Anda di halaman 1dari 19

LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan
dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal juga dengan nama
Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield
fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah,
Penyakit Stuttgart, Demam Canicola , penyakit kuningnon-virus, penyakit air merah pada
anak sapi, dan tifus anjing
Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis, sedangkan
pada

infeksi akut ditandai

dengan

gejala sepsis, radangginjal interstisial, anemia hemolitik, radang hati dan keguguran.Leptospi
rosis pada hewan biasanya subklinis. Dalam keadaan ini, penderita tidak menunjukkan gejala
klinis penyakit. Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga
bakteri akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya . Leptospirosis pada hewan
dapat terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusiahanya bertahan selama 60 hari. Manusia
merupakan induk semang terakhir sehingga penularan antarmanusia jarang terjadi.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan
gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit
dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease. Pada
tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh
bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.

A. Etiologi/ Penyebab

Bakteri Leptospira menggunakan Mikroskop elektron tipe scanning

Berbagai serovar Leptospira

Bakteri penyebab

Leptosirosis

yaitu

bakteri Leptospira

sp. Bakteri Leptospira merupakan Spirochaetaaerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan


hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin
dengan

ketat.

Bakteri Lepstospira berukuran

panjang

6-20 m dan

diameter

0,1-

0,2mSebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 m . Jadi, ukuran bakteri ini
relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan
untuk melihat bakteri ini diperlukanmikroskop dengan teknik kontras . Bakteri ini dapat
bergerak maju dan mundur.
Leptospira mempunyai

175

serovar,

bahkan

ada

yang

mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar. Infeksi dapat disebabkan oleh satu
atau lebih serovar sekaligus . Bila infeksi terjadi, maka pada tubuhpenderita dalam waktu 612 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi
satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans. Serovar yang telah diketahui dapat
2

menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. canicola, L.


grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L. pomona, dan L. tarassovi. Pada anjing,
telah tersedia vaksin terhadap Leptospirayang mengandung biakan serovar L. canicola dan L.
icterohemorrhagica yang telah dimatikan. Serovar yang dapat menyerang sapi yaitu L.
pamona dan L.
bratislava, L.

gryptosa.
canicola, L.

pamona dan L.

Serovar

yang

diketahui

gryppothyphosa,

interogans,

dan L.

terdapat

pada kucing adalah L.

pomona . Babi dapat

sedangkan tikus dapat

terserang L.

terserang L.
ballum dan L.

ichterohaemorhagicae.
Bila

terkena

bahan kimia atau

dimakan

oleh fagosit,

bakteri

dapat

kolaps

menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas
patogenik. Leptospira dapat

hidup

dalam

waktu

lama

diair, tanah yang

lembap, tanaman dan lumpur.


B. Patofisiologi
Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan mukosa seperti
konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut
aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti
serambi depan mata dan ruang subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang
berarti. Faktor yang bertanggung jawab untuk virulensi leptospira masih belum diketahui.
Sebaliknya leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi
tampaknya berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan didalam serum oleh
neutrofil. Antibodi yang terjadi meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui
peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan fagositosis.
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan
enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis. Hemolisis
pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit,
sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada antibodi. Diastesis
hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, pada keadaan tertentu dapat
terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan kematian.
Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut
disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun
aktivitas protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis
hemoragik tidak terpengaruh. Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien
3

dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan
endothelium kapiler yang meluas. Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga
disebabkan oleh toksin.
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria
dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus.
Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis dengan
ikterus. Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat
menimbulkan ikterus pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun
nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat.
Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan factor
pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan
penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu
pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal.
Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak focus nekrosis pada epitel
tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang
yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan
oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal
menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal
karena perdarahan pada kelenjar adrenal.
Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat
menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder karena
hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia atau anemia. Mialgia merupakan keluhan umum
pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan
lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis,
meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer
antibody didalam serum tidak disertai peningkatan antibody leptospira (hamper tidak ada) di
dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan
mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau
laten pada kasus leptospirosis. (Poerwo, 2002).

C. Gejala Klinis

Jaundis pada kucing: telinga dan mukosamata menjadi kuning


a. Pada hewan
Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis (bersifat
subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun sebenarnya dia sudah
terserang Leptospirosis. Kucing yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun
ia mampu menyebarkan bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti.
Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna kekuningan, karena
pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada hemoglobin dalam urin. Gejala ini terjadi
pada 50 persen kasus, terutama jika penyababnya L. pomona. Gejala lain yaitu demam, tidak
nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh , gagal ginjal, gangguan kesuburan,
dan kadangkematian. Apabila penyakit ini menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala
yang timbul yaitu radang mukosa mata (konjungtivitis), radang hidung (rhinitis), radang
tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak napas.
Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan berputar-putar. Pada
anjing

yang

sembuh

dari

infeksi

akut

kadangkala

tetap

mengalami radang

ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis. Dalam keadaan demikian gejala
yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak urinasi,
turun berat badan dan gejala saraf. Pada sapi, infeksi Leptospirosis lebih parah dan lebih
banyak terjadi pada pedet (anak sapi) dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam,
jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine
Leptospirosis). Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15
persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen .

b. Pada Manusia

Jaundis: kulit dan mukosamenjadi kuning


Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari. Infeksi Leptospirosis
mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa gejala, sehingga sering
terjadi kesalahan diagnosa. Infeksi L. interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang
ditandai dengan flu ringan sampai berat, Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak
bergejala tetapi serologis positif . Sekitar 90 persen penderita jaundis ringan, sedangkan 5-10
persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit
Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemik dan fase imun. Pada periode peralihan
fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik. Selain itu ada Sindrom Weil yang
merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat.

Fase Septisemik
Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri

dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh

[14]

Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan
demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk,
nyeri dada,

muntah darah,

nyeri kepala, takut cahaya,

gangguan

mental,

radang

selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati.

Fase Imun
Fase

Imun sering

disebut fase

kedua atau leptospirurik karena

sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat
didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis . Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat
6

respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu
seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.
Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan
sakit

kepala.

Pada

pemeriksaan

fungsi hati didapatkan

jaundis,

pembesaran

hati

(hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan
sulit

bernapas.

Gangguan hematologi berupa

peradarahan

dan

pembesaran

limpa

(splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik
merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun.
Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis.
Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah,
lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di
bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru
pada 20-70 persen pasien.
Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen penderita
infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona. Infeksi L.
grippotyphosa umumnya

menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L.

pomona atau L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis).

Sindrom Weil
Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal,

nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan . Kondisi ini terjadi pada akhir
fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu. Kriteria
penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk,
kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan
dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan jaundis berat lebih
mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan
gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat
pada lanjut usia.
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk
pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini
menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.

1.

Leptospirosis anikterik
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang

umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat,
mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot
terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga
creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin
phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis
yang menyolok ini, pasien kadang-kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan
anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah
conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali,
hepatomegali dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa
uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang
tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya.
Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan
serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi
( fase imun ).
Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena
keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri ( self
- limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena
gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain, maka pada setiap kasus
dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis
bandingnya, apalagi yang di daerah endemik.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown origin di
beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis
anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV serocon
version, infeksi dengue, infeksi hanta virus, hepatitis virus, infeksi mononukleosis dan juga
infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.
2. Leptospirosis ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal ginjal
akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau
8

nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi
oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan
nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah
penyebab tersering gagal ginjal akut.

D. Diagnosa

Bakteri Leptospira secara mikroskopis pada jaringan ginjal menggunakan metode pewarnaan perak

Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat
penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang. Sebagai diagnosa penunjang, antara lain
dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk
mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit
dan

akan

menetap

hingga

minggu

ketiga.

Cairan tubuh lainnya

yang

mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal tetapi rentang peluang untuk isolasi
bakteri sangat pendek. Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan
lunak atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun,
isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan.
Untuk

mengukuhkan

diagnosa

Leptospirosis

biasanya

dilakukan

pemeriksaan

serologis. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala
klinis. Kultur atau

pengamatan

bakteri Leptospira di

bawah mikroskop berlatar

gelap

umumnya tidak sensitif. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi Leptospirosis


yaitu Microscopic

agglutination

test (MAT). Tes

ini

mengukur

kemampuan serum

darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup. Namun, MAT tidak dapat
digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan
gejala klinis yang parah. Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan
bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen.

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui sejauh


mana gangguan organ tubuh dan komplikasi yang terjadi.
1. Isolasi (pengambilan) kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita
adalah standar kriteria baku. Urin adalah cairan tubuh yang palih baik untuk diperiksa karena
kuman leptospira terdapat dalam urin sejak gejala awal penyakit dan akan menetap hingga
minggu ke-3. Cairan tubuh lainnya yang mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal
fluid (CSF) tetapi rentang peluang untuk ditemukan isolasi kuman sangat pendek
2. Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi penemuan kuman leptospira.
Isolasi leptospira cenderung lebih sulit dan membutuhkan waktu diantaranya dalam hal
referensi laboratorium dan membutuhkan waktu beberapa bulan untuk melengkapi
identifikasi tersebut.
3. Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis.
Tetapi, konfirmasi diagnosis ini lambat karena serum akut diambil saat 1-2 minggu setelah
gejala awal timbul dan serum konvalesen diambil 2 minggu setelah itu. Antibodi
antileptospira diperiksa menggunakan microscopic agglutination test(MAT).
4. Metoda laboratorium cepat dapat merupakan diagnosis yang cukup baik. Titer MAT
tunggal sebesar 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi lapang gelap bila
dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna.
Pemeriksaan Penunjang
Pada penderita yang dicurigai leptospirosis, selanjutnya harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium rutin untuk mengetehaui komplikasi dan keterlibatan beberapa organ tubuh.
Pemeriksaan kadar darah lengkap (complete blood count-CBC) sangat penting.
Penurunan hemoglobin yang menurun dapat terjadi pada perdarahan paru dan
gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui komponen DIC. Blood urea nitrogen dan
serum kreatinin dapat meningkat pada anuri atau oliguri tubulointerstitial nefritis yang dapat
terjadi pada penyakit Weil.
Peningkatan serum bilirubin dapat terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Agak jarang
terjadi peningkatan Hepatocellular transaminases dan kurang bermakna, biasanya <200 U/L.
Waktu koagulasi akan meningkat pada disfungsi hati atau DIC. Serum kreatin kinase (MM
fraction) sering meningkat pada gangguan otot.

10

Analisis CSF bermanfaat hanya untuk melakukan eksklusi penyebab meningitis


bakteri. Leptospires dapat diisolasi secara rutin dari CSF, tetapi penemuan ini tidak akan
merubah tatalaksana penyakit.
Pemeriksaan pencitraan yang didapatkan adalah kelainan pada foto polos paru berupa
air space bilateral. Juga dapat menunjukkan kardiomegali dan edema paru yang didapatkan
miokarditis. Perdarahan alveolar dari kapilaritis paru dan patchy infiltrate multiple yang dapat
ditemukan pada parenkim paru. Ultrasonografi traktus bilier dapat menunjukkan kolesistitis
akalkulus.
Pemeriksaan histologis beberapa saat setelah inokulasi dan selama periode inkubasi
leptospira

melakukan

replikasi

aktif

di

hati.

Perwarnaan

silver

staining

dan

immunofluorescence dapat mengidentifikasi leptospira di hati, limpa, ginjal, CNS dan otot.
Selama fase akut pemeriksaan histologi menunjukkan organisma tanpa banyak infiltrat
inflamasi.

E. Distribusi Penyakit
Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di
daerah tropis maupun subtropis . Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja
di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan,
dan personel militer . Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang
terpapar air yang terkontaminasi. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama
terjadi pada saat musim hujan dan banjir.
Iklim yang

sesuai

untuk

perkembangan Leptospira adalah udara yang

hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim
tropis. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara
beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih
berat. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun.
Organisasi

Kesehatan

Dunia (World

Health

Oraganization/WHO)

mencatat,

kasus

Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang
setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10
per 100.000 orang setiap tahun. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari
kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi.

11

Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa


Tengah, Daerah

Istimewa

Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera


Selatan, Sulawesi

Utara, Kalimantan

Yogyakarta, Lampung, Sumatera

Barat, Sumatera
Timur dan Kalimantan

Utara, Bali, NTB, Sulawesi


Barat .

Angka

kematian

Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen. Pada usia lebih dari
50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan
antara 3 persen - 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi.

F. Cara Penularan

Urin tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis

Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne
disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber
utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. Kemampuan Leptospira untuk
bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat
menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran
penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi
kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan
penyebaran di dalam aliran darah induk semang.
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.
Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahanlingkungan seperti banyaknya genangan air,
lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan
mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian
masuk

ke

tubuh

manusia

melalui

permukaankulit yang

terluka,

selaput

lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama
Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi.

12

Beberapa

hewan

lain

seperti sapi, kambing, domba, kuda,babi, anjing dapat

terserang

Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak sebesar tikus.


Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita ke penderita
dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan
selaput lendir (mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit, mulut, cairan urin , kontak
seksual dan cairan abortus (gugur kandungan). Penularan dari manusia ke manusia jarang
terjadi.
Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia dengan barangbarang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas kandang hewan, tanah, makanan,
minuman dan jaringan tubuh Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada
pekerja pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira. Umumnya
penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan karena bakteri tidak tahan terhadap
lingkungan asam.

Siklus penularan Leptospirosis

Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung
yaitu :
a. Penularan secara langsung dapat terjadi :
1. Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk
kedalam tubuh pejamu.
13

2. Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang
merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau
seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
3. Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual pada
masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan
air susu ibu.
b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
1. Genangan air.
2. Sungai atau badan air.
3. Danau.
4. Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
5. Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.
c. Faktor resiko
Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung atau terpajan
air atau rawa yang terkontaminasi yaitu :
1. Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir.
2.

Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.

3. Mencuci atau mandi disungai atau danau.


4. Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
5. Petani tanpa alas kaki di sawah.
6. Pembersih selokan.
7.

Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.

8. Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani ternak
atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong hewan
melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta, cairan amnion dan bila
kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih.
9. Pekerja tambang.
14

10. Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.


Infeksi leptospirosis di Indonesia umumnya dengan perantara tikus jenis Rattus
norvegicus (tikus selokan), Rattus diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans Suncu murinus
(cecurt).
Perjalanan Penyakit
Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir,
maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di dalam darah dan jaringan .
Selanjutnya

akan

terjadi

dalam darah sehingga

leptospiremia,

bakteri

akan

yakni

menyebar

penimbunan
ke

bakteri Leptospira di

berbagai

jaringan

tubuh

terutama ginjal dan hati.


Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen
menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian
tubuli ginjal). Gagal ginjal biasanya terjadi karena kerusakan tubulus, hipovolemia
karena dehidrasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Gangguan hati berupa nekrosis
sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer. Pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel
Kupffer dalam hati. Leptospira juga dapat menginvasi otot skeletal menyebabkanedema,
vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan
peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia
sirkulasi.
Pada

kasus

berat

akan

menyebabkan

kerusakan

endotelium

kapiler

dan radang pada pembuluh darah . Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan
menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang. Setelah
infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam
tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya
untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun.

G. Pengendalian dan Pengobatan


Pada Hewan
Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu diberikan perawatan
intensif

untuk

menjamin kesehatan masyarakat dan

mengoptimalkan

perawatan.

Antibiotik yang dapat diberikan yaitu doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau


15

kombinasi penisillin-streptomisin. Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian


antidiare, antimuntah, dan infus.
Pencegahan

dapat

dilakukan

dengan

memberikan vaksin Leptospira.

Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang
sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan
dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang
beredar

di

Indonesia

terdiri

atas

dua

macam

serovar

yaitu L.

canicola dan L.

ichterohemorrhagiae. Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat anjing berumur 12


minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16 minggu. Sistem kekebalan sesudah vaksinasi
bertahan selama 6 bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan
Pada Manusia
Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin, ampisillin, atau
amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat diobati dengan penisillin G,
ampisillin,

amoksisillin

dan

eritromisin.

Manusia

rawan

oleh

infeksi

semua

serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua
hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi
Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu
membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang,
maupun lingkungan di mana hewan berada.
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit
ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain itu,
para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber
air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari
lingkungan terutama sumber air.
Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan
melalui tiga jalur yang meliputi :
a. Jalur sumber infeksi
1. Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2. Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin, atau
dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara
pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.

16

3. Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
4. Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan
membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber penampungan
air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah
jauh dari jangkauan tikus.
5. Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara
lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar, menjaga
sanitasi, khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar mandi
yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih.
a) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
b) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sadakimian rupa sehinnga tidak menimbulkan
kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.
b. Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan :
1. Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker).
2. Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
3. Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah, dan air
yang terkontaminasi.
4. Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau
mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak
menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan
telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5. Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan urin
hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat
merawat hewan yang sakit.
6. Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan lantai
kandang, rumah potong hewan dan lain-lain.
7. Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang baik,
filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
8. Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-bahan
kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
9. Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air dan sungai
yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.
10. Manajemen ternak yang baik.

17

c. Jalur pejamu manusia


1. Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi
terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira,
cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi
kuman leptospira.
2. Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-cara
edukasi yang meliputi :
a) Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian, institusi
militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria
menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor
televon yang dapat dihubungi untuk informasi lebih lanjut.
b) Melakukan penyebaran informasi.
Pengobatan
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan
dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis.
Pemberian antobiotik harus dimulai secepat mungkin, bias any pemberian dalam 4 hari
setelah onset cukup efektif. Berikut golongan antibiotic yang dapat diberika pada pasien
leptospirosis :
Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg
Leptospirosis sedang/berat Ampisilin 4 x 500-750 mg
Amoksisilin 4 x 500 mg
Penisilin G 1,5 juta unit/ 6 jam
Ampisilin 1 gram/ 6 jam
Amoksisilin 1 gram/ 6 jam
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/ minggu
Sampai saat ini penisilin masih menjadi pilihan utama, namun perlu diingat bahwa antibiotic
bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia). Pada pemberian penisilin
dapat timbul reaksi Jarisch-Herxheimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian intravena yang
menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan
18

keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Kesimbangan cairan, elektrolit dan asam
basa diatur sebagaimana pada penaggulangan gagal ginjal secara umum. Jika terjadi azotemia
berat dapat dilakukan dialisa.
Prognosis
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5%
pada

umur

dibawah

30

tahun.

Pada

usia

DAFTAR PUSTAKA

19

lanjut

mencapai

30-40%.

Anda mungkin juga menyukai