Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan
dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal juga dengan nama
Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield
fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah,
Penyakit Stuttgart, Demam Canicola , penyakit kuningnon-virus, penyakit air merah pada
anak sapi, dan tifus anjing
Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis, sedangkan
pada
dengan
gejala sepsis, radangginjal interstisial, anemia hemolitik, radang hati dan keguguran.Leptospi
rosis pada hewan biasanya subklinis. Dalam keadaan ini, penderita tidak menunjukkan gejala
klinis penyakit. Leptospira bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga
bakteri akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya . Leptospirosis pada hewan
dapat terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusiahanya bertahan selama 60 hari. Manusia
merupakan induk semang terakhir sehingga penularan antarmanusia jarang terjadi.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan
gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit
dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease. Pada
tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease" disebabkan oleh
bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.
A. Etiologi/ Penyebab
Bakteri penyebab
Leptosirosis
yaitu
bakteri Leptospira
ketat.
panjang
6-20 m dan
diameter
0,1-
0,2mSebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 m . Jadi, ukuran bakteri ini
relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop cahaya dan
untuk melihat bakteri ini diperlukanmikroskop dengan teknik kontras . Bakteri ini dapat
bergerak maju dan mundur.
Leptospira mempunyai
175
serovar,
bahkan
ada
yang
mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar. Infeksi dapat disebabkan oleh satu
atau lebih serovar sekaligus . Bila infeksi terjadi, maka pada tubuhpenderita dalam waktu 612 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi
satu atau lebih serovar dari Leptospira interrogans. Serovar yang telah diketahui dapat
2
gryptosa.
canicola, L.
pamona dan L.
Serovar
yang
diketahui
gryppothyphosa,
interogans,
dan L.
terdapat
terserang L.
terserang L.
ballum dan L.
ichterohaemorhagicae.
Bila
terkena
dimakan
oleh fagosit,
bakteri
dapat
kolaps
menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira tidak memiliki aktifitas
patogenik. Leptospira dapat
hidup
dalam
waktu
lama
dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan
endothelium kapiler yang meluas. Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga
disebabkan oleh toksin.
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria
dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus.
Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis dengan
ikterus. Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat
menimbulkan ikterus pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun
nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat.
Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan factor
pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan
penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu
pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal.
Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak focus nekrosis pada epitel
tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang
yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan
oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal
menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal
karena perdarahan pada kelenjar adrenal.
Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat
menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder karena
hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia atau anemia. Mialgia merupakan keluhan umum
pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan
lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis,
meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer
antibody didalam serum tidak disertai peningkatan antibody leptospira (hamper tidak ada) di
dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan
mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau
laten pada kasus leptospirosis. (Poerwo, 2002).
C. Gejala Klinis
yang
sembuh
dari
infeksi
akut
kadangkala
tetap
mengalami radang
ginjal interstitial kronis atau radang hati (hepatitis) kronis. Dalam keadaan demikian gejala
yang muncul yaitu penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak urinasi,
turun berat badan dan gejala saraf. Pada sapi, infeksi Leptospirosis lebih parah dan lebih
banyak terjadi pada pedet (anak sapi) dibandingkan sapi dewasa dengan gejala demam,
jaundis, anemia, warna telinga maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine
Leptospirosis). Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan mencapai 5-15
persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen .
b. Pada Manusia
Fase Septisemik
Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena bakteri
dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh
[14]
Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan
demam, kedinginan, dan kelemahan otot. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk,
nyeri dada,
muntah darah,
gangguan
mental,
radang
Fase Imun
Fase
Imun sering
disebut fase
sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin tidak dapat
didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis . Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat
6
respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu
seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal.
Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi, kecemasan, dan
sakit
kepala.
Pada
pemeriksaan
jaundis,
pembesaran
hati
(hepatomegali), dan tanda koagulopati. Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan
sulit
bernapas.
peradarahan
dan
pembesaran
limpa
(splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik
merupakan manifestasi klinis paling penting pada fase imun.
Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul jaundis.
Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air besar (konstipasi), muntah,
lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu makan. Kadang-kadang terjadi perdarahan di
bawah kelopak mata dan gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru
pada 20-70 persen pasien.
Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi. Sebanyak 83 persen penderita
infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan 30 persen pada L. pomona. Infeksi L.
grippotyphosa umumnya
Sindrom Weil
Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi ginjal,
nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan . Kondisi ini terjadi pada akhir
fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburuk setiap waktu. Kriteria
penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk,
kesulitan bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan
dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan jaundis berat lebih
mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan
gangguan hati dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan meningkat
pada lanjut usia.
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk
pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini
menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.
1.
Leptospirosis anikterik
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang
umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat,
mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot
terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga
creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin
phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis
yang menyolok ini, pasien kadang-kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan
anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah
conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali,
hepatomegali dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa
uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang
tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya.
Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan
serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi
( fase imun ).
Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena
keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri ( self
- limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena
gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain, maka pada setiap kasus
dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis
bandingnya, apalagi yang di daerah endemik.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown origin di
beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis
anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV serocon
version, infeksi dengue, infeksi hanta virus, hepatitis virus, infeksi mononukleosis dan juga
infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.
2. Leptospirosis ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal ginjal
akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.
Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau
8
nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi
oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan
nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah
penyebab tersering gagal ginjal akut.
D. Diagnosa
Bakteri Leptospira secara mikroskopis pada jaringan ginjal menggunakan metode pewarnaan perak
Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan adalah riwayat
penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang. Sebagai diagnosa penunjang, antara lain
dapat dilakukan pemeriksaan urin dan darah. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk
mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin sejak awal penyakit
dan
akan
menetap
hingga
minggu
ketiga.
yang
mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal tetapi rentang peluang untuk isolasi
bakteri sangat pendek. Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan
lunak atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata. Namun,
isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu beberapa bulan.
Untuk
mengukuhkan
diagnosa
Leptospirosis
biasanya
dilakukan
pemeriksaan
serologis. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala
klinis. Kultur atau
pengamatan
bakteri Leptospira di
gelap
agglutination
ini
mengukur
kemampuan serum
darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri Leptospira yang hidup. Namun, MAT tidak dapat
digunakan secara spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat dengan
gejala klinis yang parah. Selain itu, diagnosa juga dapat dilakukan melalui pengamatan
bakteri Leptospira pada spesimen organ yang terinfeksi menggunakan imunofloresen.
10
melakukan
replikasi
aktif
di
hati.
Perwarnaan
silver
staining
dan
immunofluorescence dapat mengidentifikasi leptospira di hati, limpa, ginjal, CNS dan otot.
Selama fase akut pemeriksaan histologi menunjukkan organisma tanpa banyak infiltrat
inflamasi.
E. Distribusi Penyakit
Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di
daerah tropis maupun subtropis . Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja
di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan,
dan personel militer . Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang
terpapar air yang terkontaminasi. Di daerah endemis, puncak kejadian Leptospirosis terutama
terjadi pada saat musim hujan dan banjir.
Iklim yang
sesuai
untuk
hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim
tropis. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara
beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih
berat. Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per tahun.
Organisasi
Kesehatan
Dunia (World
Health
Oraganization/WHO)
mencatat,
kasus
Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang
setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10
per 100.000 orang setiap tahun. Pada saat wabah, sebanyak lebih dari 100 orang dari
kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi.
11
Istimewa
Utara, Kalimantan
Barat, Sumatera
Timur dan Kalimantan
Angka
kematian
Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45 persen. Pada usia lebih dari
50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan
antara 3 persen - 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi.
F. Cara Penularan
Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water borne
disease). Urin (air kencing) dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber
utama penularan, baik pada manusia maupun pada hewan. Kemampuan Leptospira untuk
bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat
menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran
penyakit ini, terutama di daerah banjir. Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi
kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan
penyebaran di dalam aliran darah induk semang.
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir.
Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahanlingkungan seperti banyaknya genangan air,
lingkungan menjadi becek, berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan
mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian
masuk
ke
tubuh
manusia
melalui
permukaankulit yang
terluka,
selaput
lendir mata dan hidung. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama
Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi.
12
Beberapa
hewan
lain
terserang
Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung
yaitu :
a. Penularan secara langsung dapat terjadi :
1. Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk
kedalam tubuh pejamu.
13
2. Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang
merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau
seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
3. Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual pada
masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan
air susu ibu.
b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
1. Genangan air.
2. Sungai atau badan air.
3. Danau.
4. Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
5. Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.
c. Faktor resiko
Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung atau terpajan
air atau rawa yang terkontaminasi yaitu :
1. Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir.
2.
Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
8. Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani ternak
atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong hewan
melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta, cairan amnion dan bila
kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih.
9. Pekerja tambang.
14
akan
terjadi
leptospiremia,
bakteri
akan
yakni
menyebar
penimbunan
ke
bakteri Leptospira di
berbagai
jaringan
tubuh
kasus
berat
akan
menyebabkan
kerusakan
endotelium
kapiler
dan radang pada pembuluh darah . Leptospira juga dapat menginvasi akuos humor mata dan
menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan uveitis kronis dan berulang. Setelah
infeksi menyerang seekor hewan, meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam
tubuhnya akan tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ reproduksinya
untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan bahkan tahun.
untuk
mengoptimalkan
perawatan.
dapat
dilakukan
dengan
Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair (bakterin) yang
sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya vaksin Leptospira dikombinasikan
dengan vaksin lainnya, misalnya distemper dan hepatitis. Vaksin Leptospira pada anjing yang
beredar
di
Indonesia
terdiri
atas
dua
macam
serovar
yaitu L.
canicola dan L.
amoksisillin
dan
eritromisin.
Manusia
rawan
oleh
infeksi
semua
serovar Leptospira sehingga manusia harus mewaspadai cemaran urin dari semua
hewan. Perilaku hidup sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi
Leptospirosis tanpa biaya. Manusia yang memelihara hewan kesayangan hendaknya selalu
membersihkan diri dengan antiseptik setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang,
maupun lingkungan di mana hewan berada.
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami penyakit
ini. Pemberantasan tikus terkait langsung dengan pemberantasan Leptospirosis. Selain itu,
para peternak babi dihimbau untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber
air. Feses ternak perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari
lingkungan terutama sumber air.
Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan
melalui tiga jalur yang meliputi :
a. Jalur sumber infeksi
1. Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2. Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin, atau
dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara
pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
16
3. Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
4. Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan
membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber penampungan
air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah
jauh dari jangkauan tikus.
5. Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara
lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar, menjaga
sanitasi, khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar mandi
yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih.
a) Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
b) Membuang kotoran hewan peliharaan. Sadakimian rupa sehinnga tidak menimbulkan
kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.
b. Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan :
1. Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker).
2. Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
3. Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah, dan air
yang terkontaminasi.
4. Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau
mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak
menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan
telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
5. Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan urin
hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat
merawat hewan yang sakit.
6. Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan lantai
kandang, rumah potong hewan dan lain-lain.
7. Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang baik,
filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
8. Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-bahan
kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
9. Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air dan sungai
yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.
10. Manajemen ternak yang baik.
17
keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Kesimbangan cairan, elektrolit dan asam
basa diatur sebagaimana pada penaggulangan gagal ginjal secara umum. Jika terjadi azotemia
berat dapat dilakukan dialisa.
Prognosis
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5%
pada
umur
dibawah
30
tahun.
Pada
usia
DAFTAR PUSTAKA
19
lanjut
mencapai
30-40%.