Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh:
Namira Caroline Ercho, S.Ked ( 1018011082 )
Ranti Apriliani Putri, S.Ked ( 1018011091 )

ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2015

BAB I
PENDAHULUAN

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga saat ini masih dianggap sebagai
suatu fenomena gunung es, dimana yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang
sebenarnya. Meskipun tidak sedikit wanita yang melaporkan tindak KDRT kepada polisi, namun
banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa kekerasan merupakan masalah pribadi.
Pemahaman inilah yang menyebabkan kasus KDRT dapat berlangsung dengan aman dan
terjadi berulang. Fenomena kekerasan pada perempuan dan anak akhir-akhir ini banyak menjadi
sorotan setelah di berlakukannya UU anti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yaitu UU No.
23 tahun 2004.
Fakta menunjukkan bahwa KDRT memberikan efek negatif yang cukup besar bagi
wanita sebagai korban pada umumnya. World Health Organization (WHO) dalam World Report
pertamanya mengenai Kekerasan dan Kesehatan di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40
hingga 70 persen perempuan yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh
mantan atau pasangannya sendiri. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) memperlihatkan pada tahun 2003 telah terjadi 5.934 kasus kekerasan
terhadap perempuan. Sebanyak 2.703 di antaranya adalah kasus KDRT, dengan korban terbanyak
adalah istri, yaitu 2.025 kasus (75%). Tindakan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat
secara konsisten dari tahun ke tahun. Tindakan KDRT skala nasional tahun 2008 mencapai
35.398 kasus dan meningkat menjadi 43.000 kasus di tahun 2009. Dan dibandingkan tahun 2009,
kasus KDRT pada tahun 2010 meningkat sekitar 6,25%.
KDRT yang dilakukan khususnya terhadap perempuan oleh pasangannya maupun oleh
anggota keluarga dekatnya, sering menjadi permasalahan yang tidak diangkat ke permukaan.
Meskipun masyarakat menyadari bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat berlangsung setiap
saat, fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang privat.
Pengungkapan kasus KDRT amat memerlukan bantuan dokter di dalamnya. Pengetahuan
dokter diperlukan untuk dapat mengidentifikasi tanda-tanda fisik maupun psikologis dari korban
yang telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Karakteristik luka dari korban yang
mengalami KDRT seperti bentuk-bentuk luka oleh karena benda tumpul, benda tajam (goresan
atau tikaman) atau karena panas hendaknya dapat dibedakan dengan tepat. Kekerasan-kekerasa
tersebut dapat menimbulkan tanda atau pola pada kulit yang disebabkan oleh senjata penyebab
luka. Selain itu, luka-luka pada KDRT juga biasanya mempunyai pusat distribusi tertentu pada

tubuh. Selain akibat fisik yang ditimbulkan oleh pelaku KDRT, akibat non fisik (psikologis)
seperti Post traumatic stress disorder (PTSD) maupun pengaruhnya bagi produktivitas korban
dalam lingkungannya tidak dapat dielakkan.
Sosialisasi terhadap pemberlakuan UU No.23 tahun 2004 kepada masyarakat pada
umumnya dan perempuan khususnya mutlak diperlukan. Sebagai korban KDRT, mereka
memiliki hak-hak yang diatur dalam undang-undang tersebut. Adapun ketentuan pidana penjara
atau denda terhadap pelaku KDRT diatur dalam BAB VIII mulai dari pasal 44 53. Terdapat dua
pasal yang mengatur tentang hukuman minimal dan maksimal dari pelaku KDRT yaitu pasal 47
dan 48. Untuk membuktikan adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga, terdapat alat-alat
bukti yang dianggap sah oleh KUHAP, yang diatur dalam pasal 184 meliputi keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Pengaruh negatif dari KDRT beraneka ragam dan bukan hanya bersifat hubungan inti
keluarga, tetapi juga terhadap anggota lain dalam keluarga yang ada di dalamnya. Dalam hal luka
serius fisik dan psikologis yang langsung diderita oleh korban perempuan, keberlangsungan dan
sifat endemis dari KDRT akhirnya membatasi kesempatan perempuan untuk memperoleh
persamaan hak dalam bidang hukum, sosial, politik dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat.
Terlepas dari viktimisasi perempuan, KDRT juga mengakibatkan retaknya hubungan keluarga
dan anak-anak yang kemudian dapat menjadi sumber masalah sosial.
Melalui tulisan ini, diharapkan dapat memberikan penjelasan dan pengertian mengenai
KDRT itu sendiri, mengenai kompetensi yang harus dimiliki dokter untuk membantu penyidikan
pada kasus KDRT, serta mengenai hukuman yang ditetapkan dalam UU bagi pelaku kasus
KDRT.

BAB II
ILUSTRASI KASUS

Pada tanggal 13 April 2015 sekira pukul 12.00 WIB telah dilakukan pemeriksaan luka terhadap
korban KDRT perempuan yang berusia 45 tahun.
Hasil pemeriksaan didapatkan:
Nama
Tempat / Tgl Lahir
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Alamat
Agama

: Ny. Yeni Poningsih--------------------------------------------------------: Tanjung Karang, 12 Februari1970---------------------------------------: Perempuan------------------------------------------------------------------: Wiraswasta-----------------------------------------------------------------: Jln. Teuku Umar no.8 LK II RT 007 Kel. Gunung Sari Kec.
Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung---------------------------------: Islam--------------------------------------------------------------------------

Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum baik. Korban mengaku telah dianiaya oleh
orang yang dikenal ( Tn. Nugroho) suami korban pada tanggal tiga belas April tahun dua ribu
lima belas, sekira jam dua belas Waktu Indonesia Barat di kontrakan Nizar Gunung Sari
Kecamatan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung-----------------------------------------------------HASIL PEMERIKSAAN : --------------------------------------------------------------------------------Luka - Luka :--------------------------------------------------------------------------------------------------a. Pada dahi sisi kanan, tiga senti meter dari garis pertengahan depan, dua koma lima
senti meter diatas alis, terdapat memar warna kebiruan ukuran tiga koma lima senti
meter kali dua koma lima senti meter---------------------------------------------------------b. Pada dahi sisi kanan, tiga senti meter dari garis pertengahan depan, dua koma lima
senti meter diatas alis terdapat luka lecet warna kemerahan diameter dua senti meter-c. Bola mata kiri, tampak perdarahan------------------------------------------------------------d. Pada kelopak bawah mata kiri, satu koma lima senti meter dari garis pertengahan
depan, terdapat memar warna biru kehitaman ukuran tiga koma lima senti meter kali
dua koma lima senti meter----------------------------------------------------------------------e. Pada hidung, terdapat luka lecet warna kemerahan ukuran nol koma tiga senti meter
kali nol koma dua senti meter------------------------------------------------------------------f. Pada telapak tangan kiri, terdapat luka robek sepanjang dua senti meter-----------------KESIMPULAN :---------------------------------------------------------------------------------------------Pada pemeriksaan seorang korban perempuan berumur kurang lebih empat puluh lima
tahun ini ditemukan memar pada dahi sisi kanan, kelopak bawah mata kiri, luka lecet pada dahi
sisi kanan, hidung dan tampak perdarahan pada bola mata kiri serta luka robek pada telapak
tangan kiri akibat kekerasan tumpul. Luka tersebut dapat menimbulkan halangan dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari (luka sedang)----------------------------------------------------------

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan keterangan korban, korban mengaku telah dianiaya oleh orang yang dikenal (Tn.
Nugroho) suami korban pada hari Senin, 13 April 2015 sekira pukul 12.00 WIB, di kontrakan
Nizar Gunung Sari Kecamatan Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung.
Korban pada kasus ini memiliki resiko untuk menjadi korban kekerasan dalam rumah
tangga. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang no. 23 tahun 2004
mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dalam undang-undang ini
disebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan yang melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga. Korban mengakui bahwa karena kejadian ini, selain menyebabkan luka-luka pada
dirinya, korban juga merasa ketakutan dan was-was akan berulangnya kejadian seperti ini di
kemudian hari. Oleh karena itu korban meminta Surat Keterangan Medis agar ia memiliki bukti
mengenai kekerasan yang dilakukan suaminya padanya.
3.1 Prosedur Medikolegal
Pemeriksaan korban ini sudah sesuai dengan prosedur medikolegal dimana yang bersangkutan
datang ke bagian Forensik Klinik RSAM dengan maksud untuk memeriksakan keadaan dirinya
dengan membawa Surat Permintaan Visum dari pihak kepolisian yaitu permintaan dari penyidik
dalam hal ini permintaan tertulis dari Misran Anwar, pangkat BRIPKA, NRP 60100184, jabatan
KA SPK III, atas nama Kepala Kepolisian Sektor Tanjung Karang Barat, kepada Kepala RSAM
Provinsi Lampung, atas korban yang merupakan korban pemukulan dengan orang yang dikenal
(suami korban).
Hal tersebut dibenarkan oleh pasal 133 KUHAP dimana permintaan keterangan ahli
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat.
3.2 Pemeriksaan Keadaan Umum Korban

Korban datang dalam keadaan sadar, penampilan bersih, sikap selama pemeriksaan
kooperatif. Keadaan umum baik, denyut nadi 80 kali permenit, dan pernafasan 20 kali permenit
dengan tekanan darah 120/80 mmHg. Gambaran keadaan pasien saat pertama kali datang tampak
tenang. Saat korban datang mengenakan kaos coklat bahan katun polos dan celana panjang jeans
berwarna biru. Saat menceritakan masalahnya pada pemeriksa, pasien sesekali menangis.
3.3 Pemeriksaan Luka
Pada kasus ini, didapatkan beberapa luka akibat kekerasan tumpul berupa memar, luka
lecet, dan luka robek. Berdasarkan pemeriksaan didapatkan dua memar, dua luka lecet, dan satu
luka robek.
Pada kasus ini didapatkan dua luka memar yang masing masing :
1. Pada dahi sisi kanan, tiga senti meter dari garis pertengahan depan, dua koma lima
senti meter diatas alis, terdapat memar warna kebiruan ukuran tiga koma lima senti meter
kali dua koma lima senti meter
2. Pada kelopak bawah mata kiri, satu koma lima senti meter dari garis pertengahan
depan, terdapat memar warna biru kehitaman ukuran tiga koma lima senti meter kali dua
koma lima senti meter
Kesimpulan tersebut didapatkan berdasarkan ciri-ciri memar yakni memiliki warna yang
berbeda dengan kulit sekitarnya yaitu berwarna biru kehitaman pada dahi sisi kanan dan kelopak
bawah mata kiri. Memar tersebut merupakan suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit atau
kutis akibat pecahnya kapiler dan vena yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Umur
luka memar secara kasar dapat diperkirakan melalui perubahan warnanya. Pada saat timbul
memar berwarna merah kebiruan, kemudian berubah menjadi ungu atau hitam setelah 4-5 hari
akan berwarna hijau yang kemudian akan berubah menjadi kuning dalam 7-10 hari. Dan
akhirnya menghilang dalam 14-15 hari. Perubahan warna tersebut berlangsung mulai dari tepi
dan waktunya dapat bervariasi tergantung derajat dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Sesuai teori tersebut maka pada kasus ini memar yang berwarna biru kehitaman diperkirakan
terjadi kurang dari 4 5 hari sebelum pelaporan. Pada orang yang menderita penyakit defisiensi
atau menderita kelainan darah, kerusakan yang terjadi akibat trauma tumpul tersebut akan lebih

besar dibandingkan pada orang normal. Oleh sebab itu, besar kecilnya memar tidak dapat
dijadikan ukuran untuk menentukan besar kecilnya benda penyebabnya atau keras tidaknya
pukulan.
Pada kasus ini didapatkan dua luka lecet yang masing masing :
1. Pada dahi sisi kanan, tiga senti meter dari garis pertengahan depan, dua koma lima
senti meter diatas alis terdapat luka lecet warna kemerahan diameter dua senti meter
2. Pada hidung, terdapat luka lecet warna kemerahan ukuran nol koma tiga senti meter
kali nol koma dua senti meter
Luka lecet dapat dideskripsikan sebagai lapisan kulit yang terangkat yang diakibatkan
oleh benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing yang menggeser lapisan permukaan
kulit (epidermis) dengan ciri-ciri bentuk luka tak teratur, batas luka tidak teratur, tepi luka tidak
rata, terkadang ditemukan sedikit perdarahan, permukaannya tertutup oleh krusta (serum yang
telah mongering) warna coklat kemerahan. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat adanya
beberapa bagian yang masih ditutupi epitel dan terdapatnya reaksi inflamasi. Sesuai dengan teori
tersebut maka pada kasus ini dapat disimpulkan terdapat luka lecet pada dahi sisi kanan dan
hidung korban dengan deskripsi luka lecet yang sesuai dengan teori yang dijelaskan. Bentuk luka
lecet terkadang dapat memberi petunjuk tentang benda penyebabnya seperti misalnya kuku, ban
mobil, tali, atau ikat pinggang. Sesuai dengan mekanisme terjadinya luka lecet dapat
diklasifikasikan sebagai luka lecet gores (scratch) seperti yang terjadi pada kasus ini, luka lecet
serut (graze), luka lecet tekan (impression, impact abrasion) dan luka lecet geser (friction
abrasion).
Pada kasus ini didapatkan satu luka robek pada telapak tangan kiri, terdapat luka robek
sepanjang dua senti meter. Kesimpulan tersebut didapatkan berdasarkan ciri-ciri luka robek yakni
bentuk luka yang umumnya tidak beraturan, tepi atau dinding tidak rata, tampak jembatan
jaringan antara kedua tepi luka, bentuk dasar luka tidak beraturan, sering tampak luka lecet atau
luka memar di sisi luka. Luka robek merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul yang
menyebabkan kulit teregang ke satu arah dan bila batas elastisitas kulit terlampaui maka akan
terjadi robekan pada kulit. Karena terjadinya luka disebabkan oleh robeknya kulit atau jaringan
maka bentuk dari luka tersebut tidak menggambarkan bentuk dari benda penyebabnya. Jika

benda tumpul yang mempunyai permukaan bulat atau persegi dipukulkan pada kepala maka luka
robek yang terjadi tidak berbentuk bulat atau persegi.
3.4 Aspek Psikologis
Menurut teori juga dikatakan selain berdampak pada fisik, kekerasan dalam rumah tangga
juga berdampak pada psikologis. Pada korban ditemukan timbulnya perasaan takut dan was-was
apabila kejadian tersebut terulang lagi. Korban juga mengatakan sejak sekitar 1 tahun yang lalu
sering teringat kembali akan perilaku kekerasan yang dilakukan suaminya tersebut. Hal ini sesuai
dengan pedoman diagnosis Post Traumatic Stress Disorder dalam PPDGJ-III. Saat pemeriksaan
didapatkan pula suasana perasaan depresif, yang terlihat saat pasien sesekali menangis saat
menceritakan masalahnya.

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Definisi
Undang-Undang no. 23 tahun 2004 adalah undang-undang yang mengatur mengenai
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dalam undang-undang ini disebutkan
bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan yang melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Undang-undang ini menjelaskan beberapa istilah penting seperti:
1. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh Negara
untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
2. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup
rumah tangga.
3. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada
korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
4. Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian
dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
5. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk
memberikan perlindungan kepada korban.
Adapun pengertian rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
dalam huruf (1) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian,
yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan).

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut
(pekerja rumah tangga).
Menurut WHO (WHO,1999), yang dimaksud dengan kekerasan adalah penggunaan
kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman, atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan
memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekuatan fisik dan kekuasaan harus dilihat dari segi pandang yang luas mencakup tindakan atau
penyiksaan secara fisik, psikis/emosi, seksual dan kurang perhatian (neglected).
Menurut BPKP 2004, Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Domestic Violence adalah
suatu penyalahgunaan secara fisik, seksual, ekonomi, atau psikologis terhadap seseorang,
pasangan, atau anggota keluarga yang lain dalam suatu rumah tangga. Pola sikap ini ditandai
oleh adanya penyalahgunaan kekuatan dan kontrol/pengawasan oleh seseorang kepada orang lain
yang masih memiliki hubungan yang dekat. Dapat terjadi dalam hubungan dalam gender yang
sama dan berlainan.
CDC Atlanta dan Komite Nasional (1998) pencegahan trauma di Amerika Serikat
menggunakan istilah kekerasan oleh mitra dekat (Intimate partner violence) yang mencakup di
dalamnya kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan oleh mitra dekat adalah ancaman atau
penggunaan kekerasan terhadap mitra dekat yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
kematian,

trauma

dan

hal-hal

yang

berbahaya

yang

mencakup

kekerasan

fisik,

psikologis/emosional dan seksual. Yang dimaksud dengan mitra adalah suami atau istri, dating
partner/pacar, bekas istri dan bekas pacar.
4.2 Insiden
Catatan awal tahun 2004 yang dilansir oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan), memperlihatkan pada tahun 2003 telah terjadi 5.934 kasus
kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 2.703 di antaranya adalah kasus KDRT, dengan
korban terbanyak adalah istri, yaitu 2.025 kasus (75%). 3 Dibandingkan tahun 2009, kasus KDRT
pada tahun 2010 ini meningkat sekitar 6,25%.
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) umumnya dilakukan oleh suami.
Lembaga non pemerintah Mitra Perempuan mencatat sepanjang tahun 2005, 86,81% kasus
kekerasan yang dialami perempuan adalah KDRT dan 77,36% dari kasus itu pelakunya adalah

10

para suami. Selain suami, KDRT juga dilakukan oleh mantan suami (3,08%), orang tua atau
mertua serta saudara (6,15%), majikan (0,22%), dan pacar/teman dekat (9,01%).
Tindakan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat secara konsisten dari tahun ke
tahun. Selama tahun 2004, kekerasan terhadap perempuan meningkat hamper 100% yaitu
menjadi 14.020 kasus dibanding tahun sebelumnya yang cuma 7.787 kasus. Angka-angka di atas
harus dilihat dalam konteks fenomena gunung es, dimana kasus yang tampak hanyalah sebagian
kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Apalagi angka-angka tersebut hanya didapatkan dari
jumlah korban yang melaporkan kasusnya ke 303 organisasi peduli perempuan. Data juga
mengungkapkan, rata-rata mereka adalah penduduk perkotaan yang memiliki akses dengan
jaringan relawan dan memiliki pengetahuan memadai tentang KDRT.
4.3 Faktor Pencetus
Kekerasan dalam rumah tangga dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi dan interaksi
multifaktorial antara faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi dan politis seperti riwayat
kekerasan, kemiskinan, komflik bersenjata, namun dipengaruhi pula oleh beberapa faktor risiko
dan faktor protektif. Kekerasan terhadap perempuan sebagai korban terbanyak dari tindak
kekerasan dalam rumah tangga sangat dipengaruhi oleh ketimpangan gender. Budaya yang
mempunyai peran gender yang kaku, yang mengaitkan keperkasaan pria dengan dominasi dan
kendalinya terhadap wanita.
Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif gender adalah untuk memberikan
apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terlrtak pada kekuasaan hubungan yang
tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi
oleh pihak laki-laki.
Adapun faktor pencetus terjadinya kekerasan adalah:
a) Faktor individu:
Menurut survey di Amerika Serikat mereka yang mempunyai risiko lebih besar
mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah:
1) Wanita yang single, bercerai atau ingin bercerai.
2) Berumur 17 28 tahun.
3) Mempunyai partner dengan sifat memiliki dan cemburu berlebihan.
4) Ketergantungan obat atau alkohol atau riwayat ketergantungan kedua zat itu.

11

5) Sedang hamil.
b) Faktor keluarga:
1) Kehidupan keluarga yang kacau tidak saling mencintai dan menghargai, serta tidak
menghargai peran wanita.
2) Kurang ada keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga.
3) Sifat kehidupan keluarga inti bukan keluarga luas.
c) Faktor masyarakat:
1) Urbanisasi dan kesenjangan pendapatan di antara penduduk kota.
2) Kemiskinan.
3) Lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas tinggi.
4) Masyarakat keluarga ketergantungan obat.
Menurut Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Erlangga Masdiana, kekerasan itu sangat
dipengaruhi ideologi dan pemahaman budaya masyarakat setempat. Di hampir sebagian besar
masyarakat Indonesia, perempuan dianggap orang nomor dua dalam rumah tangga sehingga
memiliki hak yang kurang dibanding laki-laki. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga
dipengaruhi oleh multifactor. Faktor terpenting adalah soal ideologi dan culture (budaya),
dimana perempuan cenderung dipersepsikan sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan
dengan cara apa saja. Ideologi dan kultur itu juga muncul karena transformasi pengetahuan yang
diperoleh dari masa lalu. Sebagai contoh, zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua,
tidak boleh mendebat sepatah katapun, sehingga kekerasan terhadap anak kerap terjadi.
4.4 Siklus KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga biasanya terjadi mengikuti suatu siklus tertentu. Hal ini
dikarenakan pada umumnya korban KDRT menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan oleh
pasangannya merupakan kekhilafan sesaat. Sehingga KDRT biasanya terjadi dalam pola berikut
ini:
1) Tindak kekerasan/pemukulan: pelaku melakukan kekerasan terhadap pasangannya.
2) Permintaan maaf: pelaku menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada korban.
3) Bulan madu: pelaku menunjukkan sikap mesra kepada pasangannya, seolah-olah tidak
pernah melakukan kekerasan.

12

4) Konflik: periode mesra akan berakhir ketika terjadi konflik yang kemudian membawa
pelaku untuk melakukan kekerasan lagi, dan seterusnya.
Dari pola ini dapat diperhatikan bahwa hubungan antara perempuan dan pasangannya
selalu diliputi oleh rasa cinta, harapan dan teror. Rasa cinta dan sayang kepada pasangan,
berusaha memaklumi dan mencoba untuk mengerti, serta berusaha menganggap bahwa
kekerasan timbul akibat kekhilafan yang bersifat sesaat. Korban juga berharap bahwa
pasangannya akan berubah menjadi baik, sehingga ketika pelaku meminta maaf dan bersikap
mesra lagi harapan tersebut terpenuhi untuk sementara waktu. Hal inilah yang menyebabkan
KDRT biasanya berulang, sehingga hal ini menimbulkan rasa terancam pada korban bahwa
setiap saat ia mungkin dianiaya lagi, ketakutan ditinggal dan sakit hati atas perlakuan
pasangannya.
4.5 Bentuk-Bentuk KDRT
Menurut UU No 23 tahun 2004, ada beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:
1) Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat.
2) Kekerasan psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
3) Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual meliputi:
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4) Penelantaran rumah tangga

13

Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah
kendali orang tersebut.
Menurut Munin A (1997), kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam bentuk
kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.
1) Secara Fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan luka, rasa sakit,
atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. Kekerasan dalam rumah
tangga mencakup: menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut
dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya.
2) Secara Psikologis
Kekerasan

psikologis

adalah

suatu

tindakan

penyiksaan

secara

verbal

yang

mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya


kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering
terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun
suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikologis juga dapat
memicu dendam dihati istri.Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga termasuk
penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara
maupun teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan
lain-lain.
3) Secara Seksual
Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk
melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak
memenuhi kebutuhan seksual istri.Kekerasan dapat terjadi dalam bentuk pemaksaan dan
penuntutan hubungan seksual.

14

4) Secara Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam
atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang
bekerja untuk dieksploitasi, sementara suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya
berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi
uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut
istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk
meningkatkan karirnya.
Kekerasan terjadi berupa tidak memberi nafkah istri, melarang istri bekerja atau
membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.
4.6 Pemeriksaan Fisik Pada Korban KDRT
Banyak wanita menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu hal yang tabu. Itulah
mengapa mereka cenderung menutupi penderitaan fisik dan psikologis yang dilakukan
pasangannya. Adanya sikap posesif terhadap korban ataupun perilaku mengisolasi korban dari
dunia luar dapat dilihat sebagai tanda awal KDRT. Korban biasanya tampak depresi, sangat takut
pada pengunjung/pasien lainnya dan yang merawatnya, termasuk pegawai rumah sakit.
Perhatikan perubahan sikap korban. Mereka akan cenderung menarik diri dari lingkungan
sosialnya. Mereka umumnya tak ingin orang sekitarnya melihat tanda-tanda kekerasan pada diri
mereka. Kontak mata biasanya buruk. Korban menjadi pendiam. Korban harus diperiksa secara
menyeluruh untuk memeriksa dengan teliti tanda-tanda kekerasan yang pada umumnya
tersembunyi. Sebagai contoh, kulit kepala dapat menunjukkan tanda-tanda kekerasan. Korban
juga akan mencoba untuk menyembunyikan atau menutupi luka-lukanya dengan memakai riasan
wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu atau perhiasan.
4.6.1 Karakteristik Luka
Orang yang mendapat siksaan fisik dari pasangannya tak jarang mengalami cedera. Hanya saja
mereka cenderung menutupinya dengan mengatakan bahwa luka tersebut akibat terjatuh, atau
kecelakaan umum. Untuk membedakannya, perlu diketahui cirri-ciri khusus luka akibat

15

kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga.Karakteristik luka yang disebabkan oleh adanya
KDRT, biasanya menunjukkan gambaran sebagai berikut:
1) Luka bilateral, terutama pada ekstremitas.
2) Luka pada banyak tempat.
3) Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau bekas tali yang
terbakar.
4) Luka lecet, luka gores minimal, bilur.
5) Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya perlawanan yang kuat antara
korban dengan pelaku.
4.6.2 Bentuk-Bentuk Luka
Adanya bentukan luka memberi kesan adanya kekerasan. Bentukan luka merupakan tanda,
cetakan atau pola yang timbul dengan segera di bawah epitel oleh senjata penyebab luka. Bentuk
luka dapat karena benda tumpul, benda tajam (goresan atau tikaman) atau karena panas.
1) Kekerasan Tumpul
Kekerasan tumpul yang melukai kulit merupakan luka yang paling sering terjadi, berupa
luka memar, lecet dan luka goresan. Adanya luka memar yang sirkuler ataupun yang
linier memberi kesan adanya penganiayaan. Luka memar parallel dengan sentral yang
bersih memberi kesan adanya penganiayaan dari objek linear. Adanya bekas tamparan
dengan bentukan jari juga harus dicatat. Luka memar sirkuler dengan diameter 1 1,5 cm
dengan tekanan ujung jari mungkin terlihat sama dengan bentuk penjambretan.
Bentukan-bentukan tersebut sering tampak pada lengan atas bagian dalam dan area-area
yang tidak terlihat waktu pemeriksaan fisik. Penganiayaan dengan menggunakan ikat
pinggang atau kawat menyebabkan luka memar yang datar, dan penganiayaan dengan sol
atau hak sepatu akan menyebabkan luka memar pada korban yang ditendang.
2) Memar
Beberapa faktor mempengaruhi perkembangan luka memar, meliputi kekuatan kekerasan
tumpul yang diterima oleh kulit, kepadatan vaskularisasi jaringan, kerapuhan pembuluh
darah, dan jumlah darah yang keluar ke dalam jaringan sekitar. Luka memar yang
digunakan untuk identifikasi umur dan penyebab luka, tidak selalu menunjukkan
kesamaan warna pada tiap orang dan tidak dapat berubah dalam waktu yang sama antara

16

satu orang dengan orang lain. Beberapa petunjuk dasar tentang penampakan luka memar
sebagai berikut:
a. Waktu merah, biru, ungu, atau hitam dapat terjadi kapan saja dalam waktu 1 jam
setelah trauma sebagai resolusi dari memar. Gambaran warna merah tidak dapat
digunakan untuk memperkirakan umur memar.
b. Memar dengan gradasi warna kuning umurnya lebih dari 18 jam.
c. Meskipun warna memar kuning, coklat, atau hijau merupakan indikasi luka yang
lama, tetapi untuk mendapatkan waktu yang spesifik sulit.
3) Bekas Gigitan
Merupakan bentuk luka lain yang sering ada pada domestic violence. Beberapa bentukan
gigitan ini sulit untuk dikenali, misalnya penampakan memar semisirkuler yang non
spesifik, luka lecet, atau luka lecet memar, dan masih banyak lagi gambaran yang dapat
dikenali karena lokasi anatomi dari gigitan dan pergerakan tidak tetap pada kulit.
4) Bekas Kuku
Ada 3 macam tanda bekas kuku yang mungkin terjadi, bisa tunggal atau kombinasi, yaitu
sebagai berikut:
1) Impression marks
Bentukan ini merupakan akibat patahnya kuku pada kulit. Bentuknya seperti koma atau
setengah lingkaran.
2) Scratch marks
Bentuk ini superficial dan memanjang, kedalamannya sama dengan kedalaman kuku.
Bentukan ini terjadi karena wanita yang menjadi korban berkuku panjang.
3) Claw marks
Bentukan ini terjadi ketika kulit terkoyak, dan tampak lebih menyeramkan.
5) Strangulasi
Hanging, ligature, atau manual adalah 3 tipe dari strangulasi (penjeratan). Dua tipe
terakhir mungkin berhubungan dengan domestic violence.
1. Ligature strangulation (garroting) dan Manual strangulation (throttling). Ligature
strangulation (garroting) merupakan bentuk strangulasi dengan menggunakan tali,
seperti kabel telepon atau tali jemuran. Sedangkan Manual strangulation (throttling)

17

biasanya menggunakan tangan, dilakukan dengan tangan depan sambil berdiri atau
berlutut di depan tenggorokan korban.
2. Strack dan McLane melakukan penelitian pada 100 wanita yang dilaporkan
mengalami pencekikan oleh pasangan mereka dengan tangan kosong, lengan ataupun
menggunakan alat (kabel listrik, ikat pinggang, tali, peralatan mandi). Petugas
kepolisian melaporkan luka tidak tampak pada 62% wanita, luka tampak minimal
pada 22% dan luka yang signifikan seperti warna merah, memar ataupun bekas tali
yang terbakar pada 16% sisanya. Hampir 50% dari para korban mengalami perubahan
suara dari disfonia sampai afonia.
3. Disfagia, odinofagia, hiperventilasi, dispneu, dan apneu dilaporkan atau ditemukan.
Dengan catatan, laporan menunjukkan bahwa beberapa korban dengan keadaan awal
ringan, dapat meninggal dalam waktu 36 jam setelah strangulasi.
4. Pada ligature strangulation sering tampak petechiae. Petechiae pada konjungtiva
terlihat sama banyaknya dengan petechiae pada daerah jeratan, seperti wajah dan
daerah periorbita.
5. Pada leher mungkin ditemukan goresan dan luka lecet dari kuku korban atau
kombinasi dari luka yang dibuat oleh pelaku dan korban. Lokasi dan luas bervariasi
dengan posisi pelaku (depan atau belakang) dan apakah korban atau pelaku
menggunakan satu atau dua tangan. Pada Manual strangulation korban sering
merendahkan dagunya dalam upaya melindungi leher, hal ini akan mengaakibatkan
luka lecet pada dagu korban dan tangan pelaku.
6. Luka memar tunggal atau area eritematous sering terlihat pada ibu jari pelaku. Area
dari luka memar dan eritema sering terlihat bersama, berkelompok pada bagian
samping leher, sepanjang mandibula, bagian atas dagu, dan di bawah area
supraklavikula.
7. Ligature mark terlihat dari halus sampai keras. Menyerupai lipatan kulit. Tanda
(misalnya pola seperti gelombang kabel telepon, seperti jalinan pita dari tali) dapat
memberi kesan korban telah dicekik. Sifat dan sudut pola ini diperlukan untuk
membedakan penggantungan dengan Ligature strangulation. Pada Ligature
strangulation, penekanan dari penjeratan biasanya horizontal pada level yang sama
dengan leher, dan tanda penjeratan biasanya di bawah kartilago thyroid dan sering

18

tulang hyoid patah. Pada penggantungan, penekanan cenderung vertical dan


berbentuk seperti air mata, di atas kartilago thyroid, dengan simpul pada daerah
tengkuk, di bawah dagu, atau langsung di depan telinga. Tulang hyoid biasanya masih
utuh.
8. Keluhan lainnya termasuk kehilangan kesadaran, defekasi, muntah yang tidak
terkontrol, mual dan kehilangan ingatan.
4.6.3 Distribusi Luka
Luka-luka pada KDRT biasanya mempunyai distribusi tertentu, sebagai berikut:
1. Luka pada domestic violence biasanya sentral.
2. Tempat luka yang umum adalah daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian (misalnya dada,
payudara dan perut).
3. Wajah, leher, tenggorokan dan genitalia juga tempat yang sering mengalami perlukaan.
4. Lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada kepala dan leher. Pelaku laki-laki
menghindari untuk menyerang wajah, tetapi kemudian memukul kepala bagian belakang.
5. Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban domestic violence.
6. Trauma pada maxillofacial termasuk luka pada mata dan telinga, luka pada jaringan lunak,
kehilangan pendengaran, dan patah pada mandibula, patah tulang hidung, orbita dan
zygomaticomaxillary complex.
Luka karena perlawanan, misalnya patah tulang, dislokasi sendi, keseleo, dan atau luka
memar dari pergelangan tangan atau lengan bawah dapat mendukung adanya tanda dari korban
untuk menangkis pukulan pada wajah atau dada. Termasuk luka pada bagian ulnar dari tangan
dan telapak tangan (yang mungkin digunakan untuk menahan serangan). Luka lain yang umum
ada termasuk luka memar pada punggung, tungkai bawah, bokong, dan kepala bagian belakang
(yang disebabkan karena korban membungkuk untuk melindungi diri).
Luka lecet yang banyak atau luka memar pada tempat yang berbeda sering terjadi
memperkuat kecurigaan adanya domestic violence. Peta tubuh dapat membantu penemuan fisik
adanya kekerasan termasuk dengan memperhatikan kemungkinan tanda-tanda kekerasan pada
daerah-daerah yang tersembunyi. Terdapatnya luka yang banyak dengan tahap penyembuhan
yang bervariasi memperkuat dugaan adanya KDRT yang berulang.

19

4.6.4 Kekerasan Selama Kehamilan


Kekerasan umumnya meningkat selama kehamilan. Luka-luka kekerasan yang terjadi selama
kehamilan biasanya terdapat pada bagian payudara atau perut. Pasien juga dapat memperlihatkan
trauma pada genitalia, nyeri yang tidak dapat dijelaskan, serta kekurangan gizi. Kekerasan selam
kehamilan dapat membawa dampak yang fatal bagi ibu maupun janin, seperti aborsi spontan
yang tidak dapat dijelaskan, keguguran, atau kelahiran prematur.
4.6.5 Penganiayaan Seksual
Penganiayaan seksual merupakan salah satu bentuk KDRT yang kerap terjadi. Penganiayaan
seksual dilaporkan oleh 33% - 46% wanita yang mengalami kekerasan fisik. Bagi korban
penganiayaan seksual perlu dilakukan pemeriksaan untuk menemukan bukti penganiayaan
seksual jika diindikasikan oleh gambaran klinik. Beberapa bukti dari luka genital seperti
hematom vagina, luka lecet kecil pada vagina, atau benda asing pada rectovagina, dapat diajukan
untuk menentukan kekerasan seksual. Adanya darah yang mengering dan semen juga harus
dicatat. Perlu diindentifikasi pula adanya penyakit menular seksual yang dapat diduga akibat
kekerasan seksual.
4.7 Akibat Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan menimbulkan berbagai dampak yang merugikan. Dampak
kekerasan terhadap perempuan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental,
menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami
ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stres pasca trauma,
mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan
perempuan adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan
psikolog ataupun psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan. Dampaknya bagi anak
adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya
perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak
berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak
mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh
orang tuanya. Selain itu, KDRT juga menambah resiko jangka panjang untuk terjadinya

20

gangguan kesehatan lainnya sebagai dampak dari KDRT itu sendiri. Berbagai akibat kekerasan
tersebut dikelompokkan sebagai berikut:
1. Akibat Fisik
a) Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri.
b) Trauma fisik berat: memar berat luar/dalam, patah tulang, kecacatan.
c) Trauma fisik dalam kehamilan, yang beresiko terhadap ibu dan janin (abortus,
kenaikan berat badan ibu tidak memadai, infeksi, anemia, BBLR).
d) Kehamilan yang tak diinginkan dan kehamilan dini akibat perkosaan atau kebebasan
dalam mengikuti KB, yang dapat diikuti dengan tindakan aborsi, tertular PMS,
HIV/AIDS atau komplikasi kehamilan, termasuk sepsis, aborsi spontan, dan
kehamilan prematur.
e) Meningkatnya resiko terhadap kesakitan, misalnya gangguan ginekologis, perdarahan
pervaginam berat, PMS, infeksi saluran kencing, dan gangguan pencernaan.
2. Akibat Nonfisik
a) Gangguan mental, misalnya depresi, ketakutan dan cemas, rasa rendah diri, kelelahan
kronis, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, gangguan makan, ketagihan
alkohol dan obat, atau mengisolasikan dan menarik diri.
b) Pengaruh psikologis terhadap anak karena menyaksikan kekerasan, misalnya kelak
cenderung melakukan kekerasan terhadap pasangannya.
3. Pengaruh Terhadap Masyarakat
a) Bertambahnya biaya pemeliharaan kesehatan untuk akibat fisik/nonfisik dari
kekerasan terhadap perempuan.
b) Efek terhadap produktivitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya kontribusi
kepada masyarakat, kemampuan realisasi dan cuti sakit bertambah.
c) Kekerasan terhadap perempuan di lingkungan sekolah dapat mengakibatkan putus
pendidikan karena terpaksa keluar sekolah.

4.8 Undang-Undang yang Berkaitan dengan KDRT


Dengan telah disahkan Undang-Undang No.23 tahun tahun 2004 mengenai Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, diharapkan

21

adanya perlindungan hukum bagi anggota keluarga khususnya perempuan, dari segala tindak
kekerasan dalam rumah tangga.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal istilah kekerasan dalam
rumah tangga. KUHP hanya mengatur secara terbatas ruang lingkup kekerasan dalam rumah
tangga, sebagai berikut:
1) Pasal 351 356 KUHP mengatur penganiassyaan, yang berarti hanya terbatas pada
kekerasan fisik. Pasal-pasal ini hanya mengatur sanksi pidana penjara atau denda dan
sanksi lebih ditujukan untuk penjeraan (punishment). Padahal bentuk kekerasan dalam
rumah tangga memiliki tingkat kekerasan yang beragam, terutama bila dilihat dari
dampak kekerasan terhadap korban yang semestinya dikenakan penerapan sanksi yang
berbeda.
2) Pasal 285 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul, belum sepenuhnya
mengakomodir segala bentuk kekerasan seksual. KUHP tidak mengenal lingkup rumah
tangga. KUHP tidak mengatur alternatif hukuman kecuali hanya pidana penjara, yang
mana membuat dilema tersendiri bagi korban. KUHP tidak mengatur hak-hak korban,
layanan-layanan darurat bagi korban serta kompensasi.
4.8.1 Hak-Hak Korban
Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
c. Penganganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban
dari:
a. Tenaga kesehatan.
b. Pekerja sosial.

22

c. Relawan pendamping.
d. Pembimbing rohani.
4.8.2 Kewajiban Pemerintah
Melalui Undang-Undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan Kekerasan
dalam Rumah Tangga. Untuk itu pemerintah harus:
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
b. Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga.
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam
rumah tangga serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan yang sensitive gender.
Selain itu, untuk pengelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan
pemerintah daerah dapat melakukan upaya:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian.
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani.
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan
yang mudah diakses korban.
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.
4.8.3 Kewajiban Masyarakat
Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuannya untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana.
b. Memberikan perlindungan kepada korban.
c. Memberikan pertolongan darurat.
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Namun, untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang
terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah
korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada

23

kepolisian. Namun, korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk
melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian. Dalam hal korban adalah
seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang
bersangkutan.
4.8.4 Ketentuan Pidana pada Pelaku
Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam BAB VIII mulai dari pasal 44 53. Lama
waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang
dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat
dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur
batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman
percobaan saja. Meskipun demikian, ada 2 pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan
maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan
seksual.
1. Pasal 47: Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda
paling sedikit Rp. 12.000.000 atau denda paling banyak Rp. 300.000.000
2. Pasal 48: Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan
luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir
atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus-menerus atau 1 tahun tidak
berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan
pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000 dan denda
paling banyak Rp. 500.000.000
Selain itu, pelaku KDRT dapat juga dijerat dengan KUHP terutama tentang
penganiayaan. Dalam hal ini, penganiayaan yang menimbulkan luka, baik ringan, sedang,
maupun berat. Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana
penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka sedang dapat merupakan
hasil dari tindak penganiayaan (pasal 351 (1) atau 353 (1)). Korban dengan luka berat (pasal 90

24

KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan dengan akibat luka berat (pasal
351 (2) atau 353 (2)) atau akibat penganiayaan berat (pasal 354 (1) atau 355 (1)).
Pasal 351
1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun
delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,00
2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selamalamanya lima tahun. (KUHP 90).
3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selamalamanya tujuh tahun. (KUHP 338).
4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum (KUHP 37, 53, 184, 353,
356, 487).
Pasal 352
1) Selain daripada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang
tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai
penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.4.500,00. Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila
kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah
perintahnya.
2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. (KUHP 37, 53, 70, 184).
Pasal 353
1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun.
2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya
tujuh tahun. (KUHP 90).
3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, ia dihukum penjara selama-lamanya
sembilan tahun. (KUHP 37, 338, 340, 352, 355, 487).
Pasal 354
1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena menganiaya
berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun. (KUHP 90, 351-2).

25

2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selamalamanya sepuluh tahun. (KUHP 37, 90, 338, 351-2, 356, 487).
Pasal 355
1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun.
2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selamalamanya lima belas tahun. (KUHP 35, 37, 336, 340, 351-3, 353, 356, 487).
Pasal 356
Hukuman yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah sepertiganya:
1) Jika si tersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya
(suaminya) atau anakanya. (KUHP 91, 307).
2) Jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab ia
menjalankan pekerjaan yang sah. (KUHP 92, 211, 316).
3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memakai bahan yang merusakkan jiwa atau
kesehatan orang. (KUHP 35, 37, 357).
Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan.
Umumnya yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban dengan tanpa
luka atau dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya/yang tidak
menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori luka
ringan atau luka derajat satu. KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang luka berat, yaitu:
jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang
menimbulkan bahaya maut; yang menyebabkan seseorang terus-menerus tidak mampu untuk
menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu
panca indera; yang menimbulkan cacat berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya
keadaan lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur
atau matinya kandungan seorang perempuan. Dengan demikian keadaan yang terletak di antara
luka ringan dan luka berat adalah keadaan yang dimaksud dengan luka sedang.

26

4.8.5 Pembuktian Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga


Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat yang sah lainnya.
Adapun alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yang diatur dalam pasal 184 adalah sebagai
berikut:
1) Keterangan saksi
Menurut pasal 1 butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan
pengertian umum keterangan saksi, dicantumkan dalam pasal 1 butir 27 KUHAP yang
menyatakan: Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar, ia lihat sendiri dan
ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu
2) Keterangan ahli
Pengertian umum dari keterangan ahli ini dicantumkan dalam pasal 1 butir 28 KUHAP,
yang menyebutkan Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
3) Surat
Surat sebagaimana dimaksud pada pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah surat-surat
yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat
keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang
sedang diadili. Sebagai syarat mutlak dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat
dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat di
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.
4) Petunjuk
Alat bukti petunjuk dalam KUHAP ditentukan dalam pasal 188, disebutkan bahwa
petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
5) Keterangan terdakwa

27

Alat bukti keterangan terdakwa didapatkan pada urutan terakhir dari alat-alat bukti yang
ada dan uraiannya terdapat dalam pasal 189 KUHAP. Dinyatakan bahwa keterangan
terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di siding tentang perbuatan yang ia lakukan
atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah yang termasuk ke dalam
keterangan ahli sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan
dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et
repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam
bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti benda bukti. Visum et
repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik
tersebut yang tertuang dalam bagian kesimpulan.
4.8.6 Kendala dalam KDRT
Menghadapi kasus KDRT yang insidennya makin meningkat dari tahun ke tahun masih memiliki
berbagai hambatan. Hambatan muncul dari berbagai pihak termasuk korban, masyarakat, dan
penyelenggara hokum itu sendiri. Belum tersosialisasinya UU No. 23 tahun 2004 terhadap para
penegak hukum dan masyarakat menyebabkan pengertian akan perlindungan terhadap korban
KDRT masih sangat minimal. Korban kurang paham bahwa perbuatan pelaku adalah merupakan
tindak pidana.
Di samping itu, mengingat kekerasan terjadi di dalam rumah tangganya sendiri,korban
sering merasa ragu-ragu untuk melaporkan ke polisi. Adanya dilemma batin pada korban antar
keinginan untuk melapor dengan rasa sayang terhadap pelaku sering menyebabkan tenggang
waktu antara kejadian dengan saat korban melakukan ke polisi cukup lama, sehingga bekas luka
atau hasil Visum et repertum tidak mendukung. KDRT masih dianggap sebagai suatu hal yang
privat dan korban sering merasa malu untuk melaporkan karena dianggap merupakan aib
keluarga. Korban juga merasa pelaku adalah tulang punggung keluarga, sehingga apabila
dilaporkan maka tidak ada yang membiayai korban/keluarga untuk kelangsungan hidupnya.

28

4.8.7 Menemukan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak


Bila mengalami maupun menemukan kasus kekerasan dalam rumah tangga, sebaiknya segera
laporkan kejadian ke Polisi. Korban hendaknya segera melapor dan segera melakukan Visum
agar bekas luka masih jelas sesuai keadaan awal. Mengingat korban tentunya berada dalam
suasana perasaan yang panic, bingung, ketakutan maupun depresi, korban perlu diberikan
penguatan dan pendampingan agar korban kuat menghadapi masalah. Untuk memperkuat
pembuktian dalam kasus KDT ini, perlu segera dikumpulkan bukti-bukti dan data saksi.
Korban perlu disosialisasikan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan pada waktu
mengajukan permintaan visum et repertum untuk korban hidup. Bahwa permintaan harus
diajukan secara tertulis, tidak dibenarkan minta secara lisan, melalui titipan atau melalui pos.
Surat permintaan visum et repertum harus dibawa sendiri oleh pihak pengusut bersama-sama
korban ke rumah sakit.
Umumnya korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke
penyidik/pejabat kepolisian, sehingga mereka datang dengan membawa serta surat permintaan
visum et repertum. Sedangkan pada korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter
atau rumah sakit sebelum melapor ke penyidik. Untuk kasus kekerasan seksual, untuk dapat
memeriksa korban, selain adanya surat permintaan visum et repertum, dokter sebaiknya juga
mempersiapkan si korban atau orang tuanya bila ia masih belum cukup umur, agar dapat
dilakukan pemeriksaan serta saksi atau pendamping perawat wanita dan pemeriksaan sebaiknya
dilakukan dalam ruang tertutup yang tenang.

29

BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan pembandingan antara tinjuan pustaka dan contoh kasus yang didapat maka
dapat diketahui bahwa korban YP, perempuan berumur empat puluh lima tahun, ditemukan tanda
kekerasan fisik. Luka-luka pada korban ini tergolong ke dalam luka sedang.Dimana luka sedang
tersebut adalah luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencahariannya untuk sementara waktu. Dalam teori dijelaskan beberapa
macam penganiayaan yaitu berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau
pekerjaan. Umumnya yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban
dengan tanpa luka atau dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak
berbahaya/yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka tersebut dimasukkan ke
dalam kategori luka ringan atau luka derajat satu. KUHP pasal 90 telah memberikan batasan
tentang luka berat, yaitu: jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; yang menyebabkan seseorang terusmenerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang
menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; yang menimbulkan cacat berat (verminking);
yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu
atau lebih serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Dengan demikian
keadaan yang terletak di antara luka ringan dan luka berat adalah keadaan yang
dimaksud dengan luka sedang. Korban yang bersangkutan merupakan korban dari tindak
pidana penganiayaan sedang seperti yang diatur dalam pasal 351 ( 4 ) KUHP dan teori yang telah
dijabarkan.

30

DAFTAR PUSTAKA
Bangun, M., 2013. Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Kaitannya
dengan
Visum
et
Repertum.
Diakses
dari
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jmpk/article/view/3535/1687 pada 30 September
2013
Ciciek, F., Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Belajar Dari Kehidupan
Rasulullah SAW., Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan Perserikatan
Solidaritas Perempuan, 1999
Munti (ed.), R.B., 2000. Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft
Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH
APIK
Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan
Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Putri, dkk, 2010. Aspek Medikolegal Kekerasan dalam Rumah Tangga. diakses dari
http://eprints.undip.ac.id/22097/ pada 30 September 2013
Ribka, P.D., 1998. Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian
di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas
Indonesia
Sudjana, P. 2011. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal: Toksikologi: Surabaya.
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga
Munti (ed.), R.B., 2000. Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft
Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH
APIK
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
WHO,
2010,
Definition
and
Typology
of
Violence,
diakses
dari
http://www.who.int/violenceprevention/approach/definition/en/index.html pada 30
September 2013
Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalyanamitra, Pusat
Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999

31

Anda mungkin juga menyukai