Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan yang menempati posisi yang sangat strategis,
yaitu diapit oleh dua benua dan dua samudra. Dua benua itu adalah Benua Asia dan
Benua Australia, dua samudra tersebut tak lain ialah Samudra Hindia dan Samudra
Pasifik. Hal inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang rentan akan bencana
alam. Meskipun bencana alam tidak dapat kita hindari, tetapi kita masih memiliki
peluang untk meredam dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam tersebut. Negara
beriklim tropis ini adalah salah satu sasaran terkenanya fenomena El Nino. Banyak efek
yang ditimbulkan oleh fenomena tersebut, baik dalam sisi yang positif maupun negatif
(bencana). Bencana alam yang dihadirkan merupakan slow onset disaster, tak lain
adalah kekeringan. Kekeringan yang datang secara periodik ke Indonesia menyebabkan
Indononesia harus menghadapi masalah yang bergerak di bidang yang cukup krusial,
yaitu masalah pangan. Dengan memprediksi kedatangan kekeringan dan memilih
tindakan yang tepat, maka kita dapat meredam dampak berlebihan yang diakibatkan
oleh bencana kekeringan.
Kata Kunci: El Nino, slow onset disaster, kekeringan, pangan
Abstract
Indonesia is an archipelago country which occupies a very strategic position, which is
flanked by two continents and two oceans. Two of the continent is the continent of Asia
and Australia; the two oceans are the Indian Ocean and the Pacific Ocean. This is what
makes Indonesia as a country prone to natural disasters. Although natural disasters can
not be avoided, but we still have a chance of remedy dampen the impact of the natural
disaster. This tropical country is one of the targets of the El Nino phenomenon. It causes
many effects, both in the positive side and negative side which are the disasters. Natural
disasters presented a slow- onset disaster, none other than drought. The drought come
periodicaly to Indonesia, caused Indononesia has to face some quite crucial problem,
namely the problem of food. By predicting the arrival of drought and choose the
appropriate actions, then we can reduce the effects caused by excessive drought.
Pendahuluan
Bencana alam adalah gejala ekstrim alam dimana masyarakat tidak siap menghadapinya
(Zen, 2009). Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat 2 hal
yang berinteraksi, yaitu gejala alam dan masyarakat atau sekumpulan manusia.
Pengertian bencana alam sangatlah luas, termasuk gangguan hama (belalang, keong,
atau tikus) dalam jumlah yang sangat besar sehingga menghabiskan panen suatu daerah.
Menurut Zen (2009) terdapat sejumlah bencana, klasifikasinya seperti berikut ini:
1. Bencana Kebumian yang meliputi: gempa bumi; tsunami; letusan volkanik dan
gejala-gejala sekunder seperti lahar dan sebagainya; tanah longsor; gerakan
tanah yang relative lebih lambat dari proses terjadinya tanah longsor, tetapi
dalam skala jauh lebih besar
2. Bencana Kelautan seperti gelombang pasang (rob), gelombang pasang disertai
tiupan angin dan hujan (storm sturges), kenaikan muka laut (akibat pemanasan
global dan sebagainya), badai di laut atau di wilayah pantai (di sini terjadi
pencampuran antara masalah kelautan dan masalah atmosferik, karena memang
kaitan antara gejala atmosferik dan gejala kelautan itu sangat erat)
3. Bencana Atmosferik, yaitu perubahan di atmosfer yang berjalan sangat cepat
dan dalam beberapa jam atau hari berubah menjadi badai besar, puting-beliung
(tornado), angin ribut, dan banjir, yaitu meluapnya air sungai melebihi kapasitas
bumi menyerapnya atau volume air melampaui tanggul-tanggul yang dibangun
di sisi sungai
4. Bencana buatan manusia atau bencana industry (kebakaran dan ledakan di
pabrik petro-kimia; truk besar mengangkut bahan kimia terguling, terbakar dan
meledak; jebolnnya bendungan; letusan reactor nuklir pembangkit listrik;
bocornya pabrik kimia dan sebagainya.
Indonesia terletak pada titik temu 4 lempeng utama bumi, yaitu Lempeng Pasifik,
Lempeng Eurasia, Lempeng Samudra Hindia-Australia dan Lempeng Philipina (Zen,
2009). Posisi dari lempeng-lempeng ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang
rentan akan bencana, khususnya bencana kebumian. Selain itu ada hubungan erat pula
dengan bencana kelautan dan bencana atmosferik. Letak kepulauan Indonesia ini
menjadi posisi yang special.
Metode Penulisan
Pada penulian ini, metode penulisan yang dipilih adalah metode kajian literatur atau
yang disebut dengan studi pustaka. Penulis akan mencari sumber-sumber dan
dikumpulkan, kemudian dikaji. Buku-buku yang mendukung serta tulisan-tulisan lain
menjadi bahan dalam membuat tulisan ini.
memenuhi jumlah dan kualitas air yang dibutuhkan (demand side), sesuai dimensi ruang
dan waktu (Desvita, Soenarno dan Syarief dalam IPB 2011)
Dampak terjadinya kekeringan antara lain:
1. Produksi tanaman turun/rendah/puso bahkan menyebabkan tanaman mati
sehingga merugikan petani. Efek yang ditimbulkan adalah pepohonan mati,
tanah gundul, banjir bandang, dan saat musim hujan mudah mengalami erosi dan
banjir;
2. Karena produksi rendah secara riil mengalami kerugian material maupun
finansial yang besar dan bila terjadi secara luas, yang kemudian akan
mengancam ketahanan pangan nasional;
3. Terjadinya urbanisasi akibat kehilangan pangan;
4. Kesehatan manusia menjadi terancam dan rentan akan segala penyakit;
5. Menyebabkan terganggunya hidrologis lingkungan yang berakibat terjadinya
kekurangan air pada musim kemarau.
Kekeringan meteorologis
Kekeringan ini berkaitan erat dengan tingkat curah hujan di bawah normal
dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi
pertama adanya kekeringan.
Kekeringan Hidrologis
Kekeringan ini berkaitan dengan kekurangan pasokan air di permukaan dan air
tanah. Pengukuran yang dilakukan adalah berdasarkan elevasi muka air sungai,
waduk, danau dan muka air tanah. Hal ini bukan menjadi indikasi awal
terjadinya
berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air yang telah disebutkan
tadi.
Kekeringan Pertanian
Kekeringan Hidrotografi
Berkaitan erat dengan perubahan tinggi muka air sungai antara musim hujan dan
musim kering dan topografi lahan.
Kelima jenis diatas termasuk klasifikasi kekeringan yang terjadi secara alamiah dan
interaksinya pada berbagai bidang. Kekeringan ini dapat ditimbulkan pula oleh karena
ulah manusia. Beberapa contohnya adalah:
Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan. Hal ini adalah akibat
dari ketidak taatan pengguna terhadap pola menanam juga pola penggunaan air
Kerusakan kawasan resapan air dan sumber air karena ulah manusia
Udara mengalir ke barat sepanjang Pasifik tropis (angin pasat tenggara) akan
menjadi lebih hangat dan mengumpulkan uap air dari perairan hangat di
lautan bagian barat
Udara yang kering (setelah air yang jatuh sebagai hujan), pada ketinggian
sekitar 12000 meter, akan mengalir ke timur dan turun di daerah perairan
yang biasanya suhu muka lautnya dingin di Pasifik bagian timur.
Terjadinya gejala El Nino ini akan terdapat indikasi terlebih dahulu seperti terjadi
perubahan suhu di kawasan Pasifik, dimulai dengan menurunnya tekanan udara di
Tahiti di bawah tekanan udara Darwin melebihi normal (nilai rata-rata jangka panjang)
dengan indeks osilasi selatan bernilai negatif, sehingga angin barat bertiup lebih kuat
memperlemah angin pasat yang kemudian massa air panas di kawasan Pasifik baian
barat mengalir ke arah Timur dengan bantuan arus equatorial (IPB, Boer, 1999). Oleh
karena itu adanya pertambahan panas pada massa air di Pasifik bagian Timur dan muka
air luat yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Barat. Kemudian terjadilah konveksi
panas di kawasan Timur dan terbentuk subsidensi udara di atas daratan Indonesia.
Terjadinya subsidensi akan menghambat pertumbuhan awan konveksi, hal ini yang
menyebabkan turunnya nilai jumlah hujan secara drastis dari nilai normal di beberapa
kawasan di Indonesia. Maka dengan fenomena ini saat terjadi El Nino, musim kemarau
di Indonesia menjadi lebih lama.
Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan dengan fenomena ENSO
ini. Pengaruh El Nino lebih kuat dari pada musim kemarau maupun hujan. Adapun pola
keragamanan hujan yang dipengaruhi oleh El Nino, yaitu (IPB, 2011):
Ada pula pengaruh lain selain dari Pasifik di timur laut, yaitu penyimpangan suhu muka
laut di Samudra Hindia dengan posisi di barat daya Indonesia pun akan menyebabkan
kekeringan apabila nilai IOD (Indian Ocean Dipole Mode) bernilai positif. Apabila IOD
bernilai negatif mengakibatkan curah hujan tinggi. Efek dari penyimpangan suhu muka
laut ini tidak hanya pada kawasan sekitarnya, tetapi mencapai seluruh dunia. Pada
umumnya, setengah wilayah barat Samudra Hindia, pantai Afrika dan India akan
mengalami konveksi yang lebih kuat dibandingkan keadaan normal, sedangkan kondisi
kering akan mendominasi setengah kawasan timur Samudra Hindia, termasuk Indonesia
dan Australia (IPB, Kompas, 2008).
Adapun dampak negatif dan positif dari fenomena El Nino ini. Dampak negatifnya
sangat terasa di bidang pangan, khususnya di produksi pangan. Namun begitu, dampak
yang terjadi tidak begitu konsisten. Dikutip dari Analisis Hubungan antara Sebaran
Kekeringan, IPB (2011), seperti contohnya penurunan produksi beras tidak begitu
signifikan dan drastis kecuali pada tahun 1991, 1994 dan 1997. Untuk kedelai,
produksinya menurun cukup nyata pada tahun 1982, 1987, 1994, 1996 dan 1997.
Tanaman menggunakan banyak sekali air, contohnya padi membutuhkan 380 hingga
880 mm air per musim tanam (sekitar 4,5 bulan), sorghum butuh 300 sampai 650 mm.
Apabila ketersediaan air untuk tanaman ini tidak terpenuhi, sudah dapat dipastikan para
petani akan kehilangan pendapatannya. Dampak kekeringan juga terjadi pada tanah,
dimana tanah adalah sebagai media tumbuhnya tanaman, penyimpanan air dan sumber
hara.
Menurut Turyanti (1995), terjadinya penurunan kualitas tanah akibat iklim maupun oleh
aktivitas manusia dalam mengelola lahan akan menciptakan kondisi tekstur yang buruk,
padat dan miskin hara.
Hal ini akan menyebabkan penurunan produksi tanaman, selain cekaman air, juga
kekurangan unsur hara. Lahan sulit dibajak setelah mengalami musim kering yang
panjang. Mempersiapkan lahan pun tidak dapat dimulai hingga hujan turun cukup
banyak untuk melunakkan tanah. Terbatasnya ketersediaan air akan menurunkan luas
area penanaman pada lahan irigasi, akan tetapi hasil per satuan luas akan meningkat
karena meningkatnya intensitas radiasi (Partridge, IPB 2011)
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa kekeringan pun akan menghasilkan
dampak yang positif, tetapi tentunya bukan di bidang pertanian, melainkan di bidang
kelautan. Di perairan Indonesia ternyata memberikan keuntungan dengan munculnya
upwelling sehingga meningkatkan populasi ikan. Terlihatnya upwelling di perairan
Indonesia berkonotasi erat dengan meningkatnya DO (oksigen terlarut) menurut
Purwandani dalam Analisis Hubungan antara Sebaran Kekeringan IPB (2011).
Contoh sejarah kejadian kekeringan yang ada di Indonesia dari tahun 1994 hingga 2002
Dikutip dari Balai Hidrologi (2003), kekeringan terparah yang pernah dialami oleh
Indonesia hingga tahun 2002 adalah sebagai berikut:
Pada musim tanam 1994, 363.577 ha sawah di Indonesia dilanda kekeringan dan
111.705 ha mengalami puso
Pada musim tanam 1991, lebih parah lagi, 843.917 ha sawah di Indonesia
dilanda kekeringan dan 190.000 ha mengalami puso
Sekitar 1254 ha sawah terancam gagal panen d Blora, Jawa Tengah pada Juni
1995
Ratusan hektar sawah tak terairi di Indramayu dan terancam musnah pada bulan
Agustus 1995
Luas wilayah yang terlanda kekeringan di Cirebon mencapai 8489 ha pada Juli
2002
Perhitungan kebutuhan air yang didasarkan pada luas tanam di seluruh propinsi
adalah 4.482.875,60 ha, setidaknya 37 ,2 miliar meter kubik dibutuhkan. Pada
musim kemarau 2002 air yang dapat diandalkan dari 236 waduk adalah 9.328
miliar meter kubik. Dengan asumsi tersebut krisi air (defisit 20%-40%) terjadi di
dua propinsi yaitu Aceh dan Jambi. Kurang air (defisit kurang dari 20%) di 18
propinsi serta cukup air (tidak ada defisit) di 10 propinsi
Menurunnya tingkat curah hujan di bawah batas normal pada satu musim.
Pengukuran kekeringan Meteorologis merupakan indikasi pertama adanya
bencana kekeringan.
Dari dampak-dampak yang ditimbulkan dari kekeringan ini, kita perlu adanya
pengelolaan wilayah kekeringan. Menurut Rahayu (2011), pengelolaan wilayah
kekeringan secara umum dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
1. wilayah yang sawahnya mengalami kekeringan pada lokasi yang sama, daerah
tersebut umumnya terjadi di bagian hilir daerah irigasi, daerah yang sumber
irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) dan daerah
sawah tadah hujan yang terdapat sumber air alternatif (air buangan, air tanah
dangkal);
2. wilayah yang areal sawahnya mengalami kekeringan lebih besar atau sama
dengan areal yang aman kekeringan, daerah tersebut bisa terjadi di bagian
tengah/hilir daerah irigasi dan daerah yang sumber irigasinya hanya
mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) serta tidak kesulitan
mendapatkan sumber air alternatif untuk irigasi; dan
3. wilayah dimana areal sawahnya mengalami rawan kekeringan lebih kecil dari
areal yang aman, daerah tersebut umumnya masih terdapat sumber air alternatif
untuk irigasi walaupun jumlahnya masih kurang.
Penting sekali untuk mengelola kekeringan ini. Adanya pengelolaan ini adalah
pertimbangan dari beberapa aspek, diantaranya:
1. terus meningkatnya luas sawah yang terkena kekeringan sehingga berdampak
pada penurunan produksi sampai gagal panen;
2. terjadinya kekeringan pada tahun yang sama saat terjadi anomali iklim maupun
kondisi iklim normal;
3. periode ulang anomali iklim cenderung acak sehingga sulit untuk dilakukan
adaptasi;
4. kekeringan berulang pada tahun yang sama di lokasi yang sama;
5. dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah;
6. kekeringan hanya dapat diturunkan besarannya dan tidak dapat dihilangkan.
Dengan pertimbangan tersebut, maka diperlukanlah pengelolaan terencana dengan
semua pemangku kepentingan.
Menurut Rahayu (2011) untuk mengatasi kekeringan dapat dilakukan dengan cara:
memberikan bantuan sarana produksi (benih dan pupuk, pompa spesifik lokasi);
Dikutip dari Permasalahan Kekeringan dan Cara Mengatasinya Puslitbang SDA (2003)
cara penanganan menyangkut tindakan yang harus diambil dan memungkinkan untuk
dilakukan ditinjau dari sisi dana, kebijakan pemerintah dan sosial. Sebelum sampai pada
cara tersebut, perlu diketahui akar permasalahannya yang dapat ditelusuri dari informasi
mengenai alam, sosial dan ekonomi serta analisis ikutan. Berikut ini adalah tahapannya:
1. Pengumpulan Data
Kekurangan informasi mengakibatkan sasaran tidak dapat dicapai. Informasi
yang diperlukan menyangkit lingkungan, ekonomi dan sosial.
Kategori Lingkungan terdiri :
Hujan
Udara
Kualitas air
Pertanian
Industri
Pariwisata
Transportasi
Kesehatan
Gizi
Rekreasi
Nilai sosial
Nilai budaya
hasil palawija dan padi berkurang, air di waduk menyusut, air minum berkurang.
Penentuan awal ini hanya mengidentifikasi dampak kekeringan tetapi
mengidentidikasi alasan yang menyebabkan dampak itu terjadi, belum sampai
akar permasalahan. Untuk mempermudah penelusuran permasalahan dibuat
daftar baru khusus untuk wilayah studi.
diutamakan
pada
dana,
besarnya
areal
terkena
dampak,
dari
4. Penentuan Kerawanan
Kerawanan adalah karakteristik dan kegiatan dari masyarakat, serta ciri
lingkungan alam yang membuat semuanya mudah terkena dan terpengaruh oleh
kekeringan. Tingkat kerawanan tergantung dari lingkungan dan karakteristik
sosial dari wilayah yang bersangkutan diukurdengan kemampuan untuk
mengantisipasi, menyesuaikan diri, bertahan dan pemulihan dari kekeringan.
Penentuan kerawanan suatu daerah diawali dengan suatu kerangka untuk
mengidentifikasi masalah sosial, ekonomi dan lingkungan sebagai hasil dampak
dari kekeringan. Tahap ini menjembatani Penentuan Dampak, dengan rumusan
kebijakan dengan cara mengarahkan semua perhatian pada penyebab kerawanan
sehingga timbul dampak yang telihat selama ini.
Untuk setiap jenis dampak yang telah tersusun tersebut, dibuat pertanyaan
mengapa dampak tersebut dapat terjadi. Perlu juga diperhatikan bahwa hasil dari
suatu dampak adalah akibat interaksi dari berbagai faktor (seperti ekonomi,
sosial dan lingkungan). Karena kajian akan melebar, tergantung dari tingkat
kedalaman analisa, maka diperlukan banyak orang dari berbagai disiplin ilmu
yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam proyek ini. Pada dasarnya
metode poin ini hanya membuka perspektif akan kondisi dari salah satu aspek
kekeringan kemudian ditelusurinya dan dicari akar-akar permasalahannya. Dari
penelusuran ini pada akhirnya didapatkan akar penyebab. Akar penyebab inilah
yang berpotensi untuk dilaksanakan dan akan mengurangi dampak yang terjadi.
dapat
dilacak,
sekarang
di
tahap
ini
mencoba
untuk
Tabel 1. Tabel yang Harus Diisi Sebagai Panduan Akhir dalam Memilih
Tindakan Masalah Kekeringan (sumber: Permasalahan Kekeringan dan Cara
Mengatasinya, Balai Hidrologi, 2003)
Setelah tahap ke enam selesai, analisa resiko dianggap selesai dan merupakan
informasi yang sangat penting dan berguna untuk masuk dalam konstruksi.
Akhirnya, karena kerawanan bersifat dinamis maka akan sangat bermanfaat bila
secara periodic dilakukan analisa resiko kekeringan agar dapat mendeteksi
perubahan yang terjadi dan menjaga kestabilan tingkat kesiapan.
Daftar Pustaka
Santoso, Djoko., Sambutan Rektor Institut Teknologi Bandung. Buku: Mengelola Risiko
Bencana di Negara Maritim Indonesia (Jilid I):.Editor: Zen, M.T., Abdassah, D.,
Grandis, H., Widiyantoro, S., Hadi, S., Soekarno, I., Tjasyono, B.K., Priadi, K., dan
Sengara, I.W., Majelis Guru Besar ITB, LPPM-ITB, CV. Mandiri Utama, ISBN 9791344-77-9, 2009.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. Buku: Permasalahan Kekeringan
dan Cara Mengatasinya. Balai Hidrologi, 2003.
Analisis Hubungan antara Sebaran Kekeringan, IPB. 2011. http://repository.ipb.ac.id/
[Diakses pada tanggal 22 Oktober 2014]
Badan Penganggunlangan Bencana Daerah Pemerintah Kabupaten Sukoharjo.
http://bpbd.sukoharjokab.go.id/ [Diakses pada tanggal 22 Oktober 2014]
Ayo Siaga Bencana. http://www.sigana.web.id/ [Diakses pada tanggal 22 Oktober 2014]
Rahayu, Ir. Sri Puji. Modul TOT Penyuluh Pertanian dalam rangka Peningkatan
Kesadaran Petani Terhadap Perubahan Iklim serta Mitigasi dan Adaptasinya,
Kerjasama Badan Litbang dengan BMKG. Badan Penyuluhan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Pertanian, 2011.