Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan
dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki
paling sering terkena OA (Soeroso, 2009). Proses penyakitnya tidak hanya mengenai
rawan sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk tulang subkondral,
ligamentum, kapsul, dan jaringan synovial serta jaringan ikat periartikular (Nasution
& Sumariono, 2009).
Lebih kurang 16-23 juta orang di Amerika di diagnosis OA dan pada tahun
2020 diperkirakan meningkat menjadi 40 juta orang (Derek, 2004). Penelitian di
Amerika serikat pada tahun 1999 melaporkan kira-kira 25%-50% orang dewasa
dengan OA lutut tidak dapat atau mengalami banyak kesulitan dalam melakukan
kegiatan sehari-hari seperti berjalan, membawa sesuatu atau membungkuk. Selama
beberapa tahun, studi klinis tentang pemberian obat pada pasien OA hanya terfokus
pada parameter klinis yang spesifik seperti nyeri dan fungsi sendi tanpa melihat efek
terapi terhadap perubahan struktural yang disebabkan oleh OA maupun terapi yang
mencegah degradasi kartilago lebih lanjut (Raynauld, et al.,2004).
Prevalensi OA lutut secara radiologis di Indonesia cukup tinggi yaitu
mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh

nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang
terkena. Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat dirasakan terus-menerus sehingga
sangat mengganggu mobilitas pasien (Soeroso dkk, 2009). Lebih dari 85% pasien OA
terganggu aktivitasnya terutama untuk kegiatan jongkok, naik tangga, dan berjalan.
Arti dari gangguan jongkok dan menekuk lutut sangat penting bagi pasien
osteoarthritis di Indonesia oleh karena banyak kegiatan sehari-hari yang bergantung
kegiatan ini khususnya sholat dan buang air besar.
karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya kronik-progresif, OA
mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik dari Negara maju dan
berkembang. Pada abad mendatang tantangan terhadap dampak OA akan lebih besar
karena semakin banyak populasi yang berumur tua.
Dewasa ini OA telah menjadi permasalahan yang sering kali muncul ke
permukaan dan cukup mengganggu bagi pasien-pasien yang terkena OA sehingga
diperlukan tinjauan pustaka tentang gambaran klinis penyakitnya, perangkat
diasnotiknya, komplikasinya, dan penatalaksanaannya.

B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan refrat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang
OA baik mengenai definisi, faktor resiko, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
dan terutama penatalaksanaannya.

C. MANFAAT PENELITIAN
Penulisan Refrat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman penulis dan pembaca mengenai osteoarthritis (OA).

BAB II
3

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
Tulang manusia saling berhubungan satu dengan yang lain dalam berbagai
bentuk untuk memperoleh system musculoskeletal yang optimal. Aktivitas gerak
tubuh manusia bergantung pada efektifnya interaksi antara sendi yang normal
dengan unit-unit neuromuskuler yang menggerakkannya. Otot,tendon, ligament,
rawan sendi, dan tulang saling bekerja sama dibawah kendali system saraf agar
fungsi dapat sempurna.
Struktur sendi
Sendi adalah persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang tersebut
dapat bergerak maupun tidak dapat bergerak satu sama lain. Sendi dibagi menjadi 3
yaitu
1. Sinartrosis, sendi yang tidak memungkinkan tulang-tulang tulang-tulang
yang berhubungan dapat bergerak satu sama lain.
2. Diartrosis, sambungan antara 2 tulang atau lebih yang memungkinkan
tulang-tulang tersebut dapat bergerak satu sama lain.
3. Amfiartrosis, merupakan sendi yang memungkinkan tulang-tulang yang
saling berhubungan dapat bergerak secara terbatas.

Rawan sendi

Pada sendi synovial (diartrosis), tulang-tulang yang saling behubungan


dilapisi rawan sendi. Rawan sendi merupakan jaringan avaskuler dan juga tidak
memiliki jaringan saraf, berfungsi sebagai bantalan terhadap beban yang jatuh ke
dalam sendi.
Rawan sendi dibentuk oleh;
1. Sel rawan sendi( kondrosit)
Kondrosit berfungsi menyintesis dan memelihara matrik rawan sehingga
fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik.
2. Matrik rawan sendi
Matrik rawan sendi terutama terdiri dari air, proteoglikan, dan kolagen.
Proteoglikan adalah molekul yang kompleks yang tersusun atas inti
protein

dan

molekul

glikosaminoglikan.

Glikosaminoglikan

yang

meyusun proteoglikan terdiri dari keratin sulfat, kondroitin-6sulfat, dan


kondroitin-4sulfat. Bersama-sama dengan asam hialuronat, proteoglikan
membentuk agregrat yang dapat menghisap air dari sekitarnya sehingga
mengembang dan membentuk bantalan yang baik sesuai dengan fungsi
rawan sendi. Agrekan merupakan proteoglikan yang mempunyai
komposisi berupa protein inti (core protein) dan rantai glikosaminoglikan
(GAG) yang melekat secara kovalen pada protein inti. Protein inti dari
agrekan mempunyai massa molekul sebesar 230 kd dan terdiri atas 3
domain globular (G1,G2,G3) dan 2 domain GAG yang melekat padanya
(yaitu domain keratin sulfat dan kondroitin sulfat. Kolagen merupakan
protein yang sangat kuat. Terdapat berbagai tipe kolagen, tetapi kolagen

yang terdapat dalam tulang rawan sendi adalah kolagen tipe II. Kolagen
berfungsi sebagai kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi
pengembangan berlebihan proteoglikan..
Rawan sendi merupakan jaringan avaskuler, karena itu makanan diperoleh
dengan jalan difusi. Pada rawan sendi yang normal, proses degradasi dan sintesis
matrik selalu terjadi. Salah satu enzim proteolitik yang dihasilkan oleh kondrosit dan
berperan pada degradasi kolagen dan proteoglikan adalah kelompok enzim
metaloprotease, seperti kolagenase dan stromelisin. Berbagai sitokin juga berperan
pada proses degradasi dan sintesis matriks.

Bone vs. cartilage.Bone (A) is characterized by a solid sponge-like matrix that


imparts rigidity. Cartilage (B) is characterized by a web-like matrix that imparts elasticity.

Gambar 1. Struktur tulang& tulang rawan


Membrane sinovial
Membrane sinovial merupakan jaringan avaskuler yang melapisi permukaan
dalam kapsul sendi, tetapi tidak melapisi permukaan rawan sendi. Membrane
synovial tersusun atas 1-3 lapis sel-sel synovial (sinoviosit) yang menutupi jaringan
subsinovial dibawahnya, tanpa dibatasi membran basalis. Sel sinoviosit terdiri dari 2
tipe yaitu tipe A(20-30%) yang mempunyai banyak persamaan dengan magrofag tipe
B (70-80%) yang mempunyai banyak persamaan dengan fibroblast. Sinoviosit A
berfungsi melepaskan debris-debris sel dan material khusus lainnya ke dalam rongga
sendi. Sel sinoviosit B berperan mensintesis dan menyekresikan hialuronat yang
merupakan zat aditif dalam cairan sendi yang berperan dalam mekanisme lubrikasi.
Cairan sendi yang normal bersifat jernih, kekuningan dan viskous. Viskositas cairan

ini dipelihara oleh hialuronat dan material proteinaseus lainnya. Selain itu sinoviosit
B juga berperan memperbaiki kerusakan sendi yang memproduksi kolagen dan
melakukan proses remodeling.
Cairan sendi
Pada sendi yang normal, cairan sendi sangat sedikit, sehingga sulit untuk
diaspirasi dan dipelajari. Cairan sendi merupakan dialisat atau ultrafiltrat plasma.
Pada umumnya kadar molekul dan ion kecil adalah sama dengan plasma, tetapi kadar
proteinnya lebih rendah.
Meniscus
Meniscus merupakan struktur yang hanya ditemukan dalam sendi lutut,
temporomandibular,

sternoklavikular,

radioulnardistal,

dan

akromioklavicular.

Meniscus merupakan diskus fibrokartilago yang pipih atau segitiga atau irregular
yang melekat pada kapsul fibrosa dan selalu pada salah satu tulang yang berdekatan.
Meniskus memiliki fungsi yang sangat penting pada sendi lutut, termasuk di
antaranya adalah menahan beban, shock absorption, stabilitas sendi dan lubrikasi
sendi. Kemampuan biokemikal dari meniskus tergantung pada karakteristik anatomi
dan materinya.

Kapsul dan ligamen

Ligament dan kapsul sendi, terutama tersusun oleh serat kolagen dan elastin,
sedikit proteoglikan. Komponen glikosaminoglikannya terutama adalah kondroitin
sulfat dan dermatan sulfat. (Sumariyono,2009).

Gambar 2. Anatomi normal sendi

Tabel 1. Komposisi tulang rawan sendi artikular normal


Komposisi
Air
Matriks

Jumlah
66-78%
22-34%

Kolagen tipe II

48-62%

Proteoglikan

22-38%

Hialuronat
Kondrosit
Anorganik

<1%
0.4-2%
5-6%

B. DEFINISI
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan
dengan kerusakan kartilago sendi. kerusakan tulang rawan sendi ini berkembang
9

lambat yang tidak diketahui penyebabnya, meskipun terdapat beberapa faktor resiko
yang berperan. Keadaan ini berkaitan dengan usia lanjut, terutama pada sendi-sendi
tangan dan sendi besar yang menanggung beban dan secara klinis ditandai oleh
nyeri, deformitas, pembesaran sendi, dan hambatan gerak. Seringkali berhubungan
dengan trauma atau mikrotrauma yang berulang-ulang, obesitas, stress oleh beban
tubuh, chronic inflammatory arthritis, malformasi congenital, dan penyakit-penyakit
sendi lainnya (Soeroso,2009).
Vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki paling sering terkena OA
(Soeroso, 2009). Proses penyakitnya tidak hanya mengenai rawan sendi namun juga
mengenai seluruh sendi, termasuk tulang subkondral, ligamentum, kapsul, dan
jaringan synovial serta jaringan ikat periartikular (Nasution & Sumariono, 2009).

Gambar 3. Sendi yang sering terkena osteoartritis


C. ETIOLOGI
10

Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan


OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan local pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya
kelainan endokrin, inflamasi, metabolic, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan
makro

serta imobilisasibyang terlalu lama. OA primer lebih sering ditemukan

disbanding OA sekunder.(Soeroso,2009).
Pada studi epidemiologi didapatkan faktor resiko endogen dan eksogen pada
osteoarthritis (Joem et.al., 2010).

Tabel 2. Faktor resiko endogen dan eksogen osteoarthritis lutut


Endogen
Usia
Jenis kelamin
Keturunan
Asal suku (lebih sering pada orang eropa)
Perubahan post menopouse

Eksogen
Trauma besar
Trauma ringan yang berulang
Berat badan berlebih
Operasi sendi
Faktor gaya hidup (alcohol, merokok)

Isbagio (2009) mengklasifikasikan faktor resiko osteoartritis menjadi faktor resiko umum dan
mekanik yaitu:
a.Usia
Dari semua faktor resiko timbulnya OA, faktor usia adalah yang terkuat. Prevalensi dan
beratnya OA meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tidak pernah pada anakanak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun
(Isbagio, 2009).

11

b.Jenis kelamin
Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi, lelaki lebih sering terkena OA
paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan, usia dibawah 45 tahun frekuensi OA kurang
lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi usia diatas 50 tahun (setelah menopause)frekuensi OA
lebih banyak pada wanita dari pada pria (Isbagio, 2009).

c.Suku bangsa
Osteoartritis lebih jarang pada orang-orang berkulit hitam dan asia dibanding dengan
kaukasian. Osteoartritis lebih sering terjadi pada orang eropa dan ras kulit putih lainnya (Isbagio,2009).
d. Genetik
Osteoartritis disebabkan karena genetik, mekanisme stres lokal maupun faktor sistemik
yang mengawali hilangnya kartilago sendi. Pertumbuhan berlebih pada tulang dan perubahan lain
dari tulang, termasuk juga perubahan ligamentum, meniscus dan otot (CDC, 2010).
Faktor genetik yang belum teridentifikasi diduga terlibat dalam perkembangan osteoartritis,
teori komponen genetik ini didukung oleh penelitian yang dilakukan pada keluarga dan anak
kembar. Aberasi kromosom klonal, misal penambahan pada kromosom 5 dan 7, yang ditemukan
di membrane Synovial pada beberapa pasien osteoartritis. Alpha1-antitripsin, 1antichymotrypsin, gen polimorfisme, dan alel HLA diduga berhubungan dengan
osteoarthritis generalisata, sebaliknya gen polymorfisme prokolagen tipe II diduga
berhubungan dengan perkembangan osteoartritis dengan kondroplasia ringan (Sakkas et al., 2007).
e. Kegemukan dan penyakit metabolik

12

Dalam suatu studi epidemiologi, Grotle et al (2008) menemukan adanya hubungan yang
signifikan untuk kegemukan (BMI >30) sebagai faktor resiko osteoartritis lutut, tetapi bukan
merupakan faktor resiko osteoartritis pinggul (Joern et al., 2010). Obesitas merupakan faktor resiko
bagi pertumbuhan dan perkembangan dari osteoartritis lutut. Obesitas juga berpengaruh terhadap
osteoartritis pinggul dan tangan namun, hubungan yang jelas belum ditemukan(Sharma, 2000).
Sejumlah besar studi yang telah dilakukan tidak ditemukan adanya ikatan metabolis antara
kegemukan dengan osteoartritis. Sebagai contoh, pengontrolan distribusi lemak tubuh, diabetes,
kadar kolesterol, kadar asam urat, dan tekanan darah tidak menurunkan hubungan antara obesitas
dengan osteoartritis lutut dalam data First National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES-I) (Sharma, 2000).
f. Cidera sendi, pekerjaan, dan olahraga
Pada studi cross sectional ditemukan resiko osteoartritis 1,9-13 kali lebih tinggi pada
penambang mineral di bawah tanah pada populasi yang terkontrol, dapat diasumsikan bahwa faktor
resiko utama pada golongan ini adalah seringnya posisi berlutut maupun jongkok. Pekerja
konstruksi, terutama pemasang lantai mengalami kenaikan prevalensi osteoartritis yang signifikan
(Joern et al., 2010). Bukti menyatakan bahwa kebiasaan berolahraga yang cukup saat usia
dewasa muda dan tua tidak meningkatkan resiko osteoartritis. Tetapi, telah diketahui bahwa trauma
atau luka pada lutut berhubungan dengan kejadian osteoartritis dan kegiatan olahraga yang
berbahayameningkatkan resiko luka di lutut secara akut (Michaelsson, 2011).
g. Kelainan pertumbuhan

13

Kelainan kongenital dan pertumbuhan pada paha telah dikaitkan dengan timbulnya OA
paha pada usia muda. Mekanisme ini juga diduga berperan pada lebih banyaknya OA pada paha
laki-laki dan ras tertentu (Isbagio, 2009). Panjang tungkai yang tidak sama diduga juga berhubungan
dengan prevalensi, keluhan simptomatis dan osteoartritis lutut yang progresif. Hasil dari penelitian
menunjukkan bahwa ketidaksamaan panjang tungkai merupakan modifikasi dari faktor resiko
osteoartritis (Harvey,2010).

D. PATOFISIOLOGI
Pada OA terdapat dua perubahan morfologi utama yaitu kerusakan tulang
rawan sendi yang progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang
rawan sendi dan tepi sendi (osteofit). Penelitian menunjukkan bahwa perubahan
metabolisme tulang rawan sendi telah timbul sejak proses patologis osteoarthritis.
Perubahan tersebut berupa peningkatan aktivitas enzim-enzim yang merusak
makromolekul matriks tulang rawan sendi (proteoglikan dan kolagen). Hal ini
menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-sifat kolagen dan
berkurangnya kadar air tulang rawan sendi. Saat ini osteoarthritis tidak dipandang
hanya sebagai proses degenerative saja, tetapi juga merupakan suatu penyakit dengan
proses aktif. Dengan adanya perubahan-perubahan pada makromolekul tulang rawan
tersebut, sifat-sifat biomekanis tulang rawan sendi akan berubah. Hal ini akan
menyebabkan tulang rawan menjadi

rentan terhadap beban biasa.pembentukan

14

tulang baru (osteofit) dipandang oleh beberapa ahli sebagai suatu proses perbaikan
untuk membentuk kembali persendian atau tepi sendi
Perkembangan osteoarthritis terbagi atas 3 fase, yaitu sebagai berikut:
1. Fase I: terjadi penguraian proteolitik pada matrik kartilago. Metabolisme
kondrosit menjadi terpengaruh dan meningkatkan produksi enzim seperti
metalloproteinase yang kemudian hancur dalam matriks kartilago.
Kondrosit

juga

memproduksi

penghambat

protease

yang

akan

mempengaruhi proteolitik. Kondisi ini memberikan manifestasi pada


penipisan kartilago.
2. Fase 2: pada fase ini terjadi fibrilasi dan erosi dari permukaan kartilago,
disertai adanya pelepasan proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam
cairan synovial
3. Fase 3: proses pengurian dari produk kartilago yang menginduksi respon
inflamasi pada sinovia. Produksi makrofag sinovia seperti interleukin 1(IL
1), TNF alpha, dan metaloproteinnase menjadi meningkat. Kondisi ini
memberikan manifestasi balik pada kartilago dan secara langsung
memberikan dampak adanya destruksi pada kartilgo. Molekul-molekul
pro-inflamasi lainnya seperti nitric oxide (NO) juga ikut terlibat. Kondisi
ini memberikan manifestasi perubahan arsitektur sendi, dan memberikan
perubahan dampak terhadap pertumbuhan tulang akibat stabilitas sendi.
Perubahan arsitektus sendi dan stress inflamasi memberikan pengaruh
pada permukaan artikular menjadikan kondisi gangguan yang progresif
(helmi, 2012).

15

16

Gambar 4. Struktur sendi pada osteoartritis

usia

Jenis
kelamin

geneti
k

Kerusakan fokal tulang rawan


sendi yang progresif

suku

kegemuka
n

Pembentukan tulang baru pada


sendi dan tepi sendi

Perubahan metabolisme
tulang
Peningkatan aktifitas enzim yang
merusak makro molekul matriks
tulang rawan sendi
Penurunan kadar
proteoglikan
Perubahan sifat-sifat
kolagen
Berkurangnya kadar air tulang
rawan sendi

Permukaan tulang rawan sendi terpecah belah


dan robekan

Timbul laserasi

17

OSTEOARTRITIS

Gambar 5. Skema patofisiologi osteoarthritis


E. MANIFESTASI KLINIS
Tabel 3. Cirri-ciri osteoarthritis

Nyeri

Nyeri saat akan bergerak


Nyeri selama bergerak
Nyeri menetap / saat malam hari
Memerlukan analgesik

Hilang fungsi

Kaku
Terbatasnya gerakan
Memburuk pada aktivitas sehari-hari

Gejala lain

Krepitasi
Sensitif terhadap dingin dan lembab
Perkembangan yang bertahap

*digunakan oleh Department of Orthopaedic and Trauma Surgery, University of


Cologne (Joern et al., 2010)
Orang dengan osteoartritis sering mengeluhkan terbatasnya gerakan dan nyeri pada
saatbergerak ataupun berjalan. Beberapa mengeluhkan nyeri saat malam hari atau nyeri
yangpermanen (Michael, Brust, Eysel. 2010).
a.Gejala (Symptom)
1.Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama yang seringkali membawa pasien ke dokter. Nyeri
biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan

18

tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan yang lain. Nyeri pada
OA dapat berupa penjalaran atau radikulopati (Soeroso et al., 2009). Pada awalnya nyeri bersifat
episodik, sering didahului oleh penggunaan sendi yang sakit secara berlebih selama sehari atau dua
hari sebelumnya. Seiring dengan bertambah beratnya penyakit, nyeri menjadi berkelanjutan dan
bahkan mengganggu saat malam hari (Brandt, 2007)
2.Hambatan Gerak Sendi
Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun OA yang masih dini (secara radiologis).Biasanya
bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan
menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris
(salah satu arah gerakan saja) (Kalim, 2004).
3.Kaku Sendi
Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk
dikursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur kaku sendiserig
kali cepat (<30 menit) (Soeroso et al., 2009).
b.Tanda ( Sign)
1.Kaku Pagi
Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk
dikursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur (Kalim, 2004).
2.Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut. Pada awalnya hanya
berupaperasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang

19

memeriksa.Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu.
Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi
digerakkan atau secara pasif dimanipulasi (Kalim, 2004).
3.Pembesaran Sendi (Deformitas)
Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya (seringkali terlihat di lutut atau
tangan) secara pelan-pelan membesar (Soeroso et al., 2009). Pembengkakan sendi pada OAdapat
timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak banyak (<100 cc). Sebab lain ialah karena
adanya osteofit, yang dapat mengubah permukaan sendi (Kalim, 2004).
4.Perubahan Gaya Berjalan
Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau pinggang berkembang
menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman
yang besar untuk kemandirian pasien OA yang umumnya berusia tua. Hal ini merupakan hal yang
paling menyusahkan pasien (Soeroso et al., 2009).

F. PENEGAKAN DIAGNOSA
a. Radiografi
Radiografi sendi yang terkena dilakukan pada pasien yang mengeluh nyeri saat malam hari
dan tidak melakukan kegiataan. Jika nyeri menetap setelah terapi efektif untuk osteoarthritis,
radiografi dapat menunjukkan diagnosis yang terlewat. Pada pasien osteoartritis hasil radiografi yang
ditemukan tidak berhubungan rasa nyeri yang dialami pasien. Walaupun begitu kondrokalsinosis
dapat terlihat pada pemeriksaan radiologis, ini berhubungan dengan usia seseorang dan berhubungan
dengan rasa nyeri yang dikeluhkan oleh pasien.

20

Nekrosis avaskular dapat didiagnosis dengan radiografi, meskipun jika terdiagnosis


biasanya sudah terlambat untuk diterapi. Magnetic resonance imaging (MRI) sering dilakukan
untuk mengetahui gambaran osteoartritis tetapi tidak dianjurkan untuk dilakukan pada orang tua
dengan keluhan nyeri yang menetap. Pada MRI ditemukan tanda-tanda osteoartritis seperti
meniscus tears yang umum ditemukan pada usia pertengahan dan orang tua dengan atau tanpa
keluhan nyeri (Nelson, 2006).

Gambar 6. Klasifikasi OA berdasarkan gambaran radiologis

b.Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin tidak dikerjakan pada pasien dengan nyeri lutut yang kronik
hinggaditemukan gejala dan tanda remathoid arthritis maupun artritis inflamasi lain. Penilaian
cairan sinovial dilakukan jika dicurigai artritis inflamasi atau gout atau pseudogout pada sendi

21

yang terinfeksi, pada osteoartritis sel darah putih ditemukan kurang dari 1000/m3 di cairan
sinovial,sedangkan jumlah yang lebih tinggi menandakan artritis inflamasi. Jika didapatkan
kristal,merupakan diagnosis dari gout maupun pseudogout (Nelson, 2006)
c.Marker
Kadar dari marker pembentukan kembali tulang meningkat pada pasien dengan
osteoarthritis yang progresif dan mirip dengan pasien dengan osteoporosis post menopause
(Bingham et al.,2006). Inflamasi sinovial memberikan pengaruh pada perkembangan penyakit,
hubungan antara marker biologis inflamasi seperti protein C- reaktif dan protein matriks
kartilago oligomeri dengan perkembangan perubahan struktural pada osteoartritis (Bondeson et al.,
2010).

G. PENATALAKSANAAN

PenatalaksanaanTujuan akhir dari pengobatan OA adalah untuk mengurangi nyeri dan


meminimalisasi kemunduran fungsi fisik. Nyeri dan kehilangan fungsi merupakan konsekuensi dari
inflamasi, kelemahan pada sendi, kelemahan dan instabilitas, maka penatalaksanaan OA
melibatkan semua hal tersebut (Brandt, 2007)
a.Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi merupakan pendekatan dari beberapa disiplin ilmu sebagai
contoh,instruksi untuk menurunkan berat badan dan terapi olahraga. Terapi non farmakologi,
intervensi non operatif misal terapi yang ditawarkan oleh fisioterapis merupakan pengobatan

22

pertama yang dianjurkan pada osteoartritis lutut dan pinggul, walaupun masih kurang cukup bukti
untuk merekomendasikan penanganan yang spesifik untuk penyakit ini (Abbot, 2009).

Tabel 4 terapi non farmakologi


Terapi
Olahraga
Pelatihan perlawanan
Aerobik
Unloading
Tongkat /penyangga
Menurunkan BB
Pelatihan
Cara melangkah
Cara memakai sepatu
Akupuntur

Keterangan
Hindari jika nyeri memburuk. Latihan yang
progresif lebih baik
Tongkat dan kaki yang terkena harus menginjak
lantai pada saat yang bersamaan
Dianjurkan jika nyeri tidak membaik dengan
terapi lain.
Rata-rata mengurangi rasa nyeri
beberapa sesi

setelah

b. Terapi farmakologi
Agen farmakologi (analgesic oral dan topical, obat anti inflamasi non steroid
(OAINS)

termasuk

penghambat

selektif

cyclooxygenase-2,

dan

terapi

intraartikular (kortikosteroid dan preparat hyaluronan ) jika dibutuhkan. Suplemen diet dan
nutrisi termasuk glucosamine Dan chondroitin sulfate, sering digunakan oleh pasien dan
direkomendasikan oleh praktisi (Hochberg,2006)
c. Terapi farmakologi lain

23

Dalam suatu penelitian RCT , injeksi kortikosteroid intraartikular lebih efektif


mengurangi rasa nyeri dibanding dengan placebo selama satu hingga tiga minggu, setelah itu
efeknya hampir sama. Belum ada data yang jelas menyatakan berapa dosis optimal pada injeksi
kortikosteroid. Analgesik opiat lebih efektif disbanding placebo
dalam mengendalikan rasa nyeri, tetapi efek samping dan ketergantungan menjadi pertimbangan.
Obat topical seperti capsaicin lebih baik disbanding placebo dalam meredakan nyeri (Felson,
2006).
d.Operasi
Pasien dengan gejala osteoartritis yang berat dan tidak membaik dengan pengobatan lain
dan mengalami keterbatasan dalam melakukan kegiatan sehari hari dianjurkan untuk melakukan
operasi orthopedic sebagai evaluasi. Dalam percobaan debridement artroskopi
dengan atau tanpa artroplasti dan kegunaannya sebagai salah satu pilihan terapi osteoartritis tidak
terbukti. Pada beberapa pasien yang belum pernah melakukan artropalsti, osteotomi dapat
mengurangi nyeri dan menghambat perkembangan penyakit (Nelson, 2006) Banyaknya operasi
intra-artikular yang dilakukan dengan athroscope, menimbulkan keuntungan yaitu trauma
operasi yang minimal dan resiko infeksi yang kecil (Joern et al., 2010).Operasi artroplasti sendi
merupakan pengobatan yang efektif untuk mengurangi rasa nyeri dan mengurangi ketidakmampuan
secara fungsional pada artritis pada pinggul dan lutut yang lebih berat (Hawker, 2000).

24

H. GLUKOSAMIN DAN KONDROITIN SULFATE


Glukosamin adalah salah satu dari kelompok biokimia yang dikenal sebagai
gula amino. Senyawa dengan rumus kimia C6H13NO5 ini diproduksi secara alami
oleh tubuh untuk membentuk glikosaminoglikan, protein pembentuk tulang rawan.
Glukosamin juga bermanfaat menjaga metabolisme tulang rawan dan membantu
memperbaiki tulang rawan yang rusak atau terkikis. Glukosamin tersedia dalam
beberapa bentuk: glukosamin sulfat (GS) yang distabilkan oleh natrium klorida atau
kalium klorida, glukosamin hidroklorida (GH) dan N-asetil glukosamin (NAG) Salma
(2013).
Kondroitin yang lebih dikenal dengan nama Kondroitin sulfat adalah
glikosaminoglikan (GAG) tersulfatisasi yang tersusun atas rantai gula bercabang (Nasetilgalaktosamin dan asam glukuronat). Ia biasanya ditemukan menempel pada
protein sebagai bagian dari senyawa proteoglikan. Rantai kondrotin dapat memiliki
lebih dari 100 gula individual yang dapat tersulfatisasi di setiap bagian variabel.
Kondroitin sulfat merupakan komponen struktural penting penyusun jaringan
kartilago dan berperan dalam meningkatkan ketahanannya terhadap tekanan. Bersama
dengan glukosamin, kondroitin sulfat digunakan secara luas sebagai suplemen

25

makanan untuk mencegah osteoartritis. Kondroitin sulfat merupakan komponen


mayor dari matriks ekstraselular dan penting dalam mempertahankan kesatuan dari
jaringan. Fungsi ini merupakan karakteristik khusus dari proteoglikan agregat besar
seperti aggrekan, versikan, brevikan, dan neurokan.
Sebagai bagian aggrekan, kondroitin sulfat adalah komponen mayor penyusun
kartilago. Kondrotin sulfat yang bermuatan dapat menimbulkan gaya elektrostatik
yang mampu meningkatkan tahanan kartilago terhadap tekanan. Kekurangan
kondroitin sulfat dari jaringan kartilago merupakan penyebab mayor dari osteoartritis.
Di dalam matriks ektraseluler, kondroitin sulfat dapat berinteraksi dengan protein
karena muatan negatifnya. Interaksi ini penting untuk meregulasi jalur lalu lintas
aktivitas seluler. Di dalam jaringan saraf, kondroitin sulfat meregulasi pertumbuhan
dan perkembangan sistem saraf dan respons sistem saraf terhadap cedera.
Penggunaan diet suplemen glukosamin dan condroitin baik sendiri-sendiri
maupun dikombinasi untuk meningkatkan kesehatan sendi, terutama pada orang
dewasa dengan OA. Ada banyak manfaat terhadap kesehatan untuk penggunaan
glukosamin dan condroitin. Manfaat terlihat secara bertahap dan membutuhkan waktu
beberapa minggu sampai bulan. Untuk itu penggunaan suplemen ini digunakan untuk
jangka panjang. Beberapa meta analisis telah dilakukan baik sendiri maupun
kombinasi dari keduanya. Dan mayoritas menyimpulkan bahwa glukosamin dan
condroitin aman dan merupakan suplemen yang bermanfaat untuk kesehatan sendi.

26

Glukosamin adalah alami aminopolysaccharide normal diproduksi oleh tubuh


dan merupakan prekusor wajib untuk memproduksi glikosaminoglikan (GAG).
chondroitin sulfat adalah salah satu dari enam GAG utama dan merupakan rantai
panjang unit berulang terbentuk dari N asetilgalaktosamin sulfat dan glukoronat.
Baik glukosamin maupun chondroitin merupakan nutrisi yang penting sebagai
suplemen makanan. Glukosamin terjadi dalam tiga bentuk yang mungkin yaitu
glukosamin hidroklorida, glukosamin sulfat, dan N-asetil glukosamin.
Studi klinis pada pasien dewasa dengan OA keduanya dilakukan secara acak,
control trial yang dilakukan pada glukosamin dan chondroitin menjadi percobaan
besar saat ini. Penelitian ini melibatkan lebih dari 1500 pasien OA yang
mengkonsumsi 1500 mg/hari glukosamin hydrochloride, 1200 mg/hari chondroitin
sulfate, dan kombinasi keduanya. 200 mg/hari celexocib atau placebo selama 24
minggu. Hasil setelah 6 bulan menunjukkan bahwa kombinasi glukosamin/
chondroitin secara signifikan lebih efektif dalam mengurangi nyeri lutut sedang
sampai berat dari pada placebo, dan lebih sedikit dari pada celexocib.
Uji coba yang dilakukan di eropa melibatkan lebih dari 300 pasien OA yang
menggunakan 1500 mg/hari glukosamin sulfat, 3000 mg/hari acetaminophen /
placebo selama 24 minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa sulfat glukosamin secara
signifikan lebih efektif dari pada acetaminophen untuk mengurangi rasa sakit.
Kedua studi itu menunjukkan bahwa suplemen tersebut aman dan dapat
ditoleransi dengan baik.

27

Data sangat mendukung bahwa glukosamin dan chondroitin sebagai terapi


yang efektif untuk OA. Sifat dari keduanya yang berperan sebagai komponen
struktural tulang rawan. Selain bermanfaat untuk mengurangi rasa sakit penelitian
menunjukkan bahwa saat digunakan sendiri atau kombinasi dapat memperlambat
perkembangan degenerasi sendi , merangsang produksi tulang rawan baru,
menambah ruang sendi (atau mengurangi penyempitan sendi), memiliki efek
antiinflamasi, dan meningkatkan morbiditas.
Para ahli sekarang sepakat bahwa masing-masing nutrisi ini dianggap efektif
selama 2-6 bulan.
Keamanan
Ada spekulasi bahwa karena kemiripan struktur kimia dengan glukosa, maka
asupan tinggi glukosamin mungkin meningkatkan gula darah. Studi baru-baru ini
menunjukkan bahwa kombinasi dari konsumsi harian 1500 mg glikosamin
hidroklorida dan 1200 mg chondroitin sulfat selama 90 hari tidak berpengaruh baik
pada kadar gula darah/ HBA1C pada penderita diabetes. Secara kolektif
menyimpulkan bahwa keduanya (suplemen glukosamin dan kondroitin) adalah aman.
Dosis yang direkomendasikan
Dosis yang paling sering disarankan adalah 1500 mg untuk glukosamin (baik
hidroklorida atau sulfat) dan 1200 mg kondroitin sulfat per hari. Dosis ini sama-sama
efektif diminum sekaligus/ dibagi menjadi 2/3 dosis perhari. Individu dengan OA/
mereka yang beresiko tinggi untuk menderita OA seperti lansia, atlet/wanita pasca

28

menopouse akan mendapatkan keuntungan yang lebih.(Council for responsible


nutrition, 2012)
PENUTUP

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan


dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki
paling sering terkena OA.
Glukosamin adalah salah satu dari kelompok biokimia diproduksi secara
alami oleh tubuh untuk membentuk glikosaminoglikan, protein pembentuk tulang
rawan. Glukosamin juga bermanfaat menjaga metabolisme tulang rawan dan
membantu memperbaiki tulang rawan yang rusak atau terkikis. Kondroitin sulfat
merupakan komponen struktural penting penyusun jaringan kartilago dan berperan
dalam meningkatkan ketahanannya terhadap tekanan. Berdasarkan penelitian
glukosamin dan chondroitin sebagai terapi yang efektif untuk OA. Sifat dari
keduanya yang berperan sebagai komponen struktural tulang rawan. Selain
bermanfaat untuk mengurangi rasa sakit penelitian menunjukkan bahwa saat
digunakan sendiri atau kombinasi dapat memperlambat perkembangan degenerasi
sendi, merangsang produksi tulang rawan baru, menambah ruang sendi (atau
mengurangi penyempitan sendi), memiliki efek antiinflamasi, dan meningkatkan
mobilitas. Para ahli sekarang sepakat bahwa masing-masing nutrisi ini dianggap
efektif selama 2-6 bulan.

29

30

Anda mungkin juga menyukai