Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Abses retrofaring merupakan suatu peradangan yang disertai pembentukan
pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring, dan sinus
paranasalis yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring.1
Abses retrofaring biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan 6 tahun dengan
puncak insiden pada usia 3 tahun.2 Insidens abses retrofaring di Amerika Serikat
tahun 2003 yaitu sebanyak 1321 kasus. Di Taiwan, dari 50 kasus infeksi leher
bagian dalam, 9 kasus diantaranya merupakan abses retrofaring, 17 kasus abses
parafaring, 21 kasus abses peritonsilar, dan 3 kasus lainnya campuran. 3 Kasus abses
retrofaring saat ini sudah mulai menurun karena penggunaan antibiotik yang luas
untuk keadaan infeksi saluran napas bagian atas.2,3
Angka mortalitas dari komplikasi yang timbul akibat abses retrofaring masih
cukup tinggi, sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat
dibutuhkan.1
I.2 Tujuan Penulisan
I.2.1. Tujuan Umum:
Mengetahui perjalanan penyakit abses retrofaring.
I.2.2. Tujuan Khusus:
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi faring.
2. Mengetahui etiologi, patogenesis, gejala, penatalaksanaan dan komplikasi
abses retrofaring.
3. Menambah pengetahuan tentang abses retrofaring sebagai salah satu
penyakit di bidang Telinga, Hidung, dan Tenggorok, sehingga dapat
melakukan diagnosis dini untuk menentukan terapi yang adekuat bagi
pasien.
I.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi rumusan masalah adalah
kurangnya informasi tentang perjalanan penyakit abses retrofaring.
I.4. Manfaat
1

1.4.1. Bagi Penulis


Menambah wawasan, pengetahuan yang lebih mendalam bagi penulis.
1.4.2. Bagi Institusi Rumah Sakit
Tulisan ini dapat digunakan sebagai informasi bagi Rumah Sakit Tk.II AK Gani
Palembang
1.4.3. Bagi Penulis Selanjutnya
Sebagai referensi untuk penulis berikutnya dalam penulisan lebih lanjut
mengenai Abses Retrofaring.
1.4.4. Bagi Institusi Pendidikan
Menjadi bahan bacaan bagi Instansi dalam kegiatan proses belajar.
1.4.5. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan bagi masyarakat
khususnya tentang Abses Retrofaring.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Definisi

Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus


pada daerah retrofaring dan merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam
(deep neck infection).1,2
II. 2. Anatomi
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ, otot, saraf, dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis
superfisialis dan fasia servikalis profunda.2
Fasia servikalis superfisialis terletak tepat di bawah kulit leher berjalan dari
perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah
ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara
fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe
superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.1,2
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu:2
1. Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah
dan melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.
trapezius, m. maseter, kelenjar parotis dan kelenjar submaksila. Lapisan ini
disebut juga lapisan eksternal, investing layer, lapisan pembungkus, dan lapisan
anterior.1,2
2. Lapisan media
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan visera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan
membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Di
bagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior
melekat pada sternum, klavikula dan scapula.1
Divisi visera membungkus organ organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid,
trakea dan esofagus. Di sebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak
bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat
pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke
thoraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia

bukofaringeal merupakan bagian dari divisi visera yang berada pada bagian
posterior faring dan menutupi m. konstriktor faringeal dan m. buccinators.1

Gambar 2.1. Potongan axial servikal setinggi level T1 menunjukan fascia


superfisial dan profunda.2

3. Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi
alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi
prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan
bersatu dengan divisi visera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar
melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding
anterior dari danger space.1
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral
meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot di daerah tersebut.
Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding
posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga
lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis (carotid
sheath) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris
sampai ke toraks.

Gambar 2.2. Potongan melintang fasia servikalis profunda.2

Gambar 2.3. Ruang pada servikalis tampak lateral.2

Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi
oleh: 1,2
1. anterior: fasia bukofaringeal (divisi visera lapisan media fasia servikalis
profunda) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid;
2. posterior: divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda;
3. lateral 0: selubung karotis (carotid sheath) dan daerah parafaring.
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II) dimana divisi visera dan alar
bersatu. Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral
oleh midline raphe. Tiap-tiap bagian mengandung 2-5 buah kelenjar limfe
retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4-5 tahun. Kelenjar ini
menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasalis, nasofaring, faring,
tuba Eustachius, dan telinga tengah. Daerah ini disebut juga dengan ruang
retrovisera, retroesofagus, dan ruang visera posterior.1
Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu: 1,2
1. danger space, dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi
prevertebra pada bagian posterior (tepat di belakang ruang retrofaring);

2. prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan
korpus vertebra pada bagian posterior (tepat di belakang danger space). Ruang
ini berjalan sepanjang kolumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran
infeksi leher dalam ke daerah koksigeus.

Gambar 2.4. Potongan melintang leher setinggi level orofaring 4

Gambar 2.5. Ruang pada servikalis tampak lateral. 4

II. 3. Epidemiologi

Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak di
bawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih
berisi kelenjar limfe. Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang diterapi di
Childrens Hospital, Los Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari
3 tahun dan 71% kasus berusia kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia
didapati sebanyak 55% kasus berusia kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya
dijumpai pada periode neonatus.3
II. 4. Etiologi dan Klasifikasi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses retrofaring adalah: 5
1. infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring;
2. trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau
tindakan medis seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi; dan
3. tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).
Pada banyak kasus Pada banyak kasus sering ditemukan adanya kuman aerob
dan anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan abses
retrofaring adalah: 1,6
1. Bakteri aerob: Streptococcus beta hemolyticus group A (paling sering),
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non hemolyticus, Staphylococcus
aureus, Haemophillus sp;
2. Bakteri anaerob: Bacteroides sp, Veilonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria.
Secara umum abses retrofaring terbagi menjadi 2 jenis yaitu: 1
1. Akut
Sering terjadi pada anak-anak berumur di bawah 4 5 tahun. Keadaan ini terjadi
akibat infeksi pada saluran napas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga
hidung, sinus paranasal, dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring
(limfadenitis) sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut. Sedangkan
pada dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat
penggunaan instrumen (intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi)
atau benda asing.1
2. Kronis
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini
terjadi akibat infeksi TB pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung
menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat

terjadi akibat infeksi TB pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari
kelenjar limfe servikal.1
II. 5. Patofisiologi
Ruang retrofaring berada di anterior fasia prevertebra yang berjalan inferior
dari basis kranii sepanjang faring. Ruang ini merupakan lanjutan ruang parafaring
dan fossa infratemporal. Ruang retrofaring dan parafaring dipisahkan oleh fasia alar,
yang merupakan barier yang kurang efektif terhadap penyebaran infeksi. Ruang
retrofaring berhubungan dengan mediastinum superior dan posterior, sehingga dapat
menjadi jalur yang potensial penyebaran infeksi ke thoraks.7
Ruang retrofaring terdiri dari jaringan areolar longgar dan cincin limfe,
sehingga dapat mengikuti pergerakan faring dan esofagus pada saat menelan.
Kelenjar limfe retrofaring menerima aliran limfe dari hidung, sinus paranasalis, tuba
eustachius, dan faring. Pembentukan pus pada kelenjar limfe retrofaring pada
umumya terlokalisir dengan baik, sehingga penyebaran vertikal dari infeksi biasanya
terjadi setelah beberapa waktu dalam progresi penyakit, meskipun keadaan ini
jarang terjadi pada praktiknya. Sebagian besar gejala abses retrofaring berhubungan
dengan obstruksi saluran napas bagian atas dan iritasi lokal otot (misalnya
sternomastoid dan pterigoid).7
Danger space berada diantara ruang retrofaring dan ruang prevertebra yang
dipisahkan oleh dua komponen yaitu fasia alar dan fasia prevertebra. Hal ini dapat
menyebabkan penyebarab infeksi diantara basis kranii dan mediatinum posterior
sampai pada level diafragma.4
Gambar 2.6. Patofisiologi abses retrofaring 4

Ruang retrofaring dapat mengalami infeksi yang berkembang menjadi abses


melalui dua cara, yaitu penyebaran infeksi melalui aliran limfe (sebagian besar)
secara lokal dari sumber infeksi atau inokulasi langsung bakteri melalui trauma
tembus atau benda asing.2,8
Pada anak, abses retrofaring akut paling banyak disebabkan infeksi saluran
pernapasan atas seperti tonsilitis dan faringitis, sinusitis paranasalis, otitis media,
dan infeksi gigi yang kemudian menyebar dan menyebabkan limfadenopati
retrofaring. Limfadenopati retrofaring kemudian menyebabkan abses retrofaring
akibat supurasi kelenjar getah bening nasofaring. Hal ini merupakan alasan abses
retrofaring yang disebabkan oleh proses non-traumatik jarang ditemukan pada orang
dewasa karena kelenjar getah bening retrofaring telah mengalami regresi.2,9
Kasus trauma tembus pada faring sebagai penyebab sekunder abses
retrofaring akut yang terjadi pada anak dapat disebabkan benda asing seperti tulang
ikan, tangkai es krim, dan pensil. Sedangkan penyebab sekunder iatrogenik
misalnya trauma post laringoskopi, intubasi endotrakeal, endoskopi, pemasangan
pipa orogastrik, maupun prosedur dental. Trauma pada faring menyebabkan
inokulasi langsung agen patogen piogenik ke dalam ruang retrofaring yang
kemudian terjadi proses supurasi dan membentuk abses.2
Abses retrofaring akut pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh inokulasi
langsung patogen piogenik ke dalam ruang retrofaring yang disebabkan trauma pada
faring atau esofagus akibat tertelan benda asing atau prosedur medis yang traumatik
seperti endoskopi, laringoskopi direk, maupun intubasi endotrakeal. Penyakitpenyakit seperti diabetes melitus, keganasan, alkoholisme kronik, dan AIDS
dilaporkan sebagai predisposisi abses retrofaring pada orang dewasa.9
Abses retrofaring kronis pada anak dapat terjadi akibat infeksi tuberkulosis.
Pada anak usia kurang dari 5 tahun, abses retrofaring kronis disebabkan penyebaran
dari infeksi tuberkulosis pada kelenjar limfe servikal dalam ke kelenjar retrofaring
yang membentuk abses dingin. Abses retrofaring kronis yang demikian dikenal
sebagai tipe lateral karena secara klinis terlihat lebih ke arah lateral dari garis tengah
tubuh, fluktuan, dengan tanda inflamasi yang minimal. Pada anak yang lebih tua dan
orang dewasa abses retrofaring kronis biasanya disebabkan spondilitis tuberkulosis
pada vertebra servikalis (Potts disease) dimana pus menyebar melalui ligamentum
longitudinal anterior dan dikenal sebagai tipe sentral. Abses terjadi diantara korpus
vertebra dan fasia prevertebra. Abses mula-mula terbentuk pada garis tengah dan
10

menyebar ke lateral. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan pada garis tengah


dan dinding faring yang berfluktuasi dengan tanda inflamasi yang minimal.10

II. 6. Diagnosis
II.6.1 Anamnesis
Keluhan pasien dengan abses retrofaring akut bervariasi bergantung kepada
kelompok umur.3 Gejala abses retrofaring berbeda untuk orang dewasa, anak-anak, dan
bayi yang dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 2.1. Gejala abses retrofaring pada berbagai kelompok usia.3
Dewasa

Anak > 1 tahun

Nyeri tenggorokan
Demam
Disfagia
Odinofagia
Nyeri leher
Dispnea

Nyeri tenggorokan (84%)


Demam (64%)
Kaku leher (64%)
Odinofagia (55%)
Batuk

Bayi

Demam (85%)
Bengkak pada leher (97%)
Intake oral buruk (55%)
Rinorrhea (55%)
Letargi (38%)
Batuk (33%)

II.6.2 Pemeriksaan fisik


Pasien dengan abses retrofaring akut dapat menunjukkan tanda-tanda obstruksi
jalan napas tetapi hal ini jarang terjadi. Meskipun demikian, pasien yang awalnya tidak
menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan napas dapat berkembang menjadi obstruksi
jalan napas. Pada pasien dewasa dan anak pemeriksaan fisik dapat menunjukkan temuan
yang berbeda.3
Tabel 2.2. Temuan pemeriksaan fisik abses retrofaring pada berbagai kelompok usia. 3
Dewasa

Edema posterior faring (37%)


Kaku leher
Adenopati servikal
Demam
Drooling
Stridor

Anak dan Bayi

Adenopati servikal (36%)


Bulging retrofaring (55%, jangan lakukan
palpasi pada anak)
Demam (64%)
Stridor (3%)
Tortikolis (18%)
Kaku leher (64%)
Drooling (22%)
Agitasi (43%)

11

Massa pada leher (55%)


Letargis (42%)
Distres pernapasan (4%)
Tanda-tanda terkait termasuk tonsilitis,
peritonsilitis, faringitis, dan otitis media.

Anamnesis yang baik sangat penting karena kondisi serius lain merupakan
diagnosis banding dari abses retrofaring. Abses retrofaring seringkali merupakan
sekuele dari infeksi saluran napas atas (misalnya faringitis, tonsilitis, sinusitis, infeksi
gigi) dan lebih sering terjadi pada anak sehingga riwayat tertelan benda asing harus
ditanyakan.7
Pada anak manifestasi klinis dapat tidak jelas dan bergantung pada tingkat
penyakit tetapi gejala khas termasuk demam tinggi, nyeri leher (terutama pada saat
digerakkan) atau tortikolis, disfagia, iritabilitas, malaise, dan odinofagia. Odinofagia
menyebabkan drooling, intake oral yang buruk, dan anoreksia. Gejala minor lain
misalnya trismus, disfonia, stridor, dan sleep apnea. Anak dapat terlihat menarik-narik
telinga atau tenggorokan yang menunjukkan adanya nyeri.7
Pada orang dewasa manifestasi klinis lebih spesifik dengan drooling dan disfagia
tetapi dengan onset perlahan. Penting untuk menanyakan komorbiditas seperti diabetes
mellitus dan melakukan kontrol glukosa darah apabila ditemukan. Hampir sepertiga
pasien dengan abses leher dalam memiliki diabetes mellitus.7
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan rongga mulut dan leher untuk
mencari edema tonsil, edema orofaring, dan limfadenopati. Observasi penting lain
dilakukan terhadap drooling, dispneu, tortikolis, dan massa atau pembengkakan pada
leher. Pada anak-anak pemeriksaan mungkin terbatas bergantung pada usia dan
kooperasi dari anak dan orang tua. 7
Gangguan terhadap jalan napas biasanya tampak dengan gejala dispneu, distres
pernapasan, dan fatigue. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda seperti
takipneu, sianosis, tracheal thug, atau retraksi interkosta. Laju pernapasan yang cepat
dan saturasi oksigen membantu diagnosis gangguan jalan napas. 7
Abses retrofaring kronik yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosis biasanya
timbul dengan gejala kaku pada leher dan nyeri pada belakang leher. Diagnosis
ditunjang dengan riwayat menderita tuberkulosis paru dan spondilitis tuberkulosis
(khusus untuk tipe sentral). Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembengkakan pada

12

garis tengah (tipe sentral) dan lateral korpus vertebra (tipe lateral) yang berfluktuasi
dengan tanda inflamasi yang minimal.10

Gambar 2.7. Abses retrofaring kronik tipe lateral (kiri) dan sentral (kanan) 10

II. 7. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
abses retrofaring dijelaskan dalam tabel berikut: 7
Tabel 2.3.Pemeriksaan penunjang awal untuk diagnosis abses retrofaring.7
Pemeriksaan
Darah lengkap
Laju endap darah
menentukan derajat penyakit inflamasi apabila tidak
ditemukan netrofilia yang signifikan.
CT scan leher dengan kontras
pemeriksaan definitif.
mengkonfirmasi adanya abses dan membantu dalam
merencanakan approach tindakan bedah. Adanya udara di
dalam atau di sebelah akumulasi cairan atau udara bebas yang
berlebih diantara fascia leher sangat prediktif untuk abses.
Foto polos servikal soft tissue lateral
dilakukan apabila terdapat kecurigaan tetapi tidak tersedia CT
scan tetapi dapat dilakukan sebelum CT scan apabila
kecurigaan tinggi terhadap abses retrofaring.
Pemeriksaan dengan anestesi
dilakukan apabila kecurigaan tinggi dan terdapat gangguan
jalan napas atau apabila tidak terdapat fasilitas CT scan.
juga dapat dilakukan apabila kecurigaan tinggi tetapi hasil
pencitraan tidak konsisten dengan abses retrofaring.
Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi diagnosis dan
langsung dilakukan insisi transoral dan drainase serta
pengambilan pus untuk kultur.
Kultur pus

Hasil
Leukosistosis (terutama
netrofil)
Meningkat

Lesi hipodens dikelilingi


cincin pada rongga retrofaring

Pembengkakan pada ruang


prevertebra (> 7mm pada C2
dan > 14 mm pada C6)
Bulging pada dinding posterior
orofaring.

Positif terhadap organisme

13

pus yang didapatkan dari drainase dilakukan kultur dan uji


sensitivitas antibiotik.

penyebab.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain foto polos dada
yang diindikasikan apabila terdapat kecurigaan timbulnya komplikasi berupa
pneumonia aspirasi atau mediastinitis.3 Kultur darah tidak rutin dilakukan kecuali pada
kecurigaan terjadinya sepsis.7
Untuk abses retrofaring kronis pemeriksaan penunjang yang mendukung
diagnosis adalah leukositosis, peningkatan laju endap darah, dan tes Mantoux yang
positif. Foto polos servikal lateral menunjukkan destruksi korpus vertebra dengan
peningkatan ruang retrofaring dan bayangan udara di dalamnya. CT scan dapat lebih
mengkonfirmasi temuan tersebut.10

Gambar 2.8. Gambar radiologis abses retrofaring

II. 8. Diagnosis Banding


Penyakit-penyakit lain dengan manifestasi klinis yang menyerupai abses
retrofaring dijelaskan pada tabel berikut:

14

Tabel 2.4. Berbagai kelainan yang menjadi diagnosis banding abses retrofaring. 7
Kondisi
Epiglotitis akut

Sulit untuk dibedakan dengan abses


retrofaring tetapi secara umum
memiliki onset yang lebih akut.

Kesulitan bernapas.

Laringotrakeobronkitis
(croup)
Meningitis

Pemeriksaan Penunjang
untuk Membedakan

Tanda/Gejala yang Berbeda

CT scan tidak ditemukan


gambaran abses retrofaring.

Foto polos servikal soft


tissue menunjukkan
bayangan radio opak atau
epiglotis yang meradang.

Batuk menggonggong.

CT scan daerah retrofaring


normal.

Nyeri kepala, ruam purpura dapat


ditemukan pada beberapa kasus.

CT scan daerah retrofaring


normal.

Pungsi lumbal positif untuk


meningitis.
Diagnosis klinis.

Tonsilitis

Tanda-tanda infeksi tonsil, dinding


posterior faring normal.

Abses peritonsiler

Edema peritonsiler dengan deviasi


uvula, dinding posterior faring normal.

Aspirasi atau insisi drainase


lesi mengkonfirmasi
diagnosis.

Limfadenopati
retrofaring

Edema tanpa fluktuasi pada dinding


posterior faring.

CT scan dengan kontras


dapat membedakan
limfadenopati dengan
abses.

Infeksi virus EpsteinBarr

Dapat ditemukan hepatosplenomegali


dan limfadenopati generalisata.

Tes Paul-Bunnel atau


monospot positif

Retropharyngeal
calcific tendonitis

Gejala dan tanda serupa dengan abses


retrofaring.

Bersifat self-limiting dan biasanya reda


setelah 2 minggu.

CT scan menunjukkan
kalsifikasi anterior terhadap
korpus vertebra C1 dan/atau
C2 dengan akumulasi
cairan yang non-ringenhanced pada ruang
prevertebra.

Dapat menunjukkan gejala dan tanda


seperti abses retrofaring tetapi
limfadenopati jarang ditemukan pada
awal penyakit.

Diagnosis penyakit Kawasaki termasuk


demam > 5 hari dengan 4 dari 5 kriteria
klinis: konjungtivitis bulbar nonpurulen, perubahan pada bibir atau
kavum oris, eksantem polimorfik,
eritema pada ekstremitas yang
kemudian mengalami deskuamasi, dan

CT scan menunjukkan
temuan yang serupa dengan
abses retrofaring sehingga
klinisi harus berpegang
pada temuan klinis.

Penyakit Kawasaki

15

minimal 1 limfonodi servikal dengan


diameter > 1,5 cm.

II. 9. Penatalaksanaan
II.9.1 Tindakan pra-hospital
Pemberian oksigen dan tindakan untuk memastikan patensi jalan napas
merupakan komponen penting perawatan pra-hospital pada pasien dengan kecurigaan
abses retrofaring. Apabila anak menunjukkan tanda distres pernapasan posisikan dalam
sniffing position. Kadang-kadang intubasi endotrakeal atau krikotirotomi dibutuhkan
apabila pasien menunjukkan tanda obstruksi jalan napas atas.3
II.9.2 Tindakan di ruang emergensi
Manajemen emergensi abses retrofaring termasuk patensi jalan napas, resusitasi
cairan apabila dibutuhkan, antibiotik, dan persiapan operasi emergensi. Monitoring
tanda vital dan saturasi oksigen penting untuk dilakukan.3

Manajemen jalan napas


o berikan tambahan oksigen;
o intubasi endotrakeal dibutuhkan apabila pasien menunjukkan tanda obstruksi
jalan napas atas. Intubasi dapat sulit untuk dilakukan akibat edema;
o krikotirotomi (surgical atau needle) dapat dibutuhkan pada pasien dengan
obstruksi jalan napas atas yang tidak dapat diintubasi. Trakeostomi dapat
dibutuhkan untuk manajemen jalan napas definitif.

Cairan intravena dibutuhkan apabila pasien mengalami dehidrasi akibat demam dan
intake oral yang buruk.

II.9.3 Tindakan definitif


1) Medikamentosa
Pemberian antibiotik secara parenteral diberikan secepatnya tanpa menunggu
hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob
dan anaerob, Gram positif dan Gram negatif. Pilihan antibiotik lini pertama adalah
Clindamycin dengan Aminoglikosida atau penicilli-nase-resistant penicillin seperti
Ticarcillin/Clavulanate,
dikombinasikan

dengan

Piperacillin/Tazobactam,
sefalosporin

generasi

dan
ketiga

Ampicillin/Sulbactam
dan

Metronidazole.

Clindamycin dan Metronidazole tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal.


16

Terapi antibiotik dapat diberikan selama sekitar 10 hari.11 Untuk abses retrofaring
kronik pasien diberikan terapi antituberkulosis selain dilakukan tindakan operatif
seperti aspirasi atau insisi dan drainase abses.10
2) Operatif
Tindakan operatif yang dapat dilakukan yaitu aspirasi pus (needle aspiration)
atau insisi drainase. Insisi drainase dapat dilakukan melalui dua pendekatan:
a) Pendekatan internal atau transoral
Dilakukan untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien diletakkan pada
posisi Trendelenburg dimana leher dalam keadaan hiperekstensi dan kepala lebih
rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling berfluktuasi
dan pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap untuk
menghindari aspirasi pus. Insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk
memudahkan evakuasi pus. Kekurangan dari pendekatan ini terkait dengan
risiko aspirasi isi abses. Pendekatan intraoral dapat sulit dilakukan untuk abses
yang letaknya superior atau lateral.11
b) Pendekatan eksternal atau transervikal
Pendekatan eksternal baik secara anterior atau posterior dilakukan untuk
abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Kelemahan dari teknik ini
adalah waktu pemulihan yang lebih lama dan terdapat kemungkinan komplikasi
cidera terhadap nervus kranialis dan pembuluh darah besar.11
Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal
mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara os hyoid dan
klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai
terlihat m. sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior m.
sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem arteri bengkok, m.
sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah
abses terpapar dengan cunam tumpul, abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila
diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain (Penrose
drain).11
Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior
m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan dari abses.

17

Selanjutnya fasia dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan.


Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.11

Gambar 2.9. Aspirasi abses retrofaring

II. 10.

Komplikasi

Komplikasi pada abses retrofaring dapat terjadi akibat:7


1) efek desak massa (abses): obstruksi jalan napas;
2) ruptur abses: asfiksia, pneumonia aspirasi, abses paru;
3) penyebaran infeksi ke daerah sekitar:

inferior: edema laring , mediastinitis, pleuritis, empiema, abses mediastinum;

lateral: trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses parafaring;

posterior : osteomielitis dan erosi kolumna spinalis;

4) proses infeksi: necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.


II. 11.

Prognosis

Prognosis baik apabila abses retrofaring diidentifikasi dini. Meskipun demikian


tingkat mortalitas mencapai 40-50% apabila timbul komplikasi serius (misalnya
meningitis) meskipun komplikasi jarang terjadi dan secara umum akibat penyebaran
inferior ke arah inferior atau superior. Rekurensi terjadi pada 1-5% pasien.7

18

BAB III
KESIMPULAN
Abses retrofaring paling sering dijumpai pada anak-anak, terutama disebabkan
oleh infeksi saluran nafas atas yang menjalar ke ruang retrofaring. Pada orang dewasa
biasanya disebabkan oleh trauma, benda asing, atau infeksi tuberkulosis pada korpus
vertebra.
Gejala klinis yang ditimbulkan dapat berupa gejala yang ringan seperti demam,
sulit dan sakit menelan sampai timbul gejala yang berat seperti obstruksi jalan nafas dan
dapat menimbulkan kematian.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis disertai aspirasi
dan pemeriksaan radiologis.Penatalaksanaan dapat dilakukan secara medikamentosa dan
operatif bergantung dari luasnya abses. Prognosis bergantung dari penanganan yang
cepat dan tepat sehingga komplikasi yang membahayakan jiwa tidak terjadi.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Rambe, A.Y. 2003. Abses Retrofaring. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
2. Villa, E.K. Anaesthetic Management of Retropharyngeal Abscess in Children.
Anaesthesia Tutorial of The Week. 2011; 211: 1-9.
3. Kahn JH. 2012. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. (Online)
http://emedicine.medscape.com/article/764421-overview, diakses pada 3 Juli 2012.
4. Gadre, A.K, Gadre, K.C. 2006. Infections of the Deep Spaces of the Neck. In: Head
& Neck Surgery Otolararyngology fourth edition. Editor: Bailey, B.J. Lippincott
Williams & Wilkins: 665 682.
5. Fachruddin, D. 2007. Abses Leher Dalam. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Editor: Soepardi, E.A. FKUI:
Jakarta. 226-230.
6. Brook, I. Microbiology and Management of Peritonsillar, Retropharyngeal, and
Parapharyngeal Abscesses. J Oral Maxillofac Surg 62:1545-1550. 2004.
7. British Medical Journal (BMJ). 2011. Best Practice-Retropharyngeal Abscess.
(Online). http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/599/diagnosis/guidelines.html, diakses pada 3 Juli 2012.
8. Marin J, Baren J. Pediatric Upper Airway Infectious Disease Emergencies.
Pediatric Emergency Medicine Practice. 2007;4(11):7-12.
9. Chu FKC. Retropharyngeal abscess. Hong Kong j. emerg. med. 2002;9(3): 165-7.
10. Velankar HK. 2001. Retropharyngeal abscess. (Online). http://www.bhj.org, diakses
pada 3 Juli 2012.
11.

Stewart C. A "Killer" Sore Throat: Inflammatory Disorders Of The Pediatric


Airway. Pediatric Emergency Medicine Practice 2006;3(9):1-30.

20

Anda mungkin juga menyukai