, T., Citrasari, N., dan Nimatuzahroh. 2012. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri
Amilolitik, Proteolitik, dan Lipolitik dari Limbah Domestik. Jurnal Penelitian
Hayati. Universitas Airlangga. Surabaya.
Pakpahan, 2009. Isolasi Bakteri dan Uji Aktivitas Protease Termofilik Dari Sumber Air
Panas Sipoholon Tapanuli Utara Sumatera Utara. Tesis. Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Universitas Indonesia
Press. Jakarta
Pelczar, Michael J. dan E.C.S. Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 2.
Jakarta:UI-Press.
Poernomo, A. T., dan Purwanto, D.A., 2003. Uji Aktivitas crude enzim proteolitik
Bacillus subtilis FNCC 0059 hasil fermentasi curah. Majalah Farmasi Airlangga.,
Vol.3, No.3.
Putri, S.Y., 2012. Uji Aktivitas Enzim Protease Bakteri Dari Limbah Rumah Pemotongan
Hewan. Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya

Rao MM, Tanksale AM, Gatge MS, and Desphande VV. 1998. Molecular and
biotechnological aspects of microbial proteases. Microbiol. And Mol. Biol.
Rev. 62(3):597-635
Suhartono MT, 2000. Eksplorasi protease bakteri asal Indonesia untuk aplikasi industri dan
riset bioteknologi. Prosiding Seminar Nasional Industri Enzim dan Bioteknologi
II. Hlm 125-133.
Taylor, A. J. and R. M. Leach. 1995. Enzymes in the Food Industry. Di dalam G. A
Tucker dan L. F. J. Woods (eds.). Enzymes in food Proscessing 2nd ed. Blackie
Academic and Professional, Glasgow.
Tsuchiya, K., H. Sakashita, Y. Nakamura, and T. Kimura. 1991. Production of thermostable
alkaline protease by alkalophilic Thermoactinomyces sp. HS682. Agric. Biol.
Chem. 55(12):3125-3127.
Volk, WA dan Wheeler, MF. 1993. Mikrobiologi Dasar, Jilid I, Ed ke-5. Erlangga,
Jakarta
Votruba, J., J. Pazlarova, M. Dvarakova, K. Vanatalu, L. Vachava, M. Starnadova, H.
Kucerova, and J. Chaloupka. 1987. External factors involved in regulation of
an extacellular proteinase synthesis in Bacillus megaterium: the effect of
glucose and amnio acids. Appl. Microbiol. Biotechnol. 26:373-377.

ESTIMASI STOK KARBON PADA TEGAKAN POHON Rhizophora stylosa Griff.


DI WILAYAH RESORT BALANAN SPTWN 1 BEKOL TAMAN NASIONAL
BALURAN SITUBONDO, JAWA TIMUR
Syaiful Yahya, Hery Purnobasuki, Noer Muhammadi
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga, Surabaya 60115
Email: syaif9@gmail.com

ABSTRACT
The objectives of this research were to know carbon stock stem, leave,
branch, prop root, soil root, wooden necromass, and non wooden necromass of
Rhizophora stylosa Griff., at zone bounded by the beach and zone bounded by the
mainland at Balanan Resort SPTNW 1 Bekol Baluran National Park Situbondo,
East Java. Research done by creating a plot 5 m x 40 m in each zone. Calculating
of carboun stock by using the allometry method of Kusmana (1997) by measuring
diameter at breast height on tree sample. Carbon stock estimation by multiplying
the total biomass of areas with constanta 0,46. Research results showed that
carbon stock on the zone bounded by the beach is 49.4463 ton/ha at steem, 8.3840
ton/ha at leave, 1.3012 ton/ha at branch, 0.9091 tons/ha at prop root, 4.2110
ton/ha at soil root, 0.0324 ton/ha at wooden necromass and 0.0058 ton/ha at non
wooden necromass. While carbon stock on the zone bounded by the mainland is
47.8934 ton/ha at steem, 7.9028 ton/ha at leave, 1.3223 tons/ha at branch, 0.9413
ton/ha at prop root, 4.1284 ton/ha at soil root, 0.02688 ton/ha at wooden
necromass and 0.0091 ton/ha at non wooden necromass.
Key word : Allometry, Biomass, Carbon stok, Mangrove, Rhizophora stylosa
Griff.,

PENDAHULUAN
Ekosistem hutan mangrove sebagaimana ekosistem hutan lainnya
memiliki peran ekologi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2) dari udara.
Karbon dioksida digunakan untuk metabolisme mangrove dalam fotosintesis.
Dalam fotosintesis, karbon dioksida akan diubah menjadi karbon organik berupa
karbohidrat yang selanjutnya disimpan dalam jaringan tumbuhan mangrove
(biomassa tubuh) dalam bentuk cadangan karbon (Hairiah dkk., 2011). Dalam
fotosintesis, CO2 dari atmosfer diikat oleh vegetasi dan disimpan dalam bentuk
biomassa. Stok karbon diestimasi dari biomassanya dengan mengikuti aturan 46%
biomassa adalah karbon (Hairiah dan Rahayu, 2007), Adapun metode estimasi
biomassa salah satunya adalah metode alometrik. Estimasi dilakukan dengan cara
mengukur diameter batang pohon setinggi dada (diameter at breast height/DBH),
yang terdapat pada plot penelitian. Kemudian DBH digunakan sebagai variabel
bebas dari persamaan alometrik yang menghubungkan biomassa sebagai variabel

terikat dan DBH sebagai variable bebas. Metode ini telah banyak diaplikasikan
untuk estimasi stok karbon pada berbagai tipe vegetasi di Indonesia (Kusmana,
1997; Hairiah dkk., 2011; Imiliyana dkk., 2012).
Taman Nasional Baluran (TNB) terletak pada ujung Timur Laut Pulau
Jawa (1140 2910-1140 3910 Bujur Timur dan 70 2910- 70 5555 Lintang
Selatan). TNB terletak di Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo, Jawa Timur.
Luas areal kawasan ini adalah 28.750 ha yang terbagi dalam 4 zonasi, yaitu;
mintakat inti dengan luas 17.063 ha, rimba dengan luas 5.200 ha, pemanfaatan
dengan luas 687 ha dan penyangga dengan luas 5.800 ha (Budiaman, 1991).
Menurut Aisah (2011), Taman Nasional Baluran merupakan salah satu bentuk
lingkungan konservasi yang mempunyai hutan mangrove cukup luas yaitu 272.5
ha yang tersebar dalam berbagai wilayah kerja Resort Pengelolaan Taman
Nasional (RPTN), yaitu RPTN Watu Numpuk, RPTN Labuhan Merak, RPTN
Balanan, RPTN Bama, RPTN Perengan. Menurut penelitian Imiliyana, dkk.
(2012), Potensi stok karbon padategakan Rhizophora stylosa Griff., cukup besar,
yaitu 196, 856 ton/ha. Oleh karena itu penelitian tentang estimasi stok karbon
pada tegakan Rhizophora stylosa Griff., pada wilayah Resort Balanan SPTNW 1
Bekol Taman Nasional Baluran dirasa penting, karena dengan mengetahui jumlah
stok karbon pada tegakan tersebut, dapat digunakan acuan untuk penilaian
manfaat ekonomis hutan mangrove dalam bentuk usaha konservasi dalam rangka
mengurangi pemanasan global serta usaha komoditi jasa lingkungan Csequestration.
METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bagian-bagian tegakan
tumbuhan mangrove, pohon mati, substrat mangrove sedalam 20 cm untuk
analisis tekstur substrat, air akuades untuk membersihkan hand
refractosalinometer, kantong plastik, kertas saring dan tabel data.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Global Position System
(GPS), pita plot atau tali, Hagameter, Calipers, pensil, kamera digital, sling, pH
meter, hand refractosalinometer, timbangan analitik, oven, dan saringan
bertingkat (mesh) dengan berbagai ukuran.
Cara kerja
Pengukuran biomassa pohon
Membagi area hutan mangrove menjadi dua zona; zona mangrove berbatas
dengan pantai dan zona yang mangrove berbatas dengan daratan. Membuat plot
dengan ukuran 5m x 40m = 200m2. Plot dipasang pada masing-masing zona yang

telah ditentukan pada 10 transek penelitian dengan jarak 5m antar plot penelitian
dalam satu transek. Membagi plot menjadi 2 bagian, dengan memasang tali di
bagian tengah sehingga terdapat sub plot, masing-masing berukuran 2.5 m x 40 m.
Pada setiap subplot dibagi lagi menjadi 3, sehingga dalam 1 plot berukuran 5 m x
40 m terdapat 6 buah sub plot. Mengukur diameter batang setinggi dada (DBH=
diameter at breast height =1.3m dari permukaan tanah) pohon yang masuk dalam
sub plot. Pengukuran DBH dilakukan hanya pada pohon berdiameter >5cm
(Solichin, 2009). Dengan hasil diameter yang didapat, dicari nilai biomassa organ
batang, daun, cabang, akar tunjang dan akar dalam tanah tegakan pohon
Rhizophora stylosa Griff., dengan menggunakan rumus alometrik Kusmana
(1997).
Pengukuran biomassa nekromassa berkayu
Nekromassa berkayu adalah pohon mati yang masih berdiri maupun yang
roboh, cabang dan ranting yang masih utuh yang berdiameter >5cm dan panjang
0.5m. langkah kerja mengukur nekromassa berkayu menurut Hairiah dkk. (2011),
yaitu dengan Mengukur diameter (lingkar batang) dan panjang (tinggi) semua
pohon mati yang masih berdiri maupun yang roboh, tunggul tanaman mati,
cabang dan ranting. Apabila dalam plot terdapat batang roboh melintang, maka
diukurlah diameter batang pada dua posisi (pangkal dan ujung) dan panjang
batang Menghitung berat jenis dari nekromassa berkayu dengan cara; Ambil
sedikit contoh kayu ukuran 10 cm, ukur panjang, diameter dan timbang berat
basahnya. Kemudian dimasukkan dalam oven pada suhu 1000 C selama 48 jam
dan timbang berat keringnya, kemudian untuk mencari berat jenis kayu
menggunakan rumus sebagai berikut ;

Dimana
Keterangan :
R = Jari-jari potong kayu (cm)
T = Panjang kayu (cm)
= 3.14 (cm)

Bj = Berat jenis kayu (

Pengukuran biomassa tak berkayu


Nekromassa tidak berkayu adalah seresah daun yang masih utuh (seresah
kasar), dan bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian dan
berukuran > 2mm (seresah halus) langkah kerja mengukur nekromassa tidak
berkayu adalah menempatkan kuadran bamboo, kayu atau alumunium berukuran
0,5m x 0,5m ke dalam sub plot ganjil, mengambil semua sisa bagian tanaman
mati, daun-daun dan ranting-ranting gugur. Mengambil sub contoh nekromassa

tak berkayu sebanyak lebih kurang 100g untuk diperoleh berat kering sub contoh,
kemudian melakukan estimasi nekromassa tak berkayu menggunakan rumus
berikut;

Keterangan : BK= Berat kering, BB = Berat basah


Pengukuran faktor fisik dan kimia lingkungan
Pada estimasi stok karbon tegakan pohon terdapat beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi nilai stok karbon, diantaranya merupakan faktor fisik dan
kimia lingkungan berupa keragaman dan kerapatan tumbuhan, jenis tanah serta
pengelolaanya (Imiliyana dkk., 2012). Sehingga pada penelitian ini dilakukanlah
beberapa pengukuran terhaadap faktor fisik dan kimia lingkungan, pengukuran
faktor fisik dan kimia lingkungan yang dilakukan meliputi : temperatur udara,
kelembapan udara, salinitas, pH air tanah, dan intensitas cahaya. Metode
pengukuran ini dilakukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Susanto (2011).
Analisis data
Pengolahan data meliputi perhitungan biomassa dan stok karbon pada
seluruh komponen yang ada di atas permukaan tanah. Biomassa dan stok karbon
pada masing-masing komponen dihitung dengan cara berbeda, yaitu ;
Untuk menentukan biomassa organ batang, daun, cabang, akar dalam
tanah dan akar tunjang tegakan pohon Rhizophora stylosa Griff., menggunakan
persamaan alometrik yang telah dikembangkan oleh peneliti sebelumnya yaitu
menurut Kusmana,(1997). Nekromassa berkayu dihitung dengan persamaan yang
dikembangkan oleh Hairiah dan Rahayu (2007), yaitu : menggunakan rumus
allometrik seperti pohon hidup. Yaitu dengan rumus biomassa :

Dimana :
H = Panjang/tinggi nekromassa (cm)
D = Diameter nekromassa (cm)

= Berat jenis kayu (g/cm3)

Konsentrasi karbon dalam bahan organik biasanya sekitar 46% dari biomassa
(Hairiah dan Rahayu, 2007), oleh karena itu estimasi jumlah karbon tersimpan per
komponen dapat dihitung dengan mengalikan total berat biomassanya dengan
konsentrasi karbon, yaitu :

Hasil stok karbon yang sudah didapat dalam satuan kg/luas area pengamatan atau
plot yaitu kg/200m 2 untuk tegakan pohon dan kg/0,25m 2 selanjutnya dikonversi

dalam satuan ton/ha. Kandungan karbon dikonversi untuk mendapatkan tingakat


penyerapan tegakan pohon terhadap CO 2 (Wibowo, 2005).

Dimana ;
Mr = Berat Molekul senyawa

Ar = Berat molekul relatif atom

Semua data kuantitatif berupa stok karbon yang diperoleh dalam penelitian ini
dianalisa dengan uji perbandingan nilai rata-rata kelompok menggunakan uji
statistic t dengan taraf kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil dari penelitian ini didapatkan total nilai biomassa, stok karbon dan
serapan CO2 pada daun, batang, cabang, akar tunjang, akar dalam tanah,
nekromassa berkayu dan nekromassa tak berkayu tegakan pohon Rhizophora
stylosa Griff., pada masing-masing zona di wilayah Resort Balanan SPTNW 1
Bekol Taman Nasional Baluran, Situbondo-Jawa Timur ditunjukkan dalam tabel
1.
Tabel 1. Perbandingan total nilai biomassa (ton/ha), pada zona berbatas langsung
dengan bibir pantai dan zona berbatasan langsung dengan daratan.stok karbon
(ton/ha) dan serapan CO2 (ton/ha)

Keterangan: Zona A: zona penelitian yang berbatas langsung dengan pantai, Zona
B: zona penelitian yang berbatang langsung dengan daratan, Angka yang diikuti
huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa stok karbon
berbeda secara nyata pada uji t dengan taraf signifikansi =5%.
Tabel 1. Menunjukkan total nilai biomassa, stok karbon, serapan CO2 dan
perbandingan niali uji statistik masing-masing organ pada tegakan pohon
Rhizophora stylosa Griff. pada zona berbatas langsung dengan pantai dan zona

berbatas langsung dengan daratan, dimana nilai biomassa, stok karbon dan
serapan CO2 terbesar berturut-turut terdapat pada batang, daun, akar dalam tanah,
cabang, akar tunjang, nekromassa berkayu dan nekromassa tak berkayu.
Pada lokasi penelitian juga dilakukan pengukuran parameter fisik dan
kimia lingkungan meliputi suhu, salinitas, pH tanah, kelembaban tanah,
kelembaban udara, penetrasi cahaya, serta jenis substrat seperti yang ditunjukkan
pada tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan parameter lingkungan pada zona berbatas langsung dengan
pantai dan zona berbatas langsung dengan daratan di blok Kakapa Resort Balanan
SPTNW 1 Bekol Taman Nassional Baluran.

Keterangan : Zona A : Zona berbatas langsung dengan pantai, Zona B : Zona


berbatas langsung dengan daratan
Berdasarkan tabel 2. terdapat perbedaan kondisi substart pada zona
berbatas langsung dengan pantai dan zona berbatas langsung dengan daratan di
blok Kakapa wilayah Resort Balanan SPTW 1 Bekol Taman Nasional Baluran.
Pada zona berbatas langsung dengan pantai kondisi substrat berupa koral, pasir
koral dan pasir halus, sedangkan kondisi substrat pada zona berbatas langsung
dengan daratan berupa pasir kasar, pasir halus dan tanah gambut.
Pembahasan
Biomassa tegakan Rhizophora stylosa Griff.
Biomassa pohon merupakan penjumlahan dari kandungan biomassa tiap
organ pohon yang merupakan gambaran total material organik hasil dari
fotosintesis. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman
dengan bantuan sinar matahari kemudian diubah menjadi karbohidrat, selanjutnya
didistribusikan ke seluruh tubuh tanaman dan ditimbun dalam bentuk daun,
batang, cabang, akar, buah dan bunga (Hairiyah dan Rahayu, 2007).
Pada tabel 1. terlihat bahwa nilai biomassa dari yang paling tinggi ke
rendah berturut-turut adalah, biomassa organ batang, daun, akar dalam tanah,
cabang, akar tunjang, nekromassa berkayu dan nekromassa tak berkayu. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Imiliyana dkk.,
(2012), pada kawasan hutan mangrove pantai Canplong, Sampang-Madura, dan

penelitian oleh Lis, dkk. (2012), pada kawasan pantai Talang, Madura, dimana
batang merupakan organ pohon yang memiliki nilai biomssa paling tinggi
dibandingkan dengan organ pohon yang lain. Batang memiliki komposisi yang
komplek dan tersusun dari selusosa dan zat kimia penyusun kayu lainnya. Zat
penyusun kayu tersebut menyebabkan bagian rongga sel pada batang banyak
tersusun oleh komponen penyusun kayu dibanding air, sehingga ukuran diameter
pohon semakin besar (Lis, dkk. 2012). Ukuran diameter akan berpengaruh pada
nilai biomassa organ tersebut, batang tegakan Rhizophora stylosa Griff., adalah
organ yang memiliki diameter paling besar dibandingkan dengan organ lain pada
tegak pohon Rhizophora stylosa Griff., seperti cabang dan akar, sehingga
biomassa organ batang juga lebih besar dibandingkan dengan organ lain pada
tegakan pohon Rhizophora stylosa Griff. Hal ini sesuai dengan pendapat Walpone
(1993), bahwa terdapat hubungan erat antara dimensi pohon (diameter dan tinggi)
dengan biomassanya. Potensi biomassa suatu pohon akan semakin besar seiring
makin tua umur tegakan pohon tersebut, hal ini disebabkan karena diameter pohon
mengalami pertumbuhan melalui pembelahan sel yang berlangsung secara terus
menerus baik pada meristem primer maupun meristem sekunder atau kambium
(Sjostrom, 1998).
Nilai biomassa terendah terdapat pada nekromassa tak berkayu baik pada
zona berbatas langsung dengan pantai maupun zona berbatas langsung dengan
daratan, hal ini dikarenakan sebagian besar penyusun nekromassa tak berkayu
adalah guguran daun tegakan mangrove. Daun merupakan organ tumbuhan yang
memiliki banyak rongga, rongga ini banyak terisi oleh air, udara maupun mineral
tumbuhan, sehingga dalam proses pengeringan angin maupun oven kandungan air
dan udara akan menguap dan hanya tersisa kandungan bahan organik dalam
bentuk biomassa.
Stok karbon tegakan pohon Rhizophora stylosa Griff.
Menurut Imiliyana, dkk. (2012), prosentase stok karbon meningkat sejalan
dengan peningkatan biomassa pohon tersebut. Stok karbon berbanding lurus
dengan kandungan biomassanya. Semakin besar kandungan biomassa suatu
pohon, maka stok karbon pohon tersebut juga semakin besar. Menurut Hairiyah
dan Rahayu (2007) konsentrasi karbon dalam bahan organik adalah 46% oleh
karena itu potensi stok karbon yang dimiliki tegakan Rhizophora stylosa Griff.,
pada masing-masing organ pohon adalah 46% dari potensi biomassanya. Dari
tabel 4.1.3. terlihat bahwa nilai stok karbon pada batang dan daun di zona berbatas
langsung dengan pantai berturut turut sebesar 49,4463 ton/ha, dan 8,3840 ton/ha,
sedangkan stok karbonorgan batang dan daun pada zona berbatas langsung
dengan daratan berturut-turut sebesar 47,8943 ton/ha dan 7,9028 ton/ha. Dari nilai
ini dapat diketahui bahwa nilai stok karbon batang dan daun pada zona berbatas
langsung dengan pantai lebih tinggi dibandingkan dengan nilai stok karbon organ
batang dan daun pada zona berbatas langsung dengan pantai. Hal ini disebabkan
karena kandungan biomassa organ batang dan daun pada zona berbatas langsung
dengan pantai lebih besar dibandingkan dengan biomassa organ batang dan daun
pada zona berbatas langsung dengan daratan. Hasil penelitian ini sesuai dengan
dengan pendapat Hairiyah dan Rahayu (2007); Imliyana, dkk. (2012) yang

menyatakan bahwa potensi stok karbon dapat dilihat dari biomassa tegakan
pohon. Nilai potensi stok karbon pada tiap organ bagian pohon juga dipengaruhi
oleh nilai biomassa masing-masing organ tersebut. Oleh karena itu setiap
peningkatan nilai biomassa akan diikuti oleh peningkatan stok karbon.
Stok karbon organ akar dalam tanah dan akar tunjang pada zona berbatas
langsung dengan pantai berturut turut sebesar 4,2110 ton/ha dan 0,9091 ton/ha.
sedangkan stok karbon organ akar dalam tanah dan akar tunjang pada zona
berbatas langsung dengan daratan berturut turut sebesar 4,1284 ton/ha dan 0,9413
ton/ha. Dari nilai ini dapat diketahui bahwa nilai stok karbon akar dalam tanah
dan akar tunjang pada zona berbatas langsung dengan daratan lebih tinggi namun
tidak signifikan bila dibandingkan dengan nilai stok karbon organ akar dalam
tanah dan akar tunjang pada zona berbatas langsung dengan pantai. Hal ini
dikarenakan usia tegakan Rhizophora stylosa Griff., pada zona berbatas langsung
daratan lebih tua dibandingkan dengan zona berbatas langsung dengan pantai.
Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Dahlan, dkk. (2009) tentang pola
pertumbuhan akar tunjang Rhizophora apiculata menyatakan bahwa semakin
bertambah usia tegakan pohon maka ukuran diameter akar dalam tanah akan
membesar dan akar tunjang akan membentuk pola percabangan. Selain faktor usia
diduga faktor subtrat juga berpengaruh, dimana komposisi substrat lumpur
mampu mempengaruhi pertumbuhan akar tunjang. Hal ini sejalan dengan
penelitian Halidah (2009) tentang pertumbuhan Rhizophora mucronata pada
berbagai kondisi substrat di kawasan rehabilitasi mangrove Sinjai Timur Sulawesi
Selatan, menyatakan bahwa semakin tebal kandungan lumpur, jumlah dan tinggi
akar tunjang semakin besar.
Stok karbon nekromassa berkayu pada zona berbatas langsung dengan
pantai sebesar 0,0324 ton/ha, sedangkan stok karbon nekromassa berkayu pada
zona berbatas langsung dengan daratan sebesar 0,02688 ton/ha. Dari nilai ini
dapatdiketahui bahwa nilai stok karbon nekromassa berkayu zona berbatas
langsung dengan pantai lebih tinggi namun tidak signifikan bila dibandingkan
dengan nilai stok karbon nekromassa berkayu pada zona berbatas langsung
dengan daratan, perbedaan nilai tersebut karena perbedaan jumlah pohon mati
yang ditemukan pada masingmasing zona. Perbedaan jumlah pohon mati yang
ditemukan pada masing-masing zona diduga karena dipengaruhi oleh faktor
lingkungan berupa gelombang air pantai dimana menurut Dahlan, dkk. (2009),
gelombang air laut mampu merusak sistem perakaran mangrove sehingga
mangrove dapat mengalami kematian.
Perbandingan stok karbon tegakan Rhizophora stylosa Grff.
Pada tabel 4.2. dapat diketahui bahwa setelah dilakukan analisis uji
statsitik menggunakan uji perbandingan nilai rata-rata dua kelompok dengan uji t
dengan taraf signifikansi 95% tidak terdapat perbedaan nilai stok karbon pada
tiap-tiap organ pohon baik pada organ batang, daun, cabang, akar, nekromassa
berkayu dannekromassa tak berkayu pada zona berbatas langsung dengan pantai
dan zona berbatas langsung dengan daratan. Hal ini dikarenakan nilai (P-value)
untuk perbandingan rata-rata dua kelompok pada masing-masing organ lebih

besar dibandingkan dengan P atau (P-value)>P (0.05). Hal ini menunjukkan


bahwa rata-rata pertumbuhan tegakan Rhizophora stylosa Griff. pada kedua zona
sama.
Total stok karbon Rhizophora stylosa Griff.
Secara keseluruhan total stok karbon pada zona berbatas langsung dengan
dengan pantai sebesar 64.2903 ton/ha dan total stok karbon pada zona berbatas
langsung dengan daratan sebesar 62.2250 ton/ha. Jika dirata-rata pada kedua zona
tersebut maka stok karbon Rhizophora stylosa Griff., blok Simacan dan Kakapa
wilayah Resort Balanan Taman Nasional Baluran Situbondo, Jawa Timur sebesar
63.25765 ton/ha. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian lain
yang dilakukan di lokasi yang berbeda. Salah satunya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Imiliyana, dkk. (2012) yang meneliti stok karbon Rhizophora
stylosa di pantai Camplong-Madura, dimana stok karbon yang didapatkan sebesar
196.5822 ton/ha. Penelitian lain oleh Lis, dkk. pada tahun 2012 pada tegakan
Rhizophora stylosa Griff. di pantai Talang Iring, Pamekasan-Madura memperoleh
hasil stok karbon sebesar 72.3445 ton/ha. Perbedaan ini disebabkan karena
perbedaan faktor ingkungan dan kerapatan tegakan Rhizophora stylosa Griff.,
pada lokasi penelitian, dimana pada wilayah Resort Balanan blok Kakapa dan
Simacan hanya dijumpai pada tiga transek pengamatan. Sebagaimana penelitian
Imiliyana, dkk., pada tahun 2012, nilai stok karbon dapat dipengaruhi oleh faktor
fisik kimia lingkungan, keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada.
KESIMPULAN
Stok karbon tegakan pohon Rhizophora stylosa Griff., pada zona berbatas
langsung dengan pantai berturut-turut adalah 49.4463 ton/ha pada batang, 8.3840
ton/ha pada daun, 1.3012 ton/ha pada cabang, 0.9091 ton/ha pada akar tunjang,
4.2110 ton/ha pada akar dalam tanah, 0.0324 pada nekromassa berkayu dan
0.0058 ton/ha pada nekromassa tak berkayu. Sedangkan stok karbon tegakan
pohon Rhizophora stylosa Griff., pada zona berbatas langsung dengan daratan
berturut-turut adalah 47.8934 ton/ha pada batang, 7.9028 ton/ha pada daun,
1.3223 ton/ha pada cabang, 0.9413 ton/ha pada akar tunjang, 4.1284 ton/ha pada
akar dalam tanah, 0.02688 pada nekromassa berkayu dan 0.0091 ton/ha pada
nekromassa tak berkayu.
Tidak terdapat perbedaan nyata stok karbon tegakan Rhizophora stylosa
Griff. pada organ batang, daun, cabang, akar dalam tanah, akar tunjang,
nekromassa berkayu dan nekromassa tak berkayu pada zona berbatas langsung
dengan pantai dan zona berbatas langsung daratan pada wilayah Resort Balanan
SPTNW 1 Bekol Taman Nasional Baluran, Situbondo-Jawa Timur.
DAFTAR PUSTAKA

Aisah, S. 2011. Keanekaan likhen di hutan pantai Bama Taman Nasional Baluran
Jawa Timur. Laporan Kuliah Kerja Lapangan. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjajaran.
Budiaman, A. 1991. Studi Diagnosa Permasalahan Interaksi Masyarakat dan
Hutan Di Taman Nasional Baluran. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Dahlan, Z., Sarno dan Barokah A. 2009. Model arsitektur akar lateral dan akar
tunjang bakau (Rhizophora apiculata Blume). Jurnal Penelitian Sains. 12
(2) : 12209. FMIPA Universitas Sriwijaya.
Hairiah, K. dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan Di Berbagai
Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre. Bogor
Hairiah, K., Ekadinata, A., Ratna, R. S., dan Rahayu, S. 2011. Pengukuran
Cadangan Karbon Dari Tingkat Lahan Ke Bentang Lahan. Edisi Ke-2.
World Agroforestry Centre. Bogor
Halidah. 2010. Pertumbuhan Rhizophora Mucronata lamk pada berbagai kondisi
substrat di kawasan rehabilitasi mangrove Sinjai Timur Sulawesi Selatan.
Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Imiliyana, A., Muryono, M. dan Purnobasuki, H. 2012. Estimasi Stok Karbon
Pada Tegakan Pohon Rhizopora stylosa Di Pantai Camplong, SampangMadura. Skripsi. Jurusan Bilogi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Kusmana, C. 1997. An Estimation of above-and below-ground tree biomass of a
mangrove forest In East Kalimantan, Indonesia. Biological Resources
Management. 2 (1) : 20-27
Sjostrom E. 1998. Kimia Kayu: Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi 2
Terjemahan Wood Chemistry. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Solichin. 2009. Panduan Inventarisasi Karbon Di Ekosistem Hutan Rawa Gambut.
Merang REDD Pilot Project South Sumatera. Palembang.
Susanto, A. H. 2011. Struktur Komunitas Mangrove Di Sekitar Jembatan
Suramadu Sisi Surabaya. Skripsi. Program Studi S-1 Biologi Fakultas Sains
dan teknologi Universitas Airlangga.
Walpone, Ronald E. 1993. Pengantar statistika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Wibowo, H. M. T. 2005. Konsep Dasar Kimia. Modul kimia otomotif 203-01.
Jurusan Pendidikan Teknik Otomotif, Fakultas Teknik Universitas Negeri
Yogyakarta.

ANALISIS BAKTERI PATOGEN ENTERIK PADA PRODUK ES BATU


YANG DIPASARKAN DI KOTA SURABAYA
Nur Apriana, Agus Supriyanto, Tri Nurhariyati
Prodi S1-Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRACT
Ice cubes is a food product highly recognized and generally considered
safe for consumption. However, in several cases, ice cubes known to be a source
of disease-carrier, especially enteric disease. This study aims to detect and
identify the presence of pathogenic enteric bacteria in ice cubes marketed in
Surabaya. This study is an observational study conducted through descriptive
approach. Ice cubes sample collected in a plastic or sterile bottles and then
thawed. The total sample is 7, consisted of 3 types of ice blocks (A, B and C) and
4 types of ice packs (D, E, F, and G). Each sample obtained from different
production sites. Macroscopic and microscopic characteristics of the sample
analyzed descriptively by comparingit to the bacteria characteristics recorded in
the "Bergey's Manual of Determinative Bacteriology Ninth Edition" in order to
determine the genus. The results of this study indicate that there is one of the
seven sample obtained contained Esherichia coli. Judging from the presence of
pathogenic bacteria should not be present in drinking water quality standards
appropriate to Health Ministerial Decree No. 907 / Menkes / SK / VII / 2002 of
microbiological parameters of Escherichia coli, maximum colony numbers
allowed is 0. So it can be concluded that the ice cubes can be classified as
products not safe to consume, because of harm might caused to human health
Key Words : pathogenic enteric, ice cubes
PENDAHULUAN
Es batu merupakan salah satu jenis produk yang berbahan baku dasar air
yang secara umum dianggap aman untuk dikonsumsi. Pada umumya, es batu
memiliki berbagai macam kegunaan dan manfaat. Salah satunya yaitu sebagai
bahan tambahan minuman. Tujuan dari penambahan es batu tersebut adalah
mendapatkan sensasi yang lebih segar dan dingin pada minuman. Minuman yang
segar dan dingin sangat digemari oleh banyak orang dan sangat cocok untuk
dikonsumsi pada kondisi udara yang panas seperti di Indonesia, terutama di kota
Surabaya. Hal ini menjadi salah satu faktor meningkatnya konsumsi minuman
dingin oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Umumnya, Restoran dan warungwarung besar hingga pedagang kaki lima yang ada di Kota Surabaya,
menggunakan bahan tambahan es batu pada minuman dingin.
Es batu yang di produksi dan dipasarkan secara bebas tidak memiliki
adanya pengawasan yang ketat. Masyarakat tidak pernah menyadari dan

menghiraukan akan bahaya mengkonsumsi es batu yang terkadang tidak jelas


dalam proses penanganan maupun pembuatannya (Anonim, 2011). Keamanan es
yang dijual dipasaran perlu dipertanyakan karena dari beberapa hasil penelitian
diketahui bahwa es merupakan produk pangan yang sering menyebabkan
penyakit, baik didalam maupun di luar negeri.
Es memiliki suhu yang rendah dimana pada suhu tersebut aktivitas
mikroba, termasuk mikroba patogen dapat menurun atau berhenti. Hal ini
disebabkan semua reaksi metabolisme pada mikroorganisme dikatalisis oleh
enzim dimana kecepatan reaksi katalisis enzim sangat dipengaruhi oleh suhu (Jay,
1978).Hal ini menimbulkan anggapan bahwa es batu relatif aman dikonsumsi.
Tetapi anggapan ini bertolak belakang dengan beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, konsumsi es batu dapat menjadi
sumber pembawa penyakit, terutama penyakit enterik (Volland et al,2004; Gasem
et al, 2001).
Kehadiran bakteri patogen menjadi suatu hal yang sangat penting dalam
penentuan kualitas air bersih. Karena apabila air yang sudah tercemar oleh bakteri
patogen dan air tersebut digunakan oleh manusia maka dapat mengakibatkan
gangguan pada kesehatan.
METODE PENELITIAN
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : kantong plastik ukuran 5
kg, Timbangan analitik, karet gelang, tabung reaksi, cawan petri, pipet volume,
jarum ose, bunsen, gelas ukur, tabung erlenmeyer, kapas, spatula, vortex, tabung
Durham, kertas label, alumunium foil, mikroskop cahaya, kertas tissu, ice box,
kompor elektrik, autoklaf
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel es batu yang
beredar dan dipasarkan di Kota Surabaya. Adapun bahan bahan yang digunakan
adalah akuades, media SSA (Shigella Salmonella Agar), media EMB (Eosin
Metilen Blue), media NA (Nutrient Agar), media BGLB (Briliant green lactose
bile broth), media LB (lactose broth), Buffered Pepton Water, Selenit cystein
broth (SCB), larutan Kristal violet, alkohol kovacs, pereaksi methyl red, alfa
naftol 5%, KOH 40%, media Urea Broth, media semi solid agar, safranin,
pereaksi.
Teknik pengambilan Sampel Es
Sampel es yang diambil ada 7 sampel yang terdiri dari 4 macam produk
yaitu es batu kemasan dan 3 es batu balok dari prosusen yang berbeda. Setiap
pengambilan produk sampel dilakukan sebanyak 3 kali.

Cara kerja
1.) Tahapan Pre-enrichment
Pada keadaan tertentu dimana bakteri sangat lemah perlu dilakukan
terlebih dahulu tahap pra-pengkayaan (pre-enrichment). Untuk bakteri Shigella
dan Salmonella sp menggunakan media Buffered Pepton Water dan untuk
Esherichia coli nenggunakan media lactose broth ( LB). Dengan perbandingan 1 :
9.
2.) Tahapan Enrichment
Tahapan enrichment media yang digunakan adalah media selektif untuk
pertumbuhan Esherichia coli, Salmonella sp dan shigella sp yaitu menggunakan
media Briliant green lactose bile broth (BGLB) dan Selenit cystein broth (SCB).
Setelah dilakukan tahapan pre-enrichment, diambil sebanyak 1 ml larutan pada
pra-pengayaan lalu dimasukkan ke dalam 10 ml media yang akan digunakan.
Selenit cystein broth (SCB) untuk Salmonella sp dan shigella sp. Dan untuk
Esherichia coli pada media Briliant green lactose bile broth (BGLB).
3.) Tahap Isolasi
Selanjutnya dilakukan tahap isolasi untuk mendapatkan isolat murni.
Untuk pendeteksian adanya bakteri Esherichia coli, ditanam pada media selektif
yaitu EMB (Eosin Metilen Blue). Bakteri yang diduga Escherichia coli memiliki
koloni berwarna hijau metalik. Untuk pendeteksian adanya bakteri Salmonella sp
dan Shigella sp ditanam pada media selektif SSA (Salmonella-Shigella agar).
Bakteri yang diduga memiliki ciri koloni tak berwarna dengan bagian tengah
berwarna hitam (Salmonella sp) dan koloni kecil dan halus, tidak berwarna
(Shigella sp).
4.) Tahap identifikasi
A. Uji morfologi
Pengecatan Gram
Pada uji morfologi, bakteri yang didapat pada tahap isolasi masing-masing di
tanam kembali pada media NA (Nutrient Agar) miring kemudian di inkubasikan
pada suhu 36-370 C selama 2 X 24 jam. Lalu diambil 1 ose lalu dilakukan
setelah itu gelas objek di fiksasi dengan cara melewatkan apusan di atas api
bunsen. Setelah apusan ditetesi beberapa larutan kristal violet dibiarkan selama 1
menit kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikering anginkan. Kemudian
apusan ditetesi beberapa tetes iodine lalu dibiarkan selama 1 menit setelah itu
dicuci kembali menggunakan air mengalir dan dikering anginkan. Setelah itu
apusan ditetesi alkohol biarkan 30 detik kemudian dicuci dengan air mengalir dan
dikering anginkan. Terakhir apusan diberi beberapa tetes safranin lalu biarkan
selama 30 detik kemudian dicuci menggunakan air mengalir setelah itu dikering
anginkan kemudian diamati dibawah mikroskop.

B.Uji Fisiologis
1. Uji pada Media TSIA (Triple Sugar Iron Agar)
Kultur murni Salmonella sp, Shigella sp dan Esherichia coli yang didapat
dari pengkulturan pada media miring NA (Nutrient Agar) di kultur kembali pada
media TSIA (Triple Sugar Iron Agar) untuk uji fisiologis, dengan cara
memindahkan 1 ose kutur pada media NA (Nutrient agar) ke dalam medis TSIA
(Triple Sugar Iron Agar) (Anonim, 1992).
2. Uji indol
Koloni Salmonella sp, Shigella sp, dan Esherichia coli dari media NA
(Nutrient Agar) miring diinokulasikan kedalam tryptone broth diinokulasikan
pada suhu 370 C selama 24 jam. Pada biakan yang diinkubasi 24 jam d
Tambahkan 0,2-0,3 ml pereaksi kovacs kedalam masing-masing tabung dan
didiamkan selama 10 menit. Reaksi indol positif ditandai dengan terbentuknya
lapisan merah pada permukaan biakan (Anonim, 1992).
3. Uji Methyl Red
Koloni Salmonella sp, Shigella sp, dan Esherichia coli dari media NA
(Nutrient Agar) miring diambil masing-masing 1 ose dan dimasukkan ke dalam
MR-VP media. Diinkubasi pada suhu 370C selama 48 jam, setelah itu ke dalam
masing-masing biakan yang telah diinkubasi selama 48 jam ditambahkan 3 tetes
pereaksi methyl red. Uji positif ditandai dengan terbentuknya warna merah
(Anonim, 1992).
4. Uji Voges Proskauer
Koloni Salmonella sp, Shigella sp, dan Esherichia coli dari media NA
(Nutrient Agar) diambil masing-masing 1 ose dan diinokulasikan ke dalam MRVP media. Diinkubasikan pada suhu 370 C selama 48 jam ditambahkan 0,6 ml
alfa naftol 5% dan 0,2 ml KOH 40% kemudian di vorteks dan didiamkan. Uji VP
positif ditandai dengan terbentuknya cincin warna merah muda (Anonim, 1992).
5. Uji Urease
Koloni Salmonella sp, Shigella sp, dan Esherichia coli dari media NA
(Nutrient Agar) diambil masing-masing 1 ose dan diinokulasikan ke dalam media
Urea broth. Diinkubasikan pada suhu 370 C selama 24 jam (Anonim, 1992).
6. Uji Simmon Sitrat
Kultur yang diduga Salmonella sp, Shigella sp dan Esherichia coli dari
tahap isolasi diambil 1 ose lalu dimasukkan kedalam media Simmon Citrate Agar
miring dengan cara menggores agar miring dan menusuk agar tegak. Inkubasikan
selama 96 jam 2 jam pada suhu 35C 1C (Anonim, 1992).
7. Uji Motilitas
Koloni Salmonella sp, Shigella sp, dan Esherichia coli dari media NA
(Nutrient Agar) diambil masing-masing 1 ose dengan cara tusukkan kedalam
media semi solid agar. Diinkubasi dalam suhu 370 C selama 24 jam. Uji dikatakan
positif jika ada pertumbuhan yang menyebar dari garis inokulasi sehingga berarti
ada motilitas (Anonim, 1992).

Analisis Data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan selanjutnya
dilakukan analisis secara deskriptif dan diidentifikasi mengacu pada buku
Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. Sehingga data yang dianalisis
dalam penelitian ini berupa jenis bakteri patogen enterik yang ditemukan setelah
isolasi dan identifikasi pada setiap sampel es batu.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
A. Karakter koloni Escherichia coli pada media Eosin Methylene Blue (EMB)
Tabel 4.1 Keberadaan bakteri Escherichia coli yang diisolasi dari 7 sampel es
batu pada media EMB.
Pengambilan Sampel
Jenis Sampel es batu
I
II
III
Es Batu A
Es Batu B
Es batu C
+
Es batu D
Es batu E
Es batu F
Es batu G
Ket : (+) Terdapat Esherichia coli, (-) Tidak terdapat Esherichia coli
Dari Tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa hasil positif yang terdapat
adanya bakteri Escherichia coli adalah pada es batu C dengan ciri-ciri adanya
koloni berwarna hijau metalik

Tabel 4.2 Hasil uji fisiologis Esherichia coli yang diisolasi dari sampel es batu C
(Es balok)
Jenis uji fisiologis
TSIA
Indol Sitrat
MR
VP
Urease Motilitas
(A)
(B)
(C)
(D)
(E)
(F)
- Slant : Acid
(kuning)
- Deep : Acid
+
+
+
(kuning)
- Gas : (+)
- H2S : (-)
Ket : (+) uji positif, (-) uji negatif

B. Karakter koloni Salmonella sp pada media Salmonella-Shigella Agar (SS


Agar)
Pada media SS Agar (Salmonella-Shigella Agar) menunjukkan karakter
pertumbuhan beragam koloni bakteri yang berbeda. Menurut Bergeys manual of
Determinative Bacteriology Ninth Edition bakteri yang tergolong dalam genus
Salmonella sp memiliki karakter bentuk koloni smooth atau halus dengan bentuk
circular dengan warna koloni bening atau keruh dengan titik hitam dibagian
tengahnya pada media SS Agar.
Berdasarkan hasil pengamatan bakteri yang dilakukan secara makroskopis,
mikroskopis, dan uji fisiologis pada pengambilan 7 sampel selama tiga kali
sampling. Tidak dijumpai adanya bakteri Salmonella sp.
Tabel 4.3 Keberadaan bakteri Salmonella sp yang diisolasi dari 7 sampel es batu
pada media SS Agar.
Pengambilan Sampel
Jenis Sampel es batu
I
II
III
Es Batu A
Es Batu B
-

Es batu C
Es batu D
Es batu E
Es batu F
Es batu G
Ket : (+) Terdapat Salmonella sp, (-) Tidak terdapat Salmonella sp

C. Karakter koloni Shigella sp pada media Salmonella-Shigella Agar (SS


Agar)
Pada media SS Agar (Salmonella-Shigella Agar) menunjukkan karakter
pertumbuhan beragam koloni bakteri yang berbeda. Namun, diantara beragam
karakter pertumbuhan koloni bakteri tersebut tidak dijumpai karakter koloni
bakteri Shigella sp yang memiliki koloni jernih, tidak bewarna, dan kecil.
Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan morfologi pada sampel es batu
tidak dijumpai adanya koloni Shigella sp. Oleh karena itu tidak dapat dilanjutkan
uji fisiologis selanjutnya.
Tabel 4.4 Keberadaan bakteri Shigella sp yang diisolasi dari 7 sampel es batu
pada media SS Agar.
Pengambilan Sampel
Jenis Sampel es batu
I
II
III
Es Batu A
Es Batu B
Es batu C
Es batu D
Es batu E
Es batu F
Es batu G
Ket : (+) Terdapat Shigella sp, (-) Tidak terdapat Shigella sp.
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan bakteri yang dilakukan secara makroskopis,
mikroskopis, dan uji fisiologis ditemukan bakteri Escherichia coli yang
berdasarkan pengamatan makroskopis berupa hijau metalik pada permukaan
media, dan pengamatan mikroskopis berupa Gram negatif dengan bentuk batang.
Pada isolat yang diisolasi dari 7 sampel yang terdiri dari 3 jenis es balok
(A, B dan C) dan 4 kemasan (D,E,F, dan G) yang dilakukan selama tiga kali
sampling teridentifikasi sebagai adanya bakteri Escherichia coli pada sampel es
batu C yang termasuk es batu balok. Hal ini berdasarkan pengamatan bakteri yang
dilakukan secara makroskopis yang berupa hijau metalik bentuk koloni smooth
atau halus dengan bentuk circular. pada permukaan media, pengamatan
mikroskopis berupa Gram negatif dengan bentuk batang.
Hasil uji fisiologis pada media TSIA (Triple Sugar Iron Agar) dinyatakan
(slant dan deep bewarna kuning, terdapat gas, dan tidak menghasilkan H2S) Hal

ini dapat diartikan bahwa isolat bakteri tersebut mampu memfermentasikan


laktosa sehingga menyebabkan perubahan warna media menjadi kuning akibat
terbentuknya senyawa asam hasil fermentasi laktosa, pada uji indol positif
disebabkan isolat mampu menghidrolisis triptofan menjadi indol karena tidak
semua bakteri dapat melakukan proses hidrolisis sehingga dapat dijadikan ciri
fisiologis. Uji motilitas menunjukkan hasil positif dengan ditandai adanya
pergerakan sel bakteri pada hasil tusukan atau inokulasi yang ada pada tabung
tusukan lebih keruh dan terdapat garis-garis seperti akar dapat diduga bahwa
mikroba tersebut motil / dapat bergerak. uji sitrat positif, sedangkan uji Methyl red
positif dan Voges Proskauer negatif. Dari hasil uji fisiologis yang mengacu pada
Bergeys Manual of Determinative Ninth edition bakteri tersebut termasuk dalam
genus Escherichia coli.
Berdasarkan pengamatan makroskopis, mikroskopis, dan uji fisiologis dari
7 sampel yang terdiri dari 3 balok dan 4 kemasan yang telah diidentifikasi tidak
ditemukan adanya bakteri Salmonella sp dan Shigella sp. Bakteri yang memiliki
karakter bentuk koloni smooth atau halus dengan bentuk circular dengan warna
koloni bening atau keruh dengan titik hitam dibagian tengahnya pada media SS
Agar yaitu Salmonella sp serta Shigella sp yang memiliki koloni jernih, tidak
bewarna, berukuran kecil, hal ini dikarenakan bakteri Shigella sp mempunyai
batas toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan untuk beradaptasi
dilingkungan.
Berdasarkan hasil yang telah disebutkan diatas kemunculan dari koloni
bakteri Escherichia coli ditemukan pada satu sampel yaitu sampel es batu C yang
termasuk es batu balok. Hal ini menunjukkan bahwa mutu es batu tersebut tidak
memenuhi SNI dan kemenkes. Mutu mikrobiologis yang relatif buruk tersebut
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya mutu air yang digunakan
sebagai bahan baku, jenis pembekuan, penerapan sanitasi dan higiene maupun
dalam penanganan selama proses pembuatan (firlieyanti, 2006). Air yang
digunakan untuk bahan baku es batu seharusnya adalah air dengan mutu yang
sama dengan air minum. Untuk es batu yang terdapat dipasaran kota Surabaya
tidak diperoleh data secara pasti mengenai kualitas air yang digunakan oleh pabrik
es dalam pembuatan es batu tersebut. Tetapi jika dilihat dari hasil yang diperoleh
dari salah satu sampel es batu terdapat indikasi bahwa air yang digunakan sebagai
bahan baku pembuatan es batu memiliki mutu mikrobiologis yang lebih rendah
dibandingkan dengan air minum.
Berdasarkan hasil penelitian dari parameter bakteriologis, hasil yang
diperoleh dari air pada produk es batu yang ada di Surabaya pada salah satu
sampel masih terdeteksi adanya bakteri Escherichia coli. Mengacu pada
parameter kualitas air menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
907/MENKES/SK/VII/2002 bahwa untuk parameter mikrobiologi bakteri
Escherichia coli jumlah maksimum adalah 0 koloni. Sehingga kualitas air tidak
memenuhi standar baku mutu air bersih untuk kesehatan menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Standar baku mutu air bersih sudah ditetapkan oleh keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang
syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum harus tidak mengandung

Escherichia coli atau tidak boleh terdapat bakteri Escherichia coli dengan jumlah
harus 0 koloni maka hal ini dapat diartikan air yang digunakan tidak boleh
tercemari oleh bakteri Escherichia coli. Dan juga persyaratan bakteriologis
lainnya yang harus dipenuhi oleh air yang digunakan untuk konsumsi adalah tidak
mengandung bakteri patogen seperti golongan coli, Salmonella thypii dan Shigella
dysenteriae (pitojo dan purwantoyo, 2003).
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian yang telah diperoleh bahwa dari beberapa sampel es
batu ada salah satu es batu ditemukan adanya bakteri Escherichia coli, ditinjau
dari keberadaan bakteri patogen yang tidak boleh ada dalam air minum sesuai
standar baku mutu air bersih yang mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan
RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002. Oleh karena itu Perlu adanya perbaikan
dalam hal mutu air yang digunakan sebagai bahan baku serta adanya
pengawasannya yang dilakukan secara berkala dan penyuluhan bagi produsen,
distributor maupun konsumen. disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut
dan lengkap dalam pengujian dari produk es batu tersebut.
Daftar Pustaka
Allafa, 2008. Air bersih (online). http://www.indoskripsi.com. diakses pada
tanggal 24 Oktober 2013.
Bell, C. dan A. Kyriakides, 2003. Salmonella. Di dalam: Blackburn, C. Dan
McClure P.J. (Eds), 2003. Foodborne Pathogens (Hazard, Risk, Analysis
and Control). Woodhead Publishing Limited. Cambridge, England.
Bergeys, Manual of Determinative Bacteriology, Night Edition. Di dalam:
Alcamo, I.E. 1983. Fundamental of Microbiology. Addison-Wesley
Publishing Company Inc., Massachussets.
Bragg, W.H., 1992. The Crystal Structure of Ice. Proc. Phys. Soc. London 34, 98103. Di dalam Matz, S.A., 1965. Water in Foods. The AVI Publishing
Limited. Cambridge, England.
Black J G. 1999. Microbiology : Principles and Explorations. New Jersey :
Prentince Hall.
DeMan, J. M., 1997. Kimia Makanan. Terjemahan oleh Padmawinata, Kosasih.
Penerbit ITB Bandung.
Dwidjoseputro.D, 1987. Dasar-Dasar Mkrobiologi. Djambatan. Malang
Dickenz, D.L., H.L. DuPont dan P.C. Johnson.1985. Survival of Bacterial
Enteropathogens in The Ice of Popular Drinks. The journal of the
American Medical Association. Vol. 253No.21.
Fardiaz, S. 1990. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Laboratorium Mikrobologi
Pangan. PAU, IPB.
Fardiaz, S. 1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Dep
P&K Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU, IPB.

Fardiaz, S. 1996. Strategi Riset Bidang Mikrobiologi untuk Meningkatkan


Keamanan Pangan Di Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Mikrobiologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Fennema, O.R., W.D. Powrie, and E.H. Marth. 1976. Low Temperature
Preservation of Food and Living Matters. Mercel Dekker, New York.
Firlieyanti, A. S. 2005. Evaluasi Bakteri Indikator Sanitasi di Sepanjang Rantai
Distribusi Es Batu di Bogor. IPB. Bogor.
Jay, James M. 1978. Modern Food Microbiology second Edition. An Aspen
Publication, Maryland.
Noviana, Anna. 2009. Identifikasi Escherichia coli dan bakteri coliform dalam es
batu pada beberapa kios minuman di sepanjang jalan dekat sebuah
perguruan tinggi swasta di Bandung Utara. Fakultas Kedokteran.
Universitas Kristen Manarantha. Bandung
Rosana, E.H. 2007. Deteksi Cemaran Coliform Dalam Minuman Es Teh yang
Dijual di Yogyarkarta.UAD.Yogyakarta.
Sutrisno, T. C., 2004. Teknologi Penyediaan Air Bersih, Rineka Cipta: Jakarta.
Supali, T. 2001. Studi Karier Salmonella thypi dan Salmonella parathypi pada
pedagang Es keliling dan Intervensi Penanggulangannya. Fakultas
Kesehatan. Universitas Indonesia.
Todar, K. 2008. Salmonella and Salmonellosis (online). http:// www. textbookofbacteriology. net/ salmonella. Html. diakses pada tanggal 30
November 2010
Yudhabuntara,
D.
2003.
Mikrobiologi
(online).
www.geocities.com/kesmavetugm/pengendalia.doc, diakses pada tanggal
13 Oktober 2013
Yuliatin,F. 2008. Kemampuan bertahan Salmonella selama selama proses
pembekuan es. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS


(Garcinia mangostana L.) TERHADAP KONSENTRASI, VIABILITAS DAN
INTEGRITAS MEMBRAN SPERMATOZOA MENCIT (Mus musculus)

JURNAL ILMIAH

SYAMSUL HUDA

PROGRAM STUDI S1 BIOLOGI


DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2014

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS


(Garcinia mangostana L.) TERHADAP KONSENTRASI, VIABILITAS DAN
INTEGRITAS MEMBRAN SPERMATOZOA MENCIT (Mus musculus)
Alfiah Hayati, Syamsul Huda, Rai Pidada
Prodi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains Dan Teknologi,
Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRACT
The Garcinia mangostana L., extract in high doses was known have toxicity effect on
cell development, it can increase reactive oxygen species on cell, and induced cell to
poptosis. The aim of this study was to investigate the effects of G. Mangostana extract on
sperm quality of male BALB/C mice (Mus musculus). Twenty-eight adult male BALB/C mice
were divided into seven groups (control; P1; P2; P3; P4; P5 and P6); each having four
mice. 0,05 ml of CMC 0,05% was given to control group; G. mangostana extract with
different dose (75; 100 and 150 mg/kgbw on CMC 0,05%; 0,05 ml ) was given daily for seven
days on P1, P2, P3; and thirty-five days on P4, P5 and P6 by sub cutan to mice. The sample
of sperm is taken from 0,75 cm of cauda epididymis. The data were compared by one way of
analysis of variance (One Way of ANOVA) and the degree of significance was set at P <
0.05. The result showed that P1 and P2 there was not siginificantly diference with control.
The P3 (except on count of sperm), P4, P5 and P6 group there was a significantly diference
with control group, it can decrease sperm quality. The conlusion of this study is G.
mangostana extract in low doses and short-time can increase sperm quality, but, in high
doses and long-time can decrease sperm quality.
Key Word: Garcinia mangostana L., concentration, viability, membrane integrity.

LATAR BELAKANG
Garcinia mangostana L., (Guttiferae) atau manggis merupakan pohon tropis yang
dibudidayakan selama berabad-abad di hutan hujan tropis Asia Tenggara (Ji et al., 2007).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kandungan senyawa kimia pada kulit buah manggis
memiliki potensi sebagai anti proliferasi (Ho et al., 2002; Matsumoto et al., 2003;
Moongkarndi et al., 2004). Dalam penelitian Moongkarndi et al., (2004) tersebut dilaporkan
bahwa ekstrak kulit buah manggis dengan konsentrasi tinggi mampu meningkatkan kadar
reactive oxygen species (ROS) yang mampu menyebabkan apoptosis sel, sedangkan pada
dosis rendah ekstrak kulit buah manggis bersifat anti oksidan.
ROS merupakan senyawa sampingan yang dihasilkan dari metabolisme sel. Senyawa
ROS dideskripsikan sebagai oksidan, yakni molekul yang bersifat labil dan reaktif akibat
terdapat elektron yang tidak berpasangan. Melalui proses oksidasi, elektron yang tidak
berpasangan tersebut akan menarik pasangan elektron dari sel-sel sehat lain di

lingkungannya. Penarikan atau pengurangan pasangan elektron oleh oksidan ini akan
mengganggu struktur dan metabolisme sel-sel yang sehat disekitarnya (Hayati A., 2011).
Spermatogenesis adalah proses pembelahan dan perkembangan spermatogonia (germ
cell) membentuk spermatozoa yang terjadi di dalam tubulus seminiferus testis. Jika
pembelahan sel spermatogonia tersebut terganggu oleh sifat oksik dari ekstrak kulit buah
manggis, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap konsentrasi sel spermatozoa yang
dihasilkan.
Sel spermatozoa sangat peka terhadap senyawa ROS, hal ini dikarenakan membran
sel spermatozoa secara kuantitatif tersusun atas lemak tidak jenuh. Sitoplasma sel
spermatozoa hanya mengandung sedikit enzim peredam, begitu juga antioksidan selulernya
belum cukup untuk melindungi membran sel sehingga dalam kelanjutannya senyawa ROS
akan mampu merusak sel spermatozoa. Sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Saleh dan
Agarwal (2002), serta Sanocka dan Kurpisz (2004) bahwa kadar ROS yang tinggi akan
mempengaruhi integritas DNA dalam inti sel spermatozoa, dan mempengaruhi integritas
membran sel spermatozoa sehingga akan menurunkan kemampuan fertilitas.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas perlu dilakukan penelitian untuk
membuktikan apakah pemberian ekstrak kulit buah manggis dengan berbagai dosis dan lama
waktu perlakuan mampu mempengaruhi kualitas spermatozoa mencit yang meliputi
konsentrasi, viabilitas dan integritas membran spermatozoa.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan (Mei-Juni). Hewan coba yang digunakan
adalah dua puluh delapan ekor mencit (Mus musculus) jantan strain BALB/C dengan berat
badan 20-25 g. Pemeliharaan hewan coba dilakukan di rumah hewan Departemen Biologi,
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya.
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi: ekstrak etanol kulit buah
manggis, pewarna eosin (1%) dan nigrosin (10%), sodium citrat dihydrate dan fruktosa,
akuades, kloroform, CMC 0,05%, serta larutan garam fisiologis (NaCl 0,9 %).
Alat yang digunakan meliputi: alat pemeliharaan, dispossable syring 1 ml, alat bedah,
bak bedah, botol untuk membius hewan coba, pipet tetes, mikropipet, object glass dan cover
glass, hand counter, cawan petri, mikroskop cahaya, serta mikrometer.
Hewan coba dibagi menjadi tujuh kelompok (kontrol, P1, P2, P3,P4, P5 dan P6),
masing-masing kelompok terdapat empat ekor mencit. Perlakuan dilakukan secara sub kutan
dengan menggunakan dispossable syring 1 ml. perlakuan dilakukan setiap hari pukul 07.0009.00 wib.
Kelompok kontrol diberi larutan CMC 0,05% sebanyak 0,05 ml. Kelompok P1, P2
dan P3 diberi ektrak kulit buah manggis dengan dosis berturut-turut 75, 100 dan 150 mg/kgbb
selama tujuh hari. Kelompok P4, P5 dan P6 diberi ekstrak dengan dosis 75, 100 dan 150
mg/kgbb yang dilarutkan 0,05 ml CMC 0,05% selama tiga puluh lima hari.
3

Sampel spermatozoa diambil dari epididimis bagian kauda sepanjang 0,75 cm.
Konsentrasi spermatozoa dihitung dengan menggunakan hemositometer. Epidimis dicacah di
dalam larutan garam fisiologis NaCl 0,9% 2 ml, kemudian diambil 10 l suspensi
spermatozoa dan diteteskan di bilik hitung hemositometer. Kemudian dihitung di bawah
mikroskop dengan perbesaran 400x. Spermatozoa yang dihitung adalah spermatozoa yang
berada di dalam bilik hitung, bagian tepi kiri dan atas, sedangkan yang berada di bagian tepi
kanan dan bawah tidak dihitung. Bilik hitung yang digunakan adalah bilik yang besar
(terdapat 4 bilik: atas kiri-kanan dan bawah kiri-kanan). Masing-masing dari bilik terdiri atas
16 kotak kecil (bujur sangkar). Konsentrasi spermatozoa adalah rata-rata jumlah spermatozoa
yang ada dibilik-bilik tersebut yang dilambangkan dengan huruf L. Sehingga penghitungan
konsentrasi spermatozoa per ml adalah sebagai berikut:
Volume tiap bujur sangkar
Volume tiap bilik
Untuk per ml harus dikalikan 104 :
Konsentrasi spematozoa (sel/ml)

=
=

x x 1/10 = 1/160 mm3


16 x 1/160 = 0,1 l = 10-4 ml

= L x 104 x faktor pengenceran (Bijanti et al., 2002).

Pengamatan viabilitas dilakukan dengan membuat smear spermatozoa terlebih dahulu


dengan menggunakan pewarna eosin (1%) dan nigrosin (10). Pengamatan dilakukan di bawah
mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x. Penghitungan viabilitas spermatozoa dilakukan
dengan menghitung sperma yang hidup dari 100 spermatozoa, yang dinyatakan dalam persen
(%). Spermatozoa yang hidup adalah spermatozoa yang berwarna cerah (tidak terwarnai)
sedangkan spermatozoa yang mati berwarna merah-ungu (terwarnai).
Pengamatan integritas membran spermatozoa dilakukan dengan cara mencampurkan
0,5 ml suspensi spermatozoa ke dalam 4,5 ml larutan pembengkak (0,735 gram sodium citrat
dihydrate dan 1,351 gram fruktosa dalam 100 ml air destilasi). Campuran tersebut kemudian
diinkubasi dalam inkubator CO2 pada suhu 370C selama 60 menit. Setelah selesai inkubasi,
diambil satu tetes campuran tersebut, kemudian diteteskan pada gelas objek dan ditambahkan
satu tetes larutan eosin 1 %, serta satu tetes larutan nigrosin 10%. Setelah itu, dibuat sediaan
apusan dan diamati dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 400x. Jumlah
spermatozoa yang dihitung adalah spermatozoa yang memiliki integritas membran baik dari
total 100 spermatozoa, yang kemudian dinyatakan dalam persen. Spermatozoa yang memiliki
integritas membran plasma utuh dan hidup, ditandai dengan adanya pembengkakan pada
kepala yang diikuti ekor berputar dengan pancaran warna terang. Spermatozoa yang memiliki
membran plasma rusak dan hidup ditandai dengan ekor yang lurus dan tidak ada
pembengkakan kepala dengan pancaran warna terang. Sedangkan spermatozoa yang memiliki
membran plasma rusak dan mati ditandai dengan ekor yang lurus dan tidak ada
pembengkakan kepala dengan pancaran warna merah. Masing-masing kelompok dilakukan
pengulangan 10x (Setiadiet al., 2006).
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA satu arah dan
dilanjutkan dengan uji Least Significance Different (LSD) untuk mengetahui beda nyata antar
kelompok perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Setelah dilakukan pengamatan, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Rerata konsentrasi, viabilitas dan integritas membran spermatozoa mencit kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan yang diberi ekstrak kulit buah manggis dengan
berbagai dosis dan hasil analisis statistik LSD
Rerata
integritas
membran
spermatozoa
(%)
a
a
0 (Kontrol)
4.490.6
60,254,0
66,23,3a
7 hari
75 mg
5.511.7a
63,76,0a
67,81,9a
a
a
100 mg
4.551.6
62,22,4
67,33,8a
150 mg
3.701.8ab
502,7b
60,81,9b
bc
c
75 mg
2.981.5
36,45,0
42,43,3c
35 hari
c
d
100 mg
2.440.5
27,94,9
30,70,5d
150 mg
2.202.1c
21,24,9e
19,92,6e
Keterangan : angka yang diikuti notasi huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan menurut uji LSD pada taraf signifikansi 0,05.
Lama waktu
perlakuan

Dosis ekstrak per-kilo


gram berat badan

Rerata
konsentrasi
spermatozoa
( juta sel/ml)

Rerata
viabilitas
spermatozoa
(%)

Konsentrasi spermatozoa mencit


Analisis statistik data konsentrasi spermatozoa dengan menggunakan ANOVA satu
arah menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kulit buah manggis berpengaruh terhadap
konsentrasi spermatozoa mencit (Mus musculus) P < 0,05. Hasil uji Least Significance
Different (LSD) menunjukkan adanya perbedaan pengaruh antara beberapa kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan dosis ekstrak kulit buah manggis terhadap konsentrasi spermatozoa
mencit.
Dari data yang diperoleh, menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, yakni 7 hari
perlakuan, tidak ada perbedaan signifikansi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Meski terjadi peningkatan konsentrasi spermatozoa, namun perbedaan yang dihasilkan tidak
signifikan. Hal tersebut terjadi karena di dalam tubuh organisme akan terjadi proses
homeostatis, yakni tubuh akan menjaga kondisi sebagaimana normal. Oleh karena itu, meski
terjadi peningkatan konsentrasi sperma tetapi tidak berbeda signifikan dengan keadaan
normal.
Dari data tersebut dapat diketahui pula bahwa seluruh dosis perlakuan yang diberikan
selama 35 hari memiliki rata-rata yang lebih rendah jika dibandingkan kelompok kontrol dan
memiliki perbedaan yang signifikan jika dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam jangka panjang (35 hari), pemberian ekstrak kulit buah manggis
memberi efek negatif terhadap konsentrasi spermatozoa. Pada dosis yang semakin tinggi,
nilai rata-rata dari konsentrasi spermatozoa semakin rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa
semakin tinggi dosis maka akan mengarah ke sifat toksik.
5

Menurut Moongkarndi et al., (2004) kulit buah manggis dengan konsentrasi tinggi
mampu menekan proliferasi sel kanker melalui mekanisme apoptosis, sedangkan pada dosis
rendah ekstrak kulit buah manggis bersifat anti oksidan. Anti-oksidan sendiri merupakan
suatu molekul yang mampu mencegah terjadinya reaksi oksidasi dengan cara
menyumbangkan elektron yang ia miliki kepada molekul yang kekurangan elektron (radikal
bebas), sehingga molekul-molekul radikal bebas tidak menyerang sel lainnya.
Ekstrak kulit buah manggis pada dosis tinggi mampu meningkatkan kadar reactive
oxygen species (ROS) dalam sel sehingga mampu menginduksi suatu sel untuk melakukan
kematian. Senyawa ROS akan mempengaruhi DNA mitokondria sel spermatogonia akibat
adanya stress oksidatif. Mitokondria memegang peranan penting dalam perkembangan sel
spermatogonia. Mitokondria merupakan organel sel yang berperan sebagai penghasil energi
untuk pergerakan sperma dewasa. Stress oksidatif yang dihasilkan oleh senyawa ROS dapat
menyebabkan DNA mitokondria mengalami mutasi sehingga akan menghasilkan
spermatozoa yang abnormal. Spermatozoa yang abnormal akan diserap kembali oleh sel-sel
sertoli, sehingga spermatozoa yang dihasilkan akan berkurang (Venkateshet al, 2009).
Apoptosis akan menghilangkan sel-sel germinal yang abnormal dan mencegah
kelebihan produksi mereka. Beberapa factor ekstrinsik dan intrinsic sel mengontrol proses
apoptosis. Proses apoptosis dapat dipercepat oleh kerusakan DNA yang diinduksi oleh ROS.
Di dalam testis terdapat sel germinal yang aktif membelah yaitu sel spermatogonia. Stress
oksidatif pada sel spermatogonia akan dapat menyebabkan penurunan jumlah sperma lewat
mekanisme apoptosis (Agarwal dan Allamaneni, 2004).
Viabilitas dan integritas membran spermatozoa mencit
Persentase rata-rata viabilitas spermatozoa mencit yang diberi ekstrak kulit buah
manggis dengan dosis 75 dan 100 mg/kgbb selama 7 hari memiliki rata-rata yang lebih tinggi
jika dibandingkan kelompok kontrol. Sementara itu kelompok perlakuan yang diberi ekstrak
kulit buah manggis dengan dosis 150 mg/kgbb selama 7 hari, dan seluruh kelompok
perlakuan yang diberi ekstrak kulit buah manggis selama 35 hari memiliki nilai rata-rata
berada di bawah kelompok kontrol. Seiring dengan peningkatan dosis ekstrak kulit buah
manggis yang diberikan, terjadi penurunan rata-rata persentase viabilitas spermatozoa mencit.
Pengamatan terhadap integritas membran spermatozoa diperoleh hasil yang serupa
dengan pengamatan terhadap viabilitas spermatozoa. Pemberian ekstrak dengan dosis 75 dan
dosis 100 mg/kgbb selama 7 hari memiliki nilai persentase yang lebih tinggi jika dibanding
kontrol. Sedangkan dosis 150 mg/kgbb selama 7 hari memiliki nilai persentase yang lebih
rendah jika dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini terjadi karena integritas membran
berbanding lurus terhadap viabilitas spermatozoa. Pemberian ekstrak kulit buah manggis
dalam jangka panjang akan bersifat toksik, sehingga memberi pengaruh yang negatif terhadap
integritas membran spermatozoa.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan integritas membran
spermatozoa adalah adanya akumulasi oksigen reaktif (ROS) yang dapat mengoksidasi lipid.
6

Akumulasi ini menimbulkan reaksi rantai peroksidasi lipid. Membran plasma spermatozoa
mamalia kaya akan asam lemak tidak jenuh yang sangat peka terhadap peroksidasi lipid. Pada
dosis tinggi ekstrak kulit buah manggis mampu meningkatkan kadar reactive oxygen species
(ROS). Senyawa ROS sangat berpengaruh terhadap membran sel spermatozoa. ROS mampu
melakukan reaksi oksidasi terhadap asam lemak tidak jenuh yang menyusun membran sel
spermatozoa. ROS sendiri didefinisikan sebagai molekul yang memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Senyawa ini juga dideskripsikan sebagai oksidan karena
kemampuannya melakukan oksidasi terhadap senyawa kimia lain. Karena memiliki elektron
yang tidak berpasangan, senyawa ini akan berusaha menarik elektron dari molekul lain, atau
elektron dari sel-sel di sekelilingnya. Sel yang kehilangan beberapa elektron akan berusaha
menjaga kestabilannya dengan cara mengambil elektron dari sel sehat yang berada di
sekitarnya, sehingga terjadilah reaksi radikal bebas yang berantai (Hayati A, 2011).
Peroksidasi lipid pada membran plasma akan menyebabkan kerusakan terhadap
struktur dan fungsi membran spermatozoa. Peroksidasi lipid yang tinggi pada sel mampu
mempengaruhi integritas membran suatu sel. Sehingga akan terjadi kebocoran membran sel.
Rusaknya membran sel, menyebabkan menurunnya fungsi membran. Kerusakan tersebut
menyebabkan membran sel tidak lagi mampu bekerja sebagaimana mestinya. Membran sel
bersifat semi-permeable artinya tidak semua bahan bisa melintasi membran. Oleh karena
membran sel mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh peroksidasi lipid, maka molekulmolekul yang seharusnya tidak dapat melintas membran mampu masuk maupun keluar sel.
Semua bahan dapat melintasi membran sel, termasuk bahan toksik. Masuk atau keluarnya
bahan yang tidak terkontrol tersebut akan merusak fungsi organel-organel sel, maupun fungsi
sel secara keseluruhan sehingga menyebabkan kematian sel (Dandekar et al., 2002).
Semakin tinggi dosis ekstrak kulit buah manggis yang diberikan, maka kadar ROS
akan semakin tinggi dan proses oksidasi membran spermatozoa juga meningkat. Sehingga
pada akhirnya akan menurunkan persentase viabilitas dan integritas membran spermatozoa.
Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah, pemberian ekstrak kulit buah
manggis dengan dosis 75 dan 100 mg/kgbb selama 7 hari dapat meningkatkan kualitas
spermatozoa. Tetapi pemberian ekstrak kulit buah manggis dengan dosis 150 mg/kgbb
selama 7 hari dan seluruh dosis yang diberikan selama 35 hari menrunkan kualitas
spermatozoa.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ini, diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai senyawa aktif dari ekstrak kulit buah manggis yang bersifat toksik (oksidan) dan
anti-oksidan dengan variasi dosis dan lama waktu perlakuan.
Daftar pustaka
7

Agarwal A., dan Allamaneni SSR., 2004. Oxidants and antioxidants in human fertility.Middle
East Fertility Society Journal (MEFSJ): 9 (3): 187-197
Bijanti R, Partosoewigjo S, Wahyuni RS, dan Utomo B.2002, Penuntun Praktika
Laboratorium Klinik Veteriner, cetakan ke-3, Laboratorium Patologi Klinik Veteriner
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya
Dandekar SP, Nadkarni GD, Kulkarni VS, dan Punekar S. 2002. Lipid peroxidation and
antioxidant enzymes in male infertility. Journal Postgrad. Med. 48(3):186-89.
Hayati, Alfiah. 2011. Spermatologi. Airlangga University Press, Surabaya.
Ho CK, Huang YL, dan Chen CC. 2002. Garcinone E a xanthone derivative has potent
cytotoxic effect against the hepatocellular carcinoma cell lines. Planta Med. 68, 975
979
Ji X, Avula B, dan Khan IA. 2007. Quantitative and qualitative determination of six
xanthones in Garcinia mangostana L. by LC-PDA and LC-ESI-MS. J. Pharm.
Biomed. Anal. 43(4):1270-1276.
Matsumoto K, Akao Y, Kobayashi E, Ohguchi K, Ito T, Tanaka T, Iinuma M, dan Nozawa
Y. 2003. Induction of apoptosis by xanthones from mangosteen in human leukemia
cell lines. J. Nat. Prod., 66, 11241127.
Moongkarndi P, Kosema N, Kaslungka S, Luanratana O, Pongpan N, dan Neungton N.
2004. Antiproliferation, antioxidation and induction of apoptosis by Garcinia
mangostana (mangosteen) on SKBR3 human breast cancer cell line. Journal of
Ethnopharmacology 90, 161166
Saleh RA., dan Agarwal A., 2002. Oxidative stress and male infertility: from research bench
to clinical practice. J Androl 23:737752.
Sanocka D., dan Kurpisz M., 2004.Reactive oxygen species and sperm cells.Reproductive
Biology and Endocrinology, 2(12):1-7
Setiadi MA, Suprayogi A, dan Yulnawati. 2006. Viabilitas dan integritas membran plasma
spermatozoa epididimis anjing selama penyimpanan pada pengencer yang berbeda.
Media Kedokteran Hewan 22(2): 118-123.
Venkatesh S., Deecaraman M., Kumar R., Shamsi M.B., dan Dad R.2009.Role of reactive
oxygen species in the pathogenesis of mitochondrial DNA (mtDNA) mutations in
male infertility.Indian J Med Res.,129:127-137

PENGARUH EKSTRAK KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.)


TERHADAP PROFIL PROTEIN SPERMATOGENIK MENCIT
(Mus musculus) SETELAH TERPAPAR 2-METOXYETHANOL
Alfiah Hayati, Ira Nailas Saadah, Sugiharto
Prodi S1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga, Surabaya
n3ng.naila@gmail.com
ABSTRACT
This experimental study aims to prove how the effects of extract of mangosteen
(Garcinia mangostana L.) pericarp against protein profile of mice that had
exposed 2-methoxyethanol. In this study, the mice were induced 2methoxyethanol for five days in all groups except the first control group and
continued with the extract of mangosteen pericarp with different variants of doses
up to 35 days. Then, it was analyzed by SDS-PAGE 12% electrophoresis method
to test the protein profiles and the results are read by TLC Scanner. The results of
this study indicate that mangosteen pericarp extract treatment was able to increase
the expression of a protein with a molecular weight of 25 kDa on spermatogenic
protein mice (Mus musculus) that have been exposed to 2-methoxyethanol, shown
by the size of the area of protein bands.
Keywords: antioxidants, extractt of mangosteen pericarp, protein profile,
spermatogenic

PENDAHULUAN
Infertilitas pria disebabkan oleh beberapa masalah, seperti masalah pada
proses produksi sperma, transport sperma, antibodi sperma, hormonal dan
ganguan seksual. Penyebab infertilitas pria terbesar adalah produksi sperma.
Untuk managgulangi hal itu, saat ini banyak produk natural yang ditawarkan
dalam bentuk antioksidan (McLachlan, 2011). Salah satunya ialah buah manggis
(Garcinia mangostana L.) (Pedraza-Chaverri et al., 2008).
Garcinia mangostana L. sering disebut sebagai the queen of fruits
(Pedraza-Chaverri et al., 2008). Tanaman yang berasal dari Asia Tenggara ini
memiliki banyak khasiat bukan hanya di daerah asalnya saja, namun mencapai
bagian lain dari benua Asia hingga ke benua Amerika dan Eropa (Nurchasanah,
2013).
Tanaman ini memiliki potensi dalam berbagai praktik terapi melalui
senyawa xanthones yang berfungsi sebagai antioksidan yang berada pada kulit
terluar buah manggis (pericarp) ( (Panda et al., 2013). Palakawong et al. (2010)
telah membuktikan efek antioksidan ekstrak kulit buah manggis dengan
menggunakan 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH). Antioksidan adalah

senyawa penangkap radikal bebas atau reactive oxygen species (ROS) (Prakash et
al., 2012).
Senyawa ROS memiliki satu elektron tak berpasangan di orbital terluar
(Hayati, 2011). Keadaan kimiawi ROS di dalam tubuh sangat tidak stabil, mudah
bereaksi dengan zat kimia anorganik atau organik dan dapat menginisiasi reaksi
autokatalitik, molekul yang bereaksi dengan radikal bebas diubah menjadi radikal
bebas baru sehingga semakin memperbanyak rantai kerusakan (Kumar et al.,
2007).
Keberadaan radikal bebas dan ROS yang tinggi dalam sistem biologi
salah satunya diakibatkan oleh senyawa toksikan dan oksidan kuat 2methoxyethanol (Prakash et al., 2013). Senyawa 2-methoxyethanol merupakan
metabolit hasil hidrolisis dimethoxyethyl phthalate (DMEP), yaitu merupakan
salah satu senyawa kelompok phthalic acid ester (PAEs). Kelompok ester ini
banyak digunakan sebagai pelentur (plasticizer) dalam pembuatan plastik. Plastik
digunakan untuk kepentingan manusia, misalnya peralatan rumah tangga, bahan
pengemas, pipa air, mainan anak-anak dan berbagai peralatan kesehatan. Padahal
ikatan PAEs dengan matriks polimer plastik tidak stabil sehingga mudah luruh
oleh pelarut organik (Rumanta et al., 2001). Dengan demikian, 2-methoxyethanol
dapat masuk dan menyebar ke seluruh tubuh melalui mulut (oral) dengan
makanan dan minuman yang telah terkontaminasi, sistem pernapasan dengan
menghirup uap hasil proses pembakaran, atau melalui pori-pori kulit yang terkena
langsung (Nicola et al., 2008).
Paparan jangka panjang 2-methoxyethanol dapat mengakibatkan gangguan
reproduksi pada organ reproduksi jantan (Copestake, 2009) dengan sasaran
utamanya testis (Johanson, 2000). Testis merupakan tempat proses
spermatogenesis berlangsung (Campbell et al., 2004). Dalam spermatogenesis
terjadi replikasi sel germinal hingga menghasilkan sekitar 1000 sperma dalam
kurun waktu satu detik. Tingginya tingkat pembelahan atau replikasi menjadikan
mitokondria sel germinal epitelium pada testis membutuhkan konsumsi oksigen
yang tingi untuk produksi ATP sebagai energi pada proses sintesis protein
spermatozoa (Cheng, 2008). Keberadaan 2-methoxyethanol di dalam tubuh
diubah menjadi methoxyacetic acid (MAA) yang dapat menghambat sintesis DNA
dan RNA oleh sel spermatosit pakhiten. Selain itu, MAA dapat mengganggu
permeabilitas membran yang menyebabkan influks Ca2+ menjadi berlebih yang
dapat menghambat fosforilasi oksidatif. Senyawa MAA juga mengakibatkan
peningkatan protein thiol specific antioxidant untuk mengatasi berbagai bentuk
oksidasi yang tidak normal akibat oksigen reaktif yang diinduksi oleh MAA
(Rumanta, et al., 2001). Dengan demikian, 2-methoxyethanol yang sudah diubah
menjadi MAA di dalam testis dapat menganggu proses spermatogenesis yang
bertindak sebagai radikal bebas, sehingga berpengaruh terhadap pembentukan
struktur maupun fungsi protein (Wang dan Chapin, 2000). Padahal, keberhasilan
proses spermatogenesis menentukan kontinuitas dan kualitas produksi
spermatozoa (Cheng, 2008).
Penelitian ini menggunakan 2-methoxyethanol sebagai penyebab stress
oksidatif tinggi yang menghasilkan ROS dan ekstrak kulit buah manggis
(Garcinia mangostana L.) sebagai antioksidan pada profil protein spermatogenik

mencit (Mus musculus). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek ekstrak
kulit buah manggis yang berperan sebagai antioksidan dengan mengikat elektron
tidak berpasangan pada ROS yang disebabkan oleh 2-methoxyethanol. Dengan
demikian diharapakan pemberian ekstrak kulit buah manggis terhadap mencit
dapat memulihkan gangguan sintesis protein pada spermatogenesis akibat oksidan
kuat 2-methoxyethanol.
BAHAN DAN METODE
Hewan yang digunakan ialah mencit (Mus musculus) jantan dari strain
BALB/C sexually mature, dengan berat berkisar 20-30 gram. Penelitian ini
menggunakan 2-metoxyethanol dan ekstrak kulit buah manggis (Garcinia
mangostana L.) sebagai bahan perlakuan. Klorofom digunakan untuk eutanasi
hewan coba. Proses sterilisasi alat menggunakan alkohol 70%. Bahan untuk
koleksi spermatogenik yaitu larutan phosphate buffer saline (PBS) dan akuades.
Bahan yang diperlukan untuk elektroforesis ialah buffer ekstrak, ice, separating
gel, stacking gel, reducing sample buffer (RSB), running buffer, coomassie blue
staining, larutan destaining dan akuades.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah autoclave, rotary
evaporator, alat destilasi, freeze dryer, erlenmeyer, gelas kaca, bak (kandang
mencit), kasa penutup bak, botol minum, syiringe 1 mL, gelas ukur, botol kaca,
timbangan analitik, gunting ujung lancip, pinset, papan parafin, jarum, cawan
petri kecil, microtube, mikroskop, mikropipet, blue tip, yellow tip, vortex,
sentrifuge, plate, power supply, penangas, chamber elektroforesis,
spektrofotometer, shaker dan ruler.
Pembuatan Ekstrak Kulit Buah Manggis
Kulit buah manggis yang telah diisolasi dari bagian lain buah manggis
dipotong kecil-kecil dan dikeringkan atau dijemur hingga benar-benar kering.
Kemudian kulit buah manggis yang telah kering, ditumbuk halus seperti tepung.
Kulit buah manggis, yang telah dihaluskan, dilakukan proses ekstraksi dengan
merendam tepung kulit buah manggis dalam etanol destilat dengan perbandingan
1:2 selama 48 jam. Rendaman diaduk setiap pagi dan sore hari. Selanjutnya
rendaman disaring menggunakan kertas saring sehingga didapatkan filtrat yang
dipakai, sedangkan residu dibuang. Filtrat dikentalkan menggunakan rotary
evaporator, kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer.
Perlakuan Terhadap Hewan Coba
Hewan coba, Mus musculus yang telah diaklimatisasi pada kondisi
kandang selama satu minggu, dibagi menjadi lima kelompok masing-masing
enam ekor mencit. Kelompok kontrol negatif diberi perlakuan aklimatisasi kondisi
kandang selama satu minggu. Kelompok kontrol negatif, perlakuan pertama,
perlakuan kedua dan perlakuan ketiga diberi 2-ME dengan dosis 200 mg/Kg BB
setiap satu kali sehari selama lima hari. Kemudian kelompok kontrol negatif
dilakukan pemberian Carboxy Methil Cellulosa (CMC) 0,05% 0,1 ml selama 35
hari secara sub-cutan. Kelompok P1 diberi ekstrak kulit buah manggis dengan
dosis 25 mg/Kg BB yang dilarutkan dalam Carboxy Methil Cellulosa (CMC)
0,05% 0,1 ml selama 35 hari secara subcutan. Kelompok P2 diberi ekstrak kulit

buah manggis dengan dosis 50 mg/Kg BB yang dilarutkan dalam Carboxy Methil
Cellulosa (CMC) 0,05% 0,1 ml selama 35 hari secara sub-cutan. Kelompok P3
diberi ekstrak kulit buah manggis dengan dosis 100 mg/Kg BB yang dilarutkan
dalam Carboxy Methil Cellulosa (CMC) 0,05% 0,1 ml selama 35 hari secara subcutan.
Pembedahan Hewan Coba
Pembedahan dilakukan pada hari ke-41, hewan coba dieutanasi
menggunakan klorofom kemudian dibentangkan di atas papan parafin dengan
anggota gerak difiksasi. Mencit dibedah pada bagian abdomen, selanjutnya testis
diambil dan dipisahkan dari jaringan lain yang berada disekitarnya. Testis
disimpan dalam suhu -20oC untuk proses selanjutnya.
Isolasi Sel Spermatogenik Testis Mencit
Koleksi sel-sel spermatogenik dari testis mencit dilakukan dengan metode
flushing untuk meminimalkan bagian-bagian lain dari testis yang tercampur.
Testis yang telah diisolasi, dipotong salah satu ujungnya dalam larutan PBS 2 mL
pada cawan petri. Kemudian disuntik dengan larutan PBS yang berada di cawan
petri tersebut pada bagian atau ujung yang lainnya untuk menggeluarkan sel-sel
spermatogenik, diulangi beberapa kali. Hasil suspensi diamati di bawah
mikroskop untuk memastikan sel-sel spermatogenik yang dikoleksi. Suspensi
dikoleksi dalam microtube.
Isolasi Protein Spermatogenik
Koleksi sel-sel spermatogenik yang telah diencerkan dengan larutan garam
fisiologis, disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Didapatkan
supernatan dan pelet. Supernatan dibuang dan pelet diresuspensi dengan buffer
ekstrak, kemudian dilakukan vortex selama 10 menit dan dilanjutkan sentrifus
dengan kecepatan 6000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang didapat
dipindahkan ke dalam microtube baru dan siap untuk analisis selanjutnya.
Pengukuran Jumlah Protein Spermatogenik
Pengukuran jumlah protein spermatogenik menggunakan metode Bradford
spektrofotometer UV. Pertama, pembuatan larutan blanko. Tabung reaksi larutan
blanko, berisi 800 L akuades dan 200 L Bradford. Kedua, pembuatan larutan
sampel. Larutan sampel dibuat dengan melarutkan 790 L akuades steril, 200 L
Bradford dan 10 L sampel protein. Selanjutnya larutan dibaca nilai
absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 595 nm (Hayati,
2007).
Data dari nilai absorbansi dimasukkan dalam persamaan linier pada
, dengan x: kadar protein (g/ L) dan y: nilai absorbansi
(Hartini, 2009).
Elektroforesis
Tahap Elektroforesis
Sodium dedocyl sulphate-polyacrilamide gel
electrophoresis (SDS-PAGE) dilakukan untuk mengetahui profil protein sel-sel
spermatogenik mencit (Mus musculus) berdasarkan berat moekul. Langkah
pertama yang dilakukan ialah Pembuatan separating gel 12% dalam sebuah
tatakan gel elektroforesis. Selanjutnya, Membiarkan gel memadat selama kurang
lebih 10 menit (ditandai dengan terbentuknya garis transparan diantara batas air
dan gel yang terbentuk). Setelah separating gel memadat, menyiapkan stacking

gel 4 %. Sisir dipasang untuk tempat sampel atau membuat well, kemudian
membiarkan hingga gel memadat. Sisir dilepas lalu gel dipasang dalam plate pada
alat electrophoresis set. Running buffer dimasukkan ke dalam kontainer. Protein
hasil isolasi diambil sebanyak 20 L pada jumlah protein yang sama, 70 g. Gel
diambil dari plate dan direndam dalam 20 mL larutan coomassie blue staining
solution sambil digoyang pada shaker selama 2 jam, kemudian larutan staining
dituang kembali ke wadahnya. Selanjutnya, gel direndam dalam 50 mL larutan
destaining sambil digoyang pada shaker sampai pita protein terlihat jelas dan gel
kembali bening. Setelah itu, didokumentasikan dan dianalisis pita protein yang
terbentuk (Laemli, 1970; Rajeev et al., 2004).
Tahap Penentuan Ketebalan Pita Protein dengan Thin Layer
Chromatoghrapy (TLC)
TLC digunakan untuk mengetahui ketebalan (luas area) pita protein hasil
elektroforesis melalui pengukuran luas masing-masing pita protein yang terbentuk
pada gel elektroforesis. Pengukuran menggunakan TLC dilakukan pada semua
pita protein dengan panjang gelombang 560 nm.
Pengumpulan Data
Data hasil isolasi protein berupa data kualitatif yaitu profil protein sel-sel
spermatogonik dengan menentukan nilai Log BM dan Rf dari penanda protein
(marker). Kemudian dilakukan penentuan Rf dengan membagi jarak migrasi
protein setelah pewarnaan dengan panjang akrilamid beku sesudah pengecatan.
Untuk menentukan BM protein spermatogenik dari testis mencit menggunakan
kurva standar mobilitas relatif (Rf) terhadap molekul protein standar. Kemudian
menentukan protein mayor dan protein minor berdasarkan BM dan ketebalan pita
yang terbentuk dari protein sel-sel spermatogenik yang telah diisolasi dari testis
mencit. Data kuantitatif diperoleh dari pengukuran ketebalan pita protein
menggunakan densitometer.
Rancangan Analisis Data
Data hasil penelitian isolasi protein merupakan data semikuantitatif, analisis
kualitatif protein spermatogenik mencit meliputi jumlah pita protein dan berat
molekul protein pada pita yang terekspresi dari hasil elektroforesis dengan analisis
data secara deskriptif, sedangkan analisis kuantitatif didapat dengan pengukuran
tebal pita menggunakan TLC Scanner.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
a. Profil protein spermatogenik
Pengaruh ekstrak kulit buah manggis terhadap
profil protein
spermatogenik mencit yang terpapar 2-methoxyethanol dapat diamati dari hasil
analisis protein dengan SDS-PAGE 12 %. Hasil analisis secara kulaitatif
menunjukkan bahwa pemberian 2-methoxyethanol dan pemberian ekstrak kasar
kulit buah manggis selama 35 hari dengan dosis berbeda dapat mempengaruhi
pita protein spermatogenik mencit pada berat molekul 25 kDa (Gambar 1).

K1

K2

P1

P2

P3

200
150
120
100
85
70
65
50
40
30

25

15

Gambar 1. Profil protein spermatogenik testikular Mus musculus yang terbentuk


dalam gel elektroforesis SDS-PAGE 12%. M = marker (penanda
protein). K1 = tanpa perlakuan. K2 = 2-ME. P1 = 2-ME + ekstrak
manggis 25 mg/Kg BB. P2 = 2-ME + ekstrak manggis 50 mg/Kg
BB. P3 = 2-ME + ekstrak manggis 100 mg/Kg BB. Tanda (
)
menunjukkan perbedaan ekspresi pita protein.
b. Berat molekul dan luasan area (mv.mm) pita protein spermatogenik
Perhitungan berat molekul dan luasan area pita protein sel spermatogenik
yang terbentuk pada gel elektroforesis SDS-PAGE 12% dengan pewarnaan
comassie blue dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Berat molekul (BM) dan luasan area (mv.mm) protein
spermatogenik testikular mencit
No.
1
2
3
4
5
6
7

Luas area

BM
K1
2336,7

K2
3405,1

P1
1684,8

P2
1007,1

P3
1828,4

85
77
2583,7* 1841* 940,4* 971,6*
70
7911,7*
65
4300,5* 2067,1*
**
1195*
57
50
1990,2 3248,5 1631,5 1953,2 1937,6
40
2116,9 2515,9
2627
1034,7 1084,1
8
25
1801,3
681
2279,1 1675,4
1841
Keterangan: tanda (*): merupakan gabungan luas area dari beberapa pita
protein; tanda (**): luas area tidak terbaca.
Dari hasil persamaan regresi Rf terhadap log BM diperoleh berat molekul
protein spermatogenik Mus musculus pada kelompok kontrol maupun perlakuan.
Ketebalan ekspresi protein berat molekul 25 kDa menurun pada perlakuan 2-

methoxyethanol, kelompok K2. Kemudian, terjadi peningkatan ketebalan ekspresi


protein pada pemberian ekstrak kulit buah manggis pada berbagai dosis.
Kelompok P1 memiliki ketebalan (2279,1 mv.mm) ekspresi pita protein tertinggi
diantara kelompok lainnya (Tabel 1).
Pembahasan
Protein merupakan senyawa kimia penyusun sebagian besar dari
spermatozoa. Terdapat protein struktural maupun protein terlarut pada
spermatozoa yang memiliki fungsi umum dan spesifik. Fungsi protein spesifik
dan penting ialah protein yang berada pada bagian akrosom spermatozoa untuk
proses fertilisasi (Hayati, 2007). Selain itu, fungsi protein spesifik ADAM protein
yang berada di membran plasma kepala spermatozoa untuk proses maturasi
spermatozoa (Gupta, 2005).
Protein disintesis saat proses spermatogenesis pada tahapan
spermasitogenesis (Hayati, 2007). Protein disintesis selama spermatid mengalami
proses pemanjangan membentuk ekor dan berakhir setelah spermatozoa
meninggalkan testis. Untuk menjalankan fungsinya, sel spermatogenik
mempunyai kemampuan mensintesis protein baru. Protein baru tersebut
diperlukan untuk aktivasi dan fungsi spermatozoa. Fungsi penting spermatozoa
ialah untuk fertilisasi, dimana proses tersebut berkaitan dengan kapasitasi, reaksi
akrosom dan fusi spermatozoa dengan sel telur (Seaton et al., 2000). Menurut
Tung et al. (1995), tebal tipisnya pita protein merupakan gambaran ekspresi suatu
protein oleh gen penyandi protein tersebut. Semakin tebal pita protein yang
terlihat semakin banyak ekspresi protein oleh gen penyandi.
Senyawa 2-methoxyethanol merupakan salah satu bahan toksik yang
dapat mempengaruhi profil protein penyusun membran spermatozoa (Hayati,
2007). Senyawa 2-methoxyethanol yang masuk ke dalam tubuh dimetabolisme
dengan katalis alkohol dehidrogenase menjadi methoxycetic acid (MAA) yang
bersifat toksik. MAA merupakan oksidan kuat yang dapat menyebabkan stress
oksidasi. Pembentukan radikal bebas yang melebihi pertahanan antioksidan
menyebabkan stres oksidatif yang menginduksi kerusakan permanen sel-sel testis.
Kandungan asam lemak tak jenuh pada membran sel testis mudah mengalami
peroksidasi lipid dan menyebabkan stres oksidatif (Barone et al., 2005). Stress
oksidasi dapat meningkatkan kadar radikal bebas dalam sel sehingga
menyebabkan oksidasi protein. Dengan demikian, maka dapat merubah struktur
protein menjadi abnormal. Perubahan struktur tersebut melalui penghambatan
pada proses transkripsi dan translasi sintesis protein (Dukan et al., 2000).
Senyawa 2-methoxyethanol yang sudah diubah menjadi MAA di dalam
testis dapat menganggu proses spermatogenesis dengan bertindak sebagai radikal
bebas, sehingga berpengaruh terhadap pembentukan struktur maupun fungsi
protein (Wang dan Chapin, 2000).
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan 2-methoxyethanol 200
mg/Kg memberikan pengaruh pada ketebalan pita protein yang tampak. Pada
kelompok K1 ketebalan pita protein 25 kDa sebesar 1801,3 mv.mm. Kemudian,
pada kelompok K2 mengalami penurunan ketebalan pada pita protein dengan
berat molekul 25 kDa (681 mv.mm).

Penurunan ketebalan pita protein dengan berat molekul 25 kDa pada


kelompok K2 diduga karena pengaruh toksisitas 2-methoxyethanol. Menurut
Dukan et al. (2000), senyawa MAA dapat berikatan dengan asam lemak tak jenuh
sehingga menghasilkan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida mampu
meningkatkan terjadinya oksidasi protein yang disebut stress oksidasi. Stres
oksidasi diawali dengan bereaksinya molekul protein dengan radikal OHsehingga dapat mengubah struktur protein menjadi abnormal. Molekul protein
yang berikatan dengan OH- dapat menghambat proses transkripsi dan translasi
pada sintesis protein. Penghambatan ini diduga menyebabkan kuantitas protein 25
kDa yang ada di membran plasma kepala spermatozoa menurun.
Menurut Banerjee et al. (1997) protein berat molekul 25 kDa berfungsi
pada proses maturasi spermatozoa. Protein berat molekul 25 kDa merupakan
ADAM proteins yang terdapat di membran plasma spermatozoa. Protein berat
molekul 25 kDa didistribusikan di testis dan mengalami migrasi dari anterior
kepala spermatozoa ke posterior kepala spermatozoa saat mengalami maturasi di
epididimis (Gupta, 2005). Penuruanan ekspresi protein berat molekul 25 kDa
dapat mengganggu proses maturasi spermatozoa, sehingga dapat berpengaruh
pada proses kualitas spermatozoa. Menurut McLachlan (2011), kualitas produksi
spermatozoa berpengaruh terhadap proses fertilisasi, sehingga berpengaruh
terhadap kemampuan fertilitas organisme.
Pada pemberian ekstrak kulit buah manggis berbagai dosis terbukti
menunjukkan peningkatan ketebalan ekspresi protein berat molekul 25 kDa
dibandingkan dengan perlakuan senyawa 2-methoxyethanol (Tabel 1). Hal ini
membuktikan bahwa pemberian ekstrak kulit buah manggis dapat berpengaruh
terhadap ekspresi protein yang terpapar oleh senyawa oksidan 2-methoxyethanol.
Ketebalan pita protein dengan berat molekul 77, 70, 65 dan 57 kDa mengalami
tumpang tindih sehingga tidak dapat dianalisis (Tabel 1).
Keberhasilan analisis dalam elektroforesis tergantung pada dua faktor,
pertama, kemurnian dan kebersihan isolat. Kemurnian isolat akan menghasilkan
pita protein yang baik, tidak dijumpai pita protein yang menggembung sehingga
mudah dianalisis, sedangkan kebersihan isolat mempengaruhi kualitas pita protein
yang terbentuk pada gel. Kedua, konsentrasi portein, mempengaruhi kualitas dan
karakteristik protein serta kecepatan pembentukan pita saat running (Pricilia,
2003).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan:
1.

2.

Pemberian 2-methoxyethanol berpengaruh terhadap profil protein


spermatogenik mencit (Mus musculus) pada berat molekul 25 kDa dengan
menurunkan ketebalan ekspresi protein.
Pemberian ekstrak kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.)
berpengaruh terhadap profil protein spermatogenik mencit (Mus musculus)
yang telah terpapar 2-methoxyethanol dengan meningkatkan ketebalan
ekspresi protein pada berat molekul 25 kDa.

3.

Protein berat molekul 25 kDa meningkat pada pemberian ekstrak kulit


buah manggis (Garcinia mangostana L.) dosis 25; 50; 100 mg/Kg BB.

SARAN
1.

2.

Konsentrasi protein dan pewarnaan yang digunakan berpengaruh terhadap


hasil akhir elektroforesis dan pembacaan gel oleh TLC Scanner. Oleh
karena itu penggunaan kadar protein dan pewarnaan yang tepat dapat
menghasilkan hasil yang optimal.
Jenis protein belum diketahui dengan jelas. Oleh karena itu, dapat
dikembangkan penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Banerjee, M., and Chowdhury, M., 1997. Localization of a 25 kDa human sperm
surface protein: its role in in-vitro human sperm capacitation. Molecular
Human Reproduction. 3(2): 109114.
Barone, F., Aguanno, S. and Agostino, A. 2005. Modulation of MAA-induced
apoptosis in male germ cells: role of Sertoli cell P/Q-type calcium
channels. Reproductive Biology and Endocrinology. 3(13): 1477-7827.
Campbell, N.A., Reece, J.B. dan Mitchell L.G. 2004. Biologi edisi kelima jilid 3.
alih bahasa. Wasmen. Erlangga. Jakarta.
Cheng, C. Y. 2008. Molecular mechanism in spermatogenesis. Landes Bioscience
and Springer Science + Bussiness Media. Texas.
Copestake, P. 2009. Concise international chemical assessment document 67,
selected alkoxyethanols: 2-methoxyethanol. World Health Organisation
Press. New York.
Dukan, S., Farewell, A., Ballesteros, M., Taddei, F., Radman, M., Nystrom, T.
2000. Protein oxidation in response to increased transcriptional or
translational errors. Biochemistry. 97(11): 57465749.
Gupta, G. S. 2005. Proteomics of Spermatogenesis. Springer. New York.
Hayati, A., Mangkoewidjojo, S., Hinting, A. and Moeljopawiro, S. 2007. Profile
of rats (Rattus norvegicus L.) spermatozoa protein membrane after
induced by 2-methoxyethanol. Berkala Ilmiah Biologi. 5(1):39-44.
Hayati, A., 2007. Kajian kualitas dan protein membran spermatozoa tikus (Rattus
norvegicus) akibat pemaparan 2-methoxyethanol. Disertasi. Universitas
Gajah Mada. Yogjakarta.
Hayati, A., 2011. Spermatologi. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP)
Surabaya.
Johanson, G., 2000. Toxicity review of ethylene glycol monomethyl ether and its
acetate ester. Critical Review Toxicology. 30(3):307-45.
Kumar, V., Cotran, R.S. dan Robbins, S.L. 2007. Buku ajar patologi Robbins
edisi ketujuh volume 1. alih bahasa. Awal Prasetyo, Brahm U., Pendit dan
Toni Priliono. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
McLachlan, R. 2011. Male infertility: a child from my own. Andrology Australia
Press. Melbourne.

Nicola, C., Harry M., Roseanne M.N., Allan P., Gary B., Julie-Ann C., Martin D.,
Helen B. And Andrew P. 2008. Occupation and male infertility: glycol
ethers and other exposures. Occupation Environment Medical. 65(10):
708-714.
Nurchasanah. 2013. Khasiat manggis tumpas berbagai penyakit. Dunia Sehat.
Jakarta.
Palakawong, C., Sophanodora, P., Pisuchpen, S. and Phongpaicit, S. 2010.
Antioxidant and antimicrobial activites of crude extracts from mangosteen
(Garcinia mangostana L.) part and some essensial oils. International
Food Research Journal. 17: 583-589.
Panda S.S., Chand, M., Sakhuja. R. and Jain S.C. 2013. Xanthones as potential
antioxidants. Department of Chemistry, University of Delhi, Delhi.
Pedraza-Chaverri J, Crdenas-Rodrguez N, Orozco-Ibarra M, Prez-Rojas JM.
2008. Medicinal properties of mangosteen (Garcinia mangostana). Food
and Chemical Toxicology. 46(10):3227-39.
Pedraza-Chaverr J., Reyes-Fermn L.M., Nolasco-Amaya E.G., Orozco-Ibarra
M., Medina-Campos O.N., Gonzlez-Cuahutencos O., Rivero-Cruz I. And
Mata R. 2008. ROS scavenging capacity and neuroprotective effect of
alpha-mangostin against 3-nitropropionic acid in cerebellar granule
neurons. Experimenthal Toxicology Pathology. 61(5):491-501.
Prakash, A., Rigelhof, F. and Miller, E. 2013. Antioxidan activity. Medallion
Laboratories Analitycal Progress. Minnesota.
Pricilia, M.A. 2003. Profil Protein Antigen Larva Stadium Kedua (L2) Cacing
Toxocara vitulorum. Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya
Rajeev S.K. and Reddy K.V.R. 2004. Sperm membrane protein profiles of fertile
and infertile men: identification and characterization of fertilityassociated
sperm antigen. Human Reproduction. 19(2): 234-242.
Rumanta, M., Surjono, T.W. dan Sudarwati, S., 2001. Pengaruh asam
metoksiasetat terhadap organ reproduksi mencit (Mus musculus) Swiss
Webster Jantan. Prosiding Institute Teknologi Bandung.
Seaton, G.J., L. Hall and R. Jones. 2000. Rat Sperm 2BI Glycoprotein (PH20)
Contain a C-Terminal Sequence Motif for Attachment of a Glycosyl
Phosphotidylinositol Anchor Effects of Endoproteolytic Cleavage on
Hyaluronidase Activity. Biology Reproduction. 62: 1667-1676.
Tung Y.C., Chang S.F., Ko Y.C., Chen H.Y., and Lin K.H. 1995. Comparison of
the genetic variation in type 1 dengue virus isolates in Taiwan, 1987-1992.
Publication Medicine. 11:243-249.
Wang, W. and Chapin, R.E. 2000. Differential gene expression detected by
suppression subtractive hybridization in the ethylene glycol monomethyl
ether-induced testicular lesion. Toxicological Sciences. 56(1): 165-174.

Anda mungkin juga menyukai